Chereads / The Existence. / Chapter 9 - Kerinduan Orang Tua

Chapter 9 - Kerinduan Orang Tua

"Apa kau sudah dapat cukup banyak?". Pertanyaan yang sejak tadi terulang kesekian kalinya, membuat Gregory menghela nafas.

 

"Baiklah, ayo kita kembali. Kurasa milikku juga sudah cukup banyak"

 

Yang bisa ia lakukan kali ini adalah mengalah dan mengikuti saja apa yang diinginkan oleh istrinya. Meskipun ia tidak mengatakan hal itu secara terus terang dan hanya memberinya kode untuk ia pecahkan sendiri.

 

Tapi tinggal bersamanya selama puluhan tahun sudah membuatnya cukup tau tentang apa yang disuka dan diinginkan olehnya, termasuk apa yang tidak disukainya.

 

Bahkan ekspresi sekecil apapun itu, terkadang ia juga memahaminya. Meskipun itu tentu membutuhkan waktu yang sangat lama dan juga membuatnya kelelahan di satu waktu.

 

Karena nyatanya mencoba untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan diinginkan oleh seorang wanita tidaklah pernah mudah.

 

Dan Tuhan memberinya wanita lain untuk ia pahami, putri kecilnya. Yah, tak bisa dibilang kecil lagi jika anak gadisnya itu sekarang sudah tak berada di rumah lagi dan memilih untuk pergi ke tempat yang jauh dari pandangan orang tuanya.

 

"Aku merindukan gadis kecilku. Dimana dia sekarang? Apa dia sudah makan?"

 

Suara dengan nada rendah itu masih bisa terdengar oleh telinga Anna yang tentu tak berjarak jauh darinya. Mereka kembali pulang dengan bergandengan tangan menyusuri jalan yang tadi mereka lewati saat berangkat.

 

"Apa lagi yang kau tanyakan itu? Tentu saja putriku sedang bekerja keras disana, dia juga sudah makan. Bukankah sebentar lagi juga waktunya dia pulang? Setiap bulan ia pasti akan datang untuk beristirahat, kan?"

 

Benar, itulah yang saat ini sedang dilakukan oleh Elea, atau dengan nama panjangnya Eleanor. Rambut panjang yang berantakan, karena bergelombang membuat rambutnya mudah sekali kusut setiap kali bangun tidur.

 

Berjalan dengan gontai ke arah wastafel yang ada di kamar mandi, terletak tak terlalu jauh dari kasur tempatnya baru saja bangun. Pintunya yang berbahan kayu tipis itu terbuka sejak semalam, tangannya menekan sakelar yang ada di tembok depan kamar mandi. 

 

Kaca berukuran 50 x 70 cm yang terletak tepat di seberang pintu merefleksikan wajahnya dengan begitu jelas, kusut. Wajahnya yang masih terlihat sayu itu pun ia basuh secukupnya agar terlihat lebih segar.

 

Kamar mandi berukuran kecil itu masih terlihat sangat cukup dan layak dibandingkan harus berbagi satu kamar mandi dengan seluruh penghuni yang lainnya. Setidaknya dengan begitu ia bisa memiliki ruangan pribadi untuknya sendiri.

 

Mengoleskan sedikit odol ke sikat gigi dan segera keluar dari kamar mandi. Kakinya mengajaknya melangkah ke bagian dapur yang ada tepat di sebelah kiri pintu kamar mandi, hal yang selalu ia lakukan rutin seperti sebuah keharusan.

 

Ruangan yang ia tempati bukanlah sebuah ruangan besar dengan berbagai sekat di setiap tempat dan luas, tempat ini memiliki satu ruangan besar yang membuatnya bisa ke segala tempat tanpa perlu membuka pintu kecuali jika harus pergi ke kamar mandi.

 

Di bagian dapur ada sebuah meja panjang, tempat kompor dan rak serta lemari berada di satu tempat yang sama. Dan tentu saja sebuah jendela berukuran 50 cm di samping kompor membuatnya bisa mendapatkan udara segar meski ada di dalam ruangan.

 

Di atas sebuah kompor kini ada sebuah panci kecil untuk memanaskan air, ia juga sudah mengambil roti dan juga selai dari dalam lemari yang ada di sampingnya.

 

Sikat gigi masih bertengger di mulut dan tak digerakkan ketika kedua tangannya sibuk memegang pisau untuk mengoles selai dan juga roti.

 

Tak ada meja makan panjang di ruangan yg kecil ini, hanya sebuah kursi panjang. Bagian kanan kompor memiliki sebuah tempat yg cukup untuk dijadikan meja makan.

Menghadap tepat ke arah jendela membuat angin sepoi masuk begitu mudah dan makanan juga akan cepat dingin tanpa perlu ditiup.

Tinggal di sebuah apartemen tiga lantai membuatnya cukup nyaman, selain karena tak perlu waktu lama untuk turun, ia juga bisa melihat keadaan dan pemandangan sekitar hanya dengan melongok keluar jendela.

Semenjak air mendidih, tak ada lgi suara yg terdengar selain suara jam dinding yg ada di atas pintu kamar mandi. Elea meletakkannya disana karena itulah satu-satunya tempat yang paling sering dilihat ketika ia berbaring di kasur.

Kopi sudah diseduh di sebuah cangkir berukuran sedang, ia butuh itu agar tak mengantuk saat bekerja nanti. Kebetulan kemarin ia diharuskan untuk mengerjakan banyak hal bahkan sampai beberapa dokumen terpaksa dibawa pulang.

Buktinya, tumpukan kertas itu masih terlihat berceceran di atas kasur, menjadi teman tidurnya semalam. Hanya berharap agar kertas itu tidak rusak karena pergerakannnya ataupun cairan yg ia keluarkan saat tidur begitu lelap.

Ia terpaksa begadang sampai tak ingat kapan tertidur, yg ia tau terakhir kali ia melihat jam adalah pukul satu pagi. Setelah itupun ia masih berkutat dengan kertas-kertas itu sampai hilang kesadaran karena lelah dan mengantuk.

 

Begitu roti di dalam mulutnya habis dan juga gelas berisi kopi itu telah tak tersisa, Elea segera mengganti pakaiannya dengan seragam kantor yang baru. Tentu saja itu karena kemarin dia memakai baju itu juga untuk tidur, bentuknya yang kusut sudah tidak memungkinkan lagi untuk membawanya bekerja hari ini.

Bukan berarti ia tidak mengganti pakaiannya sama sekali sampai saat ini, hanya saja ya sempat terbangun sebentar dan melepaskan semua seragamnya. Menyisakan kaos tipis yang menjadi lapisan dalam pakaiannya dan juga celana legging.

"Sudah jam berapa sekarang?"

Tak ada yang ia ajak bicara, hanya dirinya sendiri yang melakukan hal tersebut sambil melihat ke arah jam di dinding. Bergegas menata lagi kertas-kertas yang tadinya berceceran di atas kasur, memakai sepatu dan segera membuka pintu.

Rambutnya yang natural bergelombang membuatnya mudah untuk menyamarkan kalau rambut itu belum disisir pagi ini. Setidaknya ia sudah menyiapkan sebuah kuncir rambut yang ya bahwa di pergelangan tangan kanannya.

 

Satu-satunya tangga yang digunakan untuk naik dan turun dari tiga lantai bangunan terdengar berisik, itu karena semua penghuni turun di jam yang sama meskipun mereka tidak bekerja di tempat yang sama.

 

Suara dari sepatu yang bersentuhan langsung dengan lantai terdengar begitu tergesa, jalan turun ke lantai satu terasa begitu cepat karena semua orang bersamaan turun dan dengan kecepatan yang sama.

 

"Hey, Elea. Tunggu aku, kita berangkat bersama!"

 

Baru saja ia menarik nafas begitu keluar bangunan dan merasakan udara sejuk yang tadi ia sempat rasakan saat membuka jendela kamar, tapi suara itu ahirnya membuatnya menghentikan langkah dan berbalik sebentar untuk melihat sosok yang baru saja menghentikannya.

 

"Bukankah tempat kerja kita berbeda?"

 

*****

 

Bersambung