Suara aduan antara sendok dan gelas yang berdentik sejak tadi membuat Gregor mengintip ke arah dapur. Istrinya sudah mengaduk kopi miliknya sejak lima menit lalu dan membuat suara dentingannya sedikit memekakkan telinga.
Semua jendela terbuka, bahkan pintu depan juga masih terbuka, membiarkan angin masuk dan keluar dengan mudah agar rumah terasa sejuk. Barang-barang milik Elea yang tadi ia bawa sudah ia masukkan ke dalam kamarnya.
Anak itu juga sudah masuk ke dalam kamarnya sejak satu jam tadi dan belum keluar sama sekali. Sedangkan istrinya terdiam begitu saja di tempatnya duduk setelah mengobrol sebentar dengan Elea.
Ia bisa mendengar suara pintu yang sedikit dibanting dari kamar Elea, membuatnya berpikir kalau mungkin saja ibu dan anak itu sedang beradu pendapat tadi.
Gregory tak sempat untuk melihat keadaan mereka sebelum semuanya terjadi, ia juga tak tau apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan. Ia hanya sempat mendengarkan suara tawa, nada ceria dan antusias istrinya yang sama seperti tiap kali Elea baru saja pulang.
Tak ingin terjebak dalam situasi yang canggung, Gregory memilih untuk pergi dan melanjutkan kegiatan mereka yang tadi terhenti.
Tadi ia kembali ke rumah karena istrinya, Anna, merasakan firasat yang mengharuskannya untuk pulang. Dan memang benar kalau firasat itu ternyata adalah tentang kepulangan anak mereka yang lebih maju dari tanggal biasanya.
"Aku pergi dulu mengumpulkan tanaman, tadi belum sampai penuh, kan?"
"…"
Tak mendapatkan jawaban, Gregory pun akhirnya melanjutkan dengan kalimat selanjutnya, "Setelah itu aku akan langsung menjualnya. Baru setelah itu aku akan pulang. Istirahatlah saja di rumah"
Tepat setelah mengatakan kalimat terakhir, Gregory keluar dari rumah dan berjalan ke arah keranjang mereka yang ada di teras sebelah kiri.
Karena keduanya memiliki kekurangan yang hampir sama, Gregory pun memasukkan miliknya ke dalam wadah milik istrinya hingga kini keranjangnya memiliki lebih banyak ruang.
Suara derap sepatu di teras perlahan menjauh, menandakan Gregory yang sudah pergi sesuai dengan perkataannya tadi. Saat menyadari hal itu, adukan di gelas kopi pun berhenti, memberikan keheningan yang mencekik untuk keadaan di dalam rumah.
Anna melepaskan pegangannya pada gelas dan juga sendok yang ada di atas meja, kemudian berjalan mendekat ke arah kamar depan, kamar Elea.
Selama ini kamar yang hanya sebulan sekali berpenghuni itu selalu ia bersihkan setiap hari sama seperti yang lainnya, agar ia merasakan bahwa anak kesayangannya memang masih berada di rumah bersamanya.
Pintu berukuran dua meter yang tipis di depannya itu tertutup rapat, dikunci dari bagian dalam kamar. Itu membuatnya tak bisa masuk untuk sekedar mengintip atau mengobrol dengan anaknya di dalam kamar.
Menempelkan telinga ke daun pintu untuk bisa mendengarkan suara yang ada di dalam kamar, tak ada suara apapun selain dengkuran halus.
Menyadari bahwa putrinya mungkin sudah tertidur karena lelahnya dalam perjalanan, maka ia tak ingin mengganggu. Kepalanya yang terasa pusing sejak tadi juga memaksanya untuk beristirahat lebih cepat hari ini.
Kakinya melangkah memasuki kamar yang tepat ada di sebelah kamar putrinya, membaringkan diri di atas kasur dengan sebuah harapan agar pusingnya menghilang setelah ia terbangun nantinya.
Kopi panas yang ada di meja dapur itu pada akhirnya diabaikan dan mendingin dengan sendirinya, menggumpal lagi di bagian bawahnya.
***
Elea mengembalikan lagi cara bernafasnya seperti biasa, tadi ia harus berpura-pura saat mendengar suara langkah kaki ibu yang mendekat.
Di tempat yang sepi dan hanya ada suara dari gesekan daun, ranting dan tanaman kecil yang terkena angin tentu saja gerakan kecil seperti itu bisa begitu mudah didengar.
Ia tidak menyangka dengan reaksi yang diberikan oleh ibunya, padahal ia baru saja menyebutkan tentang pacarnya tapi beliau langsung terpaku. Hal itu membuatnya urung untuk menjelaskan dan menceritakan tentang banyak hal lainnya.
Yang ada di pikirannya saat melihat reaksi itu adalah bahwa ibunya akan melarangnya untuk berpacaran atau membawanya kemari dan memperkenalkannya dengan keluarganya.
Belum sampai ibu tau tentang niatnya menikah dengan lelaki itu, seseorang yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak beberapa tahun lalu.
***
Gregory baru kembali lagi ke rumah setelah menjual semua hasil pencarian tanaman obat pagi ini ke penadah. Dua keranjang yang sudah kosong itu ia bawa masuk lagi ke dalam rumah dan diletakkan di ujung ruangan dekat peralatan dapur yang lainnya.
Rumah yang seharusnya cukup ramai karena bertambah satu orang penghuni itu kini justru terasa begitu sepi karena tak ada satu orang pun yang menunjukkan batang hidungnya di hadapannya.
Pandangan matanya tertuju pada kopi yang ada di atas meja dengan sebuah sendok di sampingnya. Warnanya lebih bening di bagian atas dan begitu padat di bagian paling bawahnya.
Sayang untuk dibuang, akhirnya ia meminum sendiri minuman yang sudah dingin itu. Tentu saja ia juga menikmati bagian paling kental yang ada di bagian dasar gelas tersebut.
Ia melihat pintu kamarnya terbuka dan istrinya tertidur tepat di tengah kasur, terlentang dan gerakan di dadanya pelan, ia sudah terlelap sejak tadi.
Niat hati ingin menghampiri istrinya dan menanyakan banyak hal, tapi sadar diri kalau pakaian yang ia pakai saat ini masilah kotor. Akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan diri dulu sebelum nanti bergabung dengan istrinya di kasur.
***
Kedua matanya terbuka dan pandangan di depannya tertutup oleh dada bidang suaminya sendiri. Anna menggeliat ingin melepaskan diri dari pelukan suaminya, tapi pelukannya semakin erat.
"Mau kemana?"
Anna belum bisa menjawab karena bagian dari otaknya belum bisa memproses apa yang ingin ia katakan, hanya matanya saja yang berkedip beberapa kali sebelum akhirnya ia menyerah dan membaringkan lagi tubuhnya tepat di samping suaminya.
"Sebenarnya apa yang tadi kalian bicarakan? Kenapa suasananya jadi tidak enak begitu sampai sekarang?"
Tanpa basa basi, Gregory memilih untuk langsung mengutarakan apa yang sejak tadi ingin ia bicarakan dengan istrinya.
"Elea, putri kita ingin membawa kekasihnya ke rumah dan mengenalkannya dengan kita," raut sedih masih terlihat jelas di wajahnya pun begitu dengan suaranya yang menjadi serak dan rendah.
"Bukankah itu bagus?," jawaban Gregory langsung mendapat balasan pelototan dari sang istri yang masih berbaring di sampingnya.
"Itu berarti kita akan tau lelaki mana yang akan menjaga anak kita untuk ke depannya. Kita akan bisa menilai lelaki itu langsung di depan mata. Daripada kau justru mendapati anakmu kabur dengan lelaki yang bahkan tak kau kenali karena tak mendapatkan restumu, bagaimana?"
Ucapan dari suaminya yang cukup panjang itu nyatanya mampu membuatnya ikut berpikir. Bukan berarti ia sama sekali tak memikirkan hal tersebut, hanya saja ia masih begitu kaget karena menyadari bahwa putrinya sudah dewasa dan jarak itu semakin jelas terlihatnya.
*****
Bersambung