Chereads / The Existence. / Chapter 4 - Kalung

Chapter 4 - Kalung

Getaran dari perutnya terasa lagi, walau tak menimbulkan suara yang menggelikan seperti tadi. Alpha memegang perutnya, mencoba untuk mengendalikan rasa laparnya.

 

Matanya kembali melihat ke arah langit malam dari lubang di langit-langit gua, bintang bahkan terlihat bersinar dari sini.

 

Langit yang cerah menandakan tak ada awan yang sedang mengangkut hujan di daerahnya. Artinya, tak ada air yang besar untuk mengaliri kawasan pack dan tanaman masih akan mengalami kekeringan.

 

Air matanya mengalir memikirkan bagaimana nasib dari pack yang ia pimpin itu nantinya.

 

Setiap hari melihat dari jendela, bagaimana lahan luas yang ada di tengah komunitas disulap menjadi rumah sakit darurat. Pasien juga bertambah, dengan penyakit yang bermacam-macam.

 

Setidaknya satu hal yang ia syukuri adalah sampai sekarang belum ada berita kematiam. Dan ia harap jangan sampai ada berita menyedihkan seperti itu.

 

Walau tak menutup kemungkinan, jika kekeringan ini terus berlanjut semakin lama akan menimbulkan korban kematian. Bukan hanya satu tapi mungkin akan memusnahkan mereka semua.

 

"Dewi… bantu kami"

 

Brukk

 

Rupanya tubuh sudah tak mampu lagi menahan rasa kelaparan dan kelelahan, hingga ia memilih untuk mengistirahatkan diri.

 

Kesadarannya menguap tepat setelah kalimat yang terakhir terucap dari lisannya. Ia hanya bisa merasakan kerasnya alas yang ia gunakan untuk berbaring dan aliran kecil air yang mengalir melewati kakinya.

 

"Besok, kau akan melanjutkan ceritanya, kan?"

 

***

 

Terik matahari yang kembali masuk ke dalam gua melalui lubang yang ada di langit-langit mengenai wajah alpha, membuatnya mengernyit dan terpaksa membuka mata.

 

Melihat sebentar keadaan di sekitar, mencoba mengingat lagi apa yang sedang ia lakukan kemarin sampai ia ada di tempat ini.

 

Dan begitu ingatannya terkumpul, ia tersentak karena menyadari sudah berapa lama waktu yang ia gunakan untuk tidur tadi.

 

Respon tubuh nyatanya tidak sesuai dengan keinginan, rasa kelaparan dan kelelahan yang bertumpuk membuat tubuhnya terasa lemas hingga tak kuat untuk bangkit dari tidur.

 

Terkejut, tentu saja. Ia ingin melanjutkan doa, duduk dan merekatkan tangan seperti kemarin. Menghadap ke arah sinar yang datang, sampai wajah terasa hangat.

 

Tapi apa daya, yang bisa ia lakukan saat ini hanya berbaring. Pipinya dapat merasakan tanah basah yang ada di bawahnya, dan aliran air yang mengalir di bawah kakinya.

 

Lagi, air matanya keluar lagi.

 

Ketidakberdayaannya saat ini membuatnya merasa malu dan lemah. Untung saja ia hanya sendirian di gua, jadi ia merasa bebas menjadi dirinya sendiri.

 

Ia merasa tak mampu menjadi seorang pemimpin yang baik untuk anggota packnya. Memiliki banyak kekurangan hingga membuat mereka harus menderita seperti sekarang.

 

"Kau bukan orang yang lemah"

 

Suara yang cukup jelas itu mampu membuatnya berhenti mengeluarkan air mata, meski pipinya masih basah karena sisanya.

 

Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, mencoba mencari tau sumber dari suara yang baru saja ia dengar samar. Tapi sepanjang yang bisa ia lihat berkat pencahayaan yang minim, tak ada seorang pun di dalam gua.

 

"Siapa disana?"

 

Suaranya terdengar menggema, hingga berulang kali dicoba pun hanya ada suaranya. Tak ada lagi juga suara yang sama seperti sebelumnya.

 

"Baiklah, sepertinya aku mulai berhalusinasi, hahaha"

 

Alpha memejamkan mata dan tertawa, menyadari kalau mungkin itu adalah salah satu bentuk kebodohannya sendiri.

 

Salah satu efek dari kelaparan dan kelelahan adalah halusinasi. Dan ia sekarang sangat yakin kalau suara itu juga bukanlah sesuatu yang sepantasnya ia khawatirkan.

 

"Benarkah?"

 

Dengan cepat membuka mata dan ia bisa merasakan seluruh bulu kuduknya meremang. Seseorang berada tepat di depannya, wajahnya bahkan sejajar dengannya yang sedang terlentang.

 

Mulutnya terkunci, sehingga tak ada satupun kata yang keluar darinya. Wajah itu terlalu dekat, tersenyum lebar hingga matanya menyipit.

 

Tapi hal yang paling aneh tentu saja tubuhnya yang mengambang di atasnya dan sosoknya yang hampir terlihat transparan.

 

Jantungnya berdegup kencang, ia ingin berasumsi bahwa yang di hadapannya itu adalah seorang dewi, tapi ia tak ingin terlalu berharap.

 

Bisa saja itu adalah hantu penunggu gua.

 

"Apa? Enak saja! Aku bukan hantu!"

 

Sosok itu pun mundur dan berdiri di atas sungai, melayang seperti tadi. Dengan kedua tangan yang ia letakkan di pinggang, seakan sedang marah.

 

Seperti mendapatkan kekuatan, alpha pun bisa menggerakkan anggota tubuhnya yang lain dan kini bisa duduk di tempatnya.

 

Kakinya yang semula terjulur ke sungai, ia angkat dan ia rapatkan agar bisa duduk bersila. Matanya masih tak lepas memandangi sosok dengan rambut panjang berwarna silver, wajah yang cantik dan tentu saja ukuran tubuh yang jauh lebih besar daripada dirinya.

 

Seakan mereka berasal dari spesies yang berbeda, atau memang itu kenyataannya. 

 

"Bukankah beberapa hari ini kau mengajakku berbicara? Kau bercerita banyak hal tentang kelompokmu"

 

Mata alpha kian membola, "Jadi, kau dewi bulan?"

 

Sosok cantik di depannya itu tersenyum dan mengangguk, membuat rambutnya yang panjang berkibar sekilas.

 

"Ah, rasanya menyenangkan sekali mendengarmu bercerita. Kukira kalian sudah melupakanku, ternyata masih ada juga di antara kalian yang masih mau berdoa padaku"

 

Ada rasa kecewa yang jelas terlihat dalam kalimat tersebut dan alpha pun menyadarinya. Ia sendiri merasa bersalah karena selama ini hanya menganggap bahwa dewi hanyalah sebuah karangan dari pendahulu atau sebuah tokoh biasa dalam cerita.

 

Kemudian alpha mencoba mengingat lagi ucapan dari dewi sebelumnya, yang mengatakan bahwa ia sudah mengajak dewi bicara atau berdoka selama beberapa hari.

 

Seingatnya, hal itu baru saja dilakukan olehnya kemarin dan berhenti ketika ia sudah merasa ngantuk yang teramat sangat.

 

"Tunggu. Beberapa hari yang tadi dewi maksud itu tepatnya berapa hari? Bukankah aku baru datang kesini kemarin?," masih dengan raut keheranannya.

 

Kali ini dewi tersenyum dan mengambil jarak lebih dekat lagi dengan alpha, senyum yang mampu menenangkan hatinya.

 

"Biar ku beri tau. Kau sudah tertidur selama tiga hari. Dan selama itu pula kau masih terus menggumamkan cerita, doa dan harapan meski dalam keadaan tak sadar"

 

Penjelasan dari dewi itu membuatnya sedikit khawatir dengan kelompoknya yang saat ini mungkin sudah mulai mengkhawatirkannya. Tapi untuk pulang dengan tangan kosong rasanya sangat tak layak.

 

Dewi menginjak sungai yang ada di bawahnya dan seketika aliran sungai menjadi lebih deras dan volume air juga semakin banyak. Beberapa tanaman juga tumbuh di dalam gua, bahkan lumut pun tumbuh di tanah yang ada tepat di bawah tubuh alpha, membuatnya terasa lebih lembut.

 

Pemandangan di depannya membuat alpha terkejut dan terheran-heran, gua yang ia tempati saat ini terasa seperti sesuatu yang lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

 

Gua yang terlihat seram, gelap dan juga berbahaya jadi terlihat indah dan seperti layak huni.

 

"Aku berterimakasih padamu yang sudah mau mengunjungiku dan menganggapku ada. Ketulusanmu pada kawananmu membuatku tergerak hingga semua hal ini bisa aku lakukan untukmu. Dan ini.."

 

Sesuatu terlihat bercahaya di leher alpha, begitu silau hingga alpha sampai memejamkan mata. Sebuah kalung terpasang di lehernya, bandul berwarna merah dan berbentuk oval bergantung disana.

 

"Itu sebagai simbol atau pertanda atas hubungan baik kita. Sering-seringlah berdoa padaku dan bercerita lagi nantinya"

 

Belum sempat membalas, sosok itu menghilang.

 

*****

 

Bersambung