Chereads / The Existence. / Chapter 2 - Awal Mula

Chapter 2 - Awal Mula

Satu daun lagi gugur, setelah baru saja ia duduk di depan pohon selama 10 menit. Begitu juga dengan pohon lain yang ada di sekitarnya.

 

Jika ia melihat ke atas, tepat dimana semua daun seharusnya terlihat lebat dan sehat, hanya ada warna kecokelatan di antara hijau yang sedikit.

 

Menengadah membuat kerongkongannya terasa lebih kering lagi. Jakunnya bergerak naik turun, mencoba mencari air yang tersisa di dalam mulutnya.

 

"Ayo kejar aku!"

 

Anak kecil berambut cokelat keriting berlarian melewatinya, masuk ke bagian hutan lebih dalam. Debu dari tanah yang dilewati terbang dan membuat nafas tercekat.

 

"Uhukk!"

 

"Ah!," kerongkongan yang terasa kering jadi terasa sakit saat batuk.

 

"Jangan berlarian!"

 

Ah, suaranya juga berubah. Ia tak sekuat dulu dan tak selantang itu. Suaranya serak dan sedikit bergetar, entah karena usia atau memang karena suasana.

 

Sebuah bayangan mendekat ke arahnya, terlihat saat ia sedang menunduk untuk melihat tanah dan debu yang masih berada di udara.

 

"Menurutmu…," ada jeda yang cukup lama dalam kalimatnya.

 

"Apa kita bisa bertahan lebih lama dalam situasi ini? Bukankah kita akan mati jika terus berada di kawasan ini? Ah, kenapa alpha tak mau menurut saja untuk pindah?! Dengan begitu, kita akan bisa hidup di tempat baru yang lebih baik. Bukankah begitu?"

 

Kini berdiri sejajar, tepat di sampingnya. Wajahnya menengadah, memperhatikan wajah orang yang lebih tinggi darinya.

 

Sama seperti sebelumnya, tak begitu banyak ekspresi yang terlihat. Orang disampingnya, yang sejak tadi hanya memandangi dedaunan itu seperti malas untuk sekedar melihat ke arahnya.

 

"Lebih baik kau jaga ucapanmu. Ini adalah wilayah kita dan pack tak akan pergi dari sini"

 

Jawaban yang diharapkan mendukungnya itu justru membuat emosinya seketika memuncak. "Jadi kau setuju saja jika dia meminta kita untuk mati! Kalian gila!"

 

Anak muda itu enggan berada di sampingnya lagi, ia berlari ke dalam hutan. Jalan yang sama yang tadi dilewati oleh anak-anak yang bermain kejar-kejar.

 

Mungkin saja pemuda tadi ingin ikut bermain bersama mereka, entahlah. Hanya dia dan mereka saja yang tau hal ini.

 

Mengingat lagi ucapannya tentang tempat ini memang tak salah, semua ucapannya benar. Bahkan tanah di bawah kakinya terasa begitu kering.

 

Ia bukanlah pemimpin, sang alpha masih berada di dalam rumah dan tak keluar selama seminggu. Tak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menjenguk atau sekedar untuk berbicara dari balik pintu.

 

Tempat tinggal sang alpha terletak tepat di tengah pemukiman, di bagian depan rumahnya ada halaman luas yang biasanya digunakan untuk jamuan makan atau acara penting lainnya.

 

Tapi sekarang, tempat itu digunakan sebagai rumah sakit darurat. Ada begitu banyak warga yang kesakitan disana, termasuk salah satunya adalah istrinya.

 

Ada di barisan ke dua, seorang wanita yang berpenampilan nyaris sama dengannya. Rambutnya yang sudah memutih dan tubuhnya yang jauh lebih kurus.

 

Anak lelakinya menggantikannya untuk berjaga dan mendampingi istrinya, setelah ia sendiri sudah tiga malah tidak tidur semenjak istrinya sakit.

 

Lalu kenapa ia tidak tidur sekarang?

 

Ia sudah tidur, tapi perutnya yang keroncongan membuatnya terbangun dan akhirnya berjalan berkeliling pack untuk mencari makanan yang sekiranya bisa ia makan.

 

Beberapa dedaunan yang tidak beracun di sekitar pack, yang tentunya masih hijau setidaknya masih bisa ia makan. 

 

Mata cekungnya menelusiri sekitar kawasan pack yang tidak terawat, rasanya ia ingin marah.

 

Sama seperti pemuda tadi, ada ketakutan yang sama. Takut kalau esok tak akan bisa hidup lagi, tapi ia tak ingin menyalahkan siapapun.

 

Alpha berulang kali keluar dari rumahnya untuk mengecek keadaan ketika semuanya sedang tertidur.

 

Ia bahkan sempat mendengar suara tangisan dari balik tembok rumahnya. Rasanya tak adil kalau sampai menyalahkan orang yang tak tau apapun.

 

Beliau bahkan pernah mencoba menggali tanah sendiri, tak ingin memerintah warga yang bahkan tak memiliki tenaga.

 

Kakinya melangkah menuju rumah yang sudah tertutup untuk waktu yang lama. Walau jelas tau bahwa masih ada penghuni di dalamnya.

 

Tak ada pagar di depan rumahnya, hanya beberapa tanaman berjajar di depan tembk yang sekarang sudah kering semua.

 

Retakan di tembok terlihat memanjang, dari ujung bawah hingga ke bagian atas pintu. Rumah itu mungkin akan ambruk sewaktu-waktu.

 

Matanya membelalak saat melihat pintu itu terbuka perlahan, dan sosok di baliknya adalah alpha yang akhirnya keluar dan membuat hatinya lega.

 

Syukurlah, alpha dalam keadaan baik-baik saja.

 

Meski begitu, terlihat jelas perbedaan penampilan dari yang dulu dengan yang saat ini ia lihat. Tubuhnya juga kurus, sama sepertinya. Padahal usianya masih lebih muda, seharusnya ia lebih sehat darinya.

 

"Alpha!"

 

Seruan dari beberapa orang di belakangnya membuatnya tersadar kalau ia juga harus menunduk, sebuah etika untuk menghormati pemimpin.

 

"Apakah makanan kentang kemarin enak?," pertanyaan yang langsung dijawab antusias oleh seluruh kawanan.

 

"Enak! Walaupun ukurannya kecil semuanya"

 

Mata lelaki tua itu bisa melihat dengan teliti bagaimana sudut mata alpha sedikit tertarik, meskipun ada gurat kesedihan juga yang tak bisa hilang.

 

Jantungnya terasa sakit begitu menyadari kalau makanan yang kemarin dinikmati oleh mereka adalah makanan yang sudah dicari sendiri oleh alpha.

 

Tangannya terangkat meremas kain yang ada di depan jantungnya, sejak dulu ia begitu menghormati lelaki di depannya.

 

Anak muda dengan jiwa yang tulus dan begitu pemberani. Ujian yang begitu berat untuknya yang baru saja menjabat setelah meninggalnya sang ayah dua tahun lalu.

 

Bahkan ia juga belum diberikan keturunan bersama matenya, beberapa kali keguguran bahkan ada yang meninggal saat baru dilahirkan.

 

Butiran halus merambat turun dari kelopak mata yang terbuka, bukan karena debu halus yang beterbangan di udara tentunya.

 

Sreekk

 

Langkah kaki yang diseret menuju ke arahnya membuat jantungnya berdebar menyakitkan, rasanya ia ingin memeluk alpha. 

 

Memberikannya dukungan yang ia butuhkan dari bawahannya yang setia. Tapi itu rasanya tak sopan di saat seperti ini dan di depan yang lainnya.

 

Karena mungkin saja air matanya akan mengalir jauh lebih deras daripada saat ini. Dan itu akan membuat alpha kebingungan dan membuatnya berada dalam masalah.

 

Tepukan pelan di pundaknya membuatnya melihat mata itu lebih dekat, alpha berada tepat di depannya.

 

"Aku ingin pergi ke dalam hutan untuk berdoa, gua keberkatan terletak tak jauh dari sini. Tapi jadilah penggantiku selama aku tak ada, dan usahakan jangan ada satupun orang yang menghampiriku sampai waktu yang ditentukan"

 

Kalimat terakhir membuatnya bertanya-tanya. "Waktu yang ditentukan itu kapan, alpha?"

 

Gurat senyum terlihat jelas di wajah alpha yang sudah mulai berjalan menjauh, ia berhenti sebentar sebelum memasuki kawasan hutan di depannya.

 

"Kau akan tau kapan waktunya"

 

*****

 

Bersambung