Kerajaan Gangga Negara, 1125.Â
Pekikan elang menyerebak di petangnya malam ke sebuah dataran yang ditumbuhi oleh pohon damar bersamaan seorang pria bertudung yang melajukan kuda hasil curiannya untuk melesat cepat, kabur dari segerombolan prajurit, beberapa Patih juga Pangeran yang memburunya dengan tujuan membunuh.
Gemuruh petir menggelegar dibarengi puluhan anak panah yang menembus udara, yang mana satu diantaranya berhasil membuat tunggangan si pria ambruk. Berkat kelincahan yang dilatihnya selama ini, si pria berhasil melompat dan berlari diantara batang pohon yang satu dengan lainnya.
Tidak hanya kabur, si pria memanfaatkan kecerdikannya dengan sengaja melalui tempat yang penuh akan jebakan, hingga membuat banyak prajurit tumbang. Meski itu sama sekali tidak menghentikan Patih juga Pangeran yang terus memburunya.Â
Satu hal yang paling mengejutkan si pria adalah Seri Mahawangsa berlari tepat di belakangnya. Memijak batang pohon bagai bajing loncat. Meski tak selihai dirinya, itu masih cukup untuk memperpendek jarak dan memberinya kesempatan untuk melempar belati yang berulang kali menggores pakaian si pembunuh berjubah.
Sampai di wilayah Dinding, jarak antara pohon yang satu dan lainnya makin lebar memaksa si pria untuk melompat turun dan melajukan kedua kakinya di atas tanah. Aksi kejar-kejaran terus berlanjut hingga ia melihat ujung darinya.
Si pria berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Seri Mahawangsa yang sampai pertama kali, sebelum akhirnya disusul oleh Patih, baru prajurit. Memang seperti rumor yang beredar kalau keluarga kerajaan memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit tingkat tinggi, walau prajurit rendah sekali pun tak bisa dibandingkan dengan warga biasa.
"Menyerahlah!" sorakan Seri Mahawangsa menggelegar, meski sedikit terdengar kalau ia perlu mengatur napasnya. "Sudah tidak ada harapan melawan. Kau sudah tamat. Lihat di belakangmu!"
Sayangnya semua ucapan Seri Mahawangsa sama sekali tak dipahami oleh si pria, ia tidak mengerti bahasa setempat. Tepat setelahnya, si pria melebarkan kedua lengannya, membuat semua pemburunya siaga. Namun yang terjadi berikutnya jauh di luar perkiraan mereka. Si pria melompat terjun ke laut dari tebing yang begitu tinggi.
"Hentikan!" cegah Patih menghentikan Seri Mahawangsa yang hendak menyusul pembunuh saudaranya.
Calon pengganti Raja itu melihat ke arah laut dengan sorot mata yang penuh akan kebencian. Bilamana melihat kondisi alam, semestinya orang itu tidak akan selamat. Harusnya si pria kehilangan nyawanya.
"Cari tahu dari mana asalnya para pembunuh itu!" perintah Seri Mahawangsa pada bawahannya sembari membalik badan meninggalkan pembunuh Raja Ganjil Sarjuna begitu saja. Tangannya terus mengepal logo freemasonry yang terbalur darah segar.Â