Panembahan, Kec. Kraton, Kota Yogyakarta, DIY. 2015.
Kavi terbangun dari tidurnya dengan napas memburu udara. Matanya cepat menyapu pandang. Dilihatnya sebuah ruang tidur berukuran 3 x 4 meter yang menyediakan satu tempat tidur dan sebuah nakas.
Tepat di depannya, Afkari memberinya segelas air. "Mimpi tenggelam, huh?" tebaknya.
Si anak duduk di tepi ranjang lalu menerima suguhan dari ayahnya. "Deja vu, kah?"
Si ayah berdeham lalu berkata, "Pergilah mandi, sarapanmu sudah siap. Aku mau pergi sebentar,"
"Pagi buta? Mau ke mana?" tanya Kavi setelah melihat kondisi di balik jendela yang masih cukup gelap.
"Kau tidak lihat mukaku?" Afkari balas bertanya sambil mengelus janggutnya. "Ini waktu yang tepat sebelum banyak orang berkeliaran,"
Kavi mendengus. "Pergilah,"
Afkari keluar kamar kemudian langsung keluar apartemen yang disewakan oleh Keraton. Baru saja membuka pintu, dilihatnya seorang pemburu berjubah yang berdiri tepat di depannya sambil menunjukkan tatapan tajam. Cepat-cepat pria empat puluh tahunan itu menutup pintu.
Sementara di sisi lain Kavi duduk di meja makan sambil mengulas apa yang terjadi pada mimpinya. "Lagi-lagi mimpi itu," gumamnya.
Baru saja membuka tutup saji, ia mendapati seorang pria berpakaian tidak biasa dengan penutup kepala tengah bersimpuh tepat di depannya. Kavi tersentak dan hendak melakukan serangan, tapi seketika ia urungkan setelah pria itu mengangkat sebelah tangannya.
Kavi mencoba memfokuskan pandangannya dan ia menyadari kalau tubuh pria itu tampak transparan. Kavi mengusap kepalanya, berusaha mengembalikan kewarasannya. "Apa aku terjebak dalam limbo?"
"Hentikan pencarianmu, ayahmu bisa terbunuh," ucap pria itu memakai bahasa Inggris membuat Kavi terkejut.
"Siapa yang bakal membunuh ayahku? Dan siapa kau?" tanya Kavi tanpa mengeraskan suaranya.
"Aku adalah kau," ucap pria itu yang tiba-tiba telah berada di belakang Kavi. "dan kau adalah aku," imbuhnya yang kembali berpindah tempat setelah Kavi menoleh.
Kavi mencoba memukulnya, tapi sesuai dugaan pria itu kembali berpindah tempat ke titik butanya.
"Siapa? Siapa yang bakal membunuh ayahku?!" teriak Kavi sambil melihat ke sekeliling.
Kavi lagi-lagi dikejutkan oleh kehadiran pria itu yang seketika telah berdiri tepat di hadapannya. Ia lagi-lagi mencoba memukulnya meski tentu saja itu sia-sia. Hal tersebut terus saja berlangsung sampai di satu titik di mana pria itu melakukan serangan. Awalnya Kavi diam saja, tapi anehnya pukulan pria itu mampu menyakitinya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Kavi membatin.
Keduanya kembali melancarkan serangan. Namun kemampuan pria itu jauh di atas Kavi sampai membuatnya terpogoh-pogoh membalas hingga mengacaukan segala barang yang ada. Sementara itu di sisi lain dua orang pemburu sebelumnya—yang memakai hoddie—berada tidak jauh dari sana, melihat ke arah Kavi melalui celah jendela.
Salah seorang yang kemarin hendak melakukan leap of faith bertanya, "Fawzi ... apa yang dia lakukan?"
"Singkatnya dia telah terpilih," jawab pria yang mengajak mereka kembali sebelumnya. "Aku akan kembali untuk melaporkan ini. Emad, kau awasi dia, jangan sampai Fahad melakukan hal ceroboh seperti kemarin," imbuhnya setelah pertarungan itu berakhir dengan Kavi mengalami kekalahan setelah melalui pertarungan yang sangat berat sebelah.
Pria yang baru saja dibicarakan kini justru terkapar tak sadarkan diri di sebuah gang remang yang sukar dilalui orang. Tepat di depannya Afkari memberikan tatapan dingin lalu meninggalkan orang tersebut begitu saja.
***
Di bathroom, Kavi sengaja membiarkan seluruh tubuhnya terguyur air dengan otak yang terus mengulang kejadian sebelumnya. Satu hal yang paling membuat Kavi kepikiran adalah ucapan pria itu sebelum ia menghilang.
"Kau masih belum siap. Belatimu sangat tumpul meski memakai milikku sekalipun."
Apa maksudnya belum siap? Miliknya, apa yang dia maksud hidden blade ini? Lalu siapa sebenarnya pria itu? Apa hubungan dia dengan Sultan Hamengkubuwono pertama?
Pertanyaan itu terus saja berulang sampai Kavi selesai mandi.
Selepas memakai pakaian yang telah disiapkan dalam koper, Kavi mengambil beberapa benda bersejarah lalu meletakkannya di atas meja, tanpa memedulikan kekacauan yang ada di sekelilingnya. Otaknya banyak memunculkan hipotesis yang tak satu pun dapat ia jadikan patokan untuk mengambil keputusan. Hingga suara Afkari mengejutkannya, "Apa yang sudah terjadi?!"
Kavi mengarahkan matanya ke sumber suara. Dilihatnya pria empat puluh tahunan yang telah berpenampilan seperti gembel—rambut, kumis dan jenggot tak kerawat. "Duduklah," ucapnya.
"Di mana aku harus duduk?" tanya Afkari sambil melihati sekitarnya.
Kavi mendengus lalu asal mengambil kursi yang tak lagi layak. "Duduklah," ulangnya.
"Apa yang sudah terjadi?" Afkari ikut mengulang kalimatnya begitu duduk.
"Menurutmu ... apa sebaiknya kita berhenti saja?" tanya Kavi mengacuhkan pertanyaan ayahnya.
"Apa maksudmu?!" Afkari balas bertanya. "Kau yang memaksaku melakukan pekerjaan ini, kenapa malah berpikir untuk berhenti? Apa ada kaitannya dengan yang terjadi di sini?"
Kavi menundukkan kepalanya. "Aku tahu ... ini terdengar konyol dan tidak masuk akal. Kau boleh saja menganggapku tidak waras, tapi...." bocah tujuh belas tahun itu menyodorkan selembar kertas pada ayahnya.
Afkari melihat gambaran sesosok pria yang memakai setelan perang ala assassin. Benaknya seketika berkata, apa Kavi baru saja bertemu pria itu?
"Pria itu yang diajak masuk Pangeran Mangkubumi ke ruang rahasia di mana Raden Ajeng menghilang," Kavi mengungkapkan.
Afkari tidak langsung merespons, ia menunggu penjelasan Kavi berikutnya.
"Pria itu mendadak muncul dan bilang untuk kita berhenti, atau kau bisa terbunuh,"
Jujur Afkari terkejut mendengar ucapan anaknya, tapi ia berusaha membenamkan perasaan tersebut dengan berkata, "Aku sudah memperingatimu tujuh tahun lalu,"
"Apa sebaiknya kita berhenti saja?" tanya Kavi menghiraukan omongan ayahnya.
Afkari mengembus napas panjang lalu membuka mulut, "Dengar ... sekalipun kita berhenti tidak ada jaminan kita bakal selamat," kata ia akhirnya. "Tadi pagi ada seorang pemburu. Kalau bukan karena bantuan Keraton, aku pasti takkan kembali ke sini,"
"Kalau begitu—"
"Bantuan mereka hanya bersifat sementara," cakap Afkari cepat memotong kalimat anaknya.
"Apa sebaiknya kita mengambil tawaran dari Abstergo?" tanya Kavi setelah keheningan menyelimuti keduanya untuk beberapa saat.
Mendengar pertanyaan itu seketika Afkari berdiri sambil menggebrak meja, "Tidak! Sekali kau masuk ke sana, tidak ada jalan untuk keluar. Mereka akan terus memaksamu memakai alat itu sampai kau benar-benar mati,"
"Terus aku harus gimana?!" Kavi ikut menyentak dengan menggebrak meja. "Kalau kau juga mati, gimana nasibku?!" sambungnya sambil mencengkeram kerah ayahnya.
Afkari mengatur napas lalu memegang tangan anaknya penuh kasih. "Kita tidak bisa membiarkan pengorbanan Elly jadi sia-sia,"
Kavi luluh, ia melepas cengkeramannya lalu memberi ruang untuk Afkari.
"Ayo selesaikan ini besok," tutur Afkari sambil menepuk pundak anaknya kemudian melangkah melaluinya dan mengambil cincin Brawijaya. "Aku sudah menyiapkan rencana dengan Sultan."
***
Cabeankunti, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, 2015.
Ayah dan anak itu baru saja tiba di sebuah petirtaan bersama dengan Abdi Dalem, polisi, tentara, serta juru kunci tempat tersebut. Dalam radius 30 meter wilayah itu disterilkan dari semua warga termasuk orang-orang yang tidak tergabung dalam ekskavasi tersebut. Semua hal diupayakan agar para pemburu tidak melakukan hal ceroboh seperti sebelumnya.
Setelah melaksanakan beberapa ritual, juru kunci menyilakan para petugas untuk melakukan bagian masing-masing. Sampai kemudian sumber air yang telah ratusan tahun kering kini dibanjiri dengan air panas yang begitu sejuk nan melegakan, mengisi bak pemandian orang terdahulu.
Selanjutnya si Ayah memberikan komando kepada beberapa orang untuk meletakkan cermin sesuai dengan arah mata angin. Sedangkan si anak meletakkan cincin dengan mata batu hijau pada sebuah patung yang telah ditaruh pada tempat sesuai lokasi yang telah diperhitungkan secara mendetail.
"Kalian siap?" tanya si anak lalu melihat satu per satu rekan kerjanya yang kemudian memberi respons anggukan kepala, tanda mereka benar-benar siap akan apa yang terjadi selanjutnya.
Semua kain yang menutupi dibuka, membiarkan cahaya matahari masuk dan menyorot ke tiap cermin yang kemudian memantul pada satu cermin utama hingga menyorot lurus pada batu kecil itu dan cahaya yang dihasilkan dari sana menyinari sebuah titik pada petirtaan tersebut.
Tak berselang lama gemuruh terdengar, dan sebuah pintu terbuka dari bagian paling bawah petirtaan. Menyedot semua air yang menggenang di sana. Semua orang takjub akan apa yang terjadi di depan mereka, bahkan si juru kunci sekali pun.
Tanpa menunggu komando, tim ekspedisi dengan sigap mendekat lalu menyiapkan segala perlengkapan untuk turun yang diikuti oleh Ayah dan anak tersebut. Sementara yang lainnya—termasuk si juru kunci—tetap pada posisi.
"Ayo masuk," si Ayah memberi perintah.
Ketiga belas orang tersebut akhirnya masuk ke ruang yang sama sekali tidak mereka tahu ada apa di dalamnya. Sementara itu di sisi lain, kedua pemburu baru saja membungkam sebagian tim penjaga tanpa diketahui oleh siapa pun. Sampai akhirnya salah seorang anggota TNI menyadari kalau sambungan komunikasi dengan rekannya terputus, seketika ia memberi kode untuk lebih waspada.
Sayangnya kewaspadaan mereka tetap berhasil ditembus oleh kedua pemburu tersebut. Keduanya berhasil memanfaatkan lingkungan yang berlokasi di tengah hutan dengan sangat baik. Memahami keterampilan musuh yang begitu tinggi tim penjaga melesatkan beberapa tembakan, tapi itu hanya menembus udara. Bahkan ketika teriakkan menyerebak hampir ke tiap pelosok hutan—sampai masuk ke ruang rahasia di dalam petirtaan—sama sekali tidak membuat kedua pemburu tersebut menghentikan aksi mereka.
Hingga akhirnya tersisa si juru kunci yang bergeming ketika mendapati keduanya telah berada tepat di depannya. Yang paling menyedihkan adalah, pria berkepala tujuh itu mengencingi celananya sambil berdiri. Namun kedua pemburu melaluinya begitu saja tanpa sepatah kata pun. Baru saja masuk ke ruang rahasia di dalam petirtaan keduanya dikejutkan oleh suara tembakan yang hampir saja merebut nyawa salah satu di antaranya. Tak berselang lama tim penjaga yang telah dilumpuhkan sebelumnya menyusul dan mengepung mereka.
"Melihat dari jumlahnya, apa mereka membawa bala bantuan?" tanya Emad menggunakan bahasa yang sama sekali tidak dipahami semua tim ekskavasi.
Fawzi tidak langsung menanggapi. Ia berpikir sejenak meski dalam kondisi yang tidak diuntungkan. "Berapa banyak orang yang kau lumpuhkan?"
"Tidak lebih dari lima," jawabnya cepat.
"Ini sudah direncanakan. Kita tertipu. Hanya sedikit penjaga yang pingsan, sisanya pura-pura,"
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Kalian pikir aku tidak menyiapkan rencana cadangan?!" teriak Fawzi mengacuhkan pertanyaan Emad yang kemudian disusul oleh sebuah siulan.
Tidak berselang lama terdengar seruan yang berasal dari luar. Tanda bahwa tim penjaga tengah melawan bala bantuan dari kedua pemburu tersebut membuat orang-orang yang mengepungnya sedikit panik. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Fawzi langsung melempar bom asap yang disusul dengan serangan dadakan. Kedua pemburu itu dengan lincah melawan tim penjaga. Meski awalnya kewalahan, perlahan kesempatan muncul apalagi ketika rekan mereka mulai masuk ke sana untuk membantu. Namun ketangkasan akan anggota tim khusus dari TNI maupun Polri tetap saja membuat mereka berakhir dengan terpojokkan.
Emad melihat bahwa kondisi mereka makin memburuk, ia kemudian berinisiatif melesatkan tembakan yang tepat mengenai tubuh si anak. Tak mau kalah, Fawzi berlari lalu menyandra si anak dan berteriak, "Back off!—Mundur!"
Namun perlakuan itu sama sekali tak menciutkan nyali tim pertahanan. Mereka justru menampilkan tatapan yang aneh. Selanjutnya terjadi hal yang lebih mengejutkan, si anak melakukan gerakan yang sangat cepat untuk membantingnya ke tanah lalu mengikat kedua tangan Fawzi ke belakang.
Pria itu terperangah lalu melihat ke lawannya dan seketika ia berteriak, "Damn! You're not that kid!—Sialan! Kau bukan bocah itu!"