Mojokerto, 16 Oktober 2024.
Ruangan istirahat Kavi masih sama sunyinya seperti malam sebe-lumnya. Dindingnya dihiasi peta ekspedisi yang memudar, semen-tara di atas meja kayu ada beberapa artefak kecil—sisa-sisa pene-muan yang belum diarsipkan. Di tengah kekosongan itu, pintu diketuk.
Keano, Aria, dan Rafael melangkah masuk, mengenakan pakai-an santai. Keano memakai kaus polo sederhana, Aria mengenakan hoodie oversized, dan Rafael dengan t-shirt dan celana pendek. Aura resmi acara sudah lama lenyap.
"Kavi," panggil Keano, suaranya hangat. "Bagaimana kondisi-mu?"
Kavi mendongak dari kursinya. Pucat, tapi masih bisa terse-nyum samar. "Baik... kurasa."
Aria menyandarkan tubuhnya ke meja, senyum khasnya muncul. "Sampai kapan kau murung begitu? Harusnya kau senang! Sekali lagi kau jadi bagian sejarah besar. Laporanmu bahkan sudah selesai, berkat aku, tentu saja."
Rafael tertawa kecil. "Berkatmu? Jangan lupa, aku dan Keano juga ikut membantu."
Aria mengangkat bahu, tertawa cengengesan. "Ya... yah, aku kan hanya memastikan semuanya berjalan mulus."
"Mulus? Kau malah bikin semuanya makin ribet," balas Rafael sambil menggeleng.
Kavi tersenyum kecil, meski matanya tetap kosong. "Terima kasih, semuanya. Aku benar-benar menghargai itu."
Keano memperhatikan ekspresi Kavi lebih dekat. "Apa yang sebenarnya terjadi, Kavi?"
Kavi menarik napas panjang, akhirnya menjelaskan bayangan yang terus menghantuinya. Orang berjubah itu, sosok yang datang di mimpinya, seolah-olah membisikkan sesuatu yang tak ia mengerti.
Rafael mendengarkan dengan tenang, lalu berkata, "Sepertinya tepat seperti yang diramalkan."
"Tidak ada yang diramalkan," tukas Kavi, menahan rasa tak percaya. "Aku hanya lelah."
Aria menepuk bahu Kavi, mencoba mencairkan suasana. "Sudahlah, kalian ini terlalu serius. Aku sendiri jadi pusat perhatian di pesta tadi malam, kau tahu. Semua mata tertuju padaku."
"Karena kau terus bicara tanpa henti," sindir Keano. "Padahal seharusnya momen itu milik Kavi."
"Hei, aku kan hanya membantu memperpanjang acara!" Aria berseloroh, membuat semua tertawa kecil.
Keano melanjutkan, "Profesor yang lain sudah kembali ke tem-pat kerja masing-masing. Hanya Profesor Ardana yang masih me-nyelesaikan laporan akhir. Dia memintamu datang, Kavi. Katanya ada sesuatu yang harus dibahas."
"Apa lagi sekarang?" gumam Kavi, lebih kepada dirinya sendiri.
Aria menyahut sambil tertawa, "Mungkin beliau ingin memasti-kan kau tidak diam-diam menyabotase penelitian!"
Keano menyela. "Kavi, kau bisa pergi kalau sudah merasa baik-an. Oh, satu lagi, Elizabeth ingin bertemu. Katanya ingin mengucap-kan terima kasih secara terpisah, kalau kau punya waktu nanti malam."
***
Setelah teman-temannya pergi, Kavi berdiri di depan wastafel. Di cermin, ia menatap bayangannya. Wajahnya tampak lelah, mata-nya bagaikan sumur tanpa dasar.
"Siapa kau?" bisiknya pada refleksi yang terasa asing. "Apa yang kau inginkan dariku? Berhentilah menggangguku... Aku bukan bagi-an dari cerita ini. Apa yang terjadi padamu di masa lalu, itu urusan-mu, tidak ada hubungannya denganku!"
Namun, dalam keheningan itu, bayangan di cermin terasa seperti menjawab dengan diamnya yang dingin.
***
Ruangan Prof. I Gede Ardana. Ruangan itu adalah cerminan kejayaan seorang arkeolog legendaris. Rak-rak kayu menjulang tinggi, penuh dengan buku, manuskrip kuno, dan artefak kecil. Di dinding tergantung peta-peta tua dan foto-foto dari berbagai ekspedisi. Di tengah ruangan ada meja besar dengan tumpukan laporan.
Ketika Kavi masuk, Profesor Ardana menyambut dengan se-nyum hangat. "Kavi, akhirnya kau datang. Silakan duduk."
"Maafkan saya, Prof," ujar Kavi, suaranya penuh penyesalan. "Saya tidak hadir pada acara kemarin. Dan..."
"Tak perlu dijelaskan," potong Ardana lembut. "Aku mengerti. Tapi tetap saja, sayang rasanya kau melewatkan momen itu."
Ardana melanjutkan dengan nada lebih serius. "Terlepas dari itu, kontribusimu tak tergantikan. Saranmu tentang sinar pantulan mustika Dyah Pitaloka sangat membantu. Meski kau tidak turun langsung di lapangan, ide-ide itu membawa kami ke arah yang tepat."
Kavi mengernyit. "Saya bahkan tidak membuat laporan apa pun."
Ardana tersenyum kecil. "Aku tahu. Itu hasil kerja teman-temanmu. Bersyukurlah, mereka peduli padamu."
Hening sejenak. Lalu Ardana menatap Kavi dengan tajam. "Tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan, Kavi. Apa yang kau alami selama ini? Apakah ada sesuatu yang... berbeda?"
Kavi mencoba menyangkal, tapi tatapan Ardana menembusnya. Akhirnya ia mengaku, "Ada... bayangan. Sosok yang terus muncul. Dan sesuatu tentang takdir..."
Mendengar itu, Ardana mengangguk pelan, seolah semua teka-teki telah terpecahkan. "Kavi, apakah kau pernah mendengar ten-tang Eagle Vision?"
"Eagle Vision?" Kavi mengulang, bingung.
"Tunggu..." kata Ardana, senyumnya hilang. "Sebelumnya, apa kau pernah mendengar tentang Assassin dan Templar?"
Kavi mengangguk ragu. "Perang suci Templar, ya. Tapi... Assas-sin?"
Prof. I Gede Ardana memejamkan matanya sejenak, seolah me-rangkai kata-kata yang akan ia ucapkan. Ia kemudian membuka matanya, menatap Kavi dengan tajam, seperti ingin menyelami pikirannya.
"Kavi..." katanya dengan nada rendah tapi penuh makna, "kau pernah mendengar tentang perang abadi yang tidak pernah tercatat dalam buku sejarah?"
Kavi menggeleng pelan, tapi rasa penasarannya tampak jelas di wajahnya.
"Dunia ini," Ardana melanjutkan, "dibentuk bukan hanya oleh raja, bangsa, atau peradaban yang kita pelajari di sekolah. Tapi oleh dua kelompok yang saling bertarung sejak awal peradaban manusia. Kelompok pertama adalah para Assassin, pemburu bayangan yang melindungi kebebasan manusia. Kelompok kedua adalah Templar, pembawa keteraturan, yang percaya bahwa kendali adalah kunci untuk perdamaian dunia."
Kavi mencondongkan tubuh ke depan, matanya melebar.
"Ini lebih dari yang bisa kau bayangkan," kata Ardana seakan tahu kalimat yang muncul dalam benak Kavi, suaranya nyaris ber-bisik.
Prof Dr I Gede Ardana mengambil sebuah buku tua dengan kulit bersulam simbol elang dari rak. Ia membukanya, memperlihatkan sketsa yang menunjukkan lambang Assassin dan Templar di antara lukisan peradaban kuno.
"Assassin percaya kebebasan adalah hak setiap manusia, Kavi. Tapi kebebasan itu selalu menjadi ancaman bagi Templar. Mereka percaya, manusia terlalu lemah untuk memutuskan nasib mereka sendiri. Mereka menggunakan kekuasaan, teknologi, bahkan arte-fak kuno untuk memaksa dunia tunduk pada visi mereka."
Ardana menggeser buku itu ke arah Kavi, memperlihatkan hala-man yang menampilkan sketsa artefak berbentuk bola bercahaya. "Ini adalah salah satu artefak Eden. Benda-benda seperti ini adalah kunci perang mereka. Apple of Eden, misalnya, adalah alat yang dapat mengendalikan pikiran siapa pun. Ada pula Atlantis artifact, Ring of Eden, Shrouds of Eden, Spears of Eden, Staves of Eden, Sword of Eden, dan benda-benda lain yang menyimpan kekuatan luar biasa. Mereka tidak hanya mengubah sejarah, mereka adalah sejarah itu sendiri."
Kavi menelan ludah. "Apa hubungannya dengan saya?"
"Segalanya," jawab Ardana, nadanya semakin berat. "Kavi, saat kau menemukan relik itu, aku yakin Templar mulai memperhatikan-mu. Kau bukan hanya seorang arkeolog. Kau memiliki sesuatu dalam darahmu, sesuatu yang membuat mereka tertarik."
Kavi mengernyit. "Darah saya?"
Ardana bersandar di kursinya, mengambil napas dalam. "Ketu-runan Assassin memiliki kemampuan yang berbeda dari manusia biasa. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi aku yakin kau pernah mengalaminya—perasaan tajam, melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat. Itu disebut Eagle Vision. Kemampuan itu adalah warisan dari leluhurmu, para Assassin."
Kavi tertawa kecil, meski nada suaranya terdengar getir. "Ini terlalu aneh, Profesor. Saya hanya seorang arkeolog."
"Tepat seperti yang mereka inginkan untuk kau pikirkan," kata Ardana dingin. "Kau di sini bukan karena kebetulan, Kavi. Semua yang terjadi, setiap langkahmu, semuanya mengarah ke momen ini. Kau berada di tengah permainan yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dan percayalah, mereka akan mendatangimu."
"Mereka... siapa?" tanya Kavi, suaranya hampir pecah.
"Templar," jawab Ardana tegas. "Dan jika mereka tahu siapa dirimu, mereka tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kau harus berhati-hati, Kavi. Karena perang ini belum selesai. Dan, sayangnya, kau adalah bagian darinya."
Kavi mengatur napas, seakan semua kalimat Profesor Ardana membuka pengetahuan baru di otaknya. Dan lebih daripada itu, jelas bahwa semua itu ada hubungannya dengan si pria berjubah yang terus menghantuinya.
Prof Dr. I Gede Ardana memberikan sebuah kartu alamat. "Pikir-kan ini baik-baik. Jika kau ingin tahu lebih banyak, datanglah ke tempat ini."
Sebelum Kavi pergi, Profesor Ardana berkata dengan nada was-pada, "Jangan percaya pada Templar. Mereka ingin menggunakan artefak itu untuk mengendalikan manusia."
Kavi meninggalkan ruangan dengan pikiran yang berat. Sesuatu yang besar tengah mendekatinya, dan ia tak bisa menghindar.
***
Langit senja mulai meredup di luar jendela kamar Kavi. Di ruang kecilnya yang sederhana, ia terduduk di meja, menatap laptop de-ngan alis berkerut. Hasil pencariannya tentang Assassin dan Templar di internet hanya membuahkan artikel-artikel samar yang lebih mirip teori konspirasi dibanding fakta sejarah.
"Perang abadi?" gumamnya, setengah tertawa sinis. "Kalau ini benar-benar terjadi, kenapa tidak ada bukti konkret yang ditulis di buku-buku sejarah?"
Ia bersandar di kursinya, membiarkan matanya terpejam seje-nak. Percakapan dengan Profesor Ardana masih terngiang jelas di be-naknya, tapi ada rasa skeptis yang sulit ia singkirkan. Apakah semua-nya hanya khayalan profesor itu? Atau lebih buruk lagi, skenario yang sengaja dirancang oleh orang-orang yang ambisius seperti yang diceritakan Profesor Ardana?
Mata Kavi beralih ke meja kecil di samping tempat tidurnya. Di sana tergeletak sebuah buku lusuh dengan sampul cokelat yang sudah mulai pudar. Buku kecil itu adalah satu-satunya peninggalan ayahnya, Afkari, yang ia simpan dengan penuh kasih.
Ia mengambil buku itu dengan hati-hati, membuka halamannya yang sudah mulai rapuh. Setiap kata di dalamnya sudah terlalu akrab baginya, hampir seperti mantra yang ada di sana dihafal olehnya di luar kepala. Tapi malam ini, sebuah kebetulan kecil meng-ubah segalanya. Ketika ia membaca ulang, secara tidak sengaja matanya menangkap pola: pesan tersembunyi yang hanya terbaca jika ia melompati setiap tiga kata.
"Assassin… dan... Templar… telah… berperang… selama… ber-abad-abad…" bisiknya, membaca potongan kalimat itu dengan mata melebar.
***
Kavi melangkah masuk ke Café Lumbung Rempah, sebuah tempat kecil dengan desain etnik modern yang terletak tak jauh dari pusat arkeologi Trowulan. Lampu-lampu hangat memantul dari dinding berlapis kayu jati, menciptakan suasana nyaman. Aroma kopi robusta khas Jawa bercampur dengan harumnya rempah seperti kayu manis dan cengkeh memenuhi udara.
Elizabeth sudah menunggu di sebuah sudut, duduk di dekat jendela besar yang menghadap ke kebun kecil. Penampilannya men-curi perhatian siapa saja yang melihat. Rambutnya pirang terang dengan gelombang lembut yang menjuntai di atas bahunya, dipadu dengan gaun putih berpotongan klasik yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Kalung perak sederhana menghiasi lehernya, memberikan sentuhan elegan tanpa kesan berlebihan.
Elizabeth melambai lembut. "Kavi," sapanya dengan senyum yang anggun.
Kavi menghampirinya. "Di mana Keano?" tanyanya, langsung ke inti.
Elizabeth menyesap teh hangat di cangkirnya, yang tampaknya adalah pilihan favoritnya. "Keano harus kembali ke Oxford untuk urusan mendesak. Jadi, hanya aku yang ada di sini."
Kavi menarik kursi dan duduk. "Kalau begitu, apa yang ingin kau bicarakan?"
Elizabeth tersenyum lagi, kali ini dengan nada penuh rahasia. "Kavi, aku ingin tahu. Ketika kau membuka peti di atas altar itu, apa kau sudah tahu ada mekanisme tersembunyi di sana? Atau itu hanya sebuah kebetulan?"
Kavi tidak menjawab, hanya menatapnya dengan ekspresi datar.
Elizabeth mengangkat pergelangan tangannya, memperlihat-kan smartwatch kecil yang tiba-tiba memproyeksikan peta tiga dimensi berwarna biru—mirip seperti holomap 7D dalam versi yang jauh lebih kecil. Gambarnya begitu rinci, memetakan tempat di mana Kavi menemukan peti itu.
"Elizabeth, hentikan," bisik Kavi buru-buru. "Ini tempat umum."
Elizabeth tersenyum tipis, menonaktifkan perangkatnya. "Jang-an khawatir, Kavi. Aku sudah menyewa tempat ini. Semua orang di sini adalah petugas keamananku. Mereka memastikan kita aman—dan informasi ini tetap rahasia."
Kavi melirik ke sekeliling. Ia baru menyadari hampir semua orang di kafe itu membawa senjata yang disembunyikan dengan hati-hati.
Elizabeth melanjutkan, suaranya menjadi lebih serius. "Peti itu memiliki fitur yang tidak biasa. Gemboknya tidak membutuhkan kunci, tetapi membutuhkan DNA. Dan kau berhasil membukanya. Itu hanya bisa berarti satu hal—leluhurmu yang membuatnya."
Kavi tertawa kecil, setengah tidak percaya. "Aku bukan keturun-an bangsawan atau keluarga kerajaan, apalagi dari Majapahit. Teorimu tidak masuk akal."
"Bukan selalu tentang kerajaan," jawab Elizabeth, matanya ta-jam. "Bisa saja itu dibuat oleh para pejuang atau pembuat artefak yang tidak tercatat dalam buku sejarah. Leluhurmu meninggalkan ini untukmu, Kavi. Untuk keturunannya di masa depan."
Kavi terdiam, membiarkan informasi itu meresap.
Elizabeth menyandarkan tubuhnya, menyesap teh favoritnya lagi. "Kavi," katanya perlahan, menatapnya dengan intens. "Apa kau mau melihat masa lalu?"
Kavi membeku. Kata-kata itu menggema di kepalanya. Ia tidak tahu harus menjawab apa, tetapi matanya menunjukkan keterkejut-an yang tidak bisa ia sembunyikan.