Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 11 - Memory

Chapter 11 - Memory

Bali, 30 November 1349.

Langit di atas Kerajaan Bedahulu berpendar merah keemasan, diselimuti awan tipis yang seolah menyaksikan pertempuran yang akan segera pecah. Kavi membuka matanya perlahan, tapi pemandangan itu justru membuatnya tertegun. Tubuhnya terasa aneh, berat, namun penuh energi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia menyentuh dada, merasakan pakaian perang yang keras membalut tubuhnya. Kedua tangannya bukan miliknya, tapi tangan yang lebih besar, penuh bekas luka perang yang bercerita banyak.

"Di mana ini?" gumamnya. Suara yang keluar bukanlah suara Kavi, melainkan suara berat dan dalam milik seseorang yang asing namun terasa akrab.

Dia melirik ke bawah, melihat baju perang dari kulit tebal deng-an hiasan ukiran khas Majapahit. Keris kecil terselip di pinggangnya, pantulan matahari pagi memantulkan sinar dari bilahnya yang tajam. Kavi terdiam. Ini bukan tubuhnya, tapi tubuh Arjuna, leluhurnya.

Sebuah teriakan memecah lamunannya. "Musuh mendekat! Bersiap!"

Kavi menoleh cepat. Di sekelilingnya, prajurit-prajurit Majapahit bersiap dengan senjata masing-masing. Wajah mereka penuh determinasi, namun beberapa tampak ketakutan. Di kejauhan, di balik dinding batu besar Kerajaan Bedahulu, pasukan musuh muncul seperti gelombang air bah. Mereka mengenakan baju zirah besi dengan warna merah dan emas yang mencolok. Para prajurit Beda-hulu terlihat berbeda dengan prajurit Majapahit, pakaian mereka berkilauan di bawah sinar matahari, mencerminkan kebanggaan yang terpatri dalam setiap langkah mereka.

"Arjuna, fokuslah!" teriak seorang prajurit di dekatnya, meng-guncang bahu Kavi.

Kavi menoleh dengan gugup. "Aku… aku…"

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, seorang prajurit Bedahulu melompat ke arahnya dengan tombak terhunus. Gerakan refleks membuat Kavi mengangkat pedangnya, namun canggung. Serangan musuh meleset, tapi tawa keras menggema di medan perang.

"Apa kau benar-benar prajurit Majapahit? Gerakanmu seperti bocah yang baru belajar berjalan!" ejek musuh sambil menyerang lagi.

Kavi mundur beberapa langkah, tangannya gemetar memegang pedang. Kepalanya penuh kebingungan. "Apa yang harus kulaku-kan?" pikirnya. Namun tiba-tiba, tubuhnya bergerak sendiri. Sebuah tendangan keras menghantam dada prajurit Bedahulu, menjatuh-kannya ke tanah dengan suara debuman keras.

Kavi terengah-engah. "Itu… aku yang melakukan itu?" pikirnya, matanya melebar tidak percaya. Namun musuh-musuh lainnya tidak memberinya waktu untuk berpikir. Serangan demi serangan datang, dan tubuhnya mulai bergerak seolah-olah ingatan Arjuna mengambil alih. Pedangnya meluncur dengan presisi, memotong udara, dan mengenai lawan tanpa ragu.

"Hebat!" seru seorang prajurit Majapahit yang melihatnya. "Arjuna telah kembali!"

Pertempuran semakin memanas. Bau darah, besi, dan debu bercampur dalam udara. Teriakan kemenangan dan jeritan kesakitan menggema di antara benteng besar Bedahulu yang kokoh berdiri. Kavi, yang kini lebih menyatu dengan ingatan Arjuna, melompat, berguling, dan menyerang dengan gerakan yang semakin luwes. Prajurit Bedahulu, meski lebih banyak jumlahnya, mulai kehilangan kepercayaan diri melihat keahliannya yang tampak mustahil.

"Pukul mundur mereka!" teriak sebuah suara tegas dari arah belakang.

Kavi menoleh dan melihat seorang pria tinggi besar dengan armor hitam berhias emas di bahunya. Itu adalah Mahesa Wirabhumi, ksatria Bhayangkara yang terkenal dengan keahliannya menggu-nakan senjata unik bernama Gada Runcuk. Senjata itu adalah pemukul besar dengan runcing-runcing tajam di seluruh permukaannya, memancarkan aura ancaman yang mematikan.

Mahesa Wirabhumi mendekati Kavi yang tampak kehilangan keseimbangan setelah ingatan membanjiri otaknya. "Apa yang terjadi padamu?" tanyanya sambil menjulurkan tangan untuk membantu Kavi berdiri.

Kavi mengangkat wajahnya yang basah oleh keringat. "Tidak apa-apa, Senapati," katanya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri lebih daripada pria di depannya.

Mahesa Wirabhumi mengangguk. "Baik, bangkitlah. Kita masih punya banyak musuh untuk dihadapi."

Di tengah pertempuran, mata Kavi menangkap sosok yang langsung ia kenali sebagai Hayam Wuruk, ia berada di atas tangga batu, bertarung sengit melawan Raja Bedahulu, Sri Astasura Ratna Bumi Banten, atau lebih dikenal sebagai Dalem Bedahulu. Seorang pria besar dengan tombak panjang, menyerang dengan kekuatan luar biasa. Hayam Wuruk tampak kewalahan meski bertahan dengan kerisnya yang bergerak lebih cepat dibanding senjata itu.

Dari sudut matanya, Kavi melihat seorang pemanah Bedahulu mengarahkan busur dengan anak panah yang diarahkan langsung ke Hayam Wuruk. Tanpa berpikir panjang, Kavi meraih belati kecil yang diselipkan di tubuh salah satu musuh yang gugur. Dia melemparkan belati itu dengan presisi, menancap tepat di kepala pemanah, men-jatuhkannya seketika.

Hayam Wuruk sempat menoleh ke arah Kavi, tapi tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, dia kembali fokus menghadapi Raja Bedahulu yang semakin agresif. Kavi kemudian berlari, melompat ke tumpukan peti dan tubuh musuh, hingga mencapai pohon besar. Dengan gerakan parkur yang lincah, dia melompat dari satu tempat ke tempat lain sebelum akhirnya menebas punggung Raja Bedahulu.

Raja Bedahulu terpaku, seketika serangan itu membuka celah besar. Hayam Wuruk memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerang dengan kerisnya, dan serangan berturut-turut dari mereka berdua akhirnya menjatuhkan sang raja. Tubuh Raja Bedahulu roboh di atas tangga, darah mengalir di bawahnya.

"Berhenti!" teriak Mahesa Wirabhumi dengan suara lantang yang menggema di medan perang. "Raja Bedahulu telah gugur! Kerajaan ini, sekarang milik Majapahit!"

Di tengah kemenangan itu, seorang pangeran muda bernama I Gusti Ngurah Made, maju dengan pedang terhunus, amarah terpancar dari matanya. Dia menyerbu ke arah Hayam Wuruk, namun Kavi berhasil menghentikannya dengan menusukkan pedangnya ke perutnya.

"Lukamu tidak fatal. Tenanglah, kau tidak akan mati," kata Kavi dengan nada tegas namun menenangkan.

"Menyerahlah!" sambung Hayam Wuruk setelah lebih dekat. Ujung kerisnya yang tajam pengarahan tepat ke pangeran Bedahulu.

Ngurah Made menggeram, menatap tajam. "Lebih baik aku mati daripada menyerah!"

Hayam Wuruk mengayunkan kerisnya tanpa ragu, dengan cepat memenggal kepala Ngurah Made. "Sesuai keinginanmu," katanya dingin.

Hayam Wuruk berdiri di atas mayat musuhnya, mengangkat kerisnya tinggi-tinggi. "Kerajaan Bedahulu kini menjadi wilayah Majapahit!" serunya, disambut sorak kemenangan dari seluruh pasukan.

Mahesa Wirabhumi menghampiri Kavi, menepuk bahunya. "Sejak kapan kau berlatih gerakan kolaborasi seperti itu dengan Sang Yuwaraja [1]? Sangat serasi dan mematikan."

Hayam Wuruk memotong. "Jangan ganggu aku saat bertarung di lain waktu." 

Kavi tersenyum tipis, mencoba meredakan ketegangan. "Dan membiarkan pemanah membunuhmu?" 

Hayam Wuruk meringis kecil, mengakui dengan enggan. "Kali ini aku harus berterima kasih." 

Mahesa Wirabhumi, dengan gada runcuknya yang masih meneteskan darah musuh, melangkah mendekat dan menepuk bahu keduanya. "Sudahlah, kemenangan ini berkat kerja sama kalian berdua. Tak perlu saling menyalahkan." Senyum penuh kebanggaan tersungging di wajahnya. 

Sorakan kemenangan prajurit Majapahit menggetarkan medan perang. Mayat-mayat berserakan di sepanjang lapangan Kerajaan Bedahulu, namun semangat para prajurit tidak goyah. Panji-panji Majapahit berkibar tinggi, menandai kemenangan besar yang baru saja diraih. 

Hayam Wuruk memandang Kavi, atau lebih tepatnya Arjuna, dengan mata penuh arti. "Ini adalah langkah pertama kita menuju kejayaan besar Majapahit. Bedahulu sekarang milik kita!" Dia mengangkat kerisnya tinggi, menggemakan kata-kata kemenangan yang diikuti oleh sorakan bergemuruh dari seluruh pasukan. 

Sorakan membahana memenuhi udara. Para prajurit mengang-kat senjata mereka, bersorak merayakan kemenangan yang pahit namun monumental. Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, me-mandikan medan perang dengan cahaya jingga yang menyilaukan, seolah memberi restu kepada ekspansi besar ini.

Kavi berdiri diam, napasnya masih berat. Dia merasa tubuhnya mulai melemah, kepalanya berdenyut-denyut seiring dengan ingat-an yang terus mengalir masuk tanpa henti. Suara tawa, teriakan, dan kilasan masa lalu Arjuna membanjiri pikirannya. 

"Kau baik-baik saja?" Mahesa Wirabhumi bertanya, menahan tubuh Kavi yang hampir ambruk. 

"Aku… hanya perlu waktu," Kavi berbisik lemah. Namun, dalam hatinya, dia tahu pengalaman ini bukan sekadar fisik. Perjuangan Arjuna, perasaan, dan tanggung jawab besar sebagai pelindung Majapahit kini terasa menjadi miliknya sepenuhnya. 

Mahesa Wirabhumi menepuk bahunya, senyumnya penuh kebanggaan. "Istirahatlah, Arjuna. Hari ini kau membuktikan dirimu sebagai prajurit Majapahit."

Namun, pikiran Kavi masih berkecamuk. Ia menatap Hayam Wuruk yang kini berdiri gagah di atas medan perang, memandang ke kejauhan dengan tatapan penuh tekad. Di balik kemenangan ini, Kavi merasa ada sesuatu yang belum selesai. Seolah-olah ingatan Arjuna membisikkan padanya bahwa perang ini hanyalah awal dari konflik yang jauh lebih besar.

Perlahan sorakan kemenangan memudar, tergantikan oleh ke-heningan yang ganjil. Udara yang tadinya dipenuhi semangat juang berubah berat, seakan diselimuti oleh sesuatu yang tak kasat mata. Hayam Wuruk, yang masih berdiri di atas medan perang, menoleh dengan alis mengernyit. 

"Kenapa tiba-tiba hening?" tanyanya dengan suara rendah, hampir berbisik. 

Mahesa Wirabhumi menegakkan tubuhnya, matanya menyapu medan perang. "Ada sesuatu yang salah," katanya pelan, sambil mencengkeram erat gada runcuknya. 

Kavi, yang masih mencoba menguasai pikirannya, merasa udara di sekitarnya mendingin. Jantungnya berdegup kencang. Ia merasa-kan sesuatu yang tidak alami. Tiba-tiba, bayangan-bayangan muncul dari balik kabut tipis. Pasukan berjubah hitam, jumlahnya seperti tak ada habisnya, muncul satu per satu dari segala arah. Langkah mereka nyaris tak bersuara, namun kehadiran mereka membawa ketegangan yang mencekam. 

"Siapa mereka?" Kavi bergumam, namun tubuhnya yang masih menyatu dengan Arjuna secara naluriah menggenggam pedang erat-erat. 

Hayam Wuruk menghunus kerisnya. "Pasukan siapa pun mereka, mereka adalah musuh!" 

Seorang prajurit Majapahit maju dengan gugup, mencoba menahan mereka. "Berhenti! Atas nama Majapahit, tunduklah!" 

Jawabannya datang dalam bentuk serangan mendadak. Sebuah senjata tajam melesat dari bayangan, menghantam prajurit itu hingga roboh tanpa sempat berteriak. Mayatnya tergeletak di tanah, dengan darah mengalir deras. Para prajurit Majapahit gemetar melihatnya. 

"Bersiap!" Mahesa Wirabhumi menggeram, mengangkat gada runcuknya tinggi. "Jangan biarkan mereka mendekat!" 

Pertempuran pun pecah. Pasukan Majapahit yang tadinya percaya diri mulai kewalahan. Pasukan berjubah hitam itu bergerak seperti bayangan, menyerang dengan kecepatan dan ketepatan yang mematikan. Kavi, meski tubuhnya didominasi oleh kemampuan Arjuna, merasa dirinya kalah langkah. 

Dia menyerang dengan pedangnya, menebas musuh di depannya. Tapi untuk setiap musuh yang jatuh, dua lainnya muncul menggantikannya. Nafas Kavi mulai berat, tubuhnya berkeringat deras. "Siapa mereka ini?" pikirnya, sambil mencoba tetap bertahan. 

Mahesa Wirabhumi bertarung sengit di dekatnya, gada runcuk-nya menghantam musuh satu per satu. Namun bahkan dia mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. "Mereka tidak seperti manu-sia biasa," katanya sambil memukul mundur musuh. 

Kavi menggertakkan gigi. "Aku tidak akan menyerah!" teriaknya. Dengan sekuat tenaga, dia mencoba membangkitkan kembali kekuatan Arjuna dalam dirinya. Tubuhnya mulai bergerak lebih cepat, tebasannya semakin akurat. Dia melawan dengan penuh keberanian, menebas musuh demi musuh. 

Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Kavi menoleh ke arah Hayam Wuruk yang terkepung oleh musuh. Sang Yuwaraja bertarung dengan gagah berani, kerisnya melesat ke segala arah. Namun serangan demi serangan mulai menembus pertahanannya. 

"Yuwaraja!" Kavi berteriak, mencoba mendekat. Namun musuh menghalanginya di setiap langkah. Dia merasa seolah melawan laut yang tak berujung, setiap gerakannya terasa seperti perjuangan tanpa harapan. 

Tiba-tiba, salah satu pasukan berjubah hitam melancarkan serangan yang mematikan. Sebilah pedang menusuk tepat ke dada Hayam Wuruk. Sang Yuwaraja terdiam sejenak, matanya melebar sebelum perlahan jatuh ke tanah. Darah mengalir deras dari lukanya, membasahi tanah di bawahnya. 

"Tidak!" Kavi berteriak histeris. Dia menyerang dengan liar, mencoba mendekati Hayam Wuruk. Namun, tubuhnya terlalu lelah, kekuatannya mulai memudar. 

Saat itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Mesin Renesia yang menghubungkan Kavi dengan masa lalu mulai bergetar hebat. Pandangannya memudar, dan dunia di sekitarnya mulai berputar. 

"Tidak, tidak sekarang! Jangan!" Kavi mencoba melawan, mencoba tetap berada di sana. Tapi sistem Renesia sudah kehilangan kendali. Dia ditarik kembali dengan paksa ke masa kini, meninggal-kan medan perang itu di belakangnya. 

***

Saat Kavi membuka matanya di dunia nyata, nafasnya terengah-engah, keringat membanjiri tubuhnya. Dia menatap orang-orang yang memberikan pandangan kebingungan. 

"Kavi, apa yang terjadi?" tanya Prof. Helena di dekatnya dengan cemas. 

Kavi terdiam, matanya memandang kosong ke depan. Gambaran Hayam Wuruk yang tergeletak di tanah terus terbayang dalam benaknya. Dia mengepalkan tangan. "Aku... gagal," bisiknya dengan suara penuh penyesalan.

____________________

[1] Istilah untuk menunjuk penguasa muda yang dipersiapkan menjadi raja.