Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 16 - Arbiter

Chapter 16 - Arbiter

Hutan pagi itu seperti sebuah misteri yang baru bangkit dari tidurnya. Kabut tebal melayang rendah, menutupi jalan setapak yang melintasi pepohonan tinggi dengan akar yang mencengkeram tanah seperti cakar elang. Embun menetes perlahan dari dedaunan, menciptakan ritme yang harmonis dengan langkah-langkah Arjuna. Udara dingin menusuk kulit, tetapi di matanya terpancar tekad yang lebih tajam dari pedang. 

Pada kedua lengannya terpasang hidden blade, senjata rahasia khas Assassin yang kini telah beradaptasi dengan keindahan dan brutalitas Nusantara. Bilahnya memancarkan kilau keperakan, dihiasi ukiran rumit yang mencerminkan budaya Majapahit. Mekanisme pegasnya, halus dan senyap, memungkinkan pisau itu muncul dan menghilang seolah-olah itu hanya sebuah ilusi. 

Tiba-tiba, suara lembut memecah keheningan. Dari balik kabut, seorang pria muda muncul. Posturnya tegap, dengan sorot mata penuh percaya diri. Pakaiannya, dihiasi corak merah dan emas, memancarkan aura kebangsawanan. 

"Arjuna!" katanya sambil melipat tangan di dada. "Ada apa dengan tanganmu?" 

Arjuna berhenti sejenak, menyentuh hidden blade pada lengannya. "Ini senjata baru." Dia mengangkat lengan kirinya, membiarkan kilauannya menyilaukan mata. "Lebih mematikan dari apa pun yang pernah kubawa sebelumnya."

Sesaat ingatannya kembali ke pertemuannya dengan Gajah Mada.

***

Ruang pelatihan bawah tanah Majapahit dipenuhi keheningan. Di sudutnya, sebuah lentera kecil memancarkan cahaya temaram, membentuk bayangan panjang pada dinding batu. Arjuna duduk di sebuah meja kayu yang sudah lusuh oleh waktu, sementara Patih Gajah Mada berdiri di hadapannya dengan keris terhunus di tangan. 

Di atas meja itu, tergeletak sebuah perangkat logam yang tampak canggih untuk ukuran masa itu. Senjata itu adalah hadiah dari Majapahit untuk misi penting Arjuna. Sebuah bilah tersembunyi yang akan menjadi bagian dari lengannya, senjata yang hanya digunakan oleh para pembunuh dalam bayangan. 

"Ini bukan sekadar senjata, Arjuna," kata Gajah Mada dengan nada rendah namun tegas. "Ini adalah bagian dari takdirmu." 

Arjuna mengangguk. "Apa yang harus saya lakukan, Patih?" 

Gajah Mada menatapnya dalam-dalam, matanya memancarkan wibawa dan keraguan sekaligus. "Untuk menggunakan ini, kau harus mengorbankan sesuatu," katanya sambil meneliti senjata itu. "Jari manismu." 

Kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam dada Arjuna.

"Jadi ini alasannya," bisik Kavi melalui tubuh Arjuna, mengingat percakapan dengan Prof. Ardana. "Hidden Blade tidak akan bekerja tanpa pengorbanan ini." 

Arjuna menarik napas dalam-dalam. Wajahnya tegas, tanpa keraguan sedikit pun. "Jika itu harga yang harus saya bayar, saya siap." 

Gajah Mada tersenyum tipis, mengangguk. "Kau memiliki keberanian seorang ksatria sejati. Baiklah, letakkan tanganmu di meja." 

Dengan tekad yang mantap, Arjuna meletakkan tangan kanannya di atas meja, jari manisnya terentang. Gajah Mada mengangkat kerisnya tinggi-tinggi. Cahaya lentera berkilauan di permukaan bilahnya yang tajam. 

Hening sejenak. 

"Siap?" tanya Gajah Mada dengan suara tenang. 

Arjuna mengangguk tanpa ragu.

Dalam satu gerakan cepat, Gajah Mada menghentakkan keris ke bawah. 

Brak!

Keris itu tertancap dalam di meja kayu. Arjuna terkejut. Ia melihat ke tangannya dengan cepat—dan menyadari bahwa jari manisnya masih utuh. 

"Patih!" serunya, bingung sekaligus lega. 

Gajah Mada tertawa keras, menepuk bahu Arjuna dengan kuat. "Tenanglah, Arjuna! Kau tak perlu kehilangan jari manismu." 

"Apa maksudnya?" tanya Arjuna, nadanya kesal namun penuh rasa ingin tahu. 

Gajah Mada melepaskan senjata itu dari meja dan memutar-mutar kerisnya seolah sedang bermain. "Mekanisme senjata ini telah ditingkatkan. Kau bisa menggunakannya tanpa harus kehilangan jari. Lagipula..." ia menatap Arjuna dengan tatapan serius yang tiba-tiba muncul di balik tawanya, "kehilangan jari manis hanya akan membuatmu lebih mudah dikenali oleh musuh. Templar akan langsung tahu siapa kau sebenarnya." 

Arjuna terdiam, menyerap kata-kata Gajah Mada. Ia merasakan desiran aneh di dalam dirinya, seperti peringatan yang samar namun jelas. 

"Apa kau serius, Patih?" gumam Arjuna sambil memeriksa senjata itu. 

"Tentu saja." Gajah Mada tersenyum tipis, memberikan perangkat itu pada Arjuna. "Kau mungkin seorang Assassin, tetapi kau bukan budak tradisi. Majapahit adalah tanah para inovator. Kita tidak hanya mengikuti aturan, kita menciptakan jalan baru." 

Arjuna mengamati perangkat itu, lalu mengenakannya pada lengannya. Senjata itu terasa pas, seolah memang dirancang untuknya. Ketika ia mencoba menggerakkan jemarinya, muncul suara klik halus bersamaan bilah logam dari dalamnya. 

"Kau siap sekarang?" tanya Gajah Mada. 

Arjuna mengangguk mantap.

Gajah Mada tersenyum, puas melihat semangat Arjuna. "Bagus. Tapi ingat, Arjuna, senjata ini hanyalah alat. Yang menentukan hasilnya adalah hati dan tekadmu. Jangan pernah lupa siapa kau sebenarnya." 

Arjuna mengepalkan tangan, merasa lebih kuat dari sebelumnya. Ia tahu bahwa jalan di depan akan penuh bahaya, tetapi ia juga tahu bahwa ia telah memiliki apa yang ia butuhkan untuk menghadapi semuanya—keberanian, kecerdasan, dan sekarang, bilah tersembunyi yang akan menjadi simbol perjuangannya. 

***

Kembali ke masa kini...

Hayam Wuruk mengangkat alis, senyum tipis menghiasi wajahnya. Dia menepuk benda bulat besar yang tergantung di pinggangnya. "Mematikan, katamu? Kau terlalu cepat menilai. Lihat ini." 

Dia mengambil sebuah senjata besar berbentuk cakram yang dihiasi duri-duri tajam di sekelilingnya. Permukaannya berkilau seperti logam yang ditempa oleh tangan dewa, memancarkan aura yang membuat bulu kuduk meremang. "Ini bukan sekadar bola bergerigi, Arjuna. Ini adalah Cakra Ardana. Tidak ada tempat yang terlalu jauh bagi senjata ini untuk kembali padaku." 

Sebelum Arjuna bisa membalas, Hayam Wuruk melempar cakra itu ke udara. Senjata itu melesat seperti kilatan petir, meluncur dengan kecepatan yang nyaris tak terlihat. Bunyi gemeretak terdengar saat cakra itu menebas beberapa pohon besar sekaligus, meninggalkan jejak kehancuran. Dalam sekejap, cakra itu kembali ke tangan Hayam Wuruk, seolah-olah mematuhi panggilan tuannya. 

"Sejak kapan kau menguasainya?" tanya Arjuna, nadanya tenang, meskipun jelas dia terkesan. 

"Lebih lama daripada kau menguasai pelindung lengan itu," jawab Hayam Wuruk dengan senyum penuh kemenangan. 

Arjuna mendekat, tatapannya berubah serius. "Senjata itu memang mematikan. Tapi bukan karena daya hancurnya. Ketidakjelasan cara kerjanya itulah yang membuat musuh gemetar. Kau sendiri pernah berkata padaku, kemenangan dimulai dari rasa takut." 

Hayam Wuruk terkekeh kecil, tetapi ada rasa hormat dalam suaranya. "Kau selalu punya cara untuk membalikkan keadaan, Arjuna. Tapi apakah itu cukup untuk mengalahkanku?" 

Arjuna hanya tersenyum, mengangkat tangannya. Dengan gerakan ringan, hidden blade-nya meluncur keluar. Bunyi klik yang tajam bergema, pisau itu memantulkan cahaya pagi yang mulai muncul. "Tidak perlu. Senjata ini bukan tentang siapa yang kuat, tetapi tentang apa yang bisa dilakukan untuk mengubah permainan." 

Hayam Wuruk memandang pisau itu dengan penuh perhatian. "Itu... luar biasa. Tapi jangan lupa, setiap senjata punya kelemahan." 

Arjuna menatapnya, lalu menghela napas. "Dan setiap kelemahan punya cara untuk ditutupi. Tapi sekarang, sudahi ini semua. Sang Ratu menunggu." 

Hayam Wuruk tertawa kecil, mengembalikan cakranya ke tempatnya. "Baiklah. Ayo kita tunjukkan bahwa dua ksatria terbaik Majapahit telah tiba." 

"Jangan samakan aku denganmu, Hayam Wuruk. Kau selalu berada jauh di atasku," ucap Arjuna dengan nada tenang, langkahnya mulai meninggalkan tempat itu. 

"Jangan mengujiku, Arjuna! Aku tak akan mengakui kekalahanku lagi seperti kemarin," balas Hayam Wuruk, suaranya menyiratkan tekad yang menggelora.

Arjuna meringis kecil dan tetap melanjutkan langkahnya.

Keduanya berjalan bersama, membelah kabut pagi, menuju pertemuan yang akan menentukan masa depan kerajaan.

***

Kabut tipis menyelimuti hamparan hijau di kaki istana Majapahit. Udara pagi membawa aroma dedaunan basah dan suara burung yang baru bangun dari tidurnya. Cahaya matahari perlahan mengintip dari balik cakrawala, menembus celah pepohonan raksasa yang melindungi ibu kota dari pandangan musuh. Di tengah keheningan ini, dua sosok melangkah dengan mantap. Hayam Wuruk dan Arjuna, mengenakan perlengkapan tempur baru yang berkilauan, menapaki pelataran istana dengan langkah penuh wibawa. 

Balairung utama, dengan pilar-pilar raksasa yang diukir penuh cerita Ramayana, menyambut mereka. Di dalamnya, suasana begitu khidmat. Banyak orang penting berkumpul di sana—para pejabat tinggi, panglima, dan penasihat kerajaan—semua hadir dengan wajah serius. Kehadiran mereka adalah pertanda bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa. 

Di singgasana yang tinggi, Ratu Tribhuwana Tunggadewi duduk dengan anggun. Sorot matanya memancarkan ketegasan dan kelembutan sekaligus. Selendang emas yang melingkari bahunya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang menyelinap masuk dari jendela tinggi. 

Ketika Hayam Wuruk dan Arjuna membungkuk hormat, senyum kecil muncul di wajah sang ratu. "Kalian telah bersiap," ucapnya, suaranya lembut namun penuh kekuatan. "Kekuatan dan kesetiaan kalian adalah kehormatan bagi Majapahit." 

"Semua ini demi Gusti Ratu dan tanah air," jawab Hayam Wuruk, menegakkan tubuhnya dengan penuh hormat. 

Namun, raut wajah Ratu Tribhuwana berubah. Senyum tadi memudar, digantikan oleh kesedihan yang mendalam. Udara di ruangan itu mendadak terasa lebih berat, seolah setiap jiwa di dalamnya tahu bahwa kabar buruk akan segera disampaikan. 

"Aku harus memberi tahu kalian sesuatu yang berat," kata Ratu Tribhuwana, menahan napas sejenak. "Senopati Mahesa… gugur." 

Arjuna terdiam, tubuhnya membeku. Hayam Wuruk memejamkan mata, bibirnya bergetar tipis, namun ia segera menenangkan dirinya. "Pengorbanan Senopati adalah bukti keberanian sejati," katanya lirih. "Ia menahan musuh yang tak terhitung jumlahnya di Bedahulu hingga detik terakhir. Kami akan melanjutkan perjuangannya, tanpa membiarkan kesedihan ini melemahkan kami." 

Ratu Tribhuwana mengangguk, matanya menatap dalam ke arah Hayam Wuruk. "Benar, tapi kalian harus tahu… Mahesa tidak gugur di Bedahulu." 

Kata-kata itu menggantung di udara, menghantam Arjuna dan Hayam Wuruk seperti gelombang besar yang tak terduga. 

"Ampun Gusti Ratu, sebenarnya apa yang terjadi dengan Senopati?" tanya Arjuna, suaranya bergetar karena keterkejutan. 

Sebelum Ratu Tribhuwana menjawab, langkah berat terdengar dari luar balairung. Patih Gajah Mada, dengan wajah penuh wibawa dan tangan menggenggam gulungan kulit, masuk dan menunduk hormat. "Izinkan saya menjelaskan, Gusti Ratu," katanya. 

Ratu Tribhuwana memberi isyarat, dan Gajah Mada melanjutkan. "Ketika pasukan bantuan tiba di Bedahulu, musuh berjubah hitam mundur. Namun, kondisi pasukan kita tidak baik. Kami memutuskan kembali ke Majapahit untuk menyusun kekuatan." 

Suasana menjadi semakin hening. Semua mata tertuju pada Gajah Mada, yang melanjutkan dengan suara berat. "Namun, di tengah perjalanan, saat pasukan mencapai hutan Watu Lumut, dekat gerbang barat, mereka disergap. Pasukan berjubah hitam itu muncul kembali. Di situlah Senopati Mahesa gugur, mempertahankan pasukannya hingga napas terakhir." 

Ratu Tribhuwana menarik napas panjang, menahan emosinya. "Dia meninggalkan pesan terakhir," kata Gajah Mada, sambil menyerahkan sebuah simbol aneh yang terukir di sana. "Mereka mengincar keruntuhan Majapahit. Namun, Mahesa belum sempat memastikan dari kerajaan mana mereka berasal. Hanya simbol ini yang ia tinggalkan." 

Arjuna mengamati simbol itu dengan saksama. Jantungnya berdegup kencang. Di dalam dirinya, Kavi bersuara lirih, "Simbol itu… salib Templar. Itu benar-benar mereka." 

Arjuna mengepalkan tangan, berusaha menahan diri untuk tidak bertanya terlalu banyak. Ia tahu, rahasia ini lebih besar dari apa yang terlihat. 

Tak lama, Ki Paranggana memasuki ruangan. Pria 47 tahun dengan tubuh pendek dan kekar, wajahnya penuh bekas luka, tanda masa lalu sebagai mata-mata ulung. "Gusti Ratu, saya pernah melihat simbol ini," katanya dengan suara rendah. "Seseorang yang memakainya sering terlihat bersama pasukan dari Dinasti Yuan." 

"Jika itu benar, kita harus menyelidikinya segera!" kata Hayam Wuruk, matanya penuh tekad. "Gusti Ratu, izinkan saya untuk melakukan penyelidikan." 

"Tidak!" Ratu Tribhuwana menimpali tegas. "Dinasti Yuan memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Itu terlalu berbahaya." 

Gajah Mada maju selangkah. "Izinkan pasukan Bhayangkara untuk menyelesaikan tugas ini, Gusti Ratu," usulnya. 

Suara tua Mpu Ngapati memotong. "Tidak. Bhayangkara terlalu lelah karena perang terakhir. Gugurnya Mahesa adalah bukti. Kita harus mengirimkan ksatria pilihan yang mempunyai kemampuan setingkat bhayangkara atau lebih baik, seperti Dyah Kertawardhana yang baru saja menyelesaikan pelatihan khusus. Mengirimnya untuk menyelesaikan misi ini adalah pilihan paling tepat," ungkap pria 74 tahun itu yang telah bertumpu dengan bantuan tongkat dengan ukiran naga khas Majapahit.

Pria yang disebutkan namanya tersenyum kecil lalu berkata, "Saya siap menjalankan misi ini, Gusti Ratu."

Namun, Gajah Mada membalas cepat. "Tidak! Keluarga Kerajaan tidak boleh mengambil risiko sebesar ini. Kita butuh seseorang yang setia dan tanggung dari luar."

"Siapa yang Anda maksud, Patih?" tanya Mpu Ngapati.

Gajah Mada menoleh, tatapannya tajam mengarah ke Arjuna. "Dia. Arjuna mempunyai kemampuan sehebat ksatria bhayangkara, insting yang dia punya menyelamatkan Hayam Wuruk dan pasukan dari kehancuran. Dia adalah pilihan terbaik."

Dyah Kertawardhana menyela, "Pilihan terbaik? Karena dia, Majapahit kehilangan Senopati Mahesa dan banyak ksatria bhayangkara!"

Hayam Wuruk segera membalas, "Bukan salahnya. Justru Arjuna yang memaksa kami mundur tepat waktu. Tanpa dia, tidak seorang pun dari kami akan kembali ke Majapahit."

"Kita tidak bisa memberikan tugas ini kepada orang luar yang tidak jelas asal-usulnya seperti dia!" tegas Mpu Ngapati.

Suasana memanas, hingga Gajah Mada berkata dengan nada rendah namun mengintimidasi, "Apakah kau menganggapku orang luar, Ngapati?"

"Cukup!" suara Ratu Tribuuwana menggema, menghentikan perselisihan. Ia menatap Arjuna. "Arjuna, apakah kau siap mengambil tugas ini?"

Arjuna menatap langsung ke arah Ratu Tribuuwana. Suaranya tegas, tak goyah. "Sejak awal, hidupku adalah milik Majapahit, Gusti Ratu. Selamanya."

Ratu Tribuuwana tersenyum puas. "Kalau begitu, Arjuna, kau pergilah ke Dinasti Yuan." 

Arjuna membungkuk hormat. "Saya siap, Gusti Ratu." 

"Namun, kau tidak akan sendiri," lanjut Ratu Tribhuwana. "Ki Paranggana akan menemanimu. Ia ahli intelegensi yang sudah beberapa kali melakukan pengintaian, kehadirannya akan sangat penting dalam misi ini. Selain itu, Arya Dwipangga juga akan bergabung. Tiga ksatria pilihan Majapahit akan cukup." 

Arya Dwipangga, seorang pria berusia tiga puluhan, melangkah maju. Tubuhnya tinggi dan tegap, dengan sorot mata tajam yang mencerminkan pengalaman dan kecerdasan. Ia mengenakan baju zirah kulit yang dihiasi anyaman emas di bahu, serta sebuah keris panjang di pinggangnya. Rambutnya yang sebahu diikat rapi ke belakang, memberi kesan disiplin yang tegas. "Hamba siap menjalankan tugas ini, Gusti Ratu," katanya, suaranya rendah dan mantap. 

"Berangkatlah segera. Ingat, tidak ada bala bantuan. Kalian bertiga harus menyelesaikan ini secara diam-diam!" perintah Tribhuwana tegas. 

Arjuna mengangguk, sementara Ki Paranggana dan Arya Dwipangga saling bertukar pandang penuh pengertian. 

Selanjutnya, Ratu Tribhuwana memandang ke arah Hayam Wuruk. "Sementara kau, Hayam Wuruk, selesaikanlah apa yang belum selesai. Pergilah lagi ke Bedahulu, dan selidiki lebih jauh pasukan berjubah hitam itu. Kembalikan kerajaan yang telah kita taklukkan." 

Hayam Wuruk menunduk. "Hamba akan membawa hasil terbaik untuk Majapahit." 

"Pergilah bersama Ki Tumenggung Kertanegara dan Raden Jayakusuma," lanjut Ratu Tribhuwana. 

Kertanegara, seorang panglima yang bertubuh kekar dengan bekas luka di wajahnya, mengenakan pakaian tempur berbahan logam yang dipadukan dengan serat alam. Ia berkata dengan nada tegas, "Hamba tidak akan membiarkan Bedahulu jatuh ke tangan musuh lagi." 

Sementara itu, Jayakusuma, seorang pemuda gagah dengan pakaian yang lebih ringan dan keris berhias permata, menimpali, "Hamba akan memastikan pasukan kita bergerak seperti satu kesatuan, Gusti Ratu." 

"Pasukanmu akan di bawah komando mereka, tetapi ingat, Hayam Wuruk, kau yang memegang kendali utama," tegas Ratu Tribhuwana. 

Akhirnya, Ratu Tribhuwana menoleh pada Dyah Kertawardhana. "Kau periksalah lokasi gugurnya Senopati Mahesa, dan cari tahu tempat persembunyian musuh!" 

"Dengan senang hati, Gusti Ratu," jawab Dyah Kertawardhana dengan nada penuh semangat. Namun ketidakpuasan tampak jelas pada wajahnya.

"Kau akan ditemani oleh Ki Arya Mahendra dan Ki Arya Widura," tambah Ratu Tribhuwana. 

Mahendra, seorang pria tua dengan rambut memutih namun postur yang masih tegap, tersenyum tipis. "Hamba telah lama menunggu kesempatan ini." 

Widura, yang sedikit lebih muda dari Mahendra, mengenakan zirah sederhana yang dipadukan dengan mantel biru tua, menimpali, "Kami akan memastikan tidak ada penyergapan lagi." 

Ratu Tribhuwana menatap mereka semua dengan penuh kebanggaan. "Majapahit bergantung pada kalian semua. Sekarang, bergeraklah!" 

Dengan itu, langkah mereka meninggalkan balairung menjadi permulaan perjalanan besar yang akan membawa mereka ke medan pertempuran baru, rahasia terpendam, dan sejarah yang akan tercatat selamanya.