Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 14 - Legacy

Chapter 14 - Legacy

Majapahit, 7 Desember 1340.

Langit sore Majapahit berwarna keemasan, seolah menyambut rombongan yang kembali dari perbatasan. Gerbang besar kota berdiri megah, dihiasi ukiran rumit berbentuk naga dan bunga teratai. Para penjaga berbaris rapi di sisi kiri dan kanan, tombak mereka bersinar di bawah cahaya matahari. Rakyat berkumpul di pinggiran jalan, bersorak saat Hayam Wuruk, Arjuna, dan pasukan memasuki gerbang utama. Di kejauhan, Istana Majapahit menjulang, atapnya berlapis sirap emas, memantulkan sinar yang hampir menyilaukan mata.

Di depan gerbang, seorang pria menunggu dengan senyum tipis. Dyah Kertawardhana, pria 24 tahun dengan postur tinggi dan gagah, mengenakan kain batik bermotif naga berwarna biru dan emas. Rambut hitam panjangnya diikat rapi ke belakang, memperlihatkan wajah yang tampan tetapi penuh intrik. Matanya tajam, seolah mampu menilai setiap gerakan kecil. Di pinggangnya, tergantung keris berhias permata merah.

"Selamat datang, Yuwaraja," katanya dengan nada santai, meskipun setiap kata memiliki ujung tajam. "Aku lihat perjalanan ini tidak membawa hasil lebih baik dari sekadar lari dari musuh. Atau mungkin aku salah menilai?"

Hayam Wuruk menatapnya dingin, alisnya sedikit terangkat. "Aku sedang tidak ada urusan denganmu, Rakai ." Ucapannya singkat, tetapi suaranya tegas, menunjukkan bahwa ia tak berminat melayani ejekan. Ia pun melangkah melewati Kertawardhana tanpa memedulikannya lebih jauh.

Namun, Kertawardhana tidak menyerah. Ia melangkah ke sisi rombongan, menjaga jaraknya, tetapi suaranya tetap terdengar. "Ah, Hayam Wuruk yang angkuh. Rupanya kau masih pandai berpura-pura tidak terganggu. Atau apakah pedang di pinggangmu sudah terlalu berat untuk dihunuskan?"

Arjuna yang berada di belakang Hayam Wuruk sempat menoleh, matanya memperingatkan. Tetapi Hayam Wuruk hanya menarik napas panjang, wajahnya tetap tenang. Kali ini, ia memilih untuk mengabaikan ejekan itu, berjalan lurus menuju istana. Meski begitu, ada sesuatu di matanya—kebencian yang ditekan dalam-dalam, menunggu saat yang tepat untuk dilepaskan.

***

Udara di sekitar pelataran rumah Gajah Mada terasa berbeda. Bangunan sederhana itu dikelilingi taman hijau yang rapi, dihiasi pohon beringin besar yang melindungi tempat itu dari terik matahari. Di tengah taman, sebuah pendopo berdiri kokoh, dindingnya terbuat dari kayu jati yang dipahat indah dengan motif-motif kisah pewayangan. Meja batu berbentuk bundar diletakkan di tengah, ditemani kursi-kursi berlapis kain songket.

Di sana, Gajah Mada, seorang pria berusia 60 tahun, duduk dengan postur tegak meskipun rambutnya telah memutih. Tubuhnya masih kekar, dengan otot-otot yang jelas tampak di bawah pakaian patih berwarna merah dan hitam. Matanya tajam seperti elang yang telah melihat berbagai medan perang, bibirnya membentuk garis tegas penuh wibawa. Di pinggangnya tergantung sebilah keris dengan hulu berbentuk kepala garuda, simbol loyalitas dan keberanian.

"Salam, Patih," Hayam Wuruk dan Arjuna menyapa dengan hormat, membungkukkan tubuh mereka.

"Berdirilah," ucap Gajah Mada, suaranya rendah namun membawa kekuatan. "Aku tahu tujuan kalian."

Hayam Wuruk berdiri tegak, menatap Gajah Mada dengan kerutan halus di dahinya. "Apa maksudmu, Patih?"

Gajah Mada hanya tersenyum tipis, penuh keyakinan. "Bala bantuan Bhayangkara telah tiba di Bedahulu melalui jalur laut. Perintahmu telah dilaksanakan."

Hayam Wuruk tertegun, alisnya berkerut. "Perintah? Aku tidak pernah—"

Gajah Mada memotong dengan suara dalam dan penuh wibawa. "Elang Arjuna tiba enam hari sebelum kalian. Pesannya sudah cukup bagiku untuk bertindak."

Tatapan Hayam Wuruk berubah, dari kebingungan menjadi pemahaman. Ia mengangguk perlahan, meskipun jelas ada sedikit kekhawatiran dalam matanya.

"Pergilah. Temui Sang Ratu dan sampaikan apa yang perlu disampaikan," ujar Gajah Mada, tegas namun tetap tenang.

"Baik, Patih," jawab Hayam Wuruk singkat, sebelum melangkah pergi dengan sikap penuh kehormatan.

Ia beranjak pergi lebih dulu, meninggalkan pelataran menuju istana untuk menemui Sang Ratu. Sementara Arjuna, yang hendak menyusul, mendapati dirinya dihentikan oleh tatapan tajam Gajah Mada.

"Arjuna," suara Patih itu memecah udara, dalam dan penuh tekanan yang membuat jantung Arjuna seakan berhenti sejenak.

Arjuna membeku di tempatnya, tubuhnya menegang saat Gajah Mada melangkah mendekat. Dengan sebuah tepukan berat di pundaknya, pria tua itu menatapnya tajam—seperti elang yang takkan melepaskan mangsanya.

"Temui aku di ruang latihan bawah tanah malam ini," kata Gajah Mada dengan suara rendah, nyaris berbisik, namun setiap kata terasa seperti perintah yang tak mungkin ditolak.

Arjuna hanya bisa mengangguk pelan, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ketika Gajah Mada berbalik dan meninggalkannya, Arjuna merasakan udara di sekitarnya kembali mengalir. Tetapi firasat gelap menghantui benaknya.

"Bagaimana aku bisa selamat dari situasi ini?" pikirnya, menelan ludah dengan susah payah.

***

Langit senja mulai memudar ketika Hayam Wuruk dan Arjuna berjalan melewati lorong istana yang dihiasi ukiran emas dan relief kisah Ramayana. Gemerincing langkah mereka berpadu dengan suara lembut gamelan yang dimainkan di kejauhan, menciptakan suasana magis yang menyelimuti hati mereka.

Sesampainya di depan aula utama, dua penjaga membukakan pintu besar dengan hiasan burung garuda. Di dalam, Sang Ratu Majapahit duduk di singgasananya, wajahnya bercahaya di bawah sinar lampu minyak yang menerangi ruangan. Pakaian kebesaran yang dikenakannya bersulam benang emas, dan mahkota kecil menghiasi rambut hitamnya yang diikat rapi. Tatapan matanya tajam namun penuh kelembutan, memancarkan wibawa seorang pemimpin besar.

"Salam hormat kami, Gusti Ratu," ujar Hayam Wuruk dan Arjuna serempak, membungkukkan tubuh mereka dengan penuh takzim.

Sang Ratu mengangguk pelan, memberi isyarat agar mereka berdiri. "Bangkitlah. Laporkan apa yang terjadi di Bedahulu."

Hayam Wuruk melangkah maju. "Ekspansi kami ke kerajaan Bedahulu berakhir dengan kemenangan, Gusti. Awalnya sulit, bahkan bagi saya sekalipun, untuk menghadapi Sang Raja. Ia adalah seorang pemimpin yang tangguh. Namun, berkat Arjuna, banyak kesulitan yang berhasil kami atasi."

Sang Ratu mengangkat alisnya, tertarik. "Apa yang telah dilakukan Arjuna?"

Hayam Wuruk menghela napas, menunduk sedikit sebelum menjawab. "Ketika seorang pemanah mengincar nyawa saya, Arjuna menyadarinya lebih dahulu dan bertindak cepat, menyelamatkan saya ketika saya terlalu fokus pada pertarungan. Lebih dari itu, ia jugalah yang memperingatkan kami akan datangnya pasukan berjubah hitam yang tak terhitung jumlahnya. Tanpa peringatannya, seluruh pasukan akan tumbang di medan perang."

Sang Ratu terdiam sejenak, tatapannya berpindah ke Arjuna yang berdiri dengan sikap tenang di belakang Hayam Wuruk. "Dan bagaimana Senapati Mahesa serta pasukan Bhayangkara dapat tertahan?" tanyanya.

Hayam Wuruk menundukkan kepalanya lebih dalam. "Itu adalah kesalahan saya, Gusti. Saya mengabaikan peringatan Arjuna. Namun, ia segera mengirim pesan darurat menggunakan elangnya kepada Patih Gajah Mada, meminta bala bantuan. Tanpa tindakannya, kita mungkin tidak akan kembali hari ini."

Arjuna tampak terkejut mendengar pengakuan Hayam Wuruk. Sebelum sempat mengatakan sesuatu, Sang Ratu memandangnya dengan tatapan penuh harap. "Katakan sesuatu, Arjuna. Apa yang dikatakan Hayam Wuruk, itu benar?"

Arjuna menarik napas dalam, menimbang kata-katanya. "Apa yang saya lakukan hanyalah sesuai dengan rencana yang disusun oleh Yuwaraja sebelum perang dimulai, Gusti. Keterlambatan dalam mengambil keputusan adalah hal yang wajar dalam perang, terutama ketika jumlah pasukan lawan jauh lebih banyak, wajar jika nyali Yuwaraja sedikit goyah. Namun sekali lagi, berkat keputusannya, kamu berhasil kembali dengan selamat hari ini."

Hayam Wuruk mendongak, wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. "Arjuna, jangan terlalu merendahkan dirimu. Kecerdasan dan keberanianmu telah menyelamatkan kami semua. Jika ada yang harus dihukum karena kesalahan, itu adalah aku. Gusti, saya meminta Gusti Ratu memberikan hukuman yang setimpal pada saya, sementara memberikan penghormatan kepada Arjuna atas jasanya."

Sang Ratu mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan itu. "Cukup. Kalian berdua telah melakukan tugas dengan baik. Hayam Wuruk, jangan terlalu keras pada dirimu. Dan Arjuna, kemampuan dan kerendahan hatimu adalah bukti bahwa kau pantas menjadi ksatria Majapahit."

Keduanya hanya bisa membungkukkan kepala dalam-dalam, menerima keputusan tersebut.

"Beristirahatlah kalian berdua," lanjut Sang Ratu. "Serahkan sisanya padaku. Ada misi penting yang harus kalian lakukan besok."

Ketika Hayam Wuruk dan Arjuna keluar dari aula, langit telah berubah gelap. Obor-obor yang berjajar di sepanjang lorong menerangi jalan mereka, tetapi suasana hati mereka berbeda. Hayam Wuruk tampak merenung, sementara Arjuna berjalan di sampingnya dengan langkah penuh pertanyaan.

"Apakah ini saja cukup?" begitulah sekiranya yang keluar di batinnya.

"Arjuna," ujar Hayam Wuruk akhirnya, memecah keheningan. "Terima kasih. Bukan hanya atas apa yang kau lakukan di Bedahulu, tetapi juga atas caramu menghadap Gusti Ratu hari ini."

Arjuna hanya tersenyum tipis, menjawab dengan nada tenang, "Kita semua memiliki peran masing-masing, Yuwaraja. Dan tugas kita adalah memastikan Majapahit tetap berdiri tegak."

"Apa kau lupa untuk memanggilku seperti biasa saat tidak ada orang lain, Arjuna?"

Arjuna tertegun sejenak, lalu senyumnya mengembang. Tanpa ragu, ia merangkul sahabat masa kecilnya itu dengan hangat.

"Jangan pergi terlalu jauh, sebelum aku menyusulmu," ungkap Hayam Wuruk kemudian.

Arjuna terkekeh lalu meledek, "Aku tidak suka menunggu orang yang tidak kompeten."

Bersama-sama, mereka melangkah memasuki malam yang penuh ketidakpastian, tetapi dalam hati mereka tersemat harapan yang tak tergoyahkan untuk masa depan Majapahit.

***

Malam telah menyelimuti Majapahit, dan Arjuna belum juga menemukan kedamaian untuk beristirahat. Pesan dari Gajah Mada tadi siang masih terngiang di telinganya: "Temui aku di ruang latihan bawah tanah malam ini." Kalimat itu lebih seperti perintah yang tidak dapat ditawar. Mengabaikan panggilan tersebut bukanlah pilihan. Sebuah bayangan suram tentang kepalanya yang terpajang di Balai Kota membuatnya menelan ludah dengan susah payah. Dengan langkah cepat, ia menyelinap melalui lorong-lorong gelap istana.

Lorong menuju ruang bawah tanah terasa mencekam. Dinding-dinding batu yang dingin dan lembap memantulkan suara langkahnya. Obor-obor yang tergantung di sepanjang jalan memberikan penerangan minim, membentuk bayangan panjang yang menari-nari seperti sosok makhluk gaib. Pintu kayu berat berdiri di ujung lorong, dihiasi ukiran burung garuda yang hampir pudar oleh usia. Arjuna mendorong pintu itu dengan hati-hati, dan deritannya memenuhi udara.

Di dalam, ruang latihan bawah tanah menanti dengan keheningan yang mencekam. Lantai batu yang dingin dihiasi lingkaran putih besar di tengahnya, tanda bahwa tempat itu digunakan untuk duel. Berbagai senjata, dari tombak hingga pedang, berjajar rapi di rak-rak kayu pada dinding. Udara di sana berat, bercampur dengan aroma logam dan minyak yang melekat pada senjata-senjata itu. Gajah Mada sudah menunggu, mengenakan seragam latihan berwarna merah gelap yang tampak usang tetapi masih memancarkan kewibawaan.

"Kukira kau akan datang lebih malam," ujar Gajah Mada, suaranya rendah namun tegas. Ia melipat tangan di dada, menatap tajam ke arah Arjuna. "Apa kau sempat makan sebelum ke sini?"

Arjuna membungkuk hormat, lalu menjawab dengan nada datar, "Makan hanya sekadar makan, Patih. Perintahmu jauh lebih penting."

Gajah Mada tertawa puas, suara tawanya menggema di ruangan. "Kau memang berbeda, Arjuna. Lebih cepat belajar daripada Hayam Wuruk, meskipun dia menerima latihan lebih intens dariku."

Arjuna tidak menanggapi pujian itu. "Kapan ini dimulai?" tanyanya, langsung pada inti.

Gajah Mada menyeringai lebar, lalu tanpa peringatan melancarkan serangan kejutan. Kakinya bergerak dengan kecepatan yang sulit dipercaya untuk seseorang seusianya. Arjuna terkejut, tetapi refleksnya bekerja dengan baik. Ia meraih pedang latihan yang tergeletak di lantai dan menangkis serangan pertama.

Dentang pedang menggema di ruangan. Kekuatan pukulan Gajah Mada membuat Arjuna terpental beberapa langkah ke belakang. "Mana yang katanya ksatria Majapahit kalau gerakannya sekacau itu?" ejek Gajah Mada, melancarkan serangan berikutnya.

Di dalam tubuh Arjuna, Kavi merasa kesal. Ia tahu tubuh Arjuna kelelahan setelah perang dan perjalanan panjang, tetapi ia menolak menjadikan itu sebagai alasan. "Fokus," gumamnya dalam hati, mengambil kendali penuh.

Pertarungan berlanjut dengan intensitas tinggi. Gajah Mada menyerang dengan kombinasi serangan atas dan bawah, memaksa Arjuna bertahan dengan susah payah. Namun, perlahan gerakan Arjuna membaik. Ia mulai membaca pola serangan Gajah Mada, memanfaatkan celah-celah kecil untuk menyerang balik. Pedang mereka saling beradu, menciptakan percikan api kecil di udara.

"Kapan latihan ini dianggap selesai?" tanya Kavi melalui tubuh Arjuna, suaranya terengah-engah.

Gajah Mada menghentikan langkahnya sejenak, tersenyum tajam. "Ketika kau berhasil membuat darah mengalir dari wajahku," jawabnya dengan nada penuh tantangan.

Mendengar itu, Kavi terkejut. Ia segera melanjutkan serangannya, meningkatkan intensitas setiap pukulan. Tetapi Gajah Mada terlalu tangguh. Setiap serangan Arjuna berhasil ditangkis, hingga akhirnya pedangnya terlepas dari genggaman.

Gajah Mada menatap pedang yang jatuh ke lantai dan menggeleng. "Pertarungan selesai," ujarnya, melangkah mundur. Namun, saat ia lengah, Arjuna bergerak cepat. Dari balik lengannya, ia mengeluarkan pisau kecil dan membuat sayatan pada pipi Gajah Mada.

Darah mengalir tipis dari luka itu. Gajah Mada tertegun, lalu tertawa keras. Namun tawanya segera diikuti dengan pukulan keras ke perut Arjuna, membuatnya terjungkal ke lantai.

"Bukankah ini sudah berakhir?" tanya Arjuna, memegangi perutnya yang nyeri.

"Itu bagian dari rasa kesalku," jawab Gajah Mada sambil menyeka darah di wajahnya. Ia kemudian membantu Arjuna berdiri. "Salam hormatmu diterima. Sekarang, ikuti aku."

Gajah Mada berjalan menuju dinding di ujung ruangan, tangannya menyentuh relief kecil berbentuk garuda. Dengan tekanan yang tepat, dinding itu bergeser, memperlihatkan sebuah pintu rahasia. Tanpa berkata apa-apa, Gajah Mada melangkah masuk, diikuti oleh Arjuna yang masih mencoba mengatur napasnya. Di balik pintu itu, misteri baru menunggu.

Di ruangan tersembunyi itu, mereka menemukan sebuah meja besar dengan kotak kayu yang dipahat dengan simbol-simbol kuno. Gajah Mada membuka kotak itu dengan hati-hati, dan di dalamnya terdapat sebuah jubah berwarna gelap yang dihiasi dengan jahitan merah di tepinya. Selain itu, ada berbagai senjata khas, termasuk sebuah bilah tersembunyi yang terlihat canggih.

"Ini adalah warisan para Assassin, penjaga dunia," ujar Gajah Mada sambil mengangkat jubah itu. "Jubah dan senjata ini, hanya diberikan kepada mereka yang layak, dan kau telah membuktikan bahwa dirimu layak."

Arjuna menatap jubah dan senjata itu dengan kagum, tetapi di dalam pikirannya, Kavi merasa terkejut. "Assassin? Penjaga dunia?" pikirnya bingung, tidak tahu harus memberikan komentar apa.

Gajah Mada mendekatkan jubah itu kepada Arjuna, tatapannya penuh arti. "Kau adalah keturunan assassin, Arjuna. Ini adalah takdirmu."

Kavi merasakan denyut aneh di dalam dirinya, seolah kata-kata Gajah Mada membangkitkan sesuatu yang telah lama tertidur. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi tidak menemukan kata-kata yang tepat. Pikiran Kavi dipenuhi kebingungan, tetapi juga rasa ingin tahu yang membara.

"Malam ini kau telah melangkah ke jalur yang ditentukan oleh darahmu sendiri," tambah Gajah Mada dengan nada penuh rahasia. "Ingat, ini baru permulaan."