Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 15 - Veracity

Chapter 15 - Veracity

Cahaya redup dari obor yang tergantung di dinding batu memantulkan bayangan yang bergerak-gerak di ruang rahasia itu. Aroma lembap bercampur dengan bau asap kayu memenuhi udara, menyatu dengan keheningan malam yang berat. Ruangan latihan bawah tanah ini terasa seperti labirin, dipenuhi rak-rak kayu yang dijejali senjata tajam dan artefak berusia ratusan tahun. Bayang-bayang senjata memantul seperti sosok-sosok misterius, menambah aura keangkeran tempat itu.

Di tengah ruangan, Gajah Mada berdiri kokoh. Tangannya memegang sebilah keris dengan ukiran kuno yang terlihat lebih dari sekadar senjata. Sorot matanya tajam, mencerminkan keteguhan seorang pemimpin yang telah melewati puluhan medan perang. Setiap gerakannya penuh wibawa, seperti batu karang yang tak tergoyahkan.

"Dengar baik-baik, Arjuna," katanya dengan suara berat yang bergema di antara dinding batu. "Enam belas tahun yang lalu, sebelum Hayam Wuruk lahir, aku memimpin ekspansi ke Dinasti Yuan. Mereka telah mencemari Nusantara dengan tipu muslihat dan pengaruh gelap mereka."

Arjuna berdiri di seberangnya, dengan kaki telanjang menyentuh lantai dingin berlapis karpet tipis. Wajahnya tegang, matanya menyala-nyala di bawah kilauan api obor yang berkelip. Ia menunggu dengan penuh perhatian, mencoba menyusun makna di balik setiap kata yang diucapkan sang patih.

Gajah Mada menarik napas panjang, menatap keris di tangannya seolah melihat jauh ke masa lalu. "Dalam perjalanan, kami bertemu seorang pria yang penuh luka, dia sekarat. Napasnya berat, tapi dia tetap memaksa berbicara. Dia mengaku sebagai anggota Assassin—pelindung dunia dari Templar."

Arjuna mengernyit, mencoba mencerna istilah yang asing itu. "Templar? Siapa mereka?"

"Kelompok yang percaya pada kendali absolut," jawab Gajah Mada. Suaranya semakin rendah, hampir seperti bisikan yang penuh ancaman. "Mereka yakin bahwa dunia harus tunduk pada satu kekuasaan mutlak. Aku menolak ucapannya. Bagiku, tidak ada yang lebih besar dari Majapahit. Tapi pria itu memperingatkan bahwa itu bisa dilakukan karena ada senjata yang jauh melampaui pemahaman manusia: artefak Eden. Benda yang katanya berasal dari awal peradaban manusia, teknologi yang berada di luar pemahaman manusia."

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Arjuna merasa seperti berdiri di ambang rahasia besar yang mampu menghancurkan segala yang ia tahu. Ia mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa gentar yang mulai merayap.

"Lalu... apa yang dia lakukan?" tanya Arjuna dengan suara parau.

"Dia menyerahkan anaknya kepadaku," Gajah Mada menjawab, menatap tajam ke mata Arjuna. "Dia memohon agar anak itu dilindung dan dibesarkan oleh Majapahit, tapi tetap melanjutkan takdirnya sebagai seorang assassin ketika saatnya tiba. Anak itu adalah..."

Detak jantung Arjuna melambat, seolah seluruh ruangan membeku di sekitar mereka. "Aku?" bisiknya, nyaris tak percaya.

Gajah Mada mengangguk pelan. "Itu bukan akhir dari ceritanya."

Suasana ruangan menjadi sunyi. Hanya suara gemeretak kayu obor yang terbakar terdengar. "Pria itu juga memberikan sebuah buku kecil," lanjut Gajah Mada, menarik sebuah manuskrip dari balik jubahnya. "Dia memintaku untuk menyampaikan pesannya ke Kerajaan Sunda. Awalnya, aku mengira itu sebuah jebakan, tapi tidak. Mereka menyambut kami dengan ramah dan mengungkapkan segalanya tentang Assassin dan Templar."

Arjuna merasakan beban besar yang tiba-tiba menghimpitnya. "Apakah penyerangan di Bedahulu..." 

"Benar," potong Gajah Mada. "Itu ulah mereka. Pasukan berjubah yang menyerang kalian adalah kekuatan dari Piece of Eden. Jika Templar berhasil menyatukan artefak-artefak itu di Nusantara, segalanya akan berubah menjadi kehancuran."

Di dalam pikirannya, Kavi—jiwa dari masa depan yang terhubung melalui Renesia—menyimpulkan bahwa anomali yang terjadi sebelumnya mulai masuk akal. "Itu sebabnya data ini tidak tercatat dengan benar," pikirnya. "Artefak Eden melampaui teknologi manusia, bahkan zaman modern sekalipun. Tapi apakah ada orang lain dari masaku yang juga mencoba mengakses memori ini?"

Arjuna menatap Gajah Mada penuh keyakinan. "Maaf, Patih. Penyerangan ini terlalu sempurna untuk dikatakan sebagai kebetulan. Bagaimana mereka bisa tahu rencana kita? Apa mungkin ada pengkhianat di Majapahit?"

Gajah Mada menghela napas panjang, matanya menatap bayangan di dinding. "Itu mungkin saja. Atau lebih buruk lagi... Templar mungkin sudah bersembunyi di dalam Majapahit."

***

Beberapa menit sebelumnya...

"Mustahil penyerangan kita ke Bedahulu diketahui secepat itu!" kata Hayam Wuruk sambil berjalan panik di sisi Arjuna. Wajahnya terlihat tegang, sementara Arjuna mengamati langit yang mulai gelap. "Kalaupun mereka tahu rencana kita, mereka butuh waktu untuk persiapan. Tapi pasukan berjubah itu jelas sudah menunggu kita."

"Apakah mungkin ada mata-mata di Majapahit?" tanya Arjuna tanpa basa-basi, pandangannya beralih ke arah Hayam Wuruk.

Hayam Wuruk menghentikan langkahnya. Matanya bertemu dengan mata Arjuna, dan dalam keheningan itu, keduanya tampaknya memikirkan hal yang sama. Nama itu muncul begitu saja di benak mereka—Dyah Kertawardhana.

"Dyah Kertawardhana," ucap Hayam Wuruk akhirnya, suaranya pelan tetapi penuh kepastian.

Arjuna mengangguk, ekspresinya serius. "Dia yang paling mungkin. Penyambutannya waktu itu terlalu dingin, bahkan untuk seorang yang bersekutu. Dia tak menunjukkan tanda-tanda kepedulian atas Bedahulu ataupun Majapahit."

Hayam Wuruk menarik napas panjang. "Dia selalu punya alasan untuk menentangku, sejak aku ditetapkan sebagai calon pewaris takhta. Tapi ini bukan sekadar perbedaan pendapat. Jika dia terlibat dengan pasukan berjubah itu atau kelompok yang lebih mengerikan, kita harus segera bertindak."

"Apakah kau memintaku untuk menyelidikinya?" tanya Arjuna, nada suaranya tegas.

"Bukan hanya menyelidiki," jawab Hayam Wuruk, matanya menyala penuh determinasi. "Cari bukti. Jika benar dia terlibat, ini bukan hanya ancaman untukku, tapi untuk seluruh Majapahit. Aku ingin kau melakukannya demi kerajaan ini."

Arjuna membungkuk hormat. "Nyawamu sama pentingnya dengan Majapahit."

***

Kembali ke ruang bawah tanah...

"Beritahu aku jika kau sudah memiliki jawabannya," kata Gajah Mada sambil menyarungkan kerisnya. "Dan ingat, ini bukan hanya tugas untuk melindungi Majapahit. Ini adalah perang melawan kegelapan yang lebih besar."

Arjuna mengangguk hormat, lalu bertanya, "Apakah kau juga seorang assassin, Patih?"

Gajah Mada tersenyum samar. "Dalam satu waktu, aku adalah seorang assassin. Tapi aku juga bukan."

"Apa maksudmu?" 

"Bukan itu pertanyaannya," jawab Gajah Mada. "Tapi... apakah kau siap menerima takdirmu?"

Arjuna terdiam, lalu berkata pelan, "Kapan kau bisa membawaku ke Sunda?"

"Semuanya sudah dipersiapkan," jawab Gajah Mada, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan.