Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 12 - Anomaly

Chapter 12 - Anomaly

Mojokerto, 18 Oktober 2024

Kavi terhuyung keluar dari kapsul Renesia, peluh membasahi dahinya. Nafasnya tersengal, namun bukan hanya kelelahan yang menguasainya—melainkan kebingungan. Ruangan laboratorium utama terasa dingin, dinding-dinding logam berkilau dalam redupnya lampu holografis. Prof. Helena melangkah mendekat, tatapan penuh tanya.

"Gagal, apa maksudmu?" suara Prof. Ardana terdengar tajam, namun ada nada kekhawatiran di dalamnya.

Kavi menatapnya bingung, "Apa kalian tidak melihat apa yang terjadi melalui hologram?"

Prof. Helena yang berdiri di sudut ruangan mendekat, tangan-nya terlipat di dada. "Tidak ada kejanggalan apa pun, Kavi. Semua berjalan sempurna. Memori yang terekam sudah sesuai, data me-nunjukkan akurasi 100%," katanya dengan nada memastikan.

Prof Ardana mengangguk setuju, menambahkan, "Apa yang kita lihat, termasuk data di dalam memori Arjuna, itu sudah sesuai dengan literatur sejarah. Tidak ada anomali."

Kavi tertegun. "Jadi kalian tidak melihat pasukan berjubah hitam yang terus muncul? Mereka menyerang seperti bayangan, tak terhentikan."

Ucapan itu membuat ruangan hening sejenak. Para profesor saling berpandangan, seolah mencerna informasi yang mustahil itu. Prof. Helena menatap Prof. Ardana, lalu kembali pada Kavi. "Pasukan berjubah hitam?" tanyanya pelan.

Kavi mengangguk, wajahnya penuh keseriusan. "Mereka ada di sana. Di setiap langkahku sebagai Arjuna. Mereka bahkan seolah tahu gerakanku sebelum aku melakukannya."

Prof. Ardana menarik napas panjang. "Aku akan memeriksa literatur lebih detail. Mungkin ada catatan yang terlewat."

Sementara itu, Kavi melangkah menuju meja utama, di mana hologram dari sesi terakhirnya dengan Renesia diproyeksikan. "Aku ingin melihat rekaman ini lagi," katanya sambil memutar ulang memori yang telah ia lalui.

Dalam hologram, semua terlihat seperti yang ia ingat. Adegan itu memutar dirinya memasuki memori Arjuna, kemudian pertempuran sengit di hutan yang dipenuhi pasukan musuh.

"Gerakanmu luar biasa," puji Helena. "Kau sudah seperti seora-ng ksatria sungguhan."

Kavi menggeleng. "Itu bukan aku. Rasanya seperti tubuh itu bergerak sendiri. Seolah Arjuna… mengambil alih."

Suara berat Profesor Hodder mendadak terdengar dari belakang. "Mustahil!" katanya tegas. Semua mata langsung tertuju padanya. "Renesia bekerja sepenuhnya pada ingatanmu, Kavi. Semua kontrol adalah milikmu. Tidak ada ruang bagi memori Arjuna untuk memengaruhi tindakanmu."

Kavi menatapnya tajam. "Lalu bagaimana menjelaskan apa yang terjadi padaku? Pasukan berjubah hitam itu, pergerakan yang bukan milikku… apa semua ini hanya halusinasi?"

Prof. Hodder diam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Jika mema-ng ada anomali, ini adalah pertama kalinya. Renesia jauh lebih maju daripada Animus. Dengan teknologi setara Proyek Phoenix, harus-nya tidak mungkin ada memori yang merasuk lebih jauh dari sekadar pengamatan."

"Dan bagaimana dengan pasukan berjubah hitam?" tanya Kavi lagi, nadanya mendesak.

Hodder menghela napas. "Aku akan menyelidikinya lebih lanjut. Tapi jika itu benar, kita berhadapan dengan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya."

Sebelum pergi, Hodder menyentuh bahu Kavi sebentar. "Beristirahatlah. Ini hanya awal dari misteri yang lebih besar."

Kavi mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada hologram. "Apa yang aku lihat di sana adalah nyata," katanya pelan pada Prof. Helena. "Dan aku akan menemukan jawabannya, bagaimanapun caranya."

Helena menepuk bahunya dengan lembut. "Kita akan mencari tahu bersama, Kavi. Sampai semuanya jelas."

***

Mojokerto, 19 Oktober 2024.

Laboratorium penuh dengan pantulan lampu-lampu biru dari mesin-mesin yang berdengung halus. Kavi duduk di tengah ruangan, wajahnya pucat dan pandangan matanya kosong. Napasnya pendek dan gemetar, mencoba memahami informasi yang baru saja didengarnya. Di hadapannya, Prof. Ardana memandang dengan raut penuh kekhawatiran.

"Jadi, pasukan berjubah hitam itu…?" tanya Kavi, mencoba mencari jawaban dari kekacauan yang dia saksikan.

Ardana menggeleng pelan. "Tidak ada catatan sejarah, literatur, atau bukti apa pun yang mencatat keberadaan pasukan seperti itu dalam ekspansi Majapahit ke Bedahulu. Jika mereka ada, itu seharusnya menjadi peristiwa besar dalam sejarah Nusantara."

"Dalam data, tidak ada kesalahan apa pun. Bahkan semua yang kau jelaskan tidak terekam dalam Archivum[1]. Kami bahkan menge-cek Chronos[2], Nexus[3], GMD[4], Genix[5], dan semua alat yanga ada di sini, tapi tidak ada kejanggalan apa pun yang kami temukan," imbuh Prof. Hodder.

Kavi memukul meja dengan frustrasi. "Tapi aku melihatnya! Mereka bukan hanya nyata, mereka membantai seluruh pasukan Hayam Wuruk! Bahkan, aku melihat Hayam Wuruk sendiri terkena terbunuh."

"Kavi, di sini hanya kau yang bisa melihatnya, tidak dengan kami," sambung Prof. Helena sambil menepuk bahu Kavi.

"Kalau begitu, biarkan saya kembali ke memori itu—tepat beberapa menit sebelum Hayam Wuruk terbunuh."

Semua orang di ruangan terdiam. Prof. Hodder memandang Kavi dengan rasa khawatir yang mendalam. "Kavi, itu berbahaya. Mesin ini belum diuji untuk mengulang memori yang sama terlalu cepat. Ada risiko besar—kerusakan otak, kejang, atau bahkan kehilangan kesadaran permanen."

Prof. Helena mengangguk pelan, meski nadanya tetap tegas. "Dia benar. Mengulang segmen memori bisa membanjiri korteks otakmu dengan impuls yang tidak stabil. Itu berpotensi mengubah struktur neurologismu. Selain itu, kamu mungkin akan mengalami pengaruh emosional yang jauh lebih berat daripada sebelumnya."

Kavi menghela napas, menatap mereka dengan tekad bulat. "Jika itu harganya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi, saya siap. Ini bukan hanya tentang saya. Ini tentang sejarah, kebena-ran, dan… tugas Arjuna."

Prof. Ardana ingin membantah, tetapi Prof. Helena memotong lebih dulu. "Baiklah. Tapi jangan salahkan siapa pun jika ini menjadi keputusan yang paling kamu sesali seumur hidup."

Kavi mengangguk. Ia melangkah masuk ke dalam Renesia, menggunakan VR lalu merebahkan dirinya. Jantungnya berdebar kencang. Ketika pod mulai menutup, suara mesin berderak pelan.

"Mulai sinkronisasi!" perintah Prof. Helena.

Prof. Ardana masih tampak ragu, tetapi ia tetap memantau proses dari monitor. Di layar, grafik-grafik mulai naik, menunjukkan koneksi antara DNA Kavi dan leluhurnya, Arjuna.

Kavi memejamkan mata, merasakan gravitasi Renesia menarik-nya kembali ke masa lalu.

***

Bali, 30 November 1349.

Sebuah kilatan cahaya memancar dari Renesia saat Kavi sekali lagi memasuki memori Arjuna. Kali ini, dia memutuskan untuk tidak membiarkan apa pun terjadi tanpa campur tangannya.

Saat membuka mata, dia kembali ke medan perang Bedahulu. Bau darah dan debu masih tercium, namun suasana lebih tenang setelah kemenangan Majapahit diumumkan. Dia berlari mencari Hayam Wuruk, napasnya memburu.

"Yuwaraja! Kita harus pergi sekarang!" teriak Kavi, atau lebih tepatnya Arjuna, ketika dia mencapai Hayam Wuruk yang tengah berdiri di atas mayat Raja Bedahulu.

Hayam Wuruk menoleh, wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi rasa bangga. "Pergi? Arjuna, ini adalah momen kemenang-an terbesar kita. Kenapa kau ingin menghancurkan semua ini deng-an mundur?"

"Percayalah pada hamba," pinta Kavi, berusaha keras menahan emosinya. "Ada ancaman besar yang tidak pernah kita duga. Kita harus kembali ke Majapahit segera!"

Hayam Wuruk mendengus tidak percaya. "Arjuna, aku meng-hormatimu, tapi kau harus belajar memahami arti momentum. Pasukan kita butuh waktu untuk merayakan kemenangan ini. Mundur sekarang hanya akan meruntuhkan semangat mereka."

"Dengan hormat, Yuwaraja," ucap Mahesa Wirabhumi, yang tiba-tiba muncul di belakang Kavi, menyela. "Arjuna adalah salah satu prajurit terbaik kita. Jika dia mengatakan ada bahaya, saya pikir kita harus mendengarnya."

"Senapati, kau juga?" tanya Hayam Wuruk dengan nada kecewa.

"Yuwaraja, tidak ada salahnya berhati-hati. Jika Arjuna benar, maka kita telah menghindari bencana besar. Jika salah, kita hanya akan kehilangan satu malam perayaan," kata Mahesa tegas.

Setelah beberapa saat hening, Hayam Wuruk menghela napas berat. "Baiklah. Siapkan pasukan untuk kembali ke Majapahit. Tapi aku akan mengingat hari ini sebagai penghinaan pada kemenangan kita."

Kavi mengangguk penuh rasa lega. Bersama Mahesa, dia me-mastikan semua pasukan segera bersiap mundur.

Namun bukannya benar-benar mundur, Hayam Wuruk justru memerintahkan pasukannya yang masih bugar untuk melakukan penjarahan.

Melihat itu Arjuna segera menghampiri. "Yuwaraja, pasukan kita sudah kelelahan. Kita harus segera mundur sebelum musuh membalas!" 

"Apakah kau mengajariku cara memimpin pasukan, Arjuna?" tanya Hayam Wuruk dengan nada tajam. 

"Bukan itu maksud hamba, Yuwaraja. Tapi keadaan kita tidak memungkinkan untuk berlama-lama di sini." 

Hayam Wuruk hanya mendengus, mengabaikan saran Arjuna. Persitegangan terjadi diantara keduanya, sampai kabut yang menjadi awal dari peristiwa buruk itu perlahan muncul.

"Aku harus cepat!" Kavi membatin.

"Yuwaraja! Musuh sedang mendekat. Kita harus segera pergi!" teriaknya pada Hayam Wuruk, tidak memedulikan respons apa pun yang didapatkannya nanti.

Namun, pria itu menoleh sebentar lalu berkata dengan angkuh, "Kstaria Majapahit tidak pernah mundur!" 

Arjuna mengepalkan tinjunya. "Ini bukan saatnya untuk keras kepala! Pasukan kita sudah lelah. Apakah Anda ingin semuanya mati sia-sia?"

"Diam!" bentak Hayam Wuruk. "Aku tidak butuh ceramahmu!" 

Arjuna kehilangan kendali. Dalam satu gerakan cepat, tinjunya menghantam wajah sang Calon Penerus Raja dengan keras, membuat Hayam Wuruk jatuh terjerembap. 

Keheningan menyelimuti medan. Pasukan Majapahit meman-dang tak percaya. Senopati Mahesa dan beberapa ksatria langsung menghunus senjata mereka, mengarahkannya pada Arjuna. 

Arjuna tidak bergeming. Napasnya memburu, matanya tajam seperti elang. "Lihat baik-baik pasukan kita, Yuwaraja! Lihat mereka!" Ia menunjuk barisan prajurit yang duduk di tanah, kelelahan tanpa daya, juga sekelompok prajurit yang terluka. 

"Jika Anda terus memaksakan ini, Anda akan membawa kehancuran bagi kita semua. Hentikan sekarang!" 

Hayam Wuruk melihat apa yang ditunjuk oleh Arjuna. Ia mengatur napas, dan mengembalikan kejernihan pikirannya. Kemudian Hayam Wuruk berdiri perlahan, wajahnya merah karena amarah. Dengan satu pukulan, ia membalas, membuat Arjuna tersungkur ke tanah. 

"MUNDUR!" teriaknya akhirnya. "Kita kembali ke Majapahit. Bawa apa yang sudah diambil, tinggalkan sisanya!" 

Sayangnya itu sudah terlambat. Langkah kaki ribuan pasukan terdengar dari kejauhan. Bayangan gelap yang menyelimuti cakrawala kini telah mendekat. 

"Mereka sudah di sini!" teriak Arjuna, panik. 

Senopati Mahesa dengan cepat mengambil alih. "BHAYANGKARA, SIAPKAN BARISAN!" 

Seperti kilatan petir, pasukan Bhayangkara muncul dari berbagai sudut, mengenakan jubah gelap mereka. Mereka adalah prajurit terbaik Majapahit, yang diam-diam telah disiapkan untuk situasi se-macam ini. 

"Senopati, apa artinya ini?!" Hayam Wuruk berteriak dengan sedikit kesal.

Mahesa berbalik kepada Calon Penerus Raja. "Yuwaraja, penye-rangan ini adalah ujian dari Patih dan Ratu Tribhuwana. Mereka ingin melihat apakah Anda sudah siap untuk melanjutkan kejayaan Majapahit. Dan sepertinya... Anda butuh pelajaran lebih lanjut."

Hayam Wuruk menatapnya tajam. "Kalau begitu, sampaikan langsung pada mereka." 

Mahesa tersenyum samar. "Dengan izin Anda, Yuwaraja." 

Hayam Wuruk dan pasukan utama mulai mundur, tetapi suara dentingan senjata di belakang membuat hati mereka berat. Arjuna menoleh ke arah medan perang. Bhayangkara bertarung mati-matian, menahan gelombang pasukan musuh yang tampaknya tak berujung. 

____________________

[1] Sistem penyimpanan data untuk memori masa lalu.

[2] Sistem yang memandu perjalanan waktu setelah Renesia diaktifkan.

[3] Sistem sinkronisasi yang menghubungkan DNA masa kini dengan DNA leluhur.

[4] Genetic Memori Device: Alat yang dirancang untuk mengekstrak dan memproses DNA leluhur Assassin.

[5] Alat penghubung yang menyelaraskan Renesia dengan DNA Assassin.