Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 13 - Revelation

Chapter 13 - Revelation

Mojokerto, 18 Oktober 2024.

Kavi membuka matanya perlahan, pandangannya buram, dan tubuhnya terasa berat seperti dihantam batu. Bau antiseptik memenuhi indera penciumannya, sementara suara alat-alat medis berdengung pelan di latar belakang. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun rasa nyeri menyengat langsung menyambut di sekujur tubuh.

"Jangan banyak bergerak," suara lembut namun tegas Prof. Helena menyapa dari sampingnya. Wanita itu berdiri dengan raut wajah serius, tablet holografik di tangannya memancarkan data yang terus berubah. "Kamu baru saja melewati batas yang seharus-nya tidak dicapai oleh siapa pun."

Kavi terbatuk, darah segar keluar dari sudut bibirnya. "Aku... baik-baik saja," katanya terengah-engah. Namun, jelas dari ekspresi wajahnya bahwa tubuhnya sedang tidak baik-baik saja.

"Baik?" Prof. Helena menaikkan alisnya, lalu memberikan isya-rat kepada tim medis. "Kamu hampir mati, Kavi. Kelebihan informasi dalam otakmu bisa saja membakar saraf-sarafmu secara permanen. Kalau bukan karena stabilisator yang kami pasang, kamu tidak akan bangun lagi."

Kavi mencoba tersenyum meski lemah. "Kalau begitu, kalian berhasil menyelamatkanku."

"Ya," jawab Prof. Helena, lalu memproyeksikan hologram organ tubuh Kavi. "Lihat ini. Secara medis, tubuhmu pulih tanpa ada efek samping serius. Tapi ada satu hal yang menarik perhatian kami."

Kavi menatap hologram itu dengan bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, lalu jari-jarinya. Namun, sesuatu terasa aneh. Jari manisnya tidak merespons.

"Jari manis?" Kavi memandang tangannya dengan tatapan ka-get. "Ini saja efeknya?"

"Sejauh ini, iya," kata Prof. Helena sambil menutup hologram. "Tapi Kavi, jika kamu melakukan hal yang sama lagi, risikonya bisa jauh lebih buruk."

Kavi menghela napas dalam-dalam, lalu menggeleng. "Saat aku masuk ke Renesia lagi, aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi. Ini hanya jari manis. Tidak lebih."

"Mendengarmu berbicara begitu membuatku terkejut sekaligus lega," sebuah suara berat menyela. "Kehilangan jari manis bukanlah kebetulan. Itu adalah bagian dari takdir seorang Assassin." Prof. Ardana muncul dari balik bayangan di sudut ruangan, membawa sebuah laporan di tangannya. Tatapannya tajam, seolah menyelidiki jiwa Kavi.

Kavi mengernyit, tatapannya penuh tanda tanya. "Apa maksud-mu, Profesor?"

Prof. Ardana hanya memberikan senyum samar. "Kamu akan tahu nanti," jawabnya singkat, meninggalkan rasa penasaran yang menggantung di udara.

Prof. Helena menarik napas panjang sebelum berbicara lagi. "Kami akan melakukan penelitian lebih lanjut tentang anomali yang terjadi. Untuk sekarang, Kavi, kamu harus beristirahat."

Kavi mengangguk, meskipun pikirannya masih berputar-putar. Namun, sebelum Prof. Helena pergi, dia menoleh kembali. "Satu hal lagi, Kavi. Data kami sekali lagi tidak menunjukkan adanya pasukan berjubah hitam. Semuanya masih berakhir sama—dengan kemenangan Majapahit."

Kavi tersentak. "Aku akan segera kembali," katanya dengan nada tegas, meski tubuhnya masih terasa lemah. Dalam hatinya, dia tahu perjuangannya belum selesai.

***

Beberapa jam kemudian...

Di tengah kilauan layar holografik yang memenuhi ruangan, Kavi menggeser data demi data yang terpampang di hadapannya. Tangannya bergerak cepat, memeriksa setiap informasi tentang Renesia, sejarah Majapahit, Assassin, Templar, artefak Eden, hingga jejak pasukan berjubah hitam yang menyerang setelah ekspansi Majapahit di Bedahulu. Pikirannya terjebak dalam labirin, mencoba menyusun potongan-potongan puzzle yang tampak tidak saling berhubungan.

"Kavi!" suara Prof. Helena terdengar tajam dari belakangnya. "Aku memintamu untuk beristirahat, bukan bermain-main dengan semua data ini!"

Tanpa menoleh, Kavi menjawab dengan suara tenang namun tegas. "Istirahat tidak akan membawaku lebih dekat pada kebenaran. Jika aku berhenti sekarang, aku akan kehilangan momentum."

Prof. Helena mendesah keras, berjalan mendekat dengan raut wajah jengkel. "Kamu terlalu keras kepala! Tubuhmu belum sepe-nuhnya pulih. Kalau kamu terus memaksakan diri, aku tidak akan bertanggung jawab jika terjadi sesuatu yang buruk!"

"Aku sudah bertaruh dengan nyawaku sejak awal," balas Kavi, tatapannya kini bertemu dengan Prof. Helena. "Tolong, bantu aku... atau biarkan aku melakukannya sendiri."

Prof. Helena terdiam beberapa saat, lalu menyerah. "Baiklah. Tapi jika aku melihat tanda-tanda kamu melampaui batas, aku akan menghentikan ini."

Di sudut ruangan, Prof. Ian Hodder mendekat, membawa segelas kopi panas di tangannya. "Kalian berdua selalu seperti ini, seperti kucing dan anjing. Tapi kali ini, biarkan aku membantu."

Kavi menoleh cepat. "Kau punya informasi?"

Prof. Hodder mengangguk sambil menyesap kopinya. "Anggota Assassin kami di Inggris menemukan fakta bahwa Templar pernah menggunakan Helix untuk mengakses memori Jacob, seorang Assassin era Victorian. Itu sekitar tahun 1868. Tidak ada anomali di sana, karena mereka hanya melihat masa lalu, tidak membawa kesadaran penuh seperti yang dilakukan Renesia."

"Kalau begitu... apa untungnya membawa kesadaran penuh?" tanya Kavi, matanya menyipit tajam. "Bukankah lebih baik mem-biarkan sistem bekerja secara pasif, atau bahkan meningkatkan efisi-ensinya?"

Prof. Helena mengambil alih pembicaraan. "Kesadaran penuh memungkinkan kita mengakses tempat atau situasi yang tidak bisa diakses oleh pemilik memori genetik. Itu memberi kita lebih banyak informasi. Dengan begitu, pencarian artefak Eden menjadi lebih efektif."

Kavi merenung sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, anomali yang terjadi bisa saja berasal dari informasi masa depan yang kubawa ke masa lalu. Ingatan yang ada di otakku—"

"Mustahil!" sergah Prof. Hodder. "Jika itu benar, harusnya semua informasi di otakmu memengaruhi jalannya memori. Pasukan berjubah hitam ini adalah elemen baru, sesuatu yang bahkan tidak ada dalam catatanmu."

Ruangan menjadi hening. Semua orang tenggelam dalam pikiran masing-masing, hingga Kavi memecah keheningan. "Mungkinkah untuk mengakses memori yang sama pada waktu yang sama?"

Prof. Helena dan Prof. Hodder saling berpandangan, wajah mereka berubah serius. Prof. Helena berbicara lebih dulu. "Sejauh ini, Renesia adalah satu-satunya mesin yang mampu membawa kesadaran penuh. Kecuali..."

Hodder melanjutkan, "Kecuali Templar menggunakan Proyek Phoenix dengan tujuan yang sama."

Kavi mengerutkan dahi. "Mereka pernah menawariku untuk melihat masa lalu," katanya, mencoba mengingat. "Tapi aku menolak."

Prof. Ardana, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kata 'melihat' menunjukkan sistem kerja yang berbeda. Mereka tidak menggunakan kesadaran penuh seperti Renesia, tapi bisa saja mereka telah menyempurnakannya setelah kamu menolak tawaran mereka."

Ketiga profesor itu saling bertukar pandang. Ketegangan terasa kental di udara. Akhirnya, mereka sepakat bahwa anomali mungkin muncul karena Templar memiliki teknologi baru yang membawa kesadaran penuh saat mengakses memori genetik, seperti Renesia.

Kavi berdiri, meski tubuhnya masih terasa lemah. "Aku akan menggunakan Renesia lagi."

Helena menatapnya tajam. "Dengan satu syarat: jika proses Nexus di luar kendalimu, kami akan menghentikannya secara paksa."

Kavi mengangguk mantap. "Aku akan memastikan itu tidak terjadi."