Mojokerto, 17 Oktober 2024
Ruang istirahat itu dipenuhi aroma kertas tua dan debu yang tertiup dari jendela setengah terbuka. Kavi duduk di kursi dengan tumpukan buku catatan berserakan di meja kecil di depannya. Matanya terpaku pada halaman terakhir dari catatan ayahnya, Afkari. Pikiran-nya masih dipenuhi gambaran pertemuannya dengan Prof. Ardana dan Elizabeth. Kedua sosok itu kini jelas berada di dua sisi koin yang berlawanan.
Dia menghela napas berat. Tulisan di catatan itu akhirnya terpecahkan setelah semalaman penuh ia berusaha menyelesaikan sandi yang rumit. Ia sebenarnya bisa saja menggunakan Lexicon AI, alat pemindai canggih yang dirancang untuk menganalisis pola dan menyelesaikan teka-teki kompleks. Namun, kekhawatirannya terlalu besar—takut jika alat itu diretas atau jejaknya terpantau oleh pihak yang salah.
Pilihan lain adalah meminta bantuan ketiga temannya untuk mempercepat pencarian.
Ia mencoba menelaah teman-temannya. Keano, yang lama belajar di Oxford dan memiliki hubungan dekat dengan Elizabeth, kini mencurigakan. "Templar? Assassin? Atau hanya orang biasa?" gumam Kavi, menggigiti bibir bawahnya. Lalu ada Rafael, yang terlalu misterius. "Mungkin Assassin," pikir Kavi. Ketidakpastian sering melekat pada mereka.
Terakhir, Aria. Awalnya, Kavi tak pernah mencurigainya. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa ada yang disembunyikan darinya. Aria terlalu cerdik untuk menjadi orang biasa. "Atau mungkin dia hanya… berusaha bertahan?"
"Ah, ini semua terlalu rumit!" Kavi memukul meja dengan kedua tangannya, membuat beberapa buku catatan jatuh ke lantai.
"Masalahnya, aku bahkan tidak tahu apakah aku ingin menjadi bagian dari ini semua," ujarnya lirih, suaranya hampir tenggelam di ruang kosong.
Kavi menatap potongan kertas dengan pandangan kosong. Ia memusatkan perhatian kembali pada catatan itu. Kalimat-kalimat di dalamnya semakin membawanya ke kedalaman misteri. Ayahnya, Afkari, telah menulis sesuatu yang membuat darah Kavi berdesir.
"Kavi... jika kau membaca ini, berarti waktunya telah tiba. Dunia ini dipenuhi dengan bayang-bayang dua kekuatan—Assassin dan Templar telah berperang selama berabad-abad. Kedua sisi punya tujuan, tetapi jalan mereka berbeda. Ketahuilah, jika kau Eagle Vision sudah bangkit, itu berarti giliranmu sudah tiba."
Kavi berhenti membaca, menatap kosong ke dinding. "Ayah…" bisiknya, hampir tak terdengar. Ia melanjutkan membaca, napasnya semakin berat.
"Selama ini, aku telah berusaha menjauhkanmu dari perang ini. Namun, aku tak bisa menghindarkanmu dari takdir yang mengalir dalam darahmu. Jalan ini penuh bahaya, dan kini kau tak punya pilihan selain menemukan anggota Assassin lainnya. Jika situasinya memburuk, pergilah ke rumah lama kita dan temukan peninggalanku. Kode aksesnya tersimpan dalam hatimu."
Kavi terdiam. Perasaan campur aduk menguasainya. Kekesalan, ketakutan, dan kebingungan berbaur menjadi satu.
"Tidak... ini terlalu gila," desahnya, memijat pelipisnya.
Pikiran Kavi kembali ke pertemuannya dengan Elizabeth di sebuah kafe kecil di pusat kota.
***
Hujan deras menghiasi malam itu, memantulkan lampu-lampu jalan yang temaram. Kavi ingat bagaimana Elizabeth duduk di seberangnya, rambutnya pirang terang dengan gelombang lembut yang menjuntai di atas bahunya, dipadu dengan gaun putih berpotongan klasik yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Kalung perak sederhana menghiasi lehernya, memberikan sentuhan elegan tanpa kesan berlebihan.
"Kavi," katanya perlahan, menatapnya dengan intens. "Apa kau mau melihat masa lalu?"
Kavi mengernyit. Pertanyaan itu terlalu mendadak, bahkan baginya yang terbiasa dengan teka-teki. Sebelum ia sempat menjawab, seorang pelayan datang membawa secangkir teh berwarna keemasan dengan aroma segar yang khas.
"Teh Wening Demak. Itu kesukaanmu," kata Elizabeth dengan senyum tipis.
Kavi menatap cangkir itu dengan ragu. "Kau tahu seleraku terlalu baik untuk orang yang baru kukenal."
Elizabeth tertawa kecil, suara yang nyaris seperti melodi. "Minumlah. Hapus keteganganmu. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan."
Kavi menyeruput teh itu perlahan. Campuran daun gambir wulung, mint, dan bunga kelor menghasilkan teh dengan aroma herbal khas, rasa yang seimbang antara segar dan earthy, serta warna hijau memikat, memberikan sensasi menenangkan. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. "Apa maksudmu tentang masa lalu?" tanyanya akhirnya.
Elizabeth meletakkan cangkirnya dengan tenang. "Kami telah menciptakan sesuatu yang lebih canggih dari Animus. Project Phoenix, alat ini mampu menciptakan ulang ingatan tanpa batasan biologis, dapat digunakan untuk memproyeksikan kenangan secara real-time dengan hologram dalam bentuk proyeksi visual penuh, bahkan sudah tidak lagi memerlukan pengguna memiliki koneksi darah langsung dengan leluhur tertentu."
Kavi terdiam. Ia tahu tentang Animus, alat yang digunakan untuk mengakses memori leluhur melalui DNA. Namun, ini... sesuatu yang jauh melampaui. "Bagaimana cara kerjanya?"
"Alat ini tidak selalu membutuhkan kecocokan DNA penuh," jelas Elizabeth. "Namun, jika pengguna memiliki kode genetik yang sama dengan subjek memori, hasilnya akan jauh lebih akurat—bisa dikatakan sempurna. Sebut saja, kita membangkitkan sejarah di masa lalu."
Kavi mengatur napas, mencoba mencerna penjelasan itu. Sesaat kemudian, ia melontarkan pertanyaan yang menyesakkan dadanya. "Kau... Templar, bukan?"
Elizabeth tersenyum tipis, lalu mengangguk tanpa ragu. "Tentu saja. Sama seperti kau yang sudah bertemu dengan Assassin sebelumnya."
Kavi mengerutkan kening. Ia tak menunjukkan ekspresi apa pun, meskipun pikirannya bergejolak. Nama Profesor Ardana muncul dalam benaknya. Elizabeth memperhatikan reaksi itu, lalu tertawa kecil. "Profesor Ardana, ya? Dia memang penuh rahasia."
Tawa Elizabeth terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang membuatnya terasa menusuk. Kavi memalingkan wajah, mencoba menyembunyikan ketegangan yang merayapi dirinya. Namun, Elizabeth melanjutkan dengan nada santai, "Aku tidak di sini untuk memaksamu, Kavi. Aku hanya ingin menawarkan pilihan. Bergabunglah dengan kami. Templar akan memberimu kebebasan penuh—uang, pengaruh, semua yang kau butuhkan. Hidupmu akan jauh lebih mudah. Kau tidak perlu lagi khawatir dengan masa depan"
Kavi menatap Elizabeth tajam. "Dan jika aku menolak?"
Elizabeth mengangkat cangkirnya, tersenyum tipis. "Kau selalu punya pilihan. Tapi ingat, waktu tak pernah menunggu."
***
Di ruang istirahatnya, Kavi menengadah, menghirup udara dengan berat. Pikirannya masih penuh dengan pertemuan itu. Ia sempat mengira Elizabeth akan memaksanya menerima tawaran itu malam itu, tapi wanita itu membiarkannya pergi.
"Apakah itu hanya salah satu siasatnya?" gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tenggelam di tengah keheningan.
Ia teringat senyum Elizabeth, tawa manis yang mampu menutu-pi betapa berbahayanya wanita itu. Tapi apa yang lebih mengganggu adalah pertanyaan yang kini memenuhi pikirannya: siapa yang bisa ia percayai?
Profesor Ardana? Teman-temannya? Atau bahkan dirinya sendiri? Kavi mendesah berat, menyadari betapa rumitnya permainan ini. Namun, satu hal yang ia tahu pasti—waktu untuk membuat keputusan semakin mendekat.
Ia membaca ulang catatan ayahnya. Pesan itu jelas: jika Eagle Vision telah bangkit, Kavi harus bertindak cepat. Tapi bagaimana jika ia salah langkah? Jika bergabung dengan Assassin hanya membawanya lebih dekat pada kehancuran? Dan bagaimana jika Elizabeth benar, bahwa Templar memiliki solusi untuk mengakhiri semua konflik ini?
Ketika matanya menatap kosong pada buku tua di depannya, pikirannya kembali ke satu pertanyaan yang tak henti-hentinya berputar di kepalanya. "Jika aku memilih salah satu jalan, apakah aku akan tetap menjadi diriku sendiri?"
Sebuah suara pelan menginterupsi lamunannya.
"Kavi, kau baik-baik saja?" Rafael muncul di pintu, menatapnya dengan ekspresi khawatir.
Kavi terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku baik. Hanya... sedikit lelah."
Rafael mendekat, melihat tumpukan catatan di meja. "Kau sudah terlalu keras pada dirimu sendiri. Apa yang kau cari?"
Kavi menatap Rafael, ragu apakah pria itu dapat dipercaya. "Hanya... sesuatu tentang masa lalu ayahku. Tidak penting."
Rafael memiringkan kepalanya, seperti mencoba membaca pikiran Kavi. "Kau tahu... terkadang jawaban yang kita cari tenyata ada di depan mata. Kau hanya perlu mempercayai dirimu sendiri."
Kavi menghela napas panjang. Kata-kata itu seharusnya mene-nangkan, tetapi justru menambah beban di pikirannya.
Saat Rafael pergi, Kavi kembali menatap catatan ayahnya. Ia tahu keputusan besar harus segera diambil. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa menunduk dan meremas kepalanya.
"Ini semua terlalu berat," gumamnya. "Apakah aku harus memilih Assassin, Templar, atau… tidak memilih sama sekali?"
Pilihan itu terasa seperti perang di dalam dirinya sendiri. Dan seperti perang lainnya, ia tahu tidak ada kemenangan yang benar-benar tanpa pengorbanan.