Chereads / Assassin's Creed - Nusantara / Chapter 9 - Bloodline (3)

Chapter 9 - Bloodline (3)

Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, 2015.

Empat belas ribu kaki dari petirtaan Cabean Kunti, Afkari dan anaknya bersama Tasmirah, Raksa dan beberapa Abdi Dalem serta tiga orang kopassus baru saja tiba di sebuah gunung yang dijuluki Kaldera Tengger. Kavi melebarkan pandangan luas, menatap jalur pendakian yang tak pernah dijamah oleh masyarakat awam. 

Ingatan akan pria itu terus menghantui pikirannya. Meski dalam perjalanan ayahnya telah mencoba menenangkannya dengan menyebut bahwa kelompok mereka jauh lebih baik daripada tim di Cabeankunti. Kavi tidak menyanggahnya, ia setuju. Namun, tak ada seorang pun yang mampu menghentikan malaikat maut.

Seakan mengetahui kegundahan anaknya, Afkari menepuk pundaknya lalu berkata, "Ayo masuk, kita tidak punya banyak waktu."

Kedua belas orang itu mulai melakukan pendakian dengan gerakan yang terstruktur di mana Tasmirah dan kedua Abdi Dalem—yang diberi kepercayaan sebagai penunjuk jalan—berada di barisan paling depan. Tepat di belakangnya berjalan seorang kopassus. Di barisan kedua ada Afkari, Kavi, dan Raksa. Pada barisan ketiga berjalan 3 orang Abdi Dalem yang masuk pada bagian Kaprajan. Sementara seorang kopassus yang memisahkan diri dari barisan itu dan berada paling belakang adalah orang yang memimpin ekspedisi tersebut. Sedangkan seorang kopassus lainnya melindungi mereka semua melalui tempat yang mustahil dilihat oleh mata manusia biasa.

Sayangnya hal itu pun dilakukan oleh Fahad bersama ketiga rekannya. Setelah dikalahkan oleh Afkari sehari sebelumnya, ia terus saja membuntuti kedua orang tersebut dengan instingnya, dengan hasrat balas dendam yang tinggi. Hingga membuatnya tak tertipu seperti Fawzi dan Emad. Dan untuk pertama kalinya ia berencana membunuh semua orang di sana setelah mereka menemukan stone of Eden.

2 jam perjalanan tanpa masalah yang berarti, meski hewan buas berulang kali menghampiri. Mereka akhirnya sampai pada tempat yang dituju. Lokasi yang ditumbuhi rerumputan liar, yang kini dipakai oleh puluhan macan tutul sebagai sarang mereka. Para Kaprajan dan kopassus melakukan tugas mereka dengan cekatan, hingga berhasil melumpuhkan hewan buas tersebut mengenakan senapan yang mereka bawa, tapi cukup banyak peluru yang terbuang.

"Apa kalian pernah menemukan yang lebih besar dari ini?" tanya Raksa terperangah setelah mereka menyingkirkan tanaman liar juga tanah yang ternyata menutupi rune of stone berukuran 3 x 6 meter.

"Ini yang terbesar," jawab Afkari sambil menyerahkan sebuah catatan kecil pada anaknya lalu berkata, "Bacalah,"

"Kau yakin memintanya?" Tasmirah menyanggah. "Jujur ... kami saja tidak memahami bahasa apa itu,"

Afkari tidak merespons, ia masih menunjukkan tatapan tajam pada anaknya.

Kavi mengembus napas untuk menimbang sesaat lalu mulai membaca, "Bathara Hyang Wekas in Sukha memerintahkan seorang prajurit Bhayangkara untuk memberikan Keris Kyai Condong Campur ke Hulunhyang di Walandhit tahun delapan ratus empat puluh delapan tahun Saka,"

"Kau ... benar-benar bisa membacanya?" tanya Tasmirah terkejut.

"Kau pikir aku akan percaya kalau hanya itu artinya?" cakap Afkari yang tak puas akan jawaban anaknya.

Kavi menghela sebentar dan kembali melihat papan batu raksasa tersebut, "Pusaka itu milik Sanghyang Janmawalijaya. Siapa pun bisa mengambilnya setelah kehancuran Majapahit jika muncul seorang yang kesaktiannya melebihi Ajisaka atau Gajah Mada atau Prabu Siliwangi,"

"Apa mungkin ada yang lebih hebat dari mereka?" Raksa menyahut.

"Mustahil ada yang lebih hebat dari para legenda itu," sambung Tasmirah.

"Lanjutkan," ucap Afkari tak memedulikan kegaduhan yang terjadi di sekelilingnya.

"Atau muncul seorang pemimpin yang adil," Kavi menyambung bacaannya.

"Apa maksudnya pemimpin yang adil? Apa dia sebanding dengan ketiga orang itu?" Afkari membatin sendiri.

"Jika sama sekali tidak ada, segeralah cari keturunan Nirvan ... sebab Hulunhyang tidak bisa menahan pusaka itu selamanya,"

"Nirvan, siapa itu Nirvan?" tanya Afkari pada semua orang yang di sana.

Sayangnya tidak ada yang tahu siapa dia. Termasuk Kavi sekalipun. Sebab dua baris terakhir sudah tidak bisa dibaca.

"Ini cukup membuang waktu. Mereka akan segera menyusul," pimpinan ekspedisi mendadak berkata. "Mari berangkat ke Walandhit, saya akan memberi rute tercepat."

Afkari tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya pada Kavi untuk meminta persetujuan. Namun bocah tujuh belas tahun itu tidak seperti biasanya, ia terlihat tidak bergairah. Mungkinkah pasal ramalan kalau dirinya akan mati?

***

"Selamat datang Komandan Edhi," ucap salah seorang warga Walandhit begitu kedua belas orang itu tiba di sebuah pemukiman warga yang berada di lereng gunung Bromo. 

Si pimpinan ekspedisi menyambut jabatan tangan pria yang tampak seperti seorang bocah, meski pada kenyataannya umur orang itu hampir mencapai 40 tahun.

"Kesuma ... apa boleh kami bertemu Tetua?" tanya Edhi tanpa basa-basi.

Pria itu tampak terkejut, tapi akhirnya mengantarkan juga. "Rekan Komandan Edhi adalah tamu kami. Silakan, ....tempatnya cukup jauh,"

Semua orang masuk ke desa lebih dalam, kecuali seorang kopassus yang diberi tugas untuk menjaga di pintu masuk. Sementara satunya, masih tidak terlihat.

"Aku tidak percaya ada desa di sini," ucap Afkari sambil melihat sekeliling di mana ada anak-anak yang bermain di dataran bebatuan nan panas, juga para warga yang sedang melakukan aktivitas mereka.

"Ini sudah jadi tempat tinggal sejak Jaka Seger dan Rara Anteng bersemedi di Oro-oro Ombo," jawab Kesuma. "Kalian tahu ... pasangan suami istri yang sulit mempunyai anak, melakukan perjalanan jauh ke tempat ini untuk menjalankan ujian dan bersemedi. Hanya dalam waktu empat puluh empat tahun mereka dikaruniai dua puluh lima orang anak,"

"Itu sangat banyak," jawab Raksa.

"Sebagai wanita, mustahil bagiku melahirkan anak sebanyak itu," Tasmirah menyambung.

"Hahaha.... tentu saja!" Kesuma berseru. "Mereka berdua diberi keistimewaan lebih dari manusia biasa. Karena mereka berdualah, kami tidak pindah meski ada tempat yang katanya lebih layak ketimbang di sini," sambungnya sambil melirik ke arah Edhi.

"Bagaimana kalian hidup di tanah seperti ini?" tanya Afkari mengacuhkan kalimat Kesuma.

"Tidak jauh berbeda dengan kalian. Kami makan, mandi, dan tidur," jawabnya.

"Dari mana makanan kalian?" Raksa menyambung.

"Tentu saja bukan dari duit negara! Hahaha...." cakap Kesuma.

"Aku tidak menyangka, kau masih bisa bercanda," tutur Edhi.

"Aku banyak belajar darimu Komandan," katanya. "Bagaimana dengan bocah itu? Dari tadi dia diam saja," tanya Kesuma sambil menatap Kavi yang diam seribu bahasa.

"Dia hanya takjub dengan desamu," ucap Afkari cepat.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan Kesuma berulang kali menceritakan sejarah tempat itu sambil membuat lawakan yang cukup menghibur sampai akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang tak ada satu rumah lain di dekatnya.

"Kesuma," panggil seorang pria yang hampir sama tinggi dengan Edhi. Matanya melihat satu per satu kelompok Afkari lalu menjulurkan tangan ramah. "Selamat datang Komandan Edhi,"

Edhi menyambutnya ramah lalu berkata, "Kasada ... tubuhmu tampak lebih baik,"

"Kami banyak belajar darimu Komandan," ucap Kasada. Pria dengan rambut sepundak dan tubuh yang dipenuhi otot itu melihat ke arah Kavi dengan tatapan yang tajam lalu bertanya, "Apa yang bisa kami bantu?"

"Kami ada urusan dengan Tetua," Edhi menjawab.

Kasada tidak langsung menanggapi. Lagi-lagi matanya menilik satu per satu kelompok Afkari. "Sang Ragil sedang melakukan upacara bersama Yajna,"

"Antar kami ke sana," pinta Edhi.

"Tentu saja, tapi tidak banyak yang boleh ikut." tutur Kasada.

Afkari mengangguk setuju lalu meminta dirinya, Kavi dan Edhi yang melanjutkan perjalanan sementara sisanya kembali ke kampung utama bersama Kesuma yang terus mengoceh banyak hal. Namun belum lama mereka berpisah Kesuma mendadak terjatuh dan bersimpuh darah membuat semua orang di sana terkejut.

***

"Apa tempatnya masih jauh?" tanya Edhi di sela-sela perjalanan setelah melihat jam tangannya.

"Apa kalian sedang terburu-buru?" Kasada balas bertanya.

"Kami sedang dikejar waktu," jawab Edhi.

Kasada memandang jauh ke depan. "Itu tepat di tepi kawah. Apa Komandan keberatan kalau aku menyarankan untuk lari?" 

Edhi tidak langsung merespons ia melihat ke arah Afkari yang langsung mengangguk setuju. Sementara Kavi, masih memberikan tatapan kosong. Ada apa sebenarnya dengan anak itu?

Keempat orang itu akhirnya melajukan kedua kaki mereka dengan ritme yang cukup cepat. Hingga membuat perjalanan yang semestinya memakan waktu sampai setengah jam dapat ditempuh kurang dari sepuluh menit.

"Aku tidak menyangka, kalian bisa mengikuti kecepatan ini. Apalagi di jalanan menanjak dan berbatu begini," ucap Edhi begitu mereka tiba di sana.

"Kami banyak berlatih," cakap Afkari sambil mengatur napas. Sedangkan tepat di sisinya, raut kekhawatiran makin jelas pada wajah anaknya.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Yajna begitu melihat segerombol pria yang mendekat ke arah mereka. Pria itu memiliki postur yang mirip dengan Kasada hanya saja kulitnya lebih gelap dengan potongan rambut yang sangat pendek ditambah tato di leher kanan dan kedua tangannya.

"Kami perlu bertemu Tetua," jawab Edhi.

"Komandan," ucap Yajna terkejut. Ia lalu menjabat tangan Edhi. "Sudah lama rasanya,"

"Kita bisa lakukan reuni ini nanti, sekarang ada hal mendesak," tutur Edhi.

"Tentu saja hanya hal mendesak yang membawamu ke tempat seperti ini," ucap Yajna. "Silakan," sambungnya sambil mengantar mereka pada Sang Ragil.

"Bhayangkara!" seru pria paruh baya itu begitu Yajna memberitahunya bahwa yang datang adalah Edhi. "Sudah berapa tahun?"

"Hampir dua puluh tahun. Apa kau masih mengenaliku?" Edhi balas bertanya.

"Tentu saja aku mengingat semua orang yang berjasa untuk tempat ini," jawab Sang Ragil yang tengah bersimpuh di atas batu. Semua kulitnya telah keriput, matanya tidak dapat difungsikan secara normal, tubuhnya tampak kurus dan mustahil kuat sekadar berdiri. Satu-satunya hal yang bagus darinya adalah pendengaran dan otak yang jarang dimiliki para lansia lainnya. "Apa yang membawamu ke sini? Apa ada hal buruk lagi untuk desaku?"

Edhi tidak menjawab, ia menyilakan Afkari untuk mendekat dan berkata. "Kami mau mengambil Keris Kyai Condong Campur,"

Sang Ragil tak langsung menanggapi. Ia melihat ke arah Afkari dengan matanya yang telah rabun. "Untuk apa mengambilnya? Apa kau tahu? Pusaka itu begitu kuat sampai bisa melukai penggunanya," Sang Ragil lanjut menjelaskan, "Bahkan Bhayangkara sekalipun tidak akan sanggup menahan kekuatan yang dikeluarkan pusaka itu,"

"Kami perlu mengambilnya untuk memastikan itu benar ada atau tidak, dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman," tutur Afkari.

"Sayangnya tidak ada tempat yang lebih aman dari Walandhit," sahut Sang Ragil cepat. "Tempat ini sudah banyak berubah, kemampuan para penjaga bisa disandingkan dengan prajurit Bhayangkara," imbuhnya. "Lagi pula … kau tidak sehebat Aji Saka, Gajah Mada, apalagi Prabu Siliwangi. Cahayamu sangat redup. Apa mungkin yang memintamu ke sini adalah Sang Adil?"

Afkari mengembus napas lalu berkata, "Bukan,"

Keheningan yang ada seketika lenyap setelah terdengar sebuah suara dari transportable jammer, "Serigala…. masuk," ucap Edhi.

"Siap! Puluhan orang bersenjata berlari ke desa. Beberapa sudah terkena jebakan," ujar suara di seberang.

Afkari yang mendengar itu terkejut sambil berbisik, "Pemburu,"

"Siapa mereka? Apa motifnya?" tanya Edhi.

"Siap! Mereka dipimpin orang-orang berjubah dan bertanda salib. Motif kemungkinan merebut pusaka itu,"

"Templar!" ucap Afkari setengah berteriak membuat orang-orang melihat ke arahnya tak terkecuali Sang Ragil. 

"Komandan, izin melakukan serangan," pinta suara di sana.

"Lakukan operasi Arsuf!" Edhi memerintah.

"Laksanakan!"

"Gagak, masuk!" Edhi berseru menghubungi anggotanya yang lain.

"Siap! Izin ....beberapa warga mati. Desa sedang sangat kacau," jawab suara di seberang.

"Apa yang terjadi?!" Kasada berteriak panik.

"Siap! Ada mata-mata di kelompok kita. Mereka membunuh para warga,"

Mendengar itu seketika semua orang di sana terkejut. Sedangkan Kavi seperti telah meramalkan kalau ini bakal terjadi. Ia melihat ke arah ayahnya dengan tatapan lesu. Sementara Afkari tampak geram.

"Tangkap orangnya. Dalam sepuluh menit kau bantu Serigala!" Edhi memerintahkan.

"Laksanakan!"

"Kita harus kembali ke desa!" seru Kasada begitu panggilan berakhir.

Edhi mendekat ke arah Afkari yang tampak kecewa. "Kita harus pergi. Prioritas kami kali ini adalah keselamatan kalian, tapi aku juga tidak bisa mengabaikan para warga,"

Afkari kembali mengatur napasnya lalu berkata, "Pergilah, kami tidak akan menambah beban. Semua penjagaanmu adalah yang terbaik. Akan kami laporkan ini nanti,"

"Terima kasih," ucap Edhi yang kemudian buru-buru kembali ke desa bersama Kasada.

"Terima kasih atas waktunya. Kami akan kembali lain kali," tutur Afkari pada Sang Ragil.

"Kalau kau tak sehebat Bhayangkara, sebaiknya tetaplah di sini," Yajna menyahut memaksa Afkari menghentikan langkahnya. "Ini adalah tempat paling aman sekarang,"

"Terima kasih atas tawarannya tapi—"

"Nirvan!" Sang Ragil berseru memotong kalimat Afkari. "Apa kau keturunan dari Nirvan?" tanyanya pada Kavi membuat semua orang di sana tercengang.