Kudus, 18 Oktober 2024.
Beberapa jam sebelumnya, Kavi berdiri di depan gerbang kayu tua yang sudah mulai lapuk oleh waktu, namun tetap berdiri kokoh. Rumah lamanya, yang ia tinggalkan sepuluh tahun lalu untuk me-ngejar gelar arkeologinya, kini kembali menyambutnya. Desa Jati di Kudus, tempat rumah ini berada, masih sama seperti yang ia ingat: tenang, tradisional, dan seolah terpisah dari hiruk-pikuk zaman modern. Hamparan hijau sawah membentang luas sejauh mata me-mandang, dihiasi pohon jati yang menjulang tinggi. Jalanan sempit dari tanah merah hanya sesekali dilintasi sepeda tua atau gerobak. Tak ada deru kendaraan bermotor yang memecah keheningan. Desa itu terasa seperti sisa memori yang tak tersentuh zaman.
Kavi membuka pintu rumah itu, yang berderit pelan. Ia terpaku. Tidak ada debu tebal atau sarang laba-laba seperti yang ia bayangkan. Ruangan itu bersih, rapi, seperti baru saja dibersihkan pagi tadi. Perabotan kayu jati berukir tetap berdiri anggun di tempatnya, dan aroma samar minyak kayu putih menguar dari sudut ruangan. Saat ia melangkah lebih dalam, terdengar suara langkah pelan dari bela-kang. Kavi menoleh, dan matanya bertemu dengan sosok seorang wanita tua.
"Den Kavi?" suara lembut namun serak menyapanya. Wanita itu adalah Mbok Sumi, asisten rumah tangga keluarganya dulu. Dulu Mbok Sumi adalah wanita tegap dengan rambut hitam pekat yang selalu disanggul rapi. Kini, tubuhnya sedikit bungkuk, rambutnya memutih, dan garis-garis usia tampak jelas di wajahnya. Namun senyumnya, senyum hangat yang sama, tetap tak berubah.
"Mbok Sumi? Masih di sini?" Kavi melangkah mendekat dengan raut tak percaya.
Mbok Sumi tertawa kecil, lalu menyambutnya dengan pelukan hangat. "Mbok memang disuruh menjaga rumah ini, Den, sampai Den Kavi pulang. Sudah lama sekali Mbok menunggu."
Setelah berbasa-basi dan menanyakan kabar, Kavi akhirnya ber-tanya, "Siapa yang membayar Mbok selama ini?"
"Prof Raka, sahabat dekat almarhum ayah Den Kavi," jawab Mbok Sumi sambil tersenyum tipis.
Kavi terdiam, mencoba mencerna. "Prof Raka? Saya tahu, kalau beliau memang sering bekerja sama dengan ayah, tapi… kenapa sampai sejauh ini?"
"Betul, Den. Mereka berdua sering pergi ekspedisi bersama. Banyak rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu. Tapi Prof Raka berpesan, semuanya akan jelas setelah Den Kavi datang ke sini," tambah Mbok Sumi, menatapnya dengan pandangan penuh arti.
Percakapan berlanjut, dengan Mbok Sumi menawarkan makan-an dan minuman tradisional yang ditolak halus oleh Kavi. Hingga akhirnya, dengan nada serius, Mbok Sumi bertanya, "Den Kavi… sudah melihat 'itu'?"
Kavi menatapnya tajam, berpikir sejenak. Ia sadar, tidak mungkin Mbok Sumi ada di sini tanpa alasan, dan segala hal ini pasti sudah direncanakan dengan matang oleh Prof Raka. Jadi ia meng-angguk mantap.
"Kalau begitu, Mbok persilakan Den masuk ke ruang kerja Bapak. Tempat itu selama ini tak pernah boleh Mbok jamah," ucap Mbok Sumi, suaranya rendah namun penuh hormat.
Kavi membuka pintu ruang kerja ayahnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Ruangan itu seperti dunia lain. Rak-rak kayu penuh dengan buku-buku tua berdebu yang sebagian besar berisi catatan arkeologi, mitologi, dan sejarah kuno. Di dinding tergantung peta-peta kuno yang melingkari sebuah meja besar di tengah ruangan. Di atas meja, terdapat alat-alat arkeologi: kuas kecil, penggaris logam, dan beberapa pecahan artefak yang disusun rapi di samping catat-an-catatan tangan.
Pandangan Kavi tertuju pada sebuah buku besar bersampul kulit yang sudah menghitam oleh usia. Simbol Assassin terukir jelas di sampulnya. Dengan hati-hati, ia membuka buku itu dan mulai membaca. Halaman-halamannya berisi catatan rinci tentang seja-rah konflik antara Assassin dan Templar—dua kelompok rahasia yang telah berperang selama berabad-abad untuk menguasai artefak Eden. Setiap catatan, setiap gambar di dalam buku itu, menguatkan cerita Prof Ardana sebelumnya.
"Jadi ini yang selama ini disembunyikan Ayah…" gumamnya pelan.
Di tengah-tengah membaca, ia menemukan petunjuk samar yang sepertinya ditulis tangan oleh ayahnya sendiri. Petunjuk itu mengarah pada sebuah lokasi yang pernah mereka kunjungi saat ia kecil. Namun, ia harus memastikan. Dengan menutup mata, Kavi mencoba mengingat kembali memori masa lalunya, saat ayahnya sering bercerita tentang tempat-tempat yang memiliki rahasia besar. Kini, semua terasa masuk akal. Semua petunjuk ini bukan hanya cerita biasa, melainkan kode yang harus ia pecahkan.
Ia membuka kembali peta di dinding dan memeriksa dengan saksama, mencoba mencocokkan detail dari buku itu dengan tempat-tempat yang pernah ia datangi bersama ayahnya. Dalam diam, Kavi tahu satu hal: perjalanan ini baru saja dimulai, dan keputusan besar telah menunggunya di depan.
Ingatan itu kembali membanjiri Kavi seperti aliran sungai yang tak terbendung. Ia duduk diam di depan peta besar di ruang kerja ayahnya, membiarkan pikirannya kembali pada momen-momen yang telah lama ia simpan dalam sudut memori. Saat itu, ia masih kecil, sekitar sembilan tahun, ketika ayahnya, Afkari, mengajaknya dalam perjalanan ke salah satu masjid tertua di Indonesia, Masjid Saka Tunggal, di Desa Cikakak, Wangon, Banyumas, Jawa Tengah.
***
Masjid Saka Tunggal berdiri di tengah rimbunnya pepohonan hutan tropis. Sebuah bangunan kecil dengan arsitektur sederhana, namun penuh aura sakral. Tiang utama masjid, yang dikenal dengan nama "Saka Tunggal" menjulang di tengah ruangan sebagai simbol keesaan Tuhan. Di sekeliling masjid, terdapat makam-makam tua yang diyakini sebagai para ulama dan tokoh yang berjasa dalam penyebaran Islam di daerah itu. Namun, yang membuat masjid ini benar-benar unik adalah keberadaan kawanan monyet liar yang berkeliaran bebas di sekitar area masjid. Konon, menurut penduduk setempat, monyet-monyet itu adalah penjaga peninggalan Syeikh Maulana Maghribi, pendiri masjid tersebut.
"Kavi, kau tahu kenapa monyet-monyet ini tinggal di sini?" tanya Prof Ardana saat mereka duduk di sebuah bale kecil di depan masjid. Kavi kecil, yang sibuk mengupas pisang untuk diberikan kepada monyet-monyet itu, hanya menggeleng sambil tersenyum kecil.
"Kata warga, mereka menjaga benda peninggalan pendiri mas-jid ini. Tapi sampai sekarang, nggak ada yang tahu di mana letaknya atau benda apa sebenarnya itu," ujar Afkari sambil memandangi kawanan monyet yang sibuk memperebutkan makanan.
Kavi menatap ayahnya dengan rasa ingin tahu. "Kenapa nggak ada yang mencari?"
Ayahnya tertawa pelan. "Beberapa sudah mencoba, tapi mungkin benda itu hanya akan ditemukan oleh orang yang tepat, pada waktu yang tepat. Alam selalu punya caranya sendiri untuk menyim-pan rahasia."
Hari itu, Kavi menghabiskan waktu memberikan makanan kepada monyet-monyet di sekitar masjid. Salah satu monyet, yang lebih besar dan tampak seperti pemimpin kawanan, menghampiri Kavi. Monyet itu mengambil pisang dari tangannya dengan gerakan tenang, lalu mulai mengupasnya. Prof Ardana, yang memperhatikan dari dekat, tersenyum sambil menunjuk.
"Lihat, mereka selalu mengupas pisang dengan hitungan ter-tentu," katanya. "Ada pola di alam ini, Kavi. Bahkan makhluk seperti mereka punya sistem. Itu mengajarkan kita untuk memahami bah-wa semuanya terhubung."
Kavi mengernyit. "Terhubung dengan apa, Yah?"
"Dengan hati manusia, sejarah, dan bahkan alam semesta. Se-perti monyet ini, yang tahu mana pisang yang layak dimakan dan mana yang tidak, kita juga harus belajar membaca tanda-tanda di sekitar kita."
Percakapan mereka terhenti ketika monyet besar itu tiba-tiba memandang Kavi dengan tatapan tajam. Hewan itu berjongkok sejenak, lalu mengeluarkan suara geraman rendah sambil melom-pat ke arah jalan setapak di belakang masjid. Ia menoleh beberapa kali, seolah meminta mereka untuk mengikutinya.
"Kavi, ambil pisang lagi. Kita ikuti dia," perintah Afkari sambil berdiri. Kavi, dengan rasa ingin tahu yang memuncak, segera menu-rut.
Mereka mengikuti monyet besar itu melewati semak-semak dan pohon-pohon jati yang lebat. Langkah mereka terhenti di depan sebuah batu besar yang tertutup lumut.
"Ini…" Prof Ardana berbisik sambil menyapu pandangannya ke sekeliling. Batu itu memiliki ukiran halus yang nyaris tak terlihat di bawah lumut tebal. Afkari mengeluarkan kuas kecil dari tasnya dan mulai membersihkan permukaan batu itu. Lambat laun, ukiran itu mulai terlihat lebih jelas—simbol berbentuk lingkaran dengan garis-garis yang saling bersilangan. Mata Prof Ardana melebar.
"Ini adalah… lambang Assassins," katanya, hampir tidak percaya. Ia menoleh pada Kavi. "Kavi, kau tahu ini bukan perjalanan biasa, kan?"
Kavi kecil hanya mengangguk, terlalu kagum untuk berkata-kata. Monyet besar itu berdiri di samping mereka, diam seperti penjaga setia. Hari itu, karya wisata sederhana berubah menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah ekspedisi yang membuka tabir rahasia antara masa lalu dan masa depan.
***
Dan sekarang, bertahun-tahun kemudian, Kavi tahu bahwa hari itu adalah kunci dari semua yang sedang ia hadapi saat ini.
Kini, Kavi berdiri mematung di depan pintu rahasia yang terbuka setelah ia mengambil buku tentang Masjid Saka Tunggal pada rak. Ia kemudian memasukkan sandi seperti yang diingatnya, dan suara-suara mekanik memenuhi ruangan tersebut. Kavi menghadap ke sebuah ruangan gelap gulita yang hanya diterangi oleh pancaran LED biru yang muncul seketika saat ia melangkah masuk. Suara lembut namun mekanis terdengar, mengucapkan kata-kata yang tidak ia pahami sepenuhnya. Mesin itu bergerak, memindai wajahnya, matanya, bahkan mendeteksi suhu tubuhnya. Prosesnya terasa mengintimidasi, tetapi sekaligus memukau. Dengan setiap detik, Kavi merasa bahwa dirinya semakin terhubung dengan sesua-tu yang lebih besar dari sekadar warisan keluarga.
Di tengah ruangan, sebuah meja kecil berdiri dengan sebuah penutup kaca berbentuk setengah lingkaran. Perlahan, mesin me-minta Kavi untuk meletakkan telapak tangan kanannya pada panel. Ketika ia melakukannya, suara mekanis itu kembali berbunyi, dan penutup kaca terbuka perlahan, mengeluarkan hologram seorang pria—ayahnya.
Afkari, dalam hologram itu, terlihat lebih muda daripada yang diingat Kavi. Rambutnya hitam legam, wajahnya tegas dengan garis-garis tipis yang mencerminkan kecerdasan dan kegigihan. Sorot matanya tajam, penuh keyakinan, tetapi di baliknya ada kesedihan yang samar. Hologram itu mulai berbicara dengan suara yang hangat na-mun penuh penyesalan.
"Kavi," suara Afkari terdengar, seolah berbicara langsung kepa-danya. "Maafkan aku karena meninggalkan semua ini tanpa penjelasan. Ada alasan mengapa aku menyembunyikan rahasia ini darimu selama ini. Perang antara Assassin dan Templar bukanlah sekadar mitos atau dongeng. Ini adalah kenyataan yang telah memakan hidup banyak orang, termasuk keluargamu."
Kavi terpaku, mendengarkan dengan seksama. Afkari melanjut-kan, "Aku hanya ingin kau tahu, keputusan ini ada di tanganmu. Kau bisa memilih menjauh dari semua ini, dan melanjutkan hidupmu tanpa terlibat lebih dalam. Tapi jika kau memutuskan untuk melibatkan diri, aku sarankan meminta bantuan Assassin. Jangan pernah berjalan sendirian. Di sini, ada senjata yang telah kami modifikasi, aku dan ibumu, untuk pertahananmu."
Hologram Afkari menunjuk ke sebuah kotak kecil yang terletak di bawah meja, hidden blade, itu adalah senjata yang biasa diguna-kan oleh para Assassin. Namun seperti yang telah dijelaskan, senjata itu tampak lebih canggih sesuai dengan teknologi saat ini. Entah fitur apa saja yang ada di sana.
"Dan ini," lanjut Afkari, "adalah DNA leluhurmu, Arjuna, se-orang pejuang Majapahit. Jika kau memutuskan untuk menggali masa lalu, kau bisa menggunakan ini untuk mengakses mesin sema-cam Animus atau Renesia. Tapi ingat, Kavi, pilihan ini akan mem-bawa konsekuensi besar. Aku hanya bisa memberimu arahan, tetapi jalanmu adalah keputusanmu sendiri."
Ketika hologram itu padam, Kavi merasakan dadanya sesak. Emosi bergolak di dalam dirinya—marah, bingung, dan takut, tetapi juga penasaran. Selama ini ia selalu mencari jawaban tentang masa lalu keluarganya, tetapi kini, setiap jawaban membawa lebih banyak pertanyaan.
"Kenapa semuanya terasa seperti ujian yang tak berujung?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Ia memandangi senjata di atas meja dan kotak kecil berisi DNA itu. Pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan, tetapi hanya ada satu yang benar-benar berarti: ini adalah panggilan untuknya. Dengan napas berat, Kavi akhirnya berkata dengan suara lirih tetapi penuh tekad, "Aku akan melakukannya. Aku harus tahu kebenarannya."
Dengan keputusan itu, Kavi mengambil kotak kecil tersebut dan menggunakan hidden blade yang telah dimodifikasi. Ia tahu, tak ada jalan kembali dari pilihan ini.
***
Ingatan Kavi kembali ke ruang persembunyian Assassin.
"Kavi, baringkan tubuhmu di sini," ujar Prof. Helena, sambil memeriksa layar monitor yang memuat data real-time dari DNA Arjuna yang telah diunggah. Wajahnya serius, namun matanya meman-carkan antusiasme seorang ilmuwan yang tengah mengungkap mis-teri sejarah.
Kavi mengangguk pelan, lalu merebahkan dirinya pada kasur khusus yang terasa seakan dirancang untuk menyangga setiap lekuk tubuhnya. Sensasi dingin dari material kasur bercampur dengan lembutnya cahaya LED di sekitarnya. Begitu ia memasang helm VR di kepalanya, layar di depan Prof. Helena mulai menunjukkan grafik sinyal otak dan detak jantung Kavi.
"Proses ini akan terasa seperti mimpi, tapi kau akan sepenuh-nya sadar di sana," jelas Prof Helena, sambil memasukkan data terakhir ke perangkat Renesia. "DNA ini akan membuka kenangan lelu-hurmu. Jika kau siap, kita akan mulai."
"Lakukan saja, Prof," jawab Kavi sambil menarik napas dalam. Ia memejamkan matanya, membiarkan suara mesin Renesia yang berdengung lembut membawanya ke dimensi lain.
Helena menekan tombol akhir pada panel kontrol. Mesin mulai bekerja, memancarkan cahaya biru yang intens, bersamaan dengan lengan-lengan mekanis yang bergerak cepat, menyelaraskan data DNA Arjuna dengan gelombang otak Kavi. Sensasi hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, seperti aliran listrik lembut. Lalu, dalam sekejap, dunia gelap di balik kelopak matanya berganti. Kavi kembali ke masa lalu.