Mojokerto, 18 Oktober 2024
Langit malam di atas kota itu berpendar kelam, dengan suara riuh kendaraan yang tak pernah berhenti. Kavi berdiri di depan bangunan mencolok yang memantulkan lampu-lampu neon berwarna-warni. Musik berdentum memekakkan telinga, sementara para wanita dengan pakaian minim menggoda setiap pria yang lewat. Di dalam, pria-pria itu memamerkan uang mereka dengan gerakan liar di lantai dansa. Tempat itu lebih menyerupai rumah bordil ketimbang diskotik. Kavi menghela napas panjang, perasaan tak menyenangkan menggelayut di dadanya. Ini bukan tempat yang dia baya-ngkan dari petunjuk Prof Ardana.
Ia melangkah masuk, matanya menyapu setiap sudut ruangan. Lampu strobe berputar-putar, menciptakan ilusi gerakan lambat di tengah kepadatan manusia. Di belakang bar yang memanjang, seorang pria jangkung dengan kumis runcing seperti kapal berdiri. Pakaian khas bartender membalut tubuhnya, dan ia dengan cekatan meracik minuman. "Mau pesan apa, Tuan?" tanyanya dengan suara berat.
Kavi menggeleng. "Aku di sini bukan untuk minum. Aku mencari seseorang."
Bartender itu menaikkan alisnya, senyum tipis tersungging di wajahnya. "Sebelum bicara tentang urusan, Anda harus memesan sesuatu."
Kavi mendesah kecil, lalu berkata, "Phoenix Chamomile, non alkohol."
Sebuah tawa pelan keluar dari mulut bartender. "Wow! Selera Anda sangat bagus, apakah Anda sering ke tempat seperti ini?" tanyanya sambil mulai menyiapkan pesanan.
Kavi tersenyum tipis. "Apa aku terlihat seperti orang yang sering ke sini?"
Pria itu terkekeh. Sebelum ia selesai menyiapkan minuman, dua wanita mendekati Kavi. Salah satu dari mereka memiliki rambut pirang ikal yang menjuntai ke bahunya, dengan mata biru tajam. Yang lainnya, berambut hitam lurus, memiliki kulit sawo matang dengan bibir merah menyala. Suara mereka lembut dan menggoda. "Hai, sendirian di sini?" tanya salah satu, menyentuh lengan Kavi dengan santai.
Kavi mundur selangkah, wajahnya kaku. "Aku di sini untuk urusan penting."
Wanita itu terkikik. "Urusan penting apa, hmm?"
"Bukan urusan kalian," balas Kavi ketus.
Alih-alih mundur, respons dinginnya justru membuat kedua wanita itu semakin tertarik. Kavi, yang semakin geram, akhirnya berteriak, "Kenapa para assassin harus bersembunyi di tempat seperti ini?!"
Seakan tersentuh oleh mantra gaib, suara dentuman musik tiba-tiba lenyap. Suasana berubah menjadi tegang dalam sekejap. Semua orang di ruangan itu berhenti bergerak, memutar tubuh mereka dengan serempak, dan menatap Kavi dengan tajam. Dalam hitungan detik, berbagai senjata teracung ke arahnya. Kedua wanita yang sebelumnya menggoda Kavi pun berubah drastis; mereka mengeluarkan pisau kecil berkilauan yang tersembunyi di paha mereka, mengarahkannya ke leher Kavi. Ujung bilah dingin itu me-nyentuh kulitnya, membuat napasnya tercekat. Ia berdiri kaku, dada berdegup kencang seperti genderang perang, merasakan bahwa ia telah memasuki sarang serigala tanpa sengaja.
Dari sudut gelap, seseorang tertawa keras. Pria bertopi koboi itu, yang sebelumnya hanya duduk membisu, bangkit. Ia melepas topinya, memperlihatkan wajah tua dengan rambut tipis berwarna perak. Namun penampilannya jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Profesor Ian Hodder, lelaki 76 tahun asal Inggris, melangkah mende-kat. "Itu lucu," katanya lalu mengangkat sebelah tangan.
Sedetik kemudian semua senjata diturunkan, dan semua orang kembali ke kegiatan mereka masing-masing.
"Ikuti aku," kata Prof Hodder singkat.
Kavi mengikutinya menuruni tangga yang tersembunyi di bela-kang bar. Mereka memasuki lift yang tampak biasa, hingga Prof Hodder menekan tombol rahasia. Suara mekanik mengiringi terbu-kanya pintu ke sebuah ruangan bawah tanah yang mencengangkan. Ruangan itu luas, dipenuhi dengan peralatan canggih. Sebuah holo-map 7D menampilkan peta dunia yang hidup, beberapa komputer superkompleks menyala, dan perangkat berbentuk kapsul berjajar rapi di sudut. Sebuah perangkat VR menggantung di tengah ruangan seperti sebuah mahkota futuristik.
"Selamat datang di markas rahasia kami," ucap Prof Hodder.
Di sana, Kavi melihat wajah-wajah yang dikenalnya: Prof Dr. Hendra S. Pratama, Prof. Dr. Tutyana Suryawan, Prof Dr. Jane Lyondon, dan tentu saja Prof I Gede Ardana. Yang paling mengejut-kan adalah kehadiran Prof Helena Strauss, wanita pertama yang memperoleh gelar profesornya di usia 34 tahun.
Rambut hitam sebahunya bersinar lembut di bawah lampu neon, memberikan kesan misterius. Mata birunya yang tajam seper-ti menyimpan sejuta rahasia, mengintimidasi sekaligus memukau. Longdress hitamnya membalut tubuh dengan sempurna, menonjol-kan lekuk pinggang ramping dan punggungnya yang anggun. Belah-an dress di paha kirinya sedikit terbuka, memperlihatkan kulitnya yang sehalus porselen. Belahan dadanya pun tersingkap dengan elegan, memberikan sentuhan sensual namun tetap berkelas, me-nyiratkan aura percaya diri yang kuat. Meskipun ia tampak seperti gambaran seorang dewi malam, Kavi tahu sisi pragmatis Prof Helena—ia tidak akan mandi sebelum pekerjaannya selesai. Namun, aroma tubuhnya malam itu, perpaduan lavender dan kayu cendana, memastikan bahwa ia telah membuat pengecualian khusus.
"Jadi, kau sudah membuat keputusan?" tanya Prof Helena, mendekat dengan tatapan tajam.
Kavi diam sejenak.
"Lalu untuk apa kau di sini?" Helena menekankan. "Ini bukan tempat untuk karyawisata. Kembalilah."
"Cukup!" bentak Prof Hendra, suaranya menggema di ruangan itu seperti gelegar petir. Namun, Prof Helena menatapnya dengan tatapan tajam dan membalas lebih sengit, "Kau tidak bisa terus menerus mengintervensi setiap keputusan, Hendra. Biarkan dia memilih jalannya!"
"Tapi ini terlalu berbahaya, dan kau tahu itu!" Hendra tidak mundur.
Prof Suryawan mencoba menenangkan, "Kita di sini untuk mendukung, bukan memaksakan."
Namun Kavi akhirnya memecah ketegangan, suaranya tenang tapi menusuk, "Mesin mana yang dipakai ayahku sebelumnya?"
Seketika suasana berubah hening. Helena tersenyum sinis. "Tentu saja, Renesia dengan versi lama."
"Profesor Helena!" sergah Prof Hendra, namun Prof Ardana menghentikannya.
"Ikut aku." Kata Prof Helena.
Helena memandu Kavi ke sebuah perangkat canggih berbentuk kapsul tanpa penutup yang terletak di tengah ruangan. Dengan ke-tenangan seorang ilmuwan sejati, ia mulai menjelaskan mekanisme mesin itu. "Mesin ini, yang kami sebut Renesia 2.0, ini adalah hasil pengembangan dari versi sebelumnya. Dalam versi lama, sistemnya mengandalkan stimulasi memori genetik melalui DNA saja. Namun, sering kali pengguna mengalami efek samping seperti disorientasi temporal, trauma neurologis, hingga kerusakan permanen pada otak jika sinkronisasi gagal. Itulah sebabnya, meskipun ayahmu pernah menggunakannya, ia tidak pernah sepenuhnya pulih."
Kavi lagi-lagi diam. Otaknya bertanya-tanya, "Apa yang sebenar-nya dialami Ayah?"
Ia menunjuk ke layar holografis yang menampilkan simulasi jaringan otak manusia. "Kini, kami telah memanfaatkan teknologi pemetaan kuantum otak dan penguatan sinyal neuron. Dengan begitu, koneksi antara ingatan genetik dan kesadaran menjadi lebih stabil. Renesia 2.0 dapat meniru lingkungan memori dengan tingkat akurasi hingga 98 persen, tanpa perlu khawatir akan kerusakan mental."
Helena menatap Kavi, matanya tajam seperti seorang penguji. "Namun, tetap ada batasan yang tidak bisa kami atasi. Mesin ini hanya dapat membaca memori genetik dari DNA yang sepenuhnya cocok dengan memori yang dituju. Jika ada sedikit saja ketidaksesu-aian, perangkat ini tidak akan dapat memproses data dengan benar. Itulah mengapa DNA yang kau bawa harus benar-benar valid."
Kavi mendengarkan dengan saksama, matanya menyipit. "Lalu, bagaimana jika DNA itu tidak sepenuhnya cocok?"
"Mesin akan berhenti secara otomatis untuk mencegah kerusa-kan lebih lanjut," Helena menjawab, senyum tipis terukir di bibirnya. "Tetapi jika DNA itu valid, kau akan terhubung langsung dengan memori leluhurmu. Kau tidak hanya akan melihat masa lalu—kau akan menjadi bagian darinya."
Helena memiringkan kepala sedikit, belahan dress hitamnya terbuka lebih lebar saat ia melangkah mendekati mesin. Dengan gerakan anggun, ia membuka bagian kontrol mesin dan berkata, "Semua sudah siap. Satu pertanyaan terakhir: Apakah kau sudah mengambil keputusan?"
Kavi diam, mengatur napas lalu berkata, "Ayo lakukan."