Tepi Kawah Gunung Bromo, 2015.
Kavi sama sekali tidak mengeluarkan suara meski benakna bertanya, "Apa maksudnya orang tua itu?"
"Nirvan! Keturunan Nirvan! Kami sudah lama menunggumu," ucap Sang Ragil terbata-bata. Raut wajahnya jelas menunjukkan kebahagiaan yang tak terukur.
"Kita harus segera pergi dari sini," kata Kavi pada ayahnya.
"Tolong. Akhiri misi ini," sambung Sang Ragil sambil tertatih-tatih mendekat dan menggenggam celana Kavi.
"Apa maksudnya ini?" Kavi kembali bergumam dalam hati.
"Aku tidak percaya, kalau kau Sang Penerus," Yajna menyahut lalu membungkuk memberi hormat.
"Hentikan lelucon ini!" Kavi menghentak. "Mana mungkin aku keturunan Nirvan sementara ayahku bukan?"
"Ayahmu?" Yajna balas bertanya sambil melihat ke arah yang Kavi tunjuk.
"Lepaskan jenggotmu. Mungkin orang tua ini tidak mengenalimu karena wajahmu ketutup jenggot palsu itu," Kavi menggerutu.
"Percuma. Mata Sang Ragil berbeda dengan kita," Yajna menyela sambil membantu Sang Ragil kembali pada tempat duduknya menghentikan Afkari yang hendak melepas rambut palsunya. "Penglihatan Sang Ragil telah diambil karena usianya yang hampir seratus tahun," ia menjelaskan. "Tapi beliau diberkati dengan pandangan cahaya,"
"Apa itu?" tanya Afkari antusias sebab anaknya sama sekali tidak berkata-kata dan hanya terus menatap tajam ke arahnya.
"Para Assassin menyebutnya eagle vision," jawab Sang Ragil.
Mendengar itu seketika ekspresi Kavi berubah. Dengan cepat, bahkan sampai Yajna tidak sempat bereaksi, bocah tujuh belas tahun itu telah menggenggam keras kerah Sang Ragil. "Apa hubunganmu dengan mereka?!"
"Lepaskan!" Afkari berseru dibarengi Yajna yang mengarahkan belatinya ke leher Kavi. Namun itu sama sekali tak membuatnya takut. Bocah tujuh belas tahun itu tetap melempar pandangan menusuknya.
"Gerakannya sangat cepat. Ini jelas kalau dia Sang Penerus. Tapi kenapa dia mendadak marah?" Yajna membatin.
"Kavi, lepaskan!" Afkari kembali berseru membuat anaknya mengembus napas kesal lalu mundur untuk memberi ruang pada Sang Ragil.
Pria paruh baya itu terbatuk lalu mengatur napas. "Pusaka yang kalian cari, itu dibawa oleh mereka,"
"Apa maksudmu kalau pusaka itu milik mereka?" Afkari menyahut sambil menepuk pundak anaknya. Berusaha membuat bocah tujuh belas tahun itu tenang.
Sang Ragil menggeleng.
"Itu milik Sanghyang Janmawalijaya," Kavi ikut menanggapi, tapi ekspresinya sama sekali tidak berubah.
Mendengar itu seketika Afkari mengingat penjelasan Kavi sebelumnya di depan rune of stone.
"Kalian pasti sudah membacanya, itu kenapa kalian datang ke tempat ini," Sang Ragil menebak.
"Apa hubungan kalian dengan kelompok itu?!" Kavi menyentak mengacuhkan segala omongan yang didengarnya.
"Kami hanya berbagi misi," jawab Sang Ragil. "Sudah seribu tahun lalu lebih, kami menjaga pusaka itu," ia menjelaskan.
"Dan gara-gara itu, banyak orang mati di desa ini," kata Kavi sinis.
"Lebih baik sedikit berkorban untuk menyelamatkan lebih banyak nyawa," Sang Ragil merespons.
"Brengsek! Kau anggap apa nyawa manusia, hah?!" teriak Kavi.
"Kavi!" Afkari menghardik sambil melakukan kuncian leher pada anaknya. Memaksa bocah tujuh belas tahun itu tetap pada tempatnya.
"Kenapa?! Mereka membunuh Elly!" Kavi balas membentak.
"Itu belum tentu mereka!"
"Mana mungkin bukan?! Jelas-jelas pakaiannya sama!"
"Kalau mereka tahu kau Sang Penerus, mereka justru akan membantumu," Sang Ragil menyahut.
"Cih! Berhenti bicara omong kosong!" kritik Kavi. "Lepaskan! Kita tidak ada waktu untuk bermain-main di sini,"
"Tentu saja, kalau kau sudah bisa mengendalikan diri," tutur Afkari.
"Kami memang tidak tahu apa yang terjadi pada kalian sebelumnya," ucap Yajna menyerobot. "Pasti ada kesalahpahaman,"
"Misi mereka memang mencegah orang-orang menemukan catatan terakhir itu," Sang Ragil menambahkan. "Tapi tidak sampai membunuh,"
"Kau pikir itu masih berlaku setelah seribu tahun?" tanya Kavi lebih kepada mengejek.
Mendengar itu seketika Afkari menguatkan cengkramannya. "Apa itu misi yang kalian minta?"
Sang Ragil menyetujui dengan anggukan lalu berkata, "Kami tidak minta banyak ... ambil pusaka itu, dan akhiri misi ini untuk kami," Sang Ragil memohon sambil membungkuk badan.
"Tentu saja! Kami akan mengambilnya tanpa perlu mengorbankan banyak nyawa seperti yang kau dan leluhurmu lakukan! Dan tentu saja kami akan memusnahkan semua keturunan Assassin dan Templar!" ujar Kavi yang langsung disusul dengan cengkraman kuat dari ayahnya sampai membuatnya pingsan.
"Tolong, maafkan ucapan anakku," kata Afkari setelah membaringkan Kavi. "Dia hanya belum bisa menerima kematian ibunya,"
"Aku tahu ....memang bukan hal mudah merelakan keluarga yang meninggal terlebih dulu, apalagi karena dibunuh," Sang Ragil menyahut.
"Maaf kalau perkataanku tidak sopan, apa istrimu meninggal saat mencari pusaka itu?"
Afkari mengangguk setuju. "Sepertinya kondisi di sana cukup buruk," katanya sambil melihat ke belakang setelah samar mendengar suara ledakan. "Bisa kami ambil pusaka itu sekarang?"
Sang Ragil tidak langsung menjawab. Matanya melihat ke arah Kavi yang tak sadarkan diri. Selanjutnya ia berkata, "Yajna, pandu mereka."
Pria yang dipanggil namanya membungkuk penuh hormat.
Tak berselang lama setelah ketiganya pergi dan lenyap dari pandangan Sang Ragil, Fahad muncul dari balik bebatuan bersama kedua rekannya. Mendekat kepada pria paruh baya itu dengan penuh kehati-hatian hingga tidak menimbulkan suara sama sekali.
"Ayah, Kakek, dan para pendahuluku," gumam Sang Ragil menggunakan bahasa setempat sambil melihat kosong ke dalam kawah. "Aku tidak tahu apakah ini keputusan yang tepat atau keliru. Setidaknya hanya ini yang bisa kulakukan untuk membebaskan desa. Biarlah yang sudah berperang, melanjutkan peperangan mereka tanpa melibatkan orang lain yang bukan perkumpulan mereka,"
Gumamannya hanya sampai di situ sebab Fahad menancapkan hidden blade-nya pada perut Sang Ragil. Pria paruh baya itu cepat memegangi perutnya yang berlubang dan mulai mengeluarkan darah sambil melihat ke arah si pelaku. Tersungkur jatuh, ia terbata-bata berkata, "Assassin! A-aku ... kami telah me-menuhi misi kalian, ke-napa?"
"Kau pikir itu masih berlaku setelah seribu tahun?" Fahad balas bertanya menggunakan bahasa Inggris dengan tatapan menusuk.
Sang Ragil terkejut mendengar kalimat yang sama dengan yang diucapkan oleh keturunan Nirvan. Ia tersenyum sambil membiarkan tubuhnya terbaring di tanah. Pandangannya makin kabur, jantungnya berdetak kencang, sementara tubuhnya merasakan hawa dingin yang berlebih.
"Hahaha ... memang, hanya ada kematian yang kejam untuk seorang pembunuh," gumamnya dengan otak yang mendadak memunculkan adegan ketika dirinya menancapkan sebilah pisau pada perut ayahnya, sebab ia menolak akan keputusan ayahnya yang berusaha mengembalikan pusaka itu pada Assassin. Dirinya berpikir itu sudah seperti simbol bagi desa yang ditinggalkan oleh leluhur. Namun sekarang, pada akhirnya, ia justru melakukan hal yang sama dengan ayahnya.
"Tentu saja kontraknya berakhir, setelah kau membiarkan para pendosa itu mengambil stone of Eden." Fahad menambahkan lalu meninggalkan Sang Ragil begitu saja, membiarkan pria paruh baya itu dihampiri oleh kematian.
***
Seorang kopassus dengan kode nama serigala yang menjaga pintu masuk Tengger melakukan pekerjaannya dengan begitu apik, bahkan nyaris sempurna. Ia menggunakan keterampilannya dengan maksimal, memanfaatkan segala macam benda yang ada di sekelilingnya, bahkan membuat pohon menjadi ketapel yang melemparkan peledak. Lebih mengejutkannya adalah jebakan sederhana yang biasanya hanya dipakai untuk menangkap burung puyuh, dapat membuat para pemburu kerepotan.
Sayangnya jumlah yang banyak dan penyerangan secara bersamaan tak bisa membuat serigala melumpuhkan mereka semua, ada beberapa yang berhasil masuk ke Tengger, ada juga yang mampu mendaratkan pelurunya sampai menembus baju pelindung serigala. Namun berkat keterampilan yang dimilikinya ia berhasil selamat dari kematian yang begitu dekat.
Baru saja serigala selesai melakukan pengobatan sementara pada peluru yang bersarang di bahu kanan juga kaki kirinya, dua orang pria yang memakai jaket hitam dengan bersimbol salib templar warna merah keluar dari persembunyian mereka dan melempar tatapan kesal.
Tertatih-tatih, serigala bangkit. "Come," katanya setelah melihat wajah kedua orang itu yang jelas bukan dari tempat tinggalnya sambil mengarahkan mandau—senjata khas Kalimantan Timur—pada mereka.
"Apa yang kau katakan?" ucap salah seorang diantara mereka. "Kami ke sini untuk membantumu,"
"Mana ada penolong yang bersiap dengan pedang mereka?" sahut serigala cepat.
"Tentu saja yang kami maksud, menolongmu dari kesesatan." sambung rekannya yang berambut pirang. Kemudian ia melompat dan melancarkan serangan.
***
Sementara itu di Tengger, luapan api menyala-nyala hampir di sepanjang tempat. Sebagian besar rumah ambruk dengan kobaran yang meluap-luap. Tak sedikit warga kehilangan nyawanya, sedangkan lainnya bersembunyi bersama Abdi Dalem dan anggota kopassus.
"Bagaimana kondisi mereka?" tanya Edhi begitu melihat Kesuma keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Buruk," Kesuma menanggapi lalu mengambil teropong yang disodorkan Edhi. "Aku sudah mengobati mereka, tapi tak bisa melakukan apa pun soal mental mereka,"
"Berapa banyak orang yang siap membantu?"
Kesuma tidak berkata, ia mengembalikan teropong Edhi sambil menunjuk ke belakang menggunakan matanya.
Edhi melihat tiga orang pria yang keluar. "Itu cukup. Suruh mereka menjaga tempat ini sambil bersembunyi. Gunakan senjata yang ada,"
Setelah memberi perintah pada ketiga pria tadi Kesuma kembali bertanya, "Apa itu masih bisa dipakai?"
"Kami memang siap berperang, tapi tidak banyak amunisi yang dibawa," Edhi menjelaskan. "Setidaknya, masih ada beberapa peluru di sini," sambungnya sambil menepuk senapan AK-47.
"Aku tidak menyangka mereka membunuh warga biasa," tutur Kesuma kesal.
"Kita akan tahu motifnya kalau berhasil menangkap salah satu dari mereka," ucap Edhi.
Belum sempat Kesuma kembali berkata, kopassus dengan kode nama gagak muncul dari balik batu. "Izin, lapor Komandan. Semua warga dalam kondisi terluka dan ketakutan, tapi mereka masih aman,"
"Bagaimana dengan orang-orang dari Keraton itu?!" Kesuma bertanya setengah berteriak.
Melihat gagak yang tak langsung menjawab Edhi memberi perintah menggunakan isyarat.
"Dua wanita dan satu laki-laki meninggal, satu laki-laki terluka parah, sementara tiga sisanya masih dalam kondisi bagus,"
"Apa ada lainnya?" Edhi menebak.
"Orang-orang yang baru datang berkumpul di tengah desa," jawab gagak.
"Apa itu bala bantuan Keraton?" Kesuma menyahut.
"Bukan, mereka tidak ada di pihak mana pun," ucap gagak.
Edhi tidak langsung menanggapi. Ia mengambil alkomlek miliknya untuk menghubungi serigala, sayangnya tak tersambung. "Periksa senjata!"
"Siap! Sisa 1 magazine, dua belati dan satu celurit,"
"Pergilah ke lokasi tiga, dan bantu serigala,"
Serigala mengangguk kemudian bergegas pergi meninggalkan mereka.
"Kita berangkat sekarang," kata Edhi sambil membereskan perlengkapannya.
"Aku akan membunuh bocah Raksa itu!" tutur Kesuma dengan mengikuti langkah Edhi.
***
Beberapa meter dari goa yang dibuat oleh Edhi, Kesuma dan warga Tengger.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Raksa begitu melihat Tasmirah yang datang mendekat. Kondisi wanita itu cukup parah. Tangannya terkilir dan hampir seluruh kepalanya dibalut perban akibat berusaha menyelamatkan salah seorang warga dari sebuah ledakan.
Wanita empat puluh tahunan itu menunjukkan raut wajah sedih lalu berkata, "Dia sekarat,"
Raksa menunduk kepala lalu mengatur napasnya, berusaha mengendalikan gejolak amarah yang meletup-letup. "Aku pasti akan membunuh Kesuma!" gumamnya.
"Bagaimana kondisi di sana?" tanya Tasmirah beberapa saat kemudian.
"Aku tidak tahu apa yang kopassus itu katakan, tapi ada tiga pria tambahan yang membantunya," Raksa menjelaskan sambil kembali menerka jauh.
"Apa sebaiknya kita kabur saja?" Tasmirah kembali bertanya, terbata-bata.
"Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja," jawab Raksa sambil melihat warga Tengger yang terluka parah. "Aku tahu ini berisiko, tapi ... kita tidak punya pilihan,"
"Dia benar," sahut salah seorang Abdi Dalem yang masuk dalam anggota Kaprajan.
"Dierja," panggil Raksa begitu melihat rekannya yang kembali dengan selamat.
Pria yang dipanggil namanya itu membalas pelukan dari rekannya.
"Mana Bhadirka?" tanya Raksa.
"Dia ... gugur," jawab Dierja.
"Apa katamu?!" sorak Tasmirah yang terduduk lemas lalu berlinang air mata. "Dua orang sudah mati! Dan sekarang, Bhadirka juga mati! Kita sudah kehilangan banyak konco! Bagaimana nasib kita?!" serunya terisak-isak.
Dierja mengembus napas lalu menepuk pundak Tasmirah. "Kita bisa pergi dari sini,"
"Aku tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja!" Raksa menyambung sambil menunjuk warga Tengger menggunakan matanya.
"Aku tahu," ucap Dierja. "tapi kita punya kesempatan untuk kabur dan membawa mereka semua,"
Mendengar itu Raksa melebarkan kedua matanya, merasa ada secercah cahaya harapan.
"Ada segerombol orang bersenjata, aku tidak tahu siapa mereka, tapi yang pasti ... mereka bukan dari kelompok kopassus itu," Dierja menjelaskan. "Biar mereka saling berperang. Kita gunakan kesempatan itu untuk kabur,"
"Itu ide yang bagus!" Tasmirah berseru.
"Bagaimana dengan orang-orang yang disandera?" tanya Raksa cepat.
Dierja menggelang tanpa kata.
Ketiga orang itu diam dengan kepala tertunduk.
Seakan mengerti apa yang sedang dibahas oleh mereka salah seorang bocah mendekat lalu menarik pelan celana Raksa.
Pria itu melempar senyum sambil menyamakan tinggi dengan bocah itu.
"Mama," kata bocah itu sambil menunjuk ke arah tempat persembunyian Edhi.
Raksa mengatur napas, berusaha mengendalikan air matanya agar tak tumpah. Ia mengelus kepala bocah itu dan berkata, "Kami pasti akan menyelamatkannya."