Chereads / Assassin's Creed - Nusantara / Chapter 4 - Archaeologist Law (2)

Chapter 4 - Archaeologist Law (2)

Sepuluh menit berlalu sejak semua pemburu meninggalkan Kedung Jabang Bayi. Kedua arkeolog yang telah yakin kalau kondisi aman, akhirnya keluar dari tempat persembunyian mereka. Semak belukar yang ada tepat di sisi tebing. Beberapa langkah dari tempat para pemburu menilik ke bawah.

"Kita beruntung tidak jadi mayat," kata Afkari yang melihat jauh ke bawah.

Sementara di sampingnya, Kavi yang juga melakukan hal sama dengannya tak bersuara. Tatapannya perlahan kosong. 

"Sebenarnya, apa yang bocah itu pikirkan?" gumam Afkari.

Yang ada dalam pandangan Kavi bukan sekadar air dan tanaman yang terbakar, melainkan bagaimana dirinya bisa melakukan leap of faith seperti dalam mimpinya?

"Kita harus pergi," ucap Afkari mengejutkan Kavi.

Dan sekali lagi, anak laki-laki itu tidak membuka mulutnya, ia hanya mengangguk.

***

Gedung Pertemuan Ki Hajar Dewantoro BPMP D.I Yogyakarta, 2015.

"Selamat datang," ucap pria bersetelan khas Jawa dengan blangkon dan kain batiknya tanpa mengenakan alas kaki.

Afkari dan Kavi bergantian menjawab jabatan tangan Abdi Dalem tersebut.

"Maaf kalau membuat Anda menunggu," tutur Afkari ramah.

"Kami tahu apa yang Tuan lakukan," jawab Abdi Dalem itu sambil menunjukkan sebuah berita melalui ponselnya.

Afkari menggaruk kepala sambil terkekeh lalu berkata, "Yah.... semua selalu ada alasannya,"

"Silakan, Sultan sudah menunggu," ucap pria itu mengindahkan kalimat Afkari sambil menunjuk sebuah mobil yang terparkir di halaman bangunan tersebut.

*** 

Di dalam mobil hitam yang dikendarai oleh Abdi Dalem sebelumnya, Kavi duduk bersama Afkari sementara tepat di samping si supir duduk seorang Abdi Dalem perempuan berusia 35 tahunan yang berpakaian kebaya dan bersanggul.

"Perkenalkan, saya Tasmirah, dan ini Raksa," ucap Abdi Dalem perempuan mengawali pembicaraan. "Saya tahu ... kalian pasti bertanya-tanya, kenapa Abdi Dalem seperti kami mengendarai mobil bukannya delman,"

Merasa ayahnya tidak akan menjawab, Kavi membuka mulut, "Ada informasi yang tidak boleh orang lain tahu?" ia menanggapi dengan tetap mengarahkan pandangannya keluar kaca mobil. Mengamati kerumunan orang yang berebut mencari tahu apa yang sedang terjadi. Meski otaknya sempat menimbang para pemburu, tapi sepertinya pengawalan Abdi Dalem membuat mereka tidak bisa bertindak dengan ceroboh seperti sebelumnya.

Tasmirah menyetujui dengan anggukan kepala. "Sebelum itu ... biar saya jelaskan beberapa hal yang harus kalian patuhi di Keraton nanti," ucapnya lalu menyerahkan sebuah berkas pada Afkari.

Pria itu membaca berkas di tangannya sambil mendengarkan penjelasan Tasmirah, sementara Kavi tetap pada aktivitasnya.

"Pertama, tamu harus mengenakan pakaian yang sopan, bersih dan rapi,"

"Maaf, sepertinya ... kami perlu mampir ke tempat sewa," tutur Afkari sebab ia dan anaknya hanya membawa kaos dan perlengkapan lain untuk penelusurannya. Lebih daripada itu, akibat dikejar para pemburu juga warga membuat mereka banyak kehilangan barang.

"Kalau Tuan berkenan, kami bisa meminjamkannya," ucap Raksa menanggapi.

"Kami menyediakan berbagai macam pakaian yang biasa kami pinjamkan untuk para tamu Keraton," Tasmirah menyahut. 

"Itu melegakan, apalagi ... kalau tidak ada biaya sewanya," 

Kavi melempar tatapan sinisnya setelah mendengar perkataan Afkari. Dan seperti biasa, pria 40 tahunan itu hanya terkekeh tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Tentu saja, itu adalah bagian dari pelayanan kami untuk para tamu Keraton," jawab Raksa.

Merasa persoalan tersebut telah selesai, Tasmirah kembali melanjutkan penjelasannya. "Kedua, dilarang bersikap tidak sopan kepada Sultan, keluarga Keraton, Abdi Dalem, dan tamu lainnya. Ketiga, dilarang mengganggu pekerjaan Abdi Dalem. Keempat, dilarang bersel—"

"Maaf," kata Kavi memotong kalimat Tasmirah setelah ia melihat ke arahnya dengan pantulan cermin di dalam mobil. "Kami paham aturan dasar semacam itu. Apa tidak ada hal yang lebih penting untuk kami dengarkan?"

Raksa terkejut mendapat pertanyaan menohok dari bocah di sana. Semestinya, anak seusianya tidak mungkin berkata demikian. 

"Jadi, kalian sudah tahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sana?" 

Afkari mengangkat sebelah alisnya setelah mendengar pertanyaan dari Tasmirah. Dalam benaknya, ia memang belum sempat mendalami informasi terkait Keraton sebab terlalu sibuk mencari tempat yang perlu ia ungkap secara mendetail tentang struktur bangunan dan sejarah yang telah beredar. Yang Afkari pahami hanyalah 7 aturan dasar wisatawan di Keraton, bukan aturan yang mesti ditaati oleh tamu Sultan.

"Tentu saja," jawab Kavi membuat ayahnya syok. "Walau tidak mendetail. Tapi setidaknya itu takkan membuat Sultan-mu marah,"

"Senang mendengarnya, kalau begitu ini tidak akan jadi lama," ujar Tasmirah dengan senyum sinis pada wajahnya.

"Tu-tung—" 

"Jadi, kalian sudah tahu apa yang harus dilakukan di meja makan nanti?" tanya Tasmirah memotong ucapan Afkari.

"A-apa?! Makan bersama Sultan?" Afkari terkejut sendiri.

Sementara di sisinya Kavi menjawab, "Kami akan duduk di kursi yang diminta dan mulai makan setelah Sultan menyilakan dan menghabiskan setengah dari makanannya,"

Seakan tak puas dengan jawaban Kavi, Tasmirah mengimbuhinya, "Jangan sampai membuat Sultan memaksa,"

Namun tidak mendapatkan respons apa pun dari Kavi.

"Apa kalian bisa bahasa Jawa?" tanya Raksa menghapus keheningan yang bahkan tak berlangsung lebih dari tiga detik.

"Ya, sedikit," sahut Afkari.

"Kami tidak akan memakainya untuk bicara dengan Sultan," Kavi menyambung.

"Kenapa?" tanya Afkari.

"Kalau kau tidak terbiasa bahasa Krama Alus, lebih baik diam atau gunakan bahasa yang biasa kau pakai," 

"Sultan mengusai banyak bahasa. Sebaiknya kalian tidak menghinanya dengan bahasa yang tak kalian kuasai," terang Tasmirah menguatkan penjelasan dari Kavi.

"Sejak kapan kau—" kalimat Afkari terhenti di situ setelah melihat tatapan anaknya. Padahal ia yakin sekali kalau bocah berumur tujuh belas tahun itu sama sekali belum mencari tahu informasi mengenai Keraton Yogyakarta.

Ia ingat beberapa minggu sebelum mereka berangkat, Kavi seperti biasa kembali memaksa untuk ikut dalam pekerjaannya.

"Aku sudah dapat izin untuk pergi," ucap Kavi sambil bersender di kusenan pintu kamar ayahnya.

"Kalau kau terus izin, bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Afkari tetap membereskan perlengkapan di kamarnya. "Lagi pula, kau harus mengambil ujian fakultas sebulan lagi, kan?"

"Aku sudah diterima,"

"Jangan mengada-ada,"

Kavi menyodorkan ponselnya ke hadapan Afkari, memaksa pria itu membaca sesuatu yang ditujukkan anaknya. Dan alangkah terkejutnya ia mendapati kalau Kavi telah menerima beasiswa untuk kuliah di fakultas arkeologi University of Cambridge.

Afkari menengadah kepala lalu terbahak. Kemudian menatap mata anaknya tajam. "Kapan kau mulai keluar dari SMA?"

"Seminggu, setelah kau minta ujianku dimajukan," jawab Kavi seraya mengambil ponselnya dan mengotak-atiknya untuk ia kembali menunjukkan sesuatu di sana. "Telponlah,"

Afkari menerimanya lalu berkata, "Selesaikan ujianmu dalam tiga hari,"

Kavi mendengus, tapi akhirnya ia menyetujuinya dengan anggukan kepala.

Afkari menyeringai, kemudian menelepon Kepala Sekolah.

"Perlu digaris bawahi!" tegas Tasmirah. "Kalian dilarang keluyuran seorang diri tanpa pemandu, dilarang menyentuh bagunan Keraton tanpa izin, dan dilarang ... menggoda cucu Sultan," Tasmirah memperingati, lebih tertuju kepada Kavi.

"Ya ... kalau memang begitu aturannya," sahut Kavi. "kami bahkan tidak keberatan memakai baju seperti pria di sana," sambungnya. "Bahkan kalau harus memakai bahasa Bagongan seperti yang biasa kalian pakai,"

Afkari tersentak. Terbata-bata ia berkata, "Tu-tunggu...."

Namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya Tasmirah berbicara, "Terima kasih atas niat baiknya, tapi ... tidak perlu sejauh itu," ucap perempuan itu akhirnya. "Kalian cukup mematuhi peraturan tadi dan peraturan yang ada selama ini,"

Afkari dan anaknya mengangguk kompak.

"Dan ada satu hal lagi yang perlu aku sampaikan. ....Ada hadiah dari Sultan,"

Tiba-tiba Kavi merebut berkas dari tangan ayahnya, membalikan lembar kertas dan mencari sesuatu di sana. Kemudian seringainya berkilat lebar.

Seakan mengetahui perbuatan anaknya, Afkari mengembus napas panjang. "Aku minta maaf atas sikap anakku,"

"Sampaikan permintaan maafmu itu pada Sultan." sahut Tasmirah dengan wajah sinis. Membuat Afkari menebak kalau ketidaksukaan wanita itu pada Kavi barangkali disebabkan oleh hal yang diminta anaknya. Tapi, hal apa itu?

"Jadi ... apa hanya ini hal penting yang perlu kau sampaikan?" tanya Kavi beberapa saat kemudian.

Tasmirah tidak langsung menjawab, ia memberi kode pada Raksa untuk pria itu memejet beberapa tombol pada mobil. Kemudian sebuah layar muncul di hadapan keluarga arkeolog itu dibarengi suara Tasmirah, "Lihatlah,"

Keduanya mengamati rekaman CCTV yang muncul pada layar. Alangkah terkejutnya mereka mendapati seorang anak perempuan yang mendadak menghilang bak ditelan angin.

"Aku tahu ini di luar nalar manusia, tapi ini terjadi setelah kalian menemukan ruang tersembunyi di Candi Prambanan. Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari Wironegoro jadi sering mencoba banyak hal tentang benda yang kalian temukan itu," Tasmirah menjelaskan. "Tolong ... bantu kami menemukan Raden Ajeng," pintanya sambil membungkuk badan menghadap ke belakang yang diikuti oleh Raksa.

Afkari tak dapat menutupi keterkejutannya setelah mengetahui kalau anak perempuan itu adalah cucu Sultan Hamengkubuwono X. "Sultan belum tahu?"

Tasmirah menggeleng. 

"Mana mungkin seorang kakek bersantai menyambut tamu sementara cucunya hilang begitu saja?" Kavi menyahut.

"Akan jadi masalah besar kalau sampai media memberitakannya," ucap Afkari menghiraukan perkataan anaknya.

"Ini adalah kesempatan bagus," sambung Raksa. "kalian bisa masuk ke Keraton dan membawa kembali Raden Ajeng sebelum Sultan menyadari kehilangannya,"

"Bagaimana dengan—"

"Gusti Kanjeng Ratu Pembayun dan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro secara pribadi meminta bantuan kalian," tutur Tasmirah memotong kalimat Afkari. Ia menyerahkan sebuah surat pada si arkeolog itu.

Kavi mengambilnya dan membaca isi pesannya.

"Tunggu dulu, bagaimana caranya kami mencari anak itu sementara Sultan meminta kami untuk bertamu?" tanya Afkari.

Kavi mendengus lalu berkata, "Sudah biasa, hanya kau yang diundang, kan?"

Afkari mengembus napas panjang sambil mengusap wajahnya. "Kalian pikir ini gampang, menghabiskan waktu seharian bersama Sultan?"

"Batasnya sampai Dzuhur, Sultan ada acara setelahnya," Tasmirah mengomentari.

"Mana mungkin bocah ini bisa menemukannya dengan waktu sesingkat itu?!" tanya Afkari sedikit berteriak.

Sementara Kavi menunduk kepala, berusaha memunculkan beragam hipotesis dalam kepalanya lalu berkata, "Ulang rekamannya,"

Raksa menuruti apa yang diminta bocah berusia tujuh belas tahun itu. 

Sekali lagi Kavi mengamati dengan teliti sampai membuat Raksa harus memutarnya berulang kali, hingga memperlambat rekaman itu. Dan akhirnya ia menemukan sebuah peluang. "Apa yang dia bawa?"

"Akan kuperbesar," Raksa menanggapi cepat.

Afkari dan anaknya melihat apa yang ditampilkan, dan mereka kembali terkejut. 

"Rune of stone," bisik Afkari.

"Apa itu?" tanya Tasmirah hampir bersamaan dengan Raksa.

Sementara Kavi menggerakkan bibirnya mengikuti pergerakan mulut Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari Wironegoro.

"Apa yang dibacanya?" tanya Afkari mengabaikan semua ucapan yang didengarnya.

Kavi tidak menanggapi, ia terus saja sibuk dengan rekaman CCTV dan menggeledah galeri ponselnya. Setelah menghabiskan banyak waktu, senyum akhirnya terpampang pada wajahnya.