Semenanjung Malaya, 1125.
Pekikan elang menyerebak ke sebuah dataran yang ditumbuhi oleh pohon damar bersamaan kedua orang yang terus menggerakkan kaki mereka dengan lincah menyisir dedaunan dan semak belukar menggunakan kedua tangan, meninggalkan jejak yang teramat jelas. Kabar akan kematian Raja Ganjil Sarjuna tersebar cepat, mengumpulkan segerombol pasukan yang buru-buru mengejar si penjahat bertudung. Seri Mahawangsa memacu kuda dengan handal, memimpin prajuritnya untuk menangkap pelaku yang telah membunuh saudaranya itu.
Saat ia mengangkat sebelah tangannya, segera prajuritnya melakukan aksi seperti yang telah mereka pelajari sebelumnya. Membagi kelompok menjadi tiga regu kecil. Lima belas orang tetap mengikuti Seri Mahawangsa, dua puluh lima lainnya bergerak ke sisi kiri, sementara sepuluh pemanah menghentikan laju kuda mereka dan menyiapkan anak panah lalu membakar ujungnya untuk kemudian dilesatkan sesuai arahan sang komando.
"Mereka memblokir arah Barat," sahut salah seorang diantara keduanya. "Suara kuda semakin dekat,"
"Ayo lebih cepat!" seru pria yang berlari di depannya.
"Jalan mana yang mau kau ambil?"
Si pemuda yang berusia lebih muda menghentikan langkahnya sejenak, sebelum akhirnya ia menjejak batang pohon ulin dan bergelantungan pada dahannya untuk sampai ke ujungnya. Kedua bola matanya menyapu pandang cepat juga detail, sebelum akhirnya ia melompat dan menyerahkan punggunggnya ke tumpukan tumbuhan paku.
"Itu hanya pengalihan, mari pergi ke arah Barat," ucap si pemuda setelah menyamakan tempat berdirinya dengan rekannya yang lebih berumur.
"Mendengar pilihanmu, sepertinya semua pelatihan sebelumnya percuma," ucap pria itu.
Si pemuda menanggapi dengan sedikit memiringkan kepalanya.
"Apa kau lupa, mereka menyiapkan banyak jebakan di sana," si pria mencoba menjelaskan.
Dengan sedikit kesal si pemuda berkata, "Bahkan seekor burung puyuh akan hafal jika sudah melewatinya dua kali,"
"Tidak ada waktu untuk berdebat. Aku yang memimpin kali ini, jadi ikuti aku!"
"Dengar," ucap si pemuda menghentikan rekannya yang mau bergerak. "ada puluhan prajurit dari arah Timur, dan kita ... sudah meninggalkan jejak yang sangat jelas,"
Si pria melihat ke arah yang ditunjuk si pemuda, terpampang semak dan rerumputan yang tersibak menghasilkan garis yang tentu saja memudahkan para pengejar untuk segera menemukan mereka.
"Aku tahu kau belum menguasainya, tapi mari lakukan itu," pinta si pria.
"Akan jadi fatal kalau mereka membawa penembak jitu," tanggap si pemuda.
"Tidak ada waktu!" seru si pria setelah mendengar sorakan yang tampak begitu dekat.
Keduanya kembali melajukan kaki mereka dan melompat diantara batang bohon bagai bajing loncat. Dan tepat seperti apa yang diucapkan si pemuda sebelumnya, sebuah anak panah melesat dan mengenai kaki kiri si pria yang baru saja mau memijak batang pohon. Si pria jatuh, tersungkur di tanah.
"Sial!" rengeknya.
Si pemuda melompat turun bermaksud membantu, tapi keterkejutan tampak jelas di wajahnya setelah melihat kalau panah itu telah dibaluri oleh racun.
"Gigit ini," ucap si pemuda sambil menyerahkan kain yang sedari tadi membalut lengan kirinya.
"Apa yang mau kau lakukan?!" sentak si pria saat melihat rekannya mengambil sebilah pisau dari pinggangnya.
Tanpa menunggu persetujuan, si pemuda menyumpal mulut rekannya lalu mencabut anak panah dan merobek celana juga daging si pria. Kemudian menekan kedua daging itu kuat-kuat, mengeluarkan racun yang masuk sebanyak mungkin. Teriakan hampir menyebar ke seluruh hutan kalau saja si pria menyingkirkan kain yang menyumpal mulutnya.
Kondisi si pria kian membaik setelah si pemuda membaluri lukanya dengan getah batang daun talas kemudian menutupnya menggunakan daun binahong, lalu membalutnya memakai kain yang ia ambil dengan merobek lengan baju kirinya.
"Minum ini," kata si pemuda sambil menyerahkan sebuah ramuan yang baru saja diraciknya.
"Terima kasih," ujar si pria.
"Simpan itu kalau kita bisa selamat dari ini," tutur si pemuda setelah melihat segerombol pasukan keluar dari balik semak-semak.
"Hajar dia, Nak." sahut si pria dengan tetap menyerahkan berat tubuhnya pada batang pohon di belakangnya. Membiarkan rekannya menangani para prajurit yang mengejar mereka, sementara dirinya fokus untuk memulihkan diri.
Si pemuda mendekat perlahan sembari mengeluarkan pedang dari sarungnya, lalu mengacungkan ke arah prajurit yang mulai mengitarinya. Dengan sorot mata penuh ketenangan, si pemuda melakukan beberapa tebasan, itu hampir membunuh si prajurit tersebut kalau saja rekannya tidak cekatan membantu, meski si pemuda berhasil menangkis tusukan yang mengarah ke lehernya.
Serangan si prajurit kedua tidak berhenti di situ, ia mengayunkan pedangnya dengan terampil memaksa si pemuda mengelak sambil menjaga jarak. Sayangnya saat ia terlalu fokus, si prajurit ketiga mendepaknya hingga membuat si pemuda ambruk. Kalau saja ia tidak segera berguling menjauh, pastilah senjata dari si prajurit ke empat telah melubangi tengkoraknya.
Pertarungan berlanjut, satu orang pemuda yang baru saja selesai dari masa pelatihannya melawan empat prajurit terlatih akan berakhir dengan keterampilan mereka dalam berpedang termasuk menguasai alur pertarungan juga memanfaatkan medan. Dan itulah yang sedang dilakukan oleh si pemuda. Ia memanfaatkan batang pohon untuk membantunya memijak dalam mengelak serangan dari si prajurit kedua, kemudian ia melayangkan tebasan kepada prajurit pertama yang kurang siaga di belakangnya dan mengakhiri nyawanya dengan ayunan pedang berikutnya.
Seakan mengetahui arah serangan dari titik butanya, si pemuda membalikkan genggaman pedangnya, mengarahkan ujung lancipnya ke balik punggungnya, menembus badan si prajurit kedua di belakangnya. Sambil menghindari ayunan pedang prajurit keempat, si pemuda membalik badannya lalu menendang si prajurit kedua, membuat pedangnya tercabut. Dan dengan kelincahannya, ia memutar pedangnya melalui kepala, menangkis serangan dari prajurit keempat. Dalam waktu sepersekian detik, saat tangan dan pedang prajurit keempat terangkat si pemuda berhasil merobek perutnya yang disambung dengan tebasan ke atas.
Sayangnya itu membuat si pemuda tak sempat menghalau apalagi mengelak dari serangan si prajurit ketiga. Ia kembali tersungkur. Kala si prajurit ketiga mengangkat sebelah bibirnya, sedetik kemudian ia merasakan nyeri yang teramat pada perutnya.
"Sialan!" gerutunya menggunakan bahasa setempat, setelah ia menyadari kalau pedang si pemuda telah tertancap di tubuhnya. Si prajurit ketiga ambruk, badannya menegang sebelum akhirnya ia kehilangan nyawa.
"Ternyata, latihan itu memang ada hasilnya," kata si pria yang cukup kagum akan pencapaian si pemuda.
Si pemuda menghiraukannya. Mencabut pedang miliknya dari prajurit ketiga. Membersihkannya dari darah lalu kembali menyimpannya.
"Kau bisa berdiri?" tanya si pemuda sambil menjulurkan tangan.
"Sayangnya ... aku tidak ada tenaga untuk kabur," jawab si pria.
"Menyerahlah!" sorakan Seri Mahawangnya terdengar begitu keras dan menggema hampir ke seluruh isi hutan. Namun sangat disesalkan, sebab kedua pria bertudung itu sama sekali tidak mengerti apa yang diteriakkannya. Mereka tidak mengenali bahasa setempat.
Si pemuda menoleh ke sumber suara. Meski cukup terkejut akan jumlah pasukan yang menghadang dan hadirnya seorang penerus Raja Ganjil Sarjuna, ekspresinya jelas menunjukkan kalau ia tengah mencari cara untuk bisa kabur dari kepungan pasukan sebanyak itu.
Tertatih-tatih, si pria bangkit lalu berbisik, "Aku akan menahan mereka,"
"Mana mungkin orang yang tidak ada tenaga untuk kabur bisa melawan pasukan kerajaan?"
Seringai si pria berkilat. "Aku hanya tidak ada tenaga untuk kabur, bukan untuk bertarung,"
Si pemuda menghela napas sebelum akhirnya membuka mulut, "Aku akan ikut denganmu,"
"Pergilah! Kau terlalu muda untuk menghadapi kematian!"
"Aku takkan mungkin meninggalkanmu!"
Si pria mengacuhkannya, ia mengalihkan pandangannya ke arah orang yang memimpin sebelas orang prajurit dan sepuluh orang pemanah lalu berkata, "Aku adalah tamu Saudaramu, kenapa kalian mencoba membunuh kami?"
"Tutup mulutmu! Aku sama sekali tidak paham omonganmu, pembunuh!" sentak Seri Mahawangsa.
"Cih! Sepertinya bocah di sana tidak paham bahasa kita,"
"Bukannya semua anak Raja bisa melakukannya?"
Si pria tidak langsung menjawab. Ia melihat sorot mata yang penuh akan hawa membunuh dari Seri Mahawangsa, "Sepertinya, orang itu tidak mempelajarinya,"
"Ketidaktahuan selalu membawa petaka," tutur si pemuda penuh kejengkelan.
"Bukan kami pelakunya!" si pria kembali berteriak, kini ia memakai bahasa setempat yang dipelajarinya di sela-sela setelah melatih si pemuda, walau tak banyak yang ia tahu.
Bola mata Seri Mahawangsa menyapu sekeliling lalu berkata dengan urat yang mencuat di pelipisnya, "Saat ada mayat tergeletak di depanmu, kau bilang: 'bukan kau pelakunya'?"
"Apa yang dia bilang?" bisik si pemuda.
"Mana kutahu!" jawab si pria.
"Ini hanya membuang-buang waktu. Kita akan tamat kalau pasukan dari arah Timur datang menyergap," si pemuda menjelaskan. "Urus pemanahnya, lalu curi kuda mereka,"
Belum sempat si pria menanggapi, si pemuda telah berlari sambil mencabut pedang dari sarungnya. Dan secepat itulah pedangnya telah beradu dengan senjata dari prajurit Seri Mahawangsa. Namun itu hanyalah tipuan, tujuan sebenarnya adalah melempar bilah pisau. Sayangnya Seri Mahawangsa mampu menghidarinya semudah mengelak dari gigitan nyamuk. Melihat prajurit yang terlalu fokus kepada si pemuda, si pria memanfaatkan itu untuk mengaktifkan hidden arrow miliknya dan mengambil tiga nyawa prajurit pemanah.
Kekesalan tampak jelas di raut wajah Seri Mahawangsa. Dengan satu pecutan keras, ia membuat kudanya meringkik dan berlari menuju ke arah si pria. Mendapati si pemuda menghalau jalannya, Seri Mahawangsa menggenggam pedang panjangnya lalu menghantam si pemuda sampai ia terpental.
Melihat itu, si pria tahu kalau pimpinan para prajurit mustahil dihentikan, jadi ia menunggu momen di mana jarak mereka begitu dekat untuk kemudian melompat ke samping sambil menebas kaki kuda. Hewan itu tersungkur tidak bersama tuannya. Seri Mahawangsa dengan cekatan melompat lalu melakukan tebasan.
Terpogoh-pogoh si pemuda berusaha menjauhkan serangan itu dengan menghantam pedangnya keras-keras. Di waktu yang bersamaan, setelah berguling menjauh, si pria kembali melesatkan anak panahnya dan mencabut nyawa beberapa prajurit.
Menyadari keterampilan membunuh dari dua pria yang dilawannya, Seri Mahawangsa menggerakkan salah satu jemari di tangan kirinya. Memberi bawahannya komando untuk menyerang dengan brutal. Jelas saja itu membuat musuhnya kewalahan, sebab mereka perlu menghindari juga menghalau serbuan dari prajurit berkuda, tebasan, tendangan, dan anak panah. Lebih buruknya adalah serangan dari Seri Mahawangsa yang teramat kuat dan mematikan. Meski berhasil mereka halau, terjangan dari saudara Raja Ganjil Sarjuna itu selalu membuat mereka terpental dan hampir kehilangan senjata.
Namun sekali lagi, si pemuda menunjukkan keahliannya dalam memanfaatkan medan dengan membuat batang pohon sebagai pijakan tambahan dan semak belukar yang dijadikan tali pengikat, menyulitkan gerak para prajurit hingga ia berhasil menjatuhkan ketiga prajurit berkuda. Sayangnya keunggulan itu tidak berlangsung lama, sebab Seri Mahawangsa dengan cekatan menyingkirkan segala benda yang menyulitkan prajuritnya.
"Orang itu sangat terampil," gerutu si pemuda di sela-sela menangkis serangan para prajurit.
"Anggota kerajaan memang setingkat itu," sahut si pria yang mencoba menghindari lesatan anak panah dan melempar belatinya yang sama sekali tak mengancam nyawa Seri Mahawangsa.
"Kita sudah kehilangan banyak waktu," tambah si pemuda.
"Aku akan membukakan jalan," ucap si pria yang merapatkan punggungnya dengan tubuh belakang si pemuda. "Ambil ini,"
"Apa maksudmu menyerahkan ini?!" tanya si pemuda sedikit berteriak.
"Waktuku memang tidak banyak, tapi kau masih punya banyak waktu," tutur si pria sambil menunjukkan luka dari balik jubahnya.
Menyadari kekesalan yang teramat dari rekannya, si pria kembali berkata, "Pergilah!" sambil menyerahkan hidden blade dan sebuah peta yang ia terima dari Raja Ganjil Sarjuna.
Seri Mahawangsa yang melihatnya, cepat-cepat melancarkan serangan yang berhasil ditahan oleh si pria. Dengan keputusan yang teramat berat, si pemuda melempar beberapa bom asap kemudian berlari menjauh setelah melakukan beberapa serangan yang sama sekali tidak membuat nyawa Seri Mahawangsa terancam, tapi setidaknya ia berhasil mencuri salah satu kuda milik prajurit. Erangan dari si pria terdengar samar. Membuat si pemuda menitikkan air mata, sebab ia baru saja kehilangan satu-satunya keluarga yang tersisa. Namun ia tidak berhenti untuk terus kabur.
Pekikan elang menyerebak di petangnya malam. Disusul gemuruh petir yang menggelegar dahsyat bersama puluhan anak panah yang menembus udara, yang mana satu diantaranya berhasil membuat tunggangan si pemuda ambruk. Berkat kelincahan yang dilatihnya selama ini, si pemuda berhasil melompat dan berlari diantara batang pohon yang satu dengan lainnya.
Tidak hanya kabur, si pemuda memanfaatkan kecerdikannya dengan sengaja melalui tempat yang penuh akan jebakan, hingga membuat banyak prajurit tumbang. Meski itu sama sekali tidak menghentikan Patih juga Pangeran yang terus memburunya.
Satu hal yang paling mengejutkan si pemuda adalah Seri Mahawangsa berlari tepat di belakangnya. Memijak batang pohon bagai bajing loncat. Meski tak selihai dirinya, itu masih cukup untuk memperpendek jarak dan memberinya kesempatan untuk melempar belati yang berulang kali menggores pakaian si pembunuh berjubah.
Sampai di wilayah Dinding, jarak antara pohon yang satu dan lainnya makin lebar memaksa si pemuda untuk melompat turun dan melajukan kedua kakinya di atas tanah. Aksi kejar-kejaran terus berlanjut hingga ia melihat ujung darinya.
Si pemuda berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Seri Mahawangsa sampai pertama kali, disusul oleh Patih, lalu para prajurit. Memang seperti rumor yang beredar kalau keluarga kerajaan memiliki kemampuan di atas rata-rata prajurit tingkat tinggi, walau prajurit rendah sekali pun tak bisa dibandingkan dengan warga biasa.
"Menyerahlah!" sorakan Seri Mahawangsa menggelegar, meski sedikit terdengar kalau ia perlu mengatur napasnya. "Sudah tidak ada harapan melawan. Kau sudah tamat. Lihat di belakangmu!"
Sayangnya semua ucapan Seri Mahawangsa sama sekali tak dipahami oleh si pemuda, ia tidak mengerti bahasa setempat. Tepat setelahnya, si pemuda melebarkan kedua lengannya, membuat semua pemburunya siaga. Namun yang terjadi berikutnya jauh di luar perkiraan mereka. Si pemuda melakukan leap of faith—melompat terjun ke laut dari tebing yang begitu tinggi.