Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 5 - Altar

Chapter 5 - Altar

Cahaya biru itu memancar dengan intensitas yang tak terduga, memantul dari permukaan mesin yang baru saja diaktifkan. Kavi berdiri diam, matanya terpaku pada mekanisme di depannya. Mesin itu, hasil idenya bersama Prof. Ian Hodder, kini memancarkan sinar yang menerobos celah-celah di bawah tanah. Suara mekanis terdengar, disusul oleh gemuruh yang menggema—batu-batu bergeser, seolah-olah sesuatu sedang bangkit dari kedalaman sejarah.

Di tengah keramaian, semua orang terdiam. Napas mereka tertahan ketika lantai di tengah ruangan mulai terbuka perlahan, mengungkapkan sesuatu yang terkubur selama berabad-abad. Sebuah altar besar muncul dari bawah tanah, setiap bagiannya dipenuhi ukiran-ukiran geometris yang rumit. Cahaya biru dari mesin memantul di permukaan altar, membuatnya tampak seolah-olah bersinar dari dalam.

"Matikan mesinnya!" Prof. Hodder berteriak, suaranya dipenuhi nada mendesak.

Beberapa teknisi bergegas menuju panel kontrol, namun cahaya dari mesin itu begitu menyilaukan sehingga mereka kesulitan melakukannya. Suasana menjadi semakin kacau.

"Apa yang sedang terjadi?!" seru Keano, mencoba melindungi matanya dari sinar yang semakin terang.

Aria, yang berdiri di sisi lain ruangan, menjawab dengan nada tenang meski tegang. "Seseorang harus menghentikan ini sekarang sebelum... sebelum kita kehilangan kendali."

Namun, tak ada yang bisa memprediksi apa yang terjadi selanjutnya. Cahaya itu tiba-tiba menyelimuti seluruh ruangan, begitu terang hingga semua orang harus memejamkan mata. Semua warna menghilang, dan bagi Kavi, dunia berubah dalam sekejap.

***

Ketika Kavi membuka matanya, pemandangan di sekelilingnya terasa aneh—surreal. Warna-warna yang biasa ia kenal telah lenyap, digantikan oleh hitam dan putih yang dipenuhi garis-garis tipis bercahaya, seperti pola hologram pada alat Holomap 7D miliknya. Ruangan tempat ia berdiri kini terasa kosong, sunyi.

Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha mencari siapa saja yang sebelumnya ada di sana. Tetapi tak ada. Tidak Keano, tidak Aria, bahkan lebih dari lima puluh orang yang seharusnya bersamanya kini menghilang begitu saja.

"Keano? Aria?" Kavi mencoba memanggil, suaranya menggema di tempat yang asing ini. Namun, tidak ada jawaban.

Dengan langkah hati-hati, ia mendekati altar yang kini berdiri sendirian di tengah ruangan. Ukiran-ukiran di altar itu terlihat lebih jelas—relief yang menggambarkan sosok manusia dengan senjata di tangan, berdiri di antara pertempuran dan perundingan. Bagian tengah altar memunculkan perhatian Kavi: sebuah peti kecil berukuran sekitar 25x50 cm. Peti itu terlihat tua, dengan ukiran naga melingkar yang matanya terbuat dari batu rubi kecil.

Saat ia mengulurkan tangan untuk menyentuh peti tersebut, sebuah suara mendadak terdengar dari belakang. "Kau seharusnya tidak ada di sini."

Kavi terkejut. Ia berbalik cepat dan melihat seseorang berdiri di depannya—sosok misterius dengan pakaian yang tidak biasa. Jubah hitam panjang membungkus tubuh pria itu, dihiasi garis emas di tepinya. Tudung menutupi sebagian besar wajahnya, hanya menyisakan bayangan samar dari raut yang tak bisa ia kenali. Sabuk kulit melilit pinggangnya, dengan keris yang terselip rapi di sana.

"Siapa kau?" Kavi bertanya, suaranya bergetar antara bingung dan terintimidasi.

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya menatap Kavi dengan diam, langkahnya tetap tenang mendekat.

"Aku bertanya, siapa kau?" ulang Kavi, kali ini lebih keras.

Setelah beberapa saat, pria itu akhirnya membuka suara. "Percayakah kau pada ramalan?"

Kavi mengerutkan dahi. "Apa maksudmu? Jangan bermain teka-teki denganku. Siapa kau?"

Pria itu berhenti melangkah, mengangkat wajah sedikit sehingga tudungnya menyingkap sebagian bayangan. "Darahku mengalir di tubuhmu. Kau memiliki tanggung jawab yang besar, Kavi. Jangan biarkan apa yang pernah terjadi terulang kembali."

Ucapan itu membuat Kavi semakin bingung, namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, sosok itu menghilang begitu saja—seperti asap yang tersapu angin.

***

"Kavi!" Suara Keano terdengar keras, disertai sentuhan di pundaknya yang membuat Kavi tersentak. Ia menoleh dengan cepat, menemukan Keano berdiri di sana, menatapnya penuh kekhawatiran.

"Kau baik-baik saja?" tanya Keano. "Kau seperti membeku selama beberapa detik."

Kavi mengatur napas, menatap ke sekeliling. Cahaya biru dari mesin telah padam, dan ruangan itu kini kembali seperti semula. "Berapa lama aku seperti ini?" tanyanya.

Keano mengangkat bahu. "Tidak lebih dari satu menit, mungkin."

Kavi tertegun. Baginya, waktu yang ia habiskan terasa jauh lebih lama—bukan hanya satu menit, tapi hampir seperti 47 menit penuh. Ia tidak bisa memahami bagaimana waktu bisa terasa begitu aneh.

"Aria yang mematikan mesinnya," lanjut Keano. "Entah bagaimana dia melakukannya, tapi kita semua berhutang padanya."

Aria, yang mendengar itu, segera menyela sambil tertawa. "Arkeolog seharusnya tidak bergantung sepenuhnya pada mesin! Asah intuisi kalian juga, siapa tahu lebih berguna."

Kata-kata itu membuat semua orang tertawa, namun Prof. I Gede Ardana mengangguk setuju. "Aria benar. Dalam situasi seperti ini, intuisi sering kali lebih berharga daripada teknologi."

***

Para pemimpin ekspedisi akhirnya memutuskan untuk memeriksa altar lebih dekat, dan hanya segelintir orang yang dipilih untuk naik ke atas. Mereka adalah Prof. I Gede Ardana, Prof. Francisco J. Ayla, Prof. Ian Hodder, Kavi, Aria, dan Elizabeth. Pemilihan ini bukan tanpa alasan; setiap individu membawa keahlian yang dianggap krusial untuk memahami misteri altar dan peti yang tersembunyi di atasnya.

Prof. I Gede Ardana, sebagai pimpinan ekspedisi sekaligus salah satu tokoh paling dihormati dalam dunia arkeologi Indonesia, memiliki wawasan mendalam tentang sejarah Nusantara, termasuk pola-pola simbolik yang mungkin terkait dengan peninggalan ini. Prof. Francisco J. Ayla, seorang arkeolog legendaris yang dikenal karena keberhasilannya memecahkan misteri situs-situs kuno di seluruh dunia, diandalkan untuk memberikan perspektif global yang lebih luas.

Prof. Ian Hodder, yang mengusulkan penggunaan teknologi dalam penggalian ini, dipilih karena dialah yang paling memahami potensi hubungan antara mesin dan mekanisme yang menggerakkan altar tersebut. Kavi, sebagai arkeolog muda dengan ide inovatif yang menciptakan konsep awal dari mesin itu, dinilai wajib terlibat untuk melihat dampak dari temuan yang sebagian besar lahir dari idenya.

Aria, pakar stratigrafi dengan intuisi tajam, dianggap memiliki peran penting karena kemampuannya membaca lapisan-lapisan tanah dan relasi strukturalnya. Dialah yang sebelumnya menyelamatkan tim dari kekacauan dengan mematikan mesin. Terakhir, Elizabeth, seorang spesialis relik tersembunyi, ditunjuk karena pengetahuannya yang mendalam tentang artefak kuno dan potensi jebakan atau mekanisme tersembunyi yang mungkin menyertai peti tersebut.

Pilihan itu jelas—bukan hanya karena keahlian mereka, tetapi karena mereka adalah kombinasi terbaik untuk menghadapi misteri altar ini tanpa melibatkan terlalu banyak risiko atau memperlambat penyelidikan. Saat keenam orang itu menaiki tangga altar, perhatian semua anggota tim di bawah sepenuhnya tertuju kepada mereka, menunggu apa yang akan ditemukan di puncaknya.

"Aria, kau yang membukanya," perintah Prof. Ardana.

Aria tertawa kecil, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Aku? Oh, tidak. Aku belum siap jadi nama besar di buku sejarah karena ini. Kalau peti ini meledak atau ada kutukan kuno, aku pas. Biarkan Prof. Francisco saja yang buka. Beliau punya asuransi profesi, kan?"

Prof. Francisco menahan senyum sebelum menggeleng sopan. "Sebagai arkeolog senior, saya harus mengatakan… tidak, ini bukan giliran saya. Kehormatan ini milik Prof. Ardana. Anda adalah pemimpin ekspedisi sekaligus legenda arkeologi Indonesia. Jika ada yang pantas membuka peti ini, itu Anda."

Dengan napas panjang dan pandangan penuh kehati-hatian, Prof. Ardana akhirnya melangkah maju. Tangannya menyentuh permukaan peti itu dengan lembut, seperti menghormati artefak kuno yang menyimpan rahasia zaman. Ia mencoba membukanya, tetapi penutup peti tetap terkunci rapat. Setelah berdiskusi singkat, mereka sepakat untuk membawa peti tersebut ke bawah, ke tempat yang lebih aman untuk diperiksa lebih detail.

Namun, saat Kavi mengambil alih peti itu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Kunci peti, yang sebelumnya terlihat tak tergoyahkan, tiba-tiba berderak dengan suara tajam, melepaskan dirinya sendiri seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang memerintahkannya untuk terbuka. Penutupnya bergerak perlahan, seperti enggan mengungkapkan rahasia yang terkubur di dalamnya.

Udara di sekitarnya terasa berubah—berat, penuh dengan energi yang sulit dijelaskan, seolah-olah setiap elemen di tempat itu menahan napas bersamaan. Apa yang tersimpan di dalam peti bukan hanya sebuah penemuan, melainkan sebuah teka-teki yang akan mengubah arah perjalanan mereka. Dan saat mata mereka terpaku pada isi peti, waktu seakan melambat, menyiratkan bahwa sejarah baru saja membuka babak yang tidak pernah mereka duga.