Chereads / Assassin's Creed - Nusantara / Chapter 6 - Archaeologist Law (4)

Chapter 6 - Archaeologist Law (4)

"Aku tidak menyangka ... pintu keluarnya tepat di belakang singgasana," ucap Raksa seraya menyodorkan segelas minuman pada bocah tujuh belas tahun yang tengah beristirahat di atas balai. "apalagi itu mengarah ke alun-alun Lor. Kau sungguh hebat bisa menemukannya dalam waktu sesingkat itu,"

"Kita hanya sedang beruntung," sahut Kavi sambil menerimanya. Kali ini pandangannya telah kembali normal, setelah ia mengikuti semua instruksi pria itu. Hingga menemukan pintu keluar. "Bagaimana kondisinya?"

"Sudah membaik. Raden Ajeng sedang tidur di kamarnya. Mungkin benar katamu, kita sedang beruntung," tutur Raksa dengan senyum bahagia terlukis di wajahnya. "Terima kasih," ucapnya sekalian menunduk kepala.

"Kapan dia bangun?"

Raksa menanggapi pertanyaan Kavi dengan gelengan kepala.

"Aku harap itu tidak membuatnya trauma," kata Kavi akhirnya. "Sampaikan salamku, terima kasih sudah menemukan ruangan itu. Dia punya bakat jadi arkeolog,"

Raksa mengangguk seraya berkata, "Akan kusampaikan,"

Suasana yang begitu sejuk dan cukup sepi membuat Raksa akhirnya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan yang sedari tadi memenuhi benaknya. "Apa yang terjadi padamu waktu itu? Kau seperti hampir pingsan," tutur Raksa yang mengingat kejadian ketika Kavi meletakkan batu yang bersinar itu di kepala singgasana raja hingga memunculkan sebuah peti harta di bagian bawah, yang mana ketika Kavi memegangnya, ia mendadak bergeming dan terjatuh.

"Aku ... hanya kurang tidur," jawab Kavi sembarangan. Mana mungkin ia menceritakan apa yang dilihat olehnya, sebab itu seperti limbo. Ia sendiri tidak ingin menerimanya, tapi ingatan itu terasa amat nyata. 

"Kau bisa berisitrahat di sini kalau mau,"

"Terima kasih. Tapi aku akan tidur di tempat yang sudah kalian sewakan,"

"Jangan memaksakan dirimu. Menurutku, kau sudah bekerja dengan baik,"

"Aku, masih harus banyak belajar," Kavi mengecek arloji dan berkata, "Baiklah, sudah waktunya aku pergi,"

"Apa sudah selesai?" tanya Raksa lalu cepat-cepat mengecek jam yang terpampang di sana. Tampak jam dinding telah menunjukkan pukul 11 siang. "Ternyata, cukup memakan waktu untuk mengobati Raden Ajeng," bisiknya.

"Apa yang bisa kami bayar?" tanya Raksa menghentikan langkah Kavi.

Kavi menjawabnya sambil menunjukkan sebuah balok yang ia pegang.

"Menurutku ... kau bahkan lebih baik dibanding ayahmu," ucap Raksa akhirnya.

Kavi tidak menanggapi, ia hanya memandang ke arah si Abdi Dalem 30 tahunan itu.

"Maaf kalau bicaraku tidak sopan, tapi.... konco-ku Tasmirah pasti berpikiran sama. Penjelasanmu waktu di mobil, soal bagaimana Raden Ajeng bisa hilang, itu sangat hebat. Dan tampaknya, ayahmu tidak bisa melakukan itu," ujar Raksa berargumen. "Lebih luar biasanya adalah, apa yang sudah kau lakukan barusan. Melihat pekerjaanmu secara langsung, membuatku yakin, kalau kau memang—"

"Menurutmu," ucap Kavi memotong kalimat Raksa. "apa ikan juga pandai berlari ... memanjat pohon, dan terbang?"

"Maaf?" tanya Raksa kebingungan akan analogi yang dilontarkan bocah tujuh belas tahun itu.

"Orang itu, hanya tidak bekerja di bidang yang ia kuasai," tutur Kavi.

"Bagaimana mungkin hal seperti ini bukan bidang arkeolog profesional? Memang hal apa yang seharusnya ayahmu lakukan?" tanya Raksa sedikit meninggikan suaranya.

"Dia ... seorang hakim." jawab Kavi membuat Abdi Dalem itu terkejut.

***

Dua puluh menit telah berlalu sejak Afkari membersihkan dirinya. Benar-benar membersihkan dirinya. Tidak hanya mandi, pria empat puluh tahunan itu juga merapikan rambut, mencukur brewok, jenggot, juga kumis yang sejak tujuh tahun lalu ia biarkan tumbuh tanpa pernah dirawat. Rasanya benar-benar segar. Rasanya sekejap dirinya kembali muda. Apalagi ia tidak perlu memaksakan diri memakai kacamata lagi. Bahkan Tasmirah dan beberapa Abdi Dalem yang membantunya membersihkan diri, terkejut akan penampilan barunya.

Pria kelahiran Demak itu memasuki area Kedhaton—plataran utama dengan hirarki tertinggi, karena merupakan kawasan pusat Keraton Yogyakarta—bersama Tasmirah dan beberapa Abdi Dalem lainnya. Di ruangan itu telah menunggu Sri Sultan Hamengkubuwono X yang memakai baju batik motif parang dengan celana hitam panjang dan sepatu kantoran, juga kacamata yang selalu ia pakai. Di sampingnya berdiri Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang memakai pakaian batik modern sepertinya, bersama Abdi Dalem yang siap siaga menerima perintah bila diperlukan.

Sultan melempar senyum, mengulurkan tangan seraya berkata, "Tamuku hari ini Kari sang arkeolog, tapi kenapa justru Anda yang datang, tuan hakim?"

Pria dengan pakaian serupa membalas, "Ini pertemuan kedua kita, Sultan. Saya hanya mencoba tampil dengan pantas,"

"Sudah lama saya tidak mendengar tentang Anda, maaf … tapi apa kepentingan Anda ke mari, sampai menggeser jadwal Mas Kari?" tanya Ratu Hemas yang juga menyalaminya.

Pria itu hanya mengangkat ujung bibirnya tanpa kalimat yang keluar. 

Sultan yang sedari tadi mencoba memahami wajah pria di depannya mendadak tertawa membuat orang-orang di sekelilingnya kebingungan. "Saya tidak menyangka, hilangnya kabar tentang Anda ternyata untuk hal ini. Kari ... Afkari,"

"Itu memang nama saya, Sultan,"

Mendengar pernyataan itu membuat semua orang yang ada terkejut, tak terkecuali Ratu Hemas. "Maaf untuk salamku sebelumnya ... senang bertemu dengan Anda,"

Afkari mengangguk ramah. Ketiganya duduk setelah dipersilakan oleh Sultan.

"Maaf atas ketidaksopanan saya. Tapi saya masih penasaran, apa Anda tidak keberatan menceritakan alasan Anda mengganti nama?" tanya Ratu Hemas.

"Ini mungkin sedikit membosankan," ucap Afkari.

"Jelaskanlah, saya juga penasaran," Sultan menyahut.

Afkari mengangguk, lalu mulai bercerita. Disusul oleh Abdi Dalem yang mulai meletakkan makanan di atas meja.

Di lain tempat, Kavi juga melakukan hal serupa. Menceritakan alasan kenapa ayahnya mengganti nama kepada Raksa.

"Sejak kecil, aku sering memaksa ikut ke pekerjaan ibuku, arkeolog tentu saja. Melihat betapa ibuku kerepotan, akhirnya pria itu juga ikut. Kami melakukannya beberapa kali sampai ibuku meninggal," kata Kavi.

"Istriku meninggal bukan karena sakit, apalagi kecelakaan dalam pekerjaannya. Tapi, dia dibunuh," ungkap Afkari membuat semua orang di sana syok.

"Siapa yang membunuhnya?" tanya Ratu Hemas antusias.

"Saya berhasil membuatnya dipenjara. Tapi ternyata dia bekerja secara berkelompok," jawab Afkari.

"Kelompok itulah yang selalu mengganggu pekerjaan kami," Kavi mengimbuhi.

"Apa kejadian pagi tadi juga ulah mereka?" Raksa bertanya.

"Tentu saja. Saya sengaja membuat warga mengejar kami untuk menghindari mereka. Tapi ternyata tidak semudah itu. Mereka bahkan tidak ragu memakai bom," ucap Afkari.

"Dari kelompok apa mereka?" Sultan menanggapi. "Kami bisa membantu kalian,"

"Itulah yang sedang kami cari selama ini. Tapi belum ada hasil," Afkari menyahut.

"Tapi ibuku berhasil mengelompokkan mereka," Kavi menambahkan.

"Maksudmu, tidak hanya satu kelompok saja yang memburu kalian?" Raksa mengonfirmasi.

Afkari mengangguk lalu berkata, "Tujuan keduanya sama: membunuh. Hanya saja cara mereka berbeda. Yang satu memaksa kami berhenti dari pekerjaan ini, sementara satunya merampas hasil temuan kami,"

"Kenapa kalian tidak berhenti saja?" tanya Raksa sedikit berseru.

"Mana mungkin kami berhenti setelah mereka mengambil nyawa ibuku?" Kavi balas bertanya.

"Bukannya ayahmu sudah memenjarakan pelakunya?" Raksa kembali bertanya.

"Sudah kubilang, pelakunya salah satu dari kelompok itu," jawab Kavi dengan tatapan penuh dendam.

"Jadi ... kalian mencapai titik buntu?" Ratu Hemas kembali mengajukan persoalan setelah hening beberapa saat.

Afkari menggangguk setuju. "Yang kami tahu mereka memakai logo ... Freemansory dan Salib Templar,"

"Apa katamu?!" tanya Raksa setengah berteriak. "Bukankah itu—"

"Ya. Assassin dan Templar," Kavi menanggapi. Suaranya terdengar tenang, tapi sorot matanya tak dapat berbohong kalau ia dipenuhi akan dendam.

Sultan mengembus napas lalu berkata, "Kami akan memberikan bantuan lebih banyak dari yang pernah Anda harapkan,"

Afkari menunduk. "Itu adalah sebuah kehormatan,"

"Jadi.... untuk apa ayahmu mengganti nama?" tanya Raksa.

"Itu wasiat ibuku, untuk memakai namanya dalam pekerjaan ini," jawab Kavi.

"Memang apa hubungannya?" Raksa kembali bertanya.

"Tunggu ... jangan-jangan—" Ratu Hemas menebak yang langsung disetujui oleh Afkari.

"Grazielly Guarducci. Istriku adalah keturunan dari Margherita Guarducci,"

Mendengar jawaban pria di depannya seketika air mata Ratu Hemas merembes keluar. "Itu adalah anak dari sahabat saya di Italy. Saya tidak meyangka, umurnya tidak lebih lama dari saya sendiri,"

"Jadi itu alasan Anda memakai nama Kari Elly? Untuk memancing mereka?" tanya Sultan lebih kepada meminta persetujuan.

Afkari mengiyakan tanpa sepatah kata.

"Untuk menegaskan kalau pria itu masih satu darah dengan ibuku," Kavi mengungkapkan.

"Kau bilang, kalau ayahmu tidak bekerja sesuai bidangnya. Lalu bagaimana bisa dia menyelesaikan sarjana arkeologi di UGM? Apalagi mendapat predikat terbaik?" Raksa kembali mengajukan pertanyaan.

"Tanyakan sendiri pada pria itu," cakap Kavi yang segera beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Raksa begitu saja.

Sementara di tempat lain, dalam dua setengah jam sebelumnya Afkari menanggapi pertanyaan Sultan seakan ikut menjawab persoalaan yang diajukan oleh Raksa. "Apakah Anda akan percaya kalau saya menjawab, itu semua berkat anak saya?" Afkari balas bertanya. "Tentu saja, saya sendiri tidak ingin mempercayainya, tapi itulah yang terjadi sebenarnya," jelas pria empat puluh tahunan itu.

"Kami akan mencoba percaya sebab anak Anda punya darah Guarducci," Ratu Hemas menyahut.

"Sayangnya kalian memang harus percaya," kata Afkari sambil memberikan sebuah kode untuk dua Abdi Dalem masuk lalu menyerahkan sebuah berkas yang telah disiapkan oleh pria itu pada Sultan dan Ratu Hemas.

Tidak butuh waktu lama untuk keduanya menampilkan ekspresi terkejut.

"Itu adalah kisah yang sangat menarik. Tidak membosankan seperti yang Anda bilang sebelumnya," kata Sultan dengan wajah ramahnya. "Mari lanjutkan ini sambil makan," pintanya.

"Sebelum itu, apa Anda keberatan kalau saya meminta dua hal saja?" tanya Afkari tanpa basa-basi.

Sultan menanggapi dengan melebarkan tangan kanannya sembari melempar senyum.

"Pertama, kami ingin Sultan memerintahkan satu pasukan khusus dalam eksplorasi kami selanjutnya di Candi Petirtaan," kata Afkari.

"Tentu saja, sesuai perkataan saya sebelumnya. Anda tinggal memberitahukan waktu dan segala kebutuhan yang diperlukan. Kami akan mencegah hal seperti sebelumnya tidak pernah terjadi," tutur Sultan.

"Terima kasih. Semua detail sudah kami tulis dalam berkas tadi," ucap Afkari. "Kedua, kami minta Anda menyerahkan cincin Brawijaya pada kami,"

Sultan belum sempat berkata, Afkari menyambung kalimatnya. "Tentu saja Anda tidak bisa menolak, sebab kami menawarkan hal besar kepada Anda,"

"Hal besar apa?" tanya Ratu Hemas cepat.

"Menemukan cucu Anda yang hilang," jawab Afkari sambil mempertahankan senyum pada wajahnya.

"Apa Anda bilang?!" tanya Ratu Hemas setengah berteriak.

Sultan mengangkat jemarinya, membuat semua Abdi Dalem mendekat lalu bersimpuh memberi hormat. Salah satu yang masuk dalam golongan Kaprajan berkata, "Nyuwun agunging pangampunten Sultan,"

Kemudian disusul oleh salah seorang yang menunjukkan sebuah rekaman CCTV.

"Kenapa kalian tidak memberitahukan ini padaku secepatnya?!" Sultan menyentak memakai bahasa Keraton.

"Mohon maaf Sultan, ini permintaan langsung dari Gusti Kanjeng Ratu Pembayun dan Kanjeng Pangeran Haryo Wironegoro," sahut si Kaprajan memakai bahasa yang sama, tetap dalam posisi hormatnya.

"Biar aku hukum anak itu nanti!" Sultan menegaskan.

Sementara di sebelahnya, Ratu Hemas berusaha menenangkan suaminya. "Jadi, apa yang Anda tawarkan?" tanyanya.

"Tentu saja kami akan menemukannya," jawab Afkari tegas dengan melempar tatapan yang tajam. Ia begitu sebab berusaha menutupi jiwanya yang penuh akan keraguan. Tentu saja, kalau Kavi gagal melakukan bagiannya, mereka tidak akan berakhir baik-baik saja. 

"Kalau begitu, pergilah. Lakukan segala cara yang Anda bisa!" ucap Sultan masih bernada tinggi.

"Anakku sudah mulai bekerja," jawab Afkari. 

"Kau mau menyerahkan masalah ini kepada anakmu? Bocah yang baru tujuh belas tahun?" Ratu Hemas menyahut, ikut merasa kesal.

Senyum Afkari berkilat. Sebelum akhirnya ia mengangguk lalu berkata, "Mari menunggu dengan tenang sambil menyantap hidangan."

***

"Dasar tidak tahu malu. Kau makan di depan orang yang sedang khawatir," ucap Kavi yang tengah menyantap seporsi gudeng di meja makan setelah mendengar semua penjelasan ayahnya.

"Hahaha.... lagi pula aku selalu mengajarimu, 'Hargai makanan di depanmu.' Jadi aku hanya melakukan apa yang sudah sepantasnya," tutur Afkari yang bersimpuh di depan anaknya. "Mana jatahku?"

"Kau benar-benar tidak tahu malu, ya?" kata Kavi dengan wajah kesal. 

Sementara pria itu tertawa tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Jujur saja, mereka makan dengan tenang bersamaku,"

Melihat anaknya tak merespons apa pun, Afkari menyambung kalimatnya, "Bagaimana bisa kau menemukannya secepat itu?"

"Hanya kebetulan," jawab Kavi sembarang.

"Kau pikir aku akan percaya?" tanya Afkari.

"Jadi mana barangnya?" Kavi balas bertanya, lebih kepada mengalihkan pembicaraan. Ia memang tipikal orang yang malas mengulang cerita meski pada orang yang berbeda.

Afkari mendengus sebal. "Kau sama sekali tidak mau komentar soal penampilan baruku?"

Kavi tidak menanggapi. Ia masih saja melempar tatapan tajamnya.

Afkari mengembus napas panjang. "Dasar menyebalkan," ucapnya seraya bangkit dari tempatnya duduk. "semuanya ada di koper itu," imbuhnya sambil menunjuk sebuah koper di atas sofa. "Aku mau mandi, lalu tidur. Jangan ganggu aku,"

Merasa lagi-lagi anaknya tidak memberikan respons apa pun, Afkari kembali bersua, "Ada barang bagus yang kau temukan di sana?"

Kavi menarik lengan baju kirinya, menunjukkan sebuah benda yang melekat di sana. Lalu dengan satu jentikan jari, sebuah belati muncul.

"Hidden blade!" bisik Afkari. Wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia terkejut. Sampai membuat pria empat puluh tahunan itu kembali duduk di depan anaknya. "Apa Kesultanan Jogja punya hubungan dengan Assassin?"

"Apa kau percaya kalau aku bertemu orang ini?" tanya Kavi menghiraukan pertanyaan ayahnya.

Afkari melihat apa yang ada di ponsel anaknya. Bola matanya makin terbuka lebar. "Pangeran Mangkubumi,"

"Orang itu yang memberitahuku,"

"Tapi ... bagaimana bisa?"

Kavi tak berkata ia memakan suapan terakhirnya dengan tatapan yang masih saja tajam.

Seakan memahaminya, Afkari mengonfirmasi, "Stone of truth?"

Kavi mengangguk setuju.

Afkari menunduk dengan bantuan kedua tangannya. Memikirkan kalau semua hal yang terjadi di luar nalarnya. Sampai membuat batinnya mengira kalau Kavi berbohong, atau sengaja menjadikan semua ini lebih dramatis dengan mengatakan banyak hal yang tak masuk akal. Namun kalau memang itu karangan semata, bagaimana bisa Kavi menemukan tempat itu dengan cepat? Hanya dengan bantuan rekaman CCTV?