Chereads / Assassin's Creed - Oracle / Chapter 4 - Mechanism

Chapter 4 - Mechanism

Mojokerto, 10 Oktober 2024.

Langit biru tanpa cela menggantung di atas kawasan situs Majapahit, sementara hawa lembap khas tanah Jawa menyusup perlahan, membasahi kulit siapa saja yang melangkah di antara puing-puing masa lalu. Di tengah hamparan reruntuhan yang berbisik tentang keagungan kerajaan Majapahit, sebuah ekspedisi arkeologi dimulai. Kavi, Aria, dan Rafael, bersama para profesor dari berbagai belahan dunia, memasuki situs yang menyimpan rahasia ribuan tahun.

Tim ini adalah pertemuan luar biasa dari generasi dan budaya: Prof. Dr. Raka Wijaya dengan wibawa seorang ahli epigrafi Jawa kuno; Prof. Dr. Sukarno Agung, yang dikenal karena risetnya tentang hubungan kebudayaan Jawa dan India kuno; Prof. Dr. Hendra S. Pratama, spesialis artefak Hindu-Buddha yang berhasil mengurai teka-teki kompleks dari era kerajaan Nusantara; Prof. Dr. Tutyana Suryawan, yang menggali jejak pengaruh kolonial Belanda pada struktur sosial dan budaya Indonesia; dan Prof. Dr. I Gede Ardana, seorang legenda hidup dari Bali yang memperkenalkan dunia pada kebudayaan Austronesia melalui manuskrip dan tradisi yang hampir terlupakan.

Mereka juga ditemani ilmuwan internasional seperti Prof Dr. John H. Bainess dan Prof Dr. Zahi Hawass dari Mesir, Prof Dr. Francisco J. Ayla dari Spanyol, Prof Dr. Jane Lyondon dari Australia, Dr. Brian Fagan dari Amerika, dan Prof Dr. Ian Hodder dari Inggris.

Di antara mereka, seorang wanita muda bernama Elizabeth Stone, murid berbakat dari Oxford, menambah warna dalam tim yang penuh karisma ini.

Di lokasi penggalian, teknologi futuristik berkilauan di bawah matahari tropis. Pemindai geofisika yang canggih, drone pemetaan udara, dan robot mikro mulai bekerja, menciptakan pemandangan kontras dengan tanah kuno yang menyimpan sejarah panjang. Namun, di tengah semua itu, Aria tetap setia pada alat manualnya—kuas halus dan sekop kecil yang sudah menemaninya selama ber-tahun-tahun.

"Kau yakin tidak ingin mencoba ini, Aria?" tanya Rafael sambil menunjuk alat pemindai yang memancarkan cahaya biru.

Aria tersenyum kecil. "Ada sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh mesin, yaitu tangan manusia. Sentuhan itu… menyampaikan cerita yang bahkan teknologi tercanggih pun tidak bisa melakukan-nya."

"Kau terlalu romantis soal tanah dan batu," canda Rafael, mes-kipun ia diam-diam mengagumi prinsip Aria.

"Setuju!" sambung Prof. Dr. I Gede Ardana sambil mendekati mereka. "Teknologi membantu, tapi dalam pekerjaan ini, mesin hanyalah alat, dan jiwa manusialah yang membaca sejarah."

Tim menyusuri situs dengan hati-hati. Di bawah bimbingan Prof. Dr. I Gede Ardana, mereka mempelajari relief-relief yang masih utuh, mengagumi pahatan yang menggambarkan kehidupan spiritual dan kekuasaan masa lalu. Bahkan Prof. Dr. Zahi Hawass, yang terbiasa dengan simbol-simbol Mesir kuno, tampak terpesona.

"Relief ini… sangat berbeda," gumamnya sambil menyentuh ukiran pada dinding batu. "Di sini, ada harmoni yang tidak saya temukan di makam-makam Mesir."

"Setiap peradaban memiliki bahasanya sendiri," balas Ardana sambil tersenyum tipis. "Dan relief ini, Profesor, adalah doa yang diukir ke dalam batu."

"Dan di sini kita mencari kunci," tambah Prof. Dr. Francisco J. Ayla, merujuk pada Mustika Dyah Pitaloka.

Saat mereka tiba di lokasi di mana Mustika Dyah Pitaloka dite-mukan, suasana berubah menjadi lebih serius. Kavi, dengan tenang namun penuh antusiasme, menjelaskan bagaimana ia menemukan prasasti yang mengarahkan pada mustika tersebut. Suaranya mem-bawa pendengar ke masa lampau, seolah mereka sendiri berada di sana, merasakan detak jantung yang sama ketika mustika itu per-tama kali digali dari perut bumi.

Mendengar penjelasannya, Prof. Dr. Zahi Hawass mengajukan pertanyaan penuh spekulasi, "Adakah kemungkinan tempat tersem-bunyi lain di sini?"

Prof. Dr. I Gede Ardana mengangguk pelan. "Berdasarkan Kitab Negarakertagama, benda-benda milik keluarga kerajaan sering kali memiliki fungsi lebih dari sekadar hiasan."

"Tapi," sela Prof. Dr. Sukarno Agung, nada suaranya penuh ke-hati-hatian, "Mustika Dyah Pitaloka adalah artefak nasional. Apakah bijak jika kita menggunakannya untuk eksperimen?"

Sebuah diskusi sengit pun terjadi, melibatkan berbagai panda-ngan dan argumen.

"Kenapa tidak kita putuskan bersama?" Prof. Dr. Francisco J. Ayla menengahi.

Dr. Brian Fagan menyela. "Maaf, saya kurang sependapat deng-an Profesor Hawass."

"Saya sependapat dengan Profesor Brian. Menggunakan prasasti yang sudah usang sebagai eksperimen yang belum jelas, memberikan risiko yang terlalu besar," sambung Prof Dr. Ian Hodder.

"Bagaimana kalau kita lakukan voting?" Prof. Dr. Francisco J. Ayla kembali berbicara.

Ketegangan mereda saat usulan itu diterima. Namun, Prof. Dr. Zahi Hawass memotong, menyarankan bahwa hanya profesor dari Indonesia yang seharusnya memutuskan. Dengan kesepakatan kolektif, voting dilakukan. Prof. Dr. I Gede Ardana dan Prof. Dr. Hendra S. Pratama memilih setuju, sedangkan Prof. Dr. Raka Wijaya, Prof. Dr. Sukarno Agung, dan Prof. Dr. Tutyana Suryawan memilih tidak.

"Lalu bagaimana dengan kita, yang muda-muda?" suara Eliza-beth Stone memecah keheningan. "Tidakkah kami juga berhak ber-suara?"

Prof. Dr. Francisco J. Ayla mendesah. "Elizabeth, ini bukan keputusan sederhana. Ini tentang nilai nasional."

"Justru karena itu," timpal Prof. Dr. Raka Wijaya. "Kita butuh perspektif segar. Saya mendukung usulan Elizabeth."

Akhirnya, semua setuju, dan voting terakhir dilakukan. Dengan enggan, Kavi memberikan suaranya. Ia memilih setuju, mengikuti keputusan Rafael dan Aria yang lebih dulu mendukung usulan Prof. Dr. I Gede Ardana. Hasil voting mengukuhkan rencana mereka. Ketika akhirnya keputusan untuk menggunakan mustika itu diambil melalui voting, Kavi merasa beban berat di pundaknya. Meski setuju, ia tahu taruhannya tinggi.

Sambil menunggu, suasana menjadi santai. Para profesor ber-istirahat, namun diskusi tetap berjalan. Tak lama, petugas datang, ditemani oleh Keano, yang membawa mustika itu bersama sebuah kitab kuno dari era Majapahit. Kejutan itu memancing perhatian semua orang.

Dengan gaya khasnya, Aria langsung menyeletuk. "Keano! Apa kau tersesat di jalan? Dan, buku apa lagi itu? Kelihatannya habis digi-giti tikus!"

Keano menepuk kitab yang ia bawa, senyum kecil menghiasi wajahnya. "Setelah mendengar kalau Prof. Ardana membutuhkan Mustika Dyah Pitaloka untuk diantar ke sini, aku bergegas ke perpus-takaan Aksara Majapahit hanya untuk mengambil kitab ini. Ini ada-lah Kitab Suluh Pusaka Raja, di sana ada kunci untuk memahami fungsi tersembunyi Mustika Dyah Pitaloka. Itu sebabnya aku terlam-bat."

Aria mengernyit, penasaran. "Fungsi tersembunyi? Maksud-mu?"

"Ya," jawab Keano, membuka halaman kitab itu dan menunjuk-kan aksara Kawi yang tergores rapi di lembarannya. "Di sini dijelas-kan bahwa Mustika Dyah Pitaloka dirancang untuk memantulkan cahaya bulan pada sudut tertentu. Fungsi itu bukan sekadar estetika, tapi sebagai pemicu mekanisme tersembunyi yang mungkin ada di situs ini."

"Aku tahu kau tak akan datang tanpa kejutan," sela Rafael sam-bil tertawa kecil.

"Sejak kapan kau menggali informasi ini?" Aria kembali me-nyambung. "Apa kau sengaja mempelajarinya setelah Kavi mene-mukan Mustika Dyah Pitaloka?"

"Aku menemukannya setelah berdiskusi panjang dengan Profe-sor Raka dan Profesor Francisco. Mereka membantuku memahami bahwa mustika Dyah Pitaloka mungkin lebih dari sekadar artefak biasa" Keano menjelaskan. "Bahkan, perempuan di sana juga mem-bantuku." imbuhnya.

Elizabeth tertawa kecil. "Keano tidak pernah berhenti mere-ngek soal mustika itu sejak ditemukan. Aku sampai harus memban-tunya memverifikasi setiap halaman literatur yang dia temukan."

"Keano, kau mengenal wanita itu?" tanya Aria sambil berbisik.

Keano tertawa, diikuti oleh Elizabeth yang ternyata memahami ucapan Aria meski ia menggunakan bahasa setempat. "Tentu saja! Dia kuliah bersamaku di Oxford."

Aria tidak berkata-kata, bola matanya melebar dengan mulut setengah terbuka. "Kau bercanda, kan?" gumamnya, masih terkejut.

Kavi akhirnya menyadari alasan mengapa Keano sulit dihubungi selama tiga bulan terakhir. Dengan nada bercanda, Keano menja-wab, "Aku memang hanya tidak mau kalah darimu, Kavi."

Prof. Dr. I Gede Ardana mengambil alih pembicaraan dengan suara yang tenang tapi tegas. "Baiklah, teman-teman. Mari kita gunakan waktu ini untuk mempelajari literatur ini lebih mendalam sambil menunggu malam tiba."

Namun, sebelum Ardana selesai berbicara, Dr. Brian Fagan menyela dengan nada serius. "Kita harus membuat rencana cadang-an. Jika hujan turun, cahaya bulan mungkin akan terhalang, dan kita tidak akan bisa memanfaatkan pantulan itu."

"Apakah itu berdasarkan perhitungan atau hanya spekulasimu saja, Profesor?" tanya Kavi dengan nada skeptis.

"Kavi, jaga ucapanmu!" bentak Prof. Dr. Sukarno Agung, tidak setuju dengan sikap kurang hormat yang ditunjukkan Kavi.

Prof. Dr. Tutyana Suryawan mendekat, sedikit membungkuk untuk meredakan ketegangan. "Maafkan Kavi. Dia hanya tidak me-nyukai sesuatu yang tidak pasti, bahkan sekadar ramalan cuaca."

Dr. Brian Fagan tertawa kecil lalu berkata, "Hey... hey... ramalan cuaca itu berdasarkan perhitungan pasti, Kavi."

Saat itu, langit perlahan menghitam dan mulai menjatuhkan butiran air. Melihat itu, Kavi terdiam sejenak sebelum akhirnya ber-kata dengan nada setengah kagum, "Sepertinya alam mendukung firasatmu, Doktor," ucapnya sambil menatap langit yang kelam.

Dalam suasana tegang itu, Prof. Dr. Ian Hodder, seorang ahli teknologi arkeologi, memberikan usul. "Kita bisa membuat tiruan cahaya bulan dengan alat seperti high-intensity focused xenon light. Itu mampu menghasilkan spektrum cahaya serupa dengan sinar bulan."

Prof. Dr. I Gede Ardana mengangguk, meski dengan sedikit ragu. "Ide bagus, Profesor Hodder. Sayangnya, saya rasa kami belum me-miliki alat seperti itu di sini."

Namun, Kavi, dengan penuh percaya diri, mengangkat tangan-nya. "Kita bisa mencoba menciptakan tiruan fungsi itu dengan alat-alat yang ada di sekitar kita. Jika kita menyambungkan lampu ber-intensitas tinggi dengan lensa optik tertentu, ditambah filter manu-al, mungkin kita bisa menghasilkan efek serupa."

"Tunggu, bukannya saya belum menjelaskan sistem kerjanya?" Prof. Dr. Ian Hodder terlihat terkejut.

Semua mata tertuju pada Kavi dengan ekspresi penuh kagum. "Hebat sekali," gumam Elizabeth, tak bisa menyembunyikan kekagu-mannya.

Aria, seperti biasa, tak mau ketinggalan untuk mencairkan sua-sana. "Jelas saja dia tahu! Kan ada chip AI di otaknya," celetuknya sambil tersenyum lebar.

Semua orang tertawa mendengar candaan Aria, membuat kete-gangan yang sempat terasa berubah menjadi penuh kehangatan. Prof. Dr. I Gede Ardana pun menutup percakapan dengan meng-instruksikan tim untuk segera mempersiapkan alat-alat sesuai saran Kavi, sambil tetap berharap hujan segera reda.

Persiapan dimulai di tengah hujan yang kini berubah menjadi gerimis. Sambil bekerja, Aria kembali melontarkan candaan yang membuat semua orang tertawa, mencairkan suasana. Saat malam tiba, tim akhirnya siap untuk mengungkap rahasia yang telah ter-sembunyi selama berabad-abad.

Langit gelap menjadi saksi, sementara cahaya buatan dari lensa Kavi memancar, memantul pada Mustika Dyah Pitaloka. Sebuah mekanisme mulai bergerak di bawah tanah, suara batu yang ber-geser perlahan menggema di seluruh situs. Semua menahan napas, menunggu apa yang akan muncul dari kedalaman sejarah yang terlupakan.