Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, 2015.
Mobil memasuki kompleks Keraton Yogyakarta setelah melewati Gapura Gladag dan Gapura Pangurakan, kedua gerbang itu tampak seperti pertahanan berlapis, yang pada zamannya dijadikan sebagai tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan. Di dalamnya ada sebuah halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai Selatan, yang juga ditanami pohon tertentu. Terlihat juga bangunan-bangunan yang bergaya Jawa tradisional, meski beberapa bagian mendapat sentuhan dari budaya asing, seperti: Portugis, Belanda, dan Tiongkok.
"Silakan," ucap Tasmirah sambil membukakan pintu mobil.
Afkari keluar disusul suara anaknya. "Mari bicara sebentar,"
Pria 40 tahunan itu meminta izin sambil membungkukkan badan lalu mengikuti langkah anaknya yang sedikit menjauh dari kedua Abdi Dalem tersebut.
"Aku tahu kita belum membicarakan ini, tapi ... kau tahu apa yang harus dilakukan, kan?" tanya Kavi.
"Itu yang harusnya aku bilang padamu," jawab Afkari sambil menepuk kepala anaknya. Mengacak-acak rambut bocah yang selalu serius menjalani hidup. "Kau baru tujuh belas tahun, bersikaplah sesuai usiamu," ledeknya.
Namun seperti biasa, Kavi tidak menanggapi, tatapan matanya tetap saja dingin. "Aku perlu kau membuat kesepakatan dengan Sultan,"
Mendegar itu Afkari terbahak seraya berkata, "Kau minta aku membuat pertaruhan? Lagi?"
Kavi meresponsnya dengan anggukan.
"Apa yang kau minta?" tanya Afkari.
"Cincin Brawijaya," jawab Kavi.
"Kau masih belum puas dengan bayaran dari Sultan? Kau pikir itu gam—"
Kalimat Afkari terhenti di situ sebab Kavi membungkam mulutnya. "Ini kesempatan," bisiknya sambil memandang ke arah Tasmirah dan Raksa.
Afkari mengembus napas panjang setelah memaksa anaknya memberi ruang untuknya. "Ini tidak mudah,"
"Itu satu-satunya cara untuk masuk Petirtaan,"
Mata Afkari terbuka lebar mendengar penjelasan anaknya. "Apa itu ada kaitannya dengan yang kau lihat waktu itu?"
Kavi menggeleng lalu berkata, "Hanya firasat,"
"Mana mungkin aku mau percaya dengan firasat, apalagi dari bocah sepertimu?" tutur Afkari kesal.
Kavi tidak merespons, ia hanya melihat tajam bola mata ayahnya. Bocah itu sengaja berkata demikian sebab ia belum menemukan kepastian soal cincin Brawijaya yang akan membantu mereka masuk ke Petirtaan. Kavi hanya menyimpulkan hal itu berdasarkan literatur dan hipotesis dari pakar, sejarawan juga masyarakat setempat bahwa ada sebuh akses masuk menggunakan pantulan cahaya. Meski telah dicoba berulang kali hal itu tetap tidak membuahkan hasil.
"Ah!" seru Afkari sambil menggaruk kepala. "Akan kupertimbangkan," tuturnya. "Ada lagi yang mau kau minta?"
"Terima kasih, .... Ayah," ucapnya membuat Afkari syok.
"Brengsek! Itu hadiah terbaik yang pernah kuterima selama ini." cakap Afkari, kembali mengacak-acak rambut anaknya.
Memang, terakhir kali Kavi memanggilnya dengan sebutan itu adalah tujuh tahun lalu, tepat setelah meninggalnya Elly. Afkari ingat betul bagaimana seorang anak berusia sepuluh tahun terpogoh-pogoh berusaha menyelamatkan nyawa ibunya dengan berbagai cara, hingga membawakan Holly Water of Live yang entah ia dapat dari mana. Sayangnya Kavi sedikit terlambat. Air yang digadang-gadang dapat menyembuhkan segala macam penyakit—dalam kondisi paling kritis sekali pun—takkan berarti bila orang tersebut telah kehilangan nyawanya. Tidak ada obat yang bisa menghidupkan orang mati.
Pemakaman dilangsungkan secara sederhana, sebab Afkari tidak ingin ada wartawan yang meliput kematian istrinya, meski begitu sangat banyak orang yang datang. Bahkan beberapa pejabat pemerintahan turut hadir untuk memberikan penghormatan terakhir. Selesainya prosesi pemakaman yang diakhiri dengan guyuran hujan, Afkari masih tak dapat berkata-kata pada anaknya yang terus saja mematung, menghadap kosong ke makam ibunya.
Beberapa hari kemudian, Afkari masuk ke kamar anaknya sambil membawa koran yang sangat ia harapkan akan sedikit memberi harapan bagi Kavi untuk menjalani hidup. Dirinya ingin membuktikan bahwa masih ada keadilan di dunia ini.
"Lihat," pintanya sambil menaruh koran di atas meja belajar anaknya.
Kavi yang menatap jauh keluar jendela, setelah sekian lama akhirnya angkat bicara, "Aku tahu ... kau pasti bisa memenjarakan mereka. Terima kasih ... Ayah,"
Mendengar itu, air mata Afkari merembes keluar. Rasanya sudah begitu lama ia tidak mendengar suara anaknya.
Kavi membalik badan, menghadap tajam ayahnya. "Aku ... akan menggantikan Ibu,"
"Apa maksudmu?" tanya Afkari yang cepat-cepat menyeka wajahnya.
"Aku ingin menemukan apa yang Ibu cari selama ini, dan aku butuh bantuanmu," jawabnya sambil membungkukkan badan.
Afkari merasa asing dengan perlakukan itu. Sebab selama ini Kavi selalu bertingkah selayaknya anak kecil yang terus saja merengek untuk dibawa dalam pekerjaan Elly, meski bocah itu sering kali memecahkan teka-teki mendahului mereka. Afkari berpikir, apakah begini sikap anak yang kehilangan ibunya?
"Kau sudah melihatnya sendiri. Mereka berusaha membunuh siapa saja yang mencoba mencari tahu," ucap Afkari.
"Dari kelompok apa mereka? Apa tujuan mereka?" cakap Kavi. "Kalau kita bisa mengungkapnya, hal semacam ini takkan terjadi dua kali,"
"Tidak dengan mengorbankan nyawamu!"
"Tapi kita hampir—"
"Cukup! Aku sudah berhenti,"
Kavi tidak berkata, ia hanya membungkukkan badan.
"Mengertilah ... aku hanya tidak ingin kehilangan keluargaku, lagi," tutur Afkari memelas.
"Putuskanlah, setelah kau membaca surat dari Ibu," sahut Kavi kukuh akan pendiriannya.
Afkari tersentak, ia melihat ke arah yang ditatap anaknya. Segera ia mengambil secarik kertas itu lalu membacanya. Beberapa saat kemudian, mata yang sedari tadi dipenuhi kesedihan sekejap berubah penuh akan ambisi.
"Belajarlah Nak, atau kau takkan diterima dalam pekerjaan ini," kata Afkari dengan genggaman tangan yang erat.
"Bayaranku lebih mahal dari Elly." jawab Kavi sambil melempar senyum.
***
Lima belas menit berlalu setelah kedua pasang Ayah dan anak berpisah, pergi ke tugas mereka masing-masing. Kavi telah berdiri tepat di mana menghilangnya cucu Sultan Hamengkubuwono X setelah ia menunjukkan kalau hipotesisnya tidaklah salah.
"Aku tidak menyangka, kalau ada tuas di Gapura Gladag dan Gapura Pangurakan," ucap Raksa yang membawa perbekalan sesuai apa yang telah diminta oleh Kavi. "Semua sudah siap," imbuhnya sambil menunjukkan sebuah ransel yang ditentengnya.
Kavi tidak menjawab, ia menggerakkan kakinya sesuai gerakan kaki Raden Ajeng Artie Ayya Fatimasari Wironegoro dan membaca teks yang dilafalkan cucu Sultan itu. Namun tidak ada yang terjadi. Tidak ada cermin yang muncul dari dalam tanah, untuk menutupi tubuhnya seakan dihapus oleh udara. Sesuai apa yang ia ucapkan sebelumnya.
"Apa itu salah?" tanya Raksa.
Tak berselang lama, mendadak tatapan Kavi berubah kabur sampai membuat bocah tujuh belas tahun itu terduduk dengan bantuan lutut.
"Apa yang terjadi?" Raksa kembali bertanya.
Mata Kavi menjadi tidak normal. Semua yang dilihatnya berubah-ubah, kadang berwarna, kadang pula monokrom dengan bangunan dan kondisi alam yang tampak berbeda. "Ada apa ini?" bisik hatinya.
Beberapa detik berikutnya, Kavi melihat seorang pria muncul. Entah dari mana asalnya. Ia melompat turun dari kuda putih yang ditungganginya. Pria itu berbadan tinggi semampai berpakaian khas kekaisaran Jawa dengan blangkonnya. Muka pria itu menunjukkan ketegasan dan kewibawaan, apalagi ditambah dengan kumis yang melengkung dan juga rambut hitam lebat melebihi pundak. Namun ada yang aneh darinya, pria itu memancarkan cahaya, cahaya putih yang teramat terang.
"Mari, saya tunjukkan jalannya," cakap pria itu.
Sayangnya saat Kavi memastikan Abdi Dalem di belakangnya, itu sangat jelas kalau apa yang terjadi hanya dialaminya seorang diri. "Apa aku melihat hantu? Atau ini ingatan lainnya?" batin Kavi kembali berbisik.
"Apa yang terjadi?" Raksa mengulang pertanyaannya sambil mendekat.
Kavi menanggapi itu dengan melebarkan tangan lalu menunjuk ke arah Waringin Sengkeran—pohon beringin yang dipagari—di mana di bawahnya tampak sebidang tanah yang sedikit naik. Sesuai apa yang ia lihat dalam eagle vision.
"Letakkan itu di sana, dan ikuti saya," pria itu kembali berkata. Meski suaranya bergema, tapi masih bisa didengar dengan jelas.
"Itu bagian terakhir?" Raksa mengonfirmasi.
"Berdirilah di sini, aku akan menekannya," kata Kavi. Sebab ia sama sekali tidak mengerti benda apa yang seharusnya ia taruh di sana.
"Tunggu...." cegah Raksa membuat Kavi bergeming di tempatnya. "kalau kau yang menekannya, apa hanya aku yang akan pergi?"
"Aku akan menyusul,"
"Bagaimana kau bisa masuk? Kau bilang ini hanya untuk satu orang?"
"Jangan cerewet. Prioritas kita, Raden Ajeng," tutur Kavi memaksa Raksa mengikuti kemauannya.
Si Abdi Dalem 30 tahunan itu tak dapat berkata-kata. Ia hanya melihat Kavi menekan tombol terakhir. Dan tepat seperti apa yang diasumsikan bocah tujuh belas tahun itu sebelumnya, sebuah cermin perlahan muncul dari balik tanah yang ditutupi pasir, menutup tubuhnya dari segala sisi. Lalu sebuah lubang membuatnya seakan disedot masuk.
Raksa ambruk di lantai berdebu di ruang yang hanya disinari oleh cahaya dari tempatnya jatuh, yang perlahan kian lenyap. Setelah mengatur napas, ia segera mengambil senter lalu menyalakannya. Belum sempat mengamati sekitar, ia dikejutkan oleh Kavi yang telah berada di sebelahnya.
"Gusti Pangeran! Meh copot jantungku,"
"Arahkan sentermu ke sini," ucap Kavi menghiraukan omongan Raksa.
"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya Raksa sambil menuruti perintah Kavi.
Dilihatnya sebuah tembok dengan ornamen yang memiliki detail begitu rumit yang jika diamati lebih merinci akan tampak firman-firman Tuhan. Di sekitar situ, ada sebuah obor yang kemudian Kavi ambil lalu membakarnya.
"Sebelah sini," ucap pria itu sambil menyalakan setiap obor yang ia lewati.
"Hei...." panggil Raksa mengikuti langkah Kavi menelusuri lorong yang penuh akan ornamen, sambil membakar satu per satu obor yang terpasang di sana mengikuti semua tindakan yang pria itu lakukan. "kau benar baru pertama ke sini?" tanya Raksa.
"Ya," jawab Kavi.
"Tapi, kau seperti sudah tahu apa yang ada di dalam sini," kata Raksa.
"Aku pernah membaca, kalau SHB satu sempat membuat bunker. Strukturnya mirip dengan tempat yang pernah aku kunjungi sebelumnya," tutur Kavi asal menjelaskan. Sebab pada kenyataannya ia hanya mengikuti apa yang dilihatnya.
"Apa ... kau tidak mau melihat-lihat dulu?" Raksa kembali bertanya.
"Prioritas kita, Raden Ajeng. Soal tempat ini aku bisa kembali lagi nanti. Lagi pula, aku harus berterima kasih padanya karena sudah menemukan ruangan ini,"
Raksa tidak langsung menanggapi. Jujur, dalam benaknya begitu takjub akan semua hal yang dilakukan bocah tujuh belas tahun itu. Otaknya berpikir, apakah semua arkeolog seperti Kavi? Atau hanya bocah itu yang terlampau bagus di bidang ini?
"Hey ... apa yang terjadi?" tanya Raksa sambil menunjuk ke arah Kavi.
Bocah tujuh belas tahun itu mengarahkan mata sesuai apa yang ditunjuk Raksa. Alangkah terkejutnya ia melihat stone of truth kembali bersinar. Dan di saat yang bersamaan terdengar suara dari pria itu, "Batunya bereaksi, ayo jalan ... ini hampir sampai,"
"Ayo jalan ... ini hampir sampai," kata Kavi mengulang perkataan pria itu.
Raksa kembali harus menutup rasa ingin tahunya dengan hanya memberikan respons: anggukan kepala.
Setelah menyalakan semua obor yang ada dan melangkah masuk lebih jauh, keduanya melihat sebuah anak yang meringkuk di sisi singgasana raja.
Raksa melihat ke arah Kavi untuk memastikan, dan setelah bocah tujuh belas tahun itu sedikit menggerakkan kepalanya Raksa berteriak, "Raden Ajeng!" sambil bergegas mendekat.