Riven mandi untuk membersihkan dirinya dan menenangkan isi pikirannya dengan guyuran air shower. Jujur Riven kesal memikirkan ini semua pada nasibnya. Ia berharap ia tidak pernah terlibat dalam hal ini. Tapi dia sudah terlanjut terlibat. Mau tidak mau memang ia harus terlibat, karena anak dari seorang boss mafia. Dia pun sebenarnya juga memiliki 'target' tersendiri, meskipun tujuannya hal lain. Lebih ke bukan untuk kejahatan ataupun pembunuhan, tapi untuk tujuan lain atau keuntungan dirinya. Meskipun ia juga memanfaatkan orang-orang bawahannya.
"Apa sebaiknya gua balik ke Ivorius, Quezore Land? Disitu gua lebih ngerasa aman tenang dan santai. Paling cuma sekedar ngurus tanah, SDA dan SDM orang-orang disana, beserta menjalankan bisnis keluarga yang ada disana sewajarnya" gumam Riven dibalik guyuran air shower dan menahan kepalan tangannya pada tembok seperti meninju tetapi tidak meninjunya.
Tapi begitu memikirkan itu, seketika ia teringat dengan tugas kuliahnya. "OHIYA ANJIR GUA BELUM NGERJAIN TUGAS SDKV!!" teriak Riven panik saat teringat belum ngerjain tugas. Dia berada disini, salah satu tujuannya adalah untuk kuliahnya. "Ntar malem ae lah ngerjainnya. Mager" dan ujung-ujungnya palingan ngerjain mepet deadline.
Setelah selesai mandi. Riven keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk dililit di pinggangnya. Ia masuk ke kamarnya dan menuju ke arah lemari pakaian. Eirin sedang tidak berada di dalam kamarnya, tetapi pria bernama Vinly itu masih berbaring di atas kasur Riven. Riven melepas handuknya memperlihatkan seluruh tubuh indahnya yang tanpa busana dari samping belakang di hadapan Vinly yang sedari tadi sedang melihat ke arah Riven sejak keluar dari kamar mandi.
"Anj–" ucap Vinly pelan lalu menoleh ke arah lain. Ia pun sedikit panik karena mengingat ucapan Riven ketika ia baru terbangun tadi. Ia tidak ingin sampai melihat bagian 'depan'nya.
Riven memakai celana boxer nya. Lalu ia berjalan ke arah kasur menghampiri Vinly. "Hey. Vinyl. Lu mau makan apa?" tanya Riven yang naik ke atas kasur dan tiduran di sebelahnya.
"Gue Vinly. Bukan Vinyl" ucap Vinly dengan nada kesal menoleh ke arah lain. "Serah" jawabnya.
"Kayak jawaban cewek aja lu" ucap Riven. Ia menoleh ke arah Vinly lalu memeluk badan pria itu seperti guling. "Jawab. Atau gua 'makan' lu?" tanya Riven dengan ekspresi tengilnya.
"Lu kanibal mau makan gue?" dengusnya. "Lepasin" ucap Vinly melihat tangan Riven yang kini berada di atas badannya sedang memeluknya dengan sebelah tangannya.
"Jawab dulu. Gua laper. Biar cepet gua pesen makanan" ucap Riven masih memeluk badan orang itu.
"Lepasin gue dulu. Gue bukan gay!" ucap Vinly mencoba mengangkat tangan Riven, tapi ternyata pelukan tangan Riven cukup kuat hingga jadi terasa berat.
"Gua kan gak bilang lu gay atau bukan" ucap Riven menaikkan alisnya. "Tapi biasanya kalo orang ngucap gitu, cepet atau lambat orang itu bakal jadi gay. Atau bahkan sebenarnya punya jiwa gay tersembunyi" ledeknya. "Apalagi kalo bilang begitu sama gua. Cepet atau lambat lu pasti bakalan tertarik sama gua" cengirnya jail.
"Gak akan!" ucap orang itu. Vinly ingin melepas pelukan Riven, tetapi tangan Riven cukup kuat, dan saat ini tubuhnya juga sedang lemah. Apalagi posisi mereka berdua tiduran diatas ranjang yang sama dengan dirinya dipeluk Riven, dan sesama tidak memakai baju. Jadi terasa seakan beneran sedang ngegay. Membuat Vinly jadi agak sedikit panik di dalam batinnya.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar berbunyi. "Riv.." panggil suara orang yang mengetuk pintu itu. Riven sudah tau siapa yang mengetuk pintu itu, dapat dipastikan itu suara Renzo.
Eirin membukakan pintunya dan membiarkan Renzo masuk. Renzo berterimakasih ke Eirin dan langsung masuk ke dalam. Ia menuju kamar Riven. Dan ketika masuk ke kamarnya, ia melihat Riven yang sedang tiduran memeluk pria dari Blackardz itu di atas kasur dengan sama-sama tidak memakai baju.
"Haah.." hela Renzo pasrah yang sudah tau bagaimana kelakuan Riven. "Kau beneran membawanya karena 'alasan lain' selain intrograsi kan?" tanya Renzo dengan tatapan datar. "Aku membawakanmu makanan. Makanlah" ucap Renzo kemudian menyodorkan kantung berisi makanan.
Riven segera menoleh ke Renzo. "Wih tau aja lu Ren gua lagi laper!!" ucap Riven senang. Ia segera melepaskan pelukannya dari Vinly dan turun dari kasurnya, lalu berjalan menuju ke arah Renzo. "Makannya apa nih?" tanya Riven sambil mengambil dan membuka bungkusan makanannya.
"Beef bowl. Aku sengaja beli empat untuk kita makan bersama" jawab Renzo. "Aku juga sekaligus membelikanmu minuman Matcha kesukaanmu"
"Hoo. Oke makasih Ren sayang" ucap Riven. "Memang lu terbaik tau aja disaat gua lagi laper dibawain makanan dan minuman" senyum Riven sembari memeluk lalu sedikit memiringkan kepala mencium bibir Renzo.
Renzo yang dipeluk dan dicium, membalas pelukan dan ciuman singkat bibir Riven. "Dah sana makan" ujarnya dengan senyum tipis.
Vinly yang menyaksikan itu bergidik geli melihat kelakuan dua orang laki-laki di hadapannya yang berciuman di depan matanya. ((Njrit. Dia beneran gay!)) ucap batinnya melihat ke Riven. ((Dia siapa? Pacarnya?)) tanya batinnya melihat ke arah Renzo.
Renzo lalu menoleh ke arah Vinly. "Jadi bagaimana dengan orang itu? Kau sudah mengitrograsinya lagi?" tanya Renzo menunjuk ke Vinly.
"Belum" jawab Riven ke Renzo. "Oy mau ikut makan nggak lu?" tanya Riven menoleh ke Vinly.
Vinly menoleh ke arah lain tanpa menjawab seperti tanda penolakan. Tapi sayangnya perutnya tidak bisa berbohong bahwa ia lapar. "Sial.." umpatnya pelan.
"Sini ikut. Gausah malu malu anjing" ucap Riven.
"Siapa juga yang malu-malu anjing?! Lu tuh yang kayak anjing!" umpat Vinly.
"Yaudah kalo lu gamau ikut makan. Gua sih bodo amat kalo lu mati kelaperan" ucap Riven santai. "Yang lebihan satu lagi berarti buat gua makan" cengirnya. Ia pun berjalan menuju ke arah meja makan.
Renzo menatap ke arah Vinly yang terbaring diatas kasur dan berjalan mendekatinya. "Kalau kau berani macam-macam dan bertindak tidak sopan seperti itu lagi pada Riv. Aku akan membunuhmu seperti para temanmu yang lain yang sudah mati kemarin. Masih untung Riv mau menyelamatkanmu. Harusnya kau berterimakasih padanya" ucap Renzo menatap tajam dan datar pria itu.
"Apa-?! Mereka sudah mati? Semuanya?!" tanya Vinly seperti tidak percaya.
Renzo tidak menjawab apa-apa dan ikut pergi menyusul Riven ke ruang makan nya. Mereka pun duduk di meja makan. Renzo duduk bersebrangan menghadap Riven.
"Eirin! Mau ikut makan nggak? Sini bareng" panggil Riven berteriak mengajak Eirin.
Eirin berjalan mendekat. "Tentu saja mau, tuan Riv" jawab Eirin tersenyum. Ia pun duduk di sebelah Riven.
"Btw Joko mana? Belum balik dia?" tanya Riven sembari membuka beef bowl nya. "Kalian lagi TA kan sekarang?"
"Belum. Dia masih sedang menjalankan misi di tempat lain" jawab Renzo. "Ya. Setidaknya dosen pembimbing kami tidak terlalu mempermasalahkan absen kami selama tugas dikerjakan" jawab Renzo. "Kau sendiri bagaimana Riv dengan urusan kuliahmu? Aman?" tanya Renzo sembari mengambil beef bowl bagiannya.
"Entahlah. Ternyata desain tugasnya banyak juga.. Gua kira bakalan santuy" ucap Riven merasa putus asa. "Masalahnya gua gak yakin bakalan bisa sering masuk ke kampus dan nyelesain tugas. Lu tau kan, gua mungkin bakal berpindah-pindah 'lokasi' tempat juga, dan mengurus masalah 'itu'. Lu pada juga sih sebenernya.. Tapi kok kuliah lu bisa pada aman meskipun sering absen untuk ngejalanin tugas dan misi, bahkan termasuk dari organisasi lain juga?" tanya Riven disela makannya.
"Yang penting selama tugas dikumpulkan, tidak jadi masalah. Untungnya disini absen dinomor duakan setelah tugas. Tapi tergantung dosennya" jelas Renzo. "Apalagi semenjak keadaan sebagian manusia di 'kota itu' sudah tidak menjadi normal semenjak kejadian 'itu'. Jadi kau tenang saja masalah kuliah" Renzo pun menyuap beef bowl nya.
"Baguslah kalo gitu" ucap Riven tersenyum lega. "Lagipula urusan di Ivorius sudah kupindahtangankan sementara ke para Anggota yang menjaga disana. Semoga mereka gak bertindak aneh-aneh dan merugikan" Riven lalu menyuap makannya.
"Bukannya kau sendiri juga bertindak aneh-aneh?" tanya Renzo. "Lagipula kau kan masih bisa ke berbagai dimensi, tempat, ruang, dan waktu sesukamu dengan kemampuanmu jika kau mau. Apa kau ingin mampir ke Quezore Land?" tanya Renzo.
"Setidaknya gua gak merugikan" ucap Riven sambil menunjuk sumpitnya ke arah Renzo. "Energi yang dibutuhkan dan digunakan cukup besar, apalagi jika beda dimensi dan waktu. Masih mending lewat pintu portal khusus yang sudah disediakan untuk kita berpindah lokasi" jawabnya malas. "Mungkin belum sekarang. Tapi kalo sempat gua bakal kesana lagi" lanjut Riven sambil menyuap makan. "Kau sendiri bagaimana Eirin dengan kuliahmu?" tanya Riven menoleh ke Eirin.
Eirin yang sedang ikut makan dan hanya menyimak pembahasan Riven dan Renzo sedikit tersentak saat ditanya. "Tidak terlalu bermasalah. Kuliahku baik-baik saja, tuan Riv" ucap Eirin. "Lagipula shift kerjaku hanya jam malam. Itu pun sesekali"
"Oh ya.. Kalian seumuran dan seangkatan kan? Kau jurusan apa? Aku lupa" tanya Renzo ke Eirin.
"Psikologi" jawab Eirin. "Kalian berdua sesama jurusan DKV kan?" tanya Eirin kembali.
Riven dan Renzo menganggukkan kepala secara bersamaan. "Tapi Renzo dan Joko senior gua" jawab Riven sembari meminum matcha nya.
"Kami beda umur dua tahun. Tapi Riven telat satu tahun angkatan untuk mengambil kuliah" jelas Renzo. "Kalau kau?"
"Aku juga telat satu tahun kuliah karena kekurangan biaya.. Maka itu aku bekerja di bar" jelas Eirin. "Kenapa kalian mengambil jurusan DKV, bukankah kalian dari keluarga Mafia?" tanya Eirin yang juga sudah mengetahui latar belakang keluarga Riven. Bahkan ia sudah direkrut Riven untuk menjadi bagiannya, meskipun belum masuk secara resmi saat ini.
"Sebenernya gua gak tau mau masuk jurusan apa. Gua males jurusan yang pake banyak mikir apalagi ngitung, dan gua suka baca komik sama pengen nyoba bikin desain untuk usaha, makanya gua ngambil DKV" ucap Riven. Lalu ia menunjuk ke arah Renzo "Sekaligus mengikuti jejak mereka yang ada di DKV. Jadi biar lebih gampang"
"Aku karena dari awal memang tertarik seni dan desain. Sekaligus ada 'alasan' lain" jawab Renzo di sela makannya. "Riven cuma ikut-ikutan aku dan Joko, karena dia mager mikir" jelasnya.
"Yoa. Tapi sebenernya gua ngikutin jejak author. Soalnya author nya anak DKV" tunjuk Riven ke arah author(?) yang entah ada dimana(?).
"Diem lu Riven!" suara author yang entah nongol darimana. Padahal orangnya lagi ngetik ini cerita. #abaikanyangini
"Dan juga.. Ada sesuatu yang menarik disana. Terutama di kampus itu. Makanya gua masuk kesana" senyum Riven mencurigakan.
"Yang kau maksud tertarik dalam hal apa? Apakah 'Target'mu atau yang lain?" tanya Renzo menatap Riven.
"Benar. Kau sudah tau maksudku" ujar Riven dengan tatapan seperti sok serius sambil menyatukan jari-jari kedua tangannya meski tangannya masih memegang sumpit.
"Oh.." ucap Renzo seperti paham apa maksud Riven. "Jadi.. Kau ingin menarik 'orang itu' sebagai 'Target'?"
"Lebih tepatnya 'Mereka'. Ya, tapi belum sekarang. Secara perlahan tapi pasti. Cuma sepertinya saat ini mereka sedang terlibat dengan organisasi lain atau bahkan juga sedang diincar untuk masuk ke dalam organisasi lain" ucap Riven. Ia lalu kembali menyuap makanannya. "Meskipun ada beberapa orang yang menjadi 'Target' untuk itu. Tapi gua paling tertarik dengan kemampuan dan kerjasama 'mereka'. Dan gua curiga 'mereka berdua' juga sebenarnya pasangan gay, meskipun mereka bilang bukan, hanya sahabatan" ucap Riven.
"Jadi kau tertarik dengan 'mereka' karena menurutmu mereka pasangan gay?" tanya Renzo menatap datar Riven. "Kalau begitu kau mau 'merebut' mereka dari organisasi lain?"
"Tadi kan udah gua bilang alesannya! Gua tertarik karena kemampuan sekaligus chemistry kerjasama mereka" ujar Riven dengan tatapan datar ke arah Renzo. "Tapi ya itu jadi salah satu menariknya juga" cengir Riven kemudian. "Entahlah. Masih gua pertimbangin"
"Oke" ujar Renzo lalu melanjutkan makan. "Tapi sepertinya mereka memang karena murni sahabatan, bukan pasangan gay?" ujarnya kemudian.
Riven mengedikkan bahu. "Siapa yang tau. Mungkin sekarang hanya sahabatan. Tapi gatau kan nanti kedepannya?" ucap Riven dengan senyuman jailnya.
"Dasar kau ini Riv.." ujar Renzo pasrah.
"Yang jelas untuk saat ini.. Ren. Please lu harus bantuin gua ngerjain tugas Ren!" ujar Riven dengan tatapan seakan memohon. "Bantuin gua bikin nirmana!!"
"Kerjakan sendiri" ucap Renzo cuek sembari makan.
"Jangan gitulah kakak senior. Bantulah juniormu yang tersayang ini" ucap Riven sambil memegang tangan kiri Renzo dan tatapan seakan memohon.
"Hah.. Kau bahkan tidak pantas dan cocok untuk disebut junior" Renzo menghela nafas. "Oke" ujar Renzo menyetujui. "Tapi gantian kau yang harus membantuku mengerjakan TA"
"Kan gua masih maba! Mana paham bikin TA!" ucap Riven dengan ekspresi emote rage face yang ada di Line.
Eirin yang sedari tadi makan sembari menyaksikan percakapan mereka berdua hanya bisa diam memperhatikan dan kini tertawa melihat tingkah mereka berdua.
Vinly samar-samar mendengar percakapan mereka yang sedang makan sambil membahas perkuliah dan mendengar ada informasi 'Target' yang diincar di kampus orang itu berkuliah. Tetapi disamping itu, sebenarnya perutnya Vinly sudah berbunyi kelaparan.
"Oy Vinyl. Mau ikut makan nggak? Sini gabung!" ucap Riven berteriak dari meja makan kearah kamar.
"Vinly! Bukan Vinyl!" teriaknya membenarkan. "Gimana gue bisa bangun bego. Gue aja belum bisa bangkit dari kasur!" ucapnya sembari meratapi nasib.
Riven yang sudah menyelesaikan makannya pun, datang menghampiri Vinly yang masih terbaring di kamar sambil membawakan beefbowl yang satu lagi. "Nih makan. Gua suapin" ujar Riven yang duduk di atas kasur di sebelah Vinly. "Kasian gua sama lu, ntar kalo lu mati gua nggak mau tanggung jawab"
"Ogah gue disuapin sama lu!" ujar Vinly sambil memalingkan mukanya ke arah lain. "Mending gue mati"
"Jangan Jaim. Palingan lu ntar beneran mati kelaperan kalo nggak mau makan" Riven pun menyumpit nasi dan beef tersebut. "Nih. Makan" ujar Riven sambil menyodorkan makanannya ke depan mulut Vinly.
"Gue bisa makan sendiri. Gue masih punya tangan!" ujar Vinly menatap ke arah Riven.
"Yakin? Emang lu udah bisa bangun?" ucap Riven dengan menaikan alisnya. "Gausah sok-sokan bisa. Makan buruan!" Riven langsung menyuapi paksa ke mulut Vinly.
"Gue bis–Aumph-!!" mulutnya langsung disodori makanan oleh Riven. Vinly pun terpaksa menerima suapan Riven. "Anyuing-" umpatnya sembari mengunyah makanan. Tetapi karena ia lapar dan beefbowlnya ternyata enak, ia pun mengunyah dan menelan beefbowl tersebut.
"Nah enak kan?" senyum Riven. Ia lalu menyodori suapan lagi ke mulut Vinly.
Vinly masih ogah-ogahan pada awalnya. Sampai akhirnya ia pasrah menerima suapan Riven. Ia pun jadinya malah menikmati makan disuapin Riven yang ternyata menurutnya enak juga makan disuapin seperti itu.
Renzo masuk menghampiri kamar Riven, dan kemudian melihatnya yang sedang menyuapi anggota dari Blackardz itu. "..Aku pulang dulu, Riv"
Riven pun menoleh ke arah Renzo. "Oke. Thankyou makanannya Ren" ucap Riven tersenyum yang memperlihatkan giginya.
"Em.. Riv.." Renzo berjalan mendekati Riven, lalu ia menunduk dengan sedikit memiringkan kepalanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Riven. Renzo pun mengecup bibir Riven. "Masama" ujarnya dengan senyuman tipis.
Riven tersenyum ketika bibirnya dikecup Renzo. "Wokeh sayang" cengirnya. Riven pun membalas kecupan Renzo.
"..." Vinly yang melihat adegan itu pun bergidik. "Dih.. Pasangan gay" gumamnya pelan.
Renzo melirik dan menatap Vinly dengan tatapan tajam. Kemudian ia melihat Riven dengan senyuman tipis. Renzo lalu berjalan pergi. Ia pun keluar dari ruangan unit Riven.
Ketika sudah di luar ruangan unit Riven, Renzo sedikit menghela nafas setelah menutup pintu. Tiba-tiba saja ia mendapat sebuah panggilan telfon dari handphone khususnya. "Hallo?" ujarnya saat mengangkat telfon.
["Ren. Aku butuh bantuanmu"] ujar suara dari ponsel Renzo. Suara seorang perempuan. ["Datanglah ke alamat yang sudah ku kirimkan lewat pesan"]
"Baiklah" ujar Renzo. Ia pun membaca pesan untuk melihat alamat yang dikirimkan. Kemudian Renzo berjalan pergi untuk menuju lokasi yang disebutkan. "Aku segera kesana, Jean" ujar Renzo sembari masuk ke dalam lift. Pintu lift pun tertutup.