Mendengar perkataan Dion, tampak wajah ketakutan Nani.
"M–Maksud kamu?" Nani berkata dengan nada gugup.
Tampak keringat dinginnya menetes. Anik yang melihat sahabatnya ketakutan memegangi tangannya.
"Nani, sosok yang mengganggumu itu dari pusaka turun-temurun kakekmu. Namun, ada satu yang janggal. Jika pusaka itu dari kakekmu, seharusnya dia tak mengincar nyawamu. Tapi ini berbeda," kata Dion menjelaskan.
Nani terdiam dengan wajah ketakutan seperti ada yang dia sembunyikan. Dion tersenyum kecil seolah tahu sesuatu yang di sembunyikan Nani.
"Nani, selama ini kamu menyimpan satu pertanyaan besar yang belum terjawab. Coba kamu ceritakan saja apa yang kamu ingat," ucap Dion kemudian.
Sejenak, Nani merasa galau. Dia pandangi sahabatnya.
"Ni, sebaiknya apa yang jadi uneg-unegmu kamu ceritakan saja. Siapa tahu nanti ada solusi dari masalahmu," kata Anik.
Sambil meminum sedikit minuman di depannya, akhirnya Nani menceritakan apa yang di alaminya. Dia menjelaskan, bahwa surat itu adalah berita duka atas meninggalnya sang ayah, dan juga ibunya yang mulai sakit keras. Cerita Nani mengenai ayahnya begitu menyedihkan. Ternyata, Nani di bawa ke Jakarta oleh pamannya karena kondisi keluarganya yang memprihatinkan.
"Sejak ayahku mulai gila, semua usaha ayahnya mulai mengalami kebangkrutan. Ibu yang berusaha mengelola tak mampu membuat usaha keluarga bangkit. Akhirnya, dua tahun kemudian, Pamanku memutuskan untuk membawa aku ke Jakarta. Sedangkan dua adikku di rawat oleh kedua kakak ayahku di kampung," kata Nani.
Anik dan Dion begitu prihatin mendengar cerita Nani.
"Oh ya, bagaimana saudara ibumu? Bukankah mereka kaya raya?" tanya Anik.
Nani hanya menggelengkan kepalanya. "Saudara ibuku semuanya membenci keluarga kami. Memang, saudara ayahku itu awalnya bersikap sinis pada keluarga kami. Hanya Paman Suli yang baik pada kami. Itupun, karena Paman Suli memang besar di sebuah pondok pesantren. Namun, setelah ayahku mulai sakit, entah bagaimana caranya akhirnya keluarga ayahku akhirnya peduli pada kami. Kedua adikku di bawa oleh kakak ayahku di kampung."
Mendengar cerita Nani, Dion lalu berkata, "Ni, kamu keluarga ayahmu awalnya sempat tak merestui hubungan ayah dan ibumu?"
Nani hanya mengangguk.
"Kamu ada foto ayahmu?" tanya Dion kemudian.
Nani mengeluarkan foto keluarganya dari dompet yang dia bawa. Dia berikan foto itu kepadanya. Dion memanadangi foto itu, dan kembali dia mendapatkan sebuah penglihatan.
–Penglihatan Dion–
Dion mendapati dirinya di sebuah tempat asing. Tempat itu adalah sebuah pedesaan. Di sana, dia melihat ada seorang Tuan Tanah yang kata raya. Di suatu tempat, dia bersitegang dengan seorang warga.
"Narso, bayar hutangmu!" bentak tuan tanah itu.
Narso yang saat itu kehidupannya memprihatinkan memberikan sejumlah uang. Tuan tanah itu memandangi uang darinya dengan wajah kurang suka.
"Apa-apaan ini?! Hutangmu banyak, Narso! Bunganya saja tiga kali uang ini!" bentak Tuan Tanah itu.
"Maaf, Pak Bowo. Hanya uang ini yang saya punya," kata Narso dengan nada memelas.
Narso memberi kode pada pengawalnya. Dan, pengawalnya langsung memukuli Narso. Istrinya yang melihat suaminya di pukul tak terima. Dia keluar dari dalam rumahnya, dan berteriak histeris.
"Tuan, jangan pukuli suamiku," katanya sambil menangis.
Namun, tangisannya tak di hiraukan Bowo. Pengawalnya terus memukuli Narso hingga meninggal. Melihat suaminya meninggal, istrinya langsung berlutut dan memeluk suaminya.
"Mas Narso …," teriaknya histeris.
Bukannya kasihan, Bowo langsung mendorong istrinya Narso hingga terjengkang.
"Sudah! Gak usah nangis. Sekarang kosongkan rumah ini, karena suamimu sudah mati!" bentak Bowo dengan senyum licik.
Perasaan kesal dan sedih yang bercampur membuat istrinya Narso marah. Tangisan istrinya Narso berhenti. Dia bangkit, dan mendekati Bowo.
Dengan tatapan tajam, dia menatap Bowo, sang Tuan Tanah.
"Tuan, aku mengenal mendiang ayahmu. Beliau tak sekejam ini. Perjanjian hutang suamiku tidak denganmu. Namun, ternyata kau kejam!" kata istrinya Narso.
Plak!! Sebuah tamparan keras mengenai pipinya.
"Hei!! Dengar ya. Ayahku sudah mati. Sekarang, semua perjanjian dengan ayahku adalah urusanku. Dan, perjanjian itu berhak aku buat sekehendakku. Dan asal tahu, sudah terlalu lama suamimu berhutang pada ayahku!" bentak Bowo.
Wanita itu memegangi pipinya yang terasa panas. Bowo sejenak memandangi istri Narso dengan pandangan yang berbeda. Rupanya, dia mulai tertarik dengan kecantikan wanita di depannya. Timbul ide licik Narso. Amarahnya melunak dan menjadi kelicikan.
"Kalau kamu mau tetap di sini, jadilah selirku, Narti," ucap Bowo dengan senyum liciknya.
Wanita itu tersentak. Dia seolah tak percaya mendengar ucapan Bowo. Narti yang merasa dilecehkan Bowo kembali menatap Bowo dengan tatapan tajam.
"Oh, jadi kamu jerat suamiku dengan bunga hutang yang kau buat hanya untuk mendapatkan aku?! Tidak! Aku lebih baik pergi dari sini. Silahkan ambil rumah ini dan seluruh peninggalan suamiku!" Narti berkata dengan suara pelan tapi keras.
Bowo hanya tersenyum sinis menanggapi perkataan Narti. "Baiklah. Silahkan menjadi gembel, Narti. Nanti kalau tak dapat rempat tinggal baru, silahkan datang dan mengemis kepadaku."
Sambil menggelengkan kepalanya, Narti kembali berkata, "Asal kamu tahu, Bowo. Lebih baik aku jadi gembel dengan harga diri daripada bersanding dengan orang licik sepertimu. Dan, ingat ya. Kamu dan seluruh keturunanmu tak boleh bersatu dengan keturunanku. Jika ada keturunanku yang menikah dengan orang di garis keturunanmu, kehormatan keluarga besarmu akan hilang dan merasakan hidup sepertiku, terusir dari kampung dan jatuh miskin hingga salah satu dari mereka meninggal."
Bowo tersenyum sinis menanggapi perkataan Narti.
"Silahkan saja berkata semaumu,Narti," katanya dengan nada mengejek.
Tanpa banyak bicara, Narti membawa sebagian kecil barang miliknya, dan juga anak semata wayangnya pergi dari desa itu. Namun, sebelum pergi Narti berkata pada Bowo.
"Kamu dan seluruh keluarga besarmu tak akan pernah bahagia," katanya sebelum pergi.
Akhirnya, Narti dan anaknya pun pergi. Tiba-tiba, pandangan Dion merasa gelap. Dan, akhirnya muncul sebuah penglihatan lain. Dilihatnya sosok wanita itu yang tak lain adalah Narti telah tua renta di sebuah rumah. Tampak pula seorang pemuda yang belum pernah dilihat Dion. Dan, dari wajahnya tampak kebahagiaan yang terpancar di wajahnya ketika melihat sosok bayi yang di gendong oleh seorang gadis muda.
Rupanya, Gadis kecil yang bersamanya tumbuh menjadi seorang ibu yang kini telah mempunyai tiga anak kecil. Dan, dari percakapan itu, terdengarlah kata Harjo, ayahnya Nani.
"Oh, jadi, Harjo ini adalah cucu dari Narti," gumam Dion dalam hati.
Dan, tak lama kemudian, muncul sosok laki-laki tua yang tak lain adalah suami kedua Narti.
Dan, pandangan Dion gelap seketika. Kini, pandangannya beralih kepada Bowo yang sudah renta. Dia melihat, Bowo yang telah tua renta tak merasakan kebahagiaan, walau kehidupannya begitu mewah Kelima anaknya berebut warisan. Namun, dari kelima anaknya itu ada satu anak yang tampaknya berbeda.
Dia adalah Suroso. Hanya Suroso lah yang begitu memperdulikan Bowo. Hingga, sebelum meninggal, Bowo yang terbaring lemah di dampingi oleh Suroso, anaknya yang paling dia sayang.
"Nak, bapak akan pergi. Tapi, sebelum pergi, bapak punya satu keinginan," kata Bowo dengan suara lemah.
"Apa keinginan bapak?" tanya Suroso.
Sejenak, Bowo batuk. Dan, setelah batuknya reda, dengan suara lemah akhirnya Bowo menceritakan permasalahannya dengan Narti. Panjang lebar Bowo menceritakan kejadian itu, dan kini dia menyesal. Kondisinya pun semakin melemah.
"Nak, tolong bapak. Tolong sampaikan permintaan maaf bapak pada Narti," katanya sambil berlinang air mata.
"Baik, Pak. Nanti akan saya sampaikan," kata Suroso.
Dan, tak lama kemudian Bowo akhirnya meninggal. Tak banyak orang yang mengantarkan jenazahnya. Dan, setelah kepergian Bowo, Suroso langsung pergi menemui Narti. Berbekal informasi dari banyak orang, akhirnya Suroso menemui Narti. Di rumah itu, Suroso menjelaskan permintaan ayahnya. Narti yang masih marah pada Bowo hanya bersikap dingin. Namun, sebelum Suroso pergi, Narti sempat berkata pada Suroso.
"Roso, aku sudah maafkan ayahmu, namun kutukan ini bisa berakhir jika pusaka kakekmu di kembalikan. Namun, perlu kamu ketahui, itu tidaklah mudah. Dan, salah satu kutukan itu adalah kehidupan keluarga besarmu sekarang. Awal dari kutukan ini karena ayahmu menyalah gunakan pusaka itu untuk meraih jabatan," kata Narti menjelaskan.
"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Suroso.
"Cobalah mengembalikan pusaka itu, walau tak mudah. Dan, ada satu lagi konsekuensinya. Konsekuensinya adalah, hilangnya semua kekayaan dan wibawa keluarga besarmu," kata Narti.
Suroso terdiam. Dan, pandangan Dion kembali gelap.
–Penglihatan Dion–
Dion langsung membuka matanya. Dia langsung mengembalikan foto itu pada Nani.
"Dion, apa yang kamu lihat?" tanya Nani.
Dion akhirnya menceritakan apa yang dilihatnya. Nani terkejut. Dia tak menyangka jika permasalahan itu begitu pelik.
"Jadi, perseteruan antara keluarga besar ibuku dan ayahku sudah lama?" kata Nani dengan nada terkejut.
"Benar, Nani. Aku menangkap, satu-satunya cara mengakhiri ini adalah, kita harus mengembalikan pusaka peninggalan kakek buyutmu. Dan, pusaka itu ada di suatu rumah," kata Dion.
Nani terdiam sejenak. Dia terperanjat begitu mendengar suara telepon dari dalam tasnya. Buru-buru Nani mengangkatnya. Nani berbicara sebentar, lalu telepon pun di tutup.
"UHM … maaf tadi pamanku yang telepon. Pamanku ingin mengajakku pulamg ke kampung karena ayahku meninggal," kata Nani.
Dion mengangguk. "Oke, hati-hati. Aku ngerasa diantara pamanmu, ada yang ingin mencelakaimu."
Nani hanya mengangguk. Dia buru-buru pergi bersama Anik. Dion membayar semua pesanan mereka di cafe itu. Namun, perhatiannya terperanjat ketika menemukan lipatan kertas di bawah meja tempat mereka duduk. Dion yang merasa penasaran memungutnya. Dia buka kertas itu, dan ternyata sebuah surat, dan sebuah foto rumah. Seketika itu, Dion mendapat sebuah pandangan.
"Oh, rupanya pusaka-pusaka itu ada di rumah yang di wariskan pada Nani," gumamnya dalam hati.
Dion yang merasakan bahaya yang akan mengintai Nani diam-diam berencana pergi ke kampungnya Nani. Dari surat itulah dia mengetahui di mana kampung itu.
BERSAMBUNG….