Chereads / Kumpulan Cerpen Horor / Chapter 14 - Warisan-4

Chapter 14 - Warisan-4

Nani merasakan tubuhnya begitu letih. Di pandanginya orang di sekitarnya. Sambil berurai air mata, Nani pandangi ibunya.

"Bu, badan Nani sakit," keluhnya.

Bu Sri menatap haru putrinya. Meski kondisinya sedang sakit, dia membelai lembut putrinya.

"Sudah, Nak. Istirahatlah," kata ibunya.

Nani memandangi Anik dan Dion. Lalu, ketika melihat di satu sudut, Nani kembali berteriak.

"Aaah! Pergi! Jangan ganggu aku!" teriaknya histeris.

Dion teringat dengan sesuatu yang di bawa Nani. Sambil menenangkannya, Dion berusaha mencari amplop yang di berikan Pak Jono. Dan, tepat di dekat makhluk itu, Dion menemukan amplop itu. Dia buka amplop itu, dan ternyata dia menemukan semacam benda asing yang di gunakan untuk menyakiti Nani.

"Oh, jadi ini salah satu penyebabnya," kata Dion seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sambil membaca do'a, Dion mengambil korek api dan membakar benda itu. Namun, benda itu tidak terbakar.

Terdengar suara ledakan keras, dan kembali Dion terpental cukup keras. Benda itu terlepas dari tangannya.

"Ugh … ," keluhnya kesakitan.

Nani yang kesurupan kembali bangkit dari tempatnya berbaring.

"Masih juga kamu ikut campur?! Dasar bodoh!!" ucap makhluk itu dengan suara berat.

Bertepatan dengan itu, datanglah seorang kyai bersama Suli dan adiknya Nani.  Dengan sigap, Kyai itu langsung membaca do'a sambil bertasbih.

Nani terus berteriak kesakitan. Tampak asap tipis keluar dari tubuhnya.

"Aaah!! Panas!! Panas!!" teriaknya histeris.

Do'a itu terus di lantunkan Pak Kyai, hingga akhirnya Nani kembali pingsan. Suli dan adiknya kembali membaringkan Nani di tempat tidurnya. Sementara itu, Dion langsung menghampiri Pak Kyai. Dia memberikan benda yang tadinya hendak di hancurkan.

Pak Kyai seolah melihat kelebihan Dion.

"Kamu rupanya sudah tahu. Untunglah kamu sempat melawan makhluk itu. Makhluk itu sekarang sudah lemah," kata Pak Kyai.

Pak Kyai membaca Do'a, dan benda yang di pegang ya langsung menjadi sebuah bola api, hingga membakar benda itu. Setelah benda itu hangus, Nani kembali tersadar. Buru-buru Pak Kyai kembali meruqyah Nani. Sejenak, Nani meronta kesakitan. Namun, perlahan kondisinya membaik. Hanya saja dia begitu lemas. Pak Kyai mengambil segelas air dan meminumkannya.

"Nani, ingat ya. Kamu harus lebih mendekatkan diri kepada Tuhan," kata Pak Kyai.

Nani yang masih lemas hanya mengangguk. Tanpa terasa, adzan shubuh datang. Pak Kyai mengajak penghuni rumah sholat berjamaah. Setelah sholat shubuh itulah, Dion kembali bercakap-cakap dengan Pak Kyai, dan juga Suli.

"Pak, rumah ini penuh pusaka. Dan, saya sempat melihat di beberapa sudut ruangan ini banyak sekali khodam dari pusaka yang terpendam disini," kata Dion.

Pak Kyai mencoba memejamkan matanya sebentar, lalu kembali membukanya.

"Suli, benar yang dikatakan anak ini. Sebaiknya, rumah ini segera di bersihkan dari pusaka-pusaka peninggalan kakeknya Nani. Pusaka ini justru menimbulkan keluarga penghuninya tak pernah bahagia. Selain itu, pusaka ini menjadi malapetaka bagi anak cucu pemiliknya, karena sudah di salah gunakan," kata Pak Kyai menjelaskan.

Suli mengangguk. "Om, tapi nanti akan ada konsekuensi dari pembersihan ini. Semua kekayaan keluarga besarnya Bu Sri akan hilang, namun keluarga besar ini akan rukun dan bahagia," kata Dion menambahkan.

Suli memohon ijin sejenak untuk menemui Bu Sri. Mereka memusyawarahkan rencana Dion dan Pak Kyai untuk membersihkan rumah itu. Setelah agak lama, mereka menyetujuinya.

"Ya sudah, Pak Lik. Nani setuju. Setelah ini, sebaiknya kita jual saja rumah ini. Nani udah gak oingin di sini. Terlalu banyak kenangan pahit," katanya dengan suara lirih.

Mendengar keinginan anaknya, Bu Sri tampak senang. Suli mengangguk, dan bergegas menemui Pak Kyai.

Sementara itu, di rumah Pak Jono terdengar teriakan histeris yang tak lain adalah Pak Jono. Tubuhnya serasa terbakar.

"Panas! Panas … ," teriaknya histeris.

Istri Pak Jono keheranan melihat kondisi suaminya.

"Tolong!! Tolong!!" teriak istrinya.

Mendengar teriakan minta tolong, beberapa warga menghampiri Pak Jono. Mereka terkejut melihat luka bakar yang di alami Pak Jono. Segera beberapa warga membawanya ke rumah sakit. Namun, belum sampai di rumah sakit, Pak Jono meninggal dengan luka bakar yang parah dan berbau busuk.

Siang harinya di rumah Nani, Pak Kyai dan Dion langsung melaksanakan pembersihan. Dion yang mengetahui letak pusaka itu langsung menggalinya. Dan, dari keempat sudut rumah itu di temukanlah sebuah gentong yang ukurannya cukup besar.

"UHM, tinggal satu lagi," katanya dalam hati.

Dion berjalan ke dalam rumah, dan secara tak sengaja dia menemukan lantai yang berongga. Segera saja dia meminjam linggis dan mulai menggali. Alhasil, di temukanlah satu kotak kecil yang tak lain berisi sebuah keris. Setelah di rasa cukup, semua temuan itu di kumpulkan di kebun depan rumah.

Pak Kyai yang kali ini datang dengan beberapa santrinya menutup gentong-gentong itu dengan kain kafan putih, dan berdo'a.

Sebuah kejadian luar biasa pun terjadi. Kain itu terbakar, dan tampaklah isi gentong itu yang tak lain adalah berbagai macam senjata pusaka. Perlahan, senjata-senjata itu seolah menguap dan menjadi asap yang lalu menghilang bersama angin.

Ketika proses itu berjalan, Dion sempat melihat beberapa sosok yang dia lihat semalam memandanginya. Sosok orang tua itu tersenyum.

"Nak, terima kasih sudah bebaskan kami. Kami bisa kembali ke alam kami," kata sosok itu sebelum semuanya menghilang dari pandangan Dion.

Setelah selesai, Pak Kyai dan para santri berpamitan.

"Suli, Sri. Rumahmu sudah bersih. Sebaiknya, adakan pengajian di sini selama seminggu supaya efek dari kutukaan pusaka ini betul-betul bersih sebelum kamu menjualnya," pesan Pak Kyai.

"Baik, Pak Kyai," jawab Suli.

Pak Kyai kembali menemui Dion. "Nak, gunakan kelebihan mu untuk kebaikan. Dan ingat ya, perbanyak ibadah," pesannya sebelum pergi.

Dion mengangguk. Mereka bersalaman, sebelum akhirnya Pak Kyai pulang.

Setahun sejak kejadian itu pun berlalu. Nani, Anik dan Dion tampak duduj di cafe yang sama seperti setahun yang lalu. Semenjak kejadian itu, hubungan pertemanan mereka bertiga begitu akrab. Setelah memesan makanan dan minuman, mereka bercakap-cakap.

"Oh ya, Ni. Bagaimana kabar keluargamu di kampung?" tanya Anik.

"Syukurlah, Nik. Ibu sekarang kembali bersemangat. Keluarga besarmu sudah rukun," kata Nani.

"Syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya," kata Anik.

"Dion, terima kasih ya kamu sudah bantu aku selama ini," kata Nani.

"Ah, kamu ini. Kebetulan aja kok," kata Dion merendah.

Nani akhirnya menceritakan keadaan keluarganya sejak kejadian itu. Dari cerita Nani, Dion dan Anik mengetahui keadaan keluarga besar sahabatnya yang sempat mengalami kebangkrutan. Harta warisan kakeknya Nani habis dalam waktu yang hampir bersamaan.

Awalnya, peristiwa itu begitu berat, namun mereka tak menyerah. Kerukunan pun akhirnya terjalin, dan kutukan dendam warisan pun berakhir. Kini keluarga besar ibunya bisa menerima Nani dan adik-adiknya.

"Sejak saat itulah, ibu merasakan begitu bersemangat. Keluarga besar itu saling bahu membahu untuk kembali bangkit. Syukurlah, kini semua dari kami mulai bangkit, walau sulit," kata Nani.

"Syukurlah, Nani. Yang oenting, kelluargamu sekarang bahagia," kata Dion.

TAMAT