Keesokan harinya, Heny merasakan pandangannya begitu silau. Perlahan, dia buka matanya.
"Busyet! Nih hari udah siang. Waduh, mampus gue. Nih ada kegiatan lagi," katanya dalam hati.
Heny berusaha untuk bangun, namun tubuhnya begitu berat. Dia merasa tubuhnya begitu letih. Di pandanginya isi kamarnya.
"Yah, sial. Terpaksa gue sendirian di sini," keluhnya dalam hati.
Heny melihat nasi bungkus di meja dekat tempat tidurnya. Karena merasa lapar, dia langsung memakannya. Tak lama kemudian, datanglah Dinda yang langsung menghampirinya.
"Syukurlah, Lo sudah bangun. Semalam kata Silvy Lo jalan sambil tidur, ya," kata Dinda.
"Uhm, iya sih. Gue ngerasa aneh. Dan, sampai saat ini, gue lemes banget . Mungkin, gara-gara semalam gue mimpi buruk," jawab Heny.
"Mimpi apaan, Hen?" tanya Dinda.
Heny menceritakan mimpi buruk yang di alaminya semalam. Wajahnya bercampur antara malu dan ketakutan. Dinda yang mendengarnya sempat membelalakkan matanya seolah tak percaya.
"Hah?! Lo serius mimpiin tuh aki-aki?" tanyanya dengan mata terbelalak.
"Nah itu die, Din. Dalam hati kecil gue, gue ngerasa itu salah. Tapi, semakin gue lawan, gue seolah tak bisa ngendaliin badan gue. Tapi, ada lagi yang lebih aneh. Gue ngelihat ada gadis ABG yang mencegah gue. Wajahnya pucat, dan ada beberapa luka lebam. Gue lihat betul dia pakai seragam SMU, tapi tubuhnya banyak luka. Pas gue tersadar, dia udah gak ada," jawab Heny.
Dinda teringat dengan cerita Bu Lasmi.
"Hen, Lo lihat gadis itu di mana?" tanyanya kemudian.
Heny mengingat-ingat. Dan, akhirnya dia teringat sesuatu.
"Gue ngelihat dia di dekat pohon beringin besar dekat rumah Pak Narso," jawab Heny.
"Uhm … apakah hilangnya gadis itu karena Pak Narso? Tapi, kita tak ada bukti," pikir Dinda dalam hati.
Sementara itu, Silvy dan Bu Lasmi tengah berada di ruang kerja Pak Lurah. Pak Lurah tengah membaca kedua proposal yang di ajukan. Wajahnya tampak serius.
"Proposal ini bagus, Silvy. Tapi, sepertinya akan sulit mewujudkannya di sini," kata Pak Lurah sambil mengamati proposal itu.
Silvy terkejut. "Mengapa, Pak?"
"Sekitar lima tahun lalu, pemerintah berencana membangun puskesmas di sini. Namun, dari awal pembangunan hingga saat ini, tak ada yang mau berobat di sana. Sosialisasi pun tak kurang, namun masyarakat di sini tak ada yang mau berobat ke puskesmas. Dan, pernah sekali ada yang berobat ke sana, tapi ternyata penyakit di sini kebanyakan bukan karena medis. Alhasil, akhirnya semua nakes mengundurkan diri. Dan, bangunan itu pun kosong dan akhirnya hancur," kata Pak Lurah menjelaskan.
Silvy hanya terdiam mendengar penjelasan Pak Lurah.
Pak Lurah tampak berfikir keras. Dia menutup kedua map yang telah di bacanya.
"Pak Karta, bagaimana kalau kegiatan untuk para mahasiswa diadakn di desa sebelah saja? Bukankah di sana banyak anak yang putus sekolah?. Mereka harus membuat laporan kegiatan pengabdian untuk di kampusnya. Jika kita tolak semua proposal ini, tentu mereka akan gagal," kata Bu Lasmi memberi ide.
Pak Lurah kembali berfikir. "Baiklah, Bu Lasmi. Proposal ini akan saya pertimbangkan. Dan, saya akan coba menemui pejabat desa sebelah."
Akhirnya, Silvy di persilahkan kembali ke kostnya. Sementara itu, Tejo, Tora dan Hendy tengah berkeliling untuk melihat kegiatan masyarakat di sana. Mereka melihat kegiatan pertanian di sana.
Di tengah kegiatan mereka mengelilingi desa, Hendy yang kebetulan berwajah paling tampan di kalangan pria tengah di lirik oleh seorang wanita muda yang ikut memanen di sana. Wajah wanita itu begitu cantik. Ketika Hendy melintas, tampak seorang wanita muda memanggilnya dari kejauhan.
"Mas, mampir ke sini," kata wanita itu dengan nada genit.
Hendy sempat tertegun dengan kecantikannya. Dia yang berjalan bersama Tora saling berpandangan.
"Eh gile. Tuh cewek cakep bener," kata Tora.
"Coba Lo lihat. Dia emang nyapa gue kagak?" bisik Hendy.
Tora memberi isyarat pada wanita itu. Dan ternyata, wanita itu memang menyapa Hendy dan dirinya. Akhirnya, mereka berdua mendatangi wanita itu. Namun, langkah mereka terhenti karena ada orang tua yang mencegahnya.
"Nak, kalian mau kemana?" tanya orang itu.
Hendy dan Tora sempat terdiam. Namun, orang tua itu sempat mengamati pandangan Hendy.
"Nak, jangan dekati gadis itu. Dia itu selirnya Pak Narso, sesepuh desa ini," kata orang itu dengan nada tinggi.
Baru saja orang itu mengingatkan, Pak Narso datang dan langsung menghardik Hendy.
"Oh, kalian ini! Sedang apa lihat-lihat Seruni?!" bentaknya.
"M–Maaf, Pak. Kami tak berniat untuk ….." jawab Tora dengan terbata-bata.
"Oh, untuk merebut selirku?! Kalian punya apa untuk merebut selirku?!" ejek Pak Narso.
Hendy yang dari tadi diam akhirnya mulai bicara.
"Pak, kami sadar kami ini tak sekaya bapak. Tapi asal tahu saja, dia kok yang melirik saya. Mungkin, bapak punya harta melimpah. Tapi, hati si dia untuk saya. Bapak tak bisa membeli hatinya dengan semua harta bapak!" balas Hendy dengan nada tinggi dan tatapan menantang.
Pak Narso begitu murka mendengar perkataan Hendy.
"Kurang ajar!" Pak Narso hendak memukul Hendy.
Dia layangkan tangannya hendak menamparnya, namun Hendy dengan santai menangkisnya.
"Maaf. Saya bisa saja menghormati bapak jika bapak tak menuduh kami serendah itu. Kami walau miskin masih punya harga diri," balas Hendy sambil menepiskan tangan Pak Narso.
Pak Narso kembali marah, namun pertengkaran itu akhirnya di cegah oleh Tejo dan orang itu.
"Hendy! Apa-apaan kamu?! Bikin malu saja!" bentak Tejo.
"Hei! Ajarin temanmu tata Krama!" bentak Pak Narso yang di pegangi pria tua itu.
"Iya, Pak. Maafkan teman saya. Saya janji, hal ini tak akan terulang lagi," kata Tejo pada Pak Narso.
"Pak, sudahlah. Hentikan pertengkaran ini," kata pria itu.
Pak Narso memandang tajam ke arah Hendy dan Tora sambil menunjuk ke arah Hendy.
"Awas kamu!" kata Pak Narso sebelum pergi bersama orang tua itu.
Sepeninggal Pak Narso, Tejo mengajak Hendy dan Tora untuk pergi. Di sepanjang jalan, Tejo begitu marah pada Hendy.
"Hen, Lo sadar gak sih kalau di sini kita ini numpang?! Lo jangan cari masalah dong di sini!" bentak Tejo.
Hendy menjawabnya dengan tenang.
"Jo, gue sadar. Die nya aja ke ge-er an," balasnya santai.
Tora dan Tejo heran mendengar jawaban Hendy.
"Hen, Lo boleh aja slebor. Tapi kali ini, please. Lo musti tahan emosi Lo. Kita ini jauh dari rumah," kata Tora dengan wajah ketakutan.
"Iya, Hen. Lo musti ngerti posisi kita sekarang ini," timpal Tejo.
Hendy hanya diam mendengar nasehat kedua temannya. Mereka terus berjalan ke kost mereka. Namun, rupanya mereka sempat kebingungan dengan jalan yang mereka lalui.
"Lho, perasaan kita belum tahu jalan ini. Kok kita bisa kemari?" kata Hendy dengan wajah keheranan.
Tejo menghentikan langkahnya. Dilihatnya sekitar.
"Waduh, celaka. Kita tersesat. Manaaa hari udah sore lagi," kata Tejo dengan nada gugup.
Mereka melihat sebuah bangunan tua di tepi sungai. Dan ada sesuatu yang menarik.
"Eh, lihat. Bukankah itu istri Pak Narso?" kata Tejo dengan suara lirih.
Hendy dan Tora melihatnya. Mereka bertiga sembunyi di balik semak-semak sambil mengawasi istri Pak Narso yang berjalan ke arah gubuk di tepi sungai.
"Hei, ingat gak pesan Pak Lurah? Kita dilarang main kemari. Yuk, balik aja," ajak Tora dengan nada ketakutan.
"Gue ingat pesan Pak Lurah, Tora. Tapi sejujurnya, ini pasti ada yang gak bener. Kenapa Bu RT ke sana bawa makanan? Gue penasaran sama keganjilan di kampung ini," kata Hendy.
Dan, tak lama kemudian istri Pak Narso keluar membawa piring kosong. Setelah istri Pak Narso keluar, Hendy berjalan mengendap-endap.
"Hen, udah. Kita balik saja. Kita laporkan pada Pak Lurah saja," kata Tejo setengah berbisik.
Hendy rupanya tak memperdulikan teman-temannya. Karena khawatir, Tejo dan Tora akhirnya terpaksa mengikuti Hendy. Dan, ketika sampai di dekat gubuk itu, Hendy mengintip dari lubang di gubuk itu.
"Hei, bro. Ada anak gadis di pasung!" Bisik Hendy dengan wajah tegang.
"Ah, yang bener!" balas Tejo pada Hendy.
"Udah, Lo lihat diri dah. Gue mau bebasin dia," kandas Hendy sambil berjalan ke arah pintu masuk.
Tejo dan Tora yang melihatnya terkejut. Mereka langsung masuk ke dalam mengikuti Hendy yang sudah mendobrak pintu. Di dalam gubuk itu tampak gadis remaja yang di pasung. Dilihatnya pakaian yang di pakai. Namun, tatapan gadis itu kosong dan seperti hilang ingatan.
"Lho, jangan-jangan dia anak SMA yang hilang dua tahun lalu," kata Tejo sambil mengingat cerita dari Bu Lasmi.
Tora melihat sekeliling ruangan itu. Dia menemukan tas ransel yang masih berisi buku pelajaran. Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga mencoba melepaskan pasungan gadis itu, namun tak berhasil. Di saat itulah, ada seseorang yang memergoki mereka.
"Kalian sedang apa?!" teriak orang itu.
Mereka bertiga terkejut. Dan, tampaklah sosok tua di sana. Mereka bertiga menatap pria itu dengan wajah ketakutan. Pria itu melihat gadis yang yang di pasung dengan tatapan tajam.
"Kalian bantu aku bebaskan dia," pintanya.
Mendengar perkataan kakek itu, tanpa berfikir panjang mereka membantu orang itu membebaskan gadis itu. Setelah membebaskan gadis itu, pria itu membaca semacam mantra-mantra, lalu mengajak mereka bertiga keluar dari tempat itu.
Ketika itu, hari mulai petang. Hendy menggendong gadis itu, sedangkan Tora membawa tas milik gadis itu.Mereka berjalan menembus malam ke desa sebelah. Anehnya, tak seorangpun mengetahui perjalanan mereka. Gadis itu di bawa ke rumah orang tua itu.
"Kalian anak-anak yang KKN di desa itu?" tanya orang itu.
"Benar, Kek. Kami ke Desa Mlintang ini berniat untuk KKN," kata Tejo.
"Oh ya, saya Ki Wongso. Sudah lama saya mencari gadis itu. Tapi sayang, sukmanya masih di alam ghaib. Aku harus bebaskan dia," kata Ki Wongso sambil menghidangkan kopi.
Mereka bertiga meminum kopi yang di berikan Ki Wongso. Sambil meminum kopi, mereka bercakap-cakap dengan Ki Wongso. Dari percakapan itu, Ki Wongso menjelaskan pada mereka tentang sisi gelap Desa Mlintang. Mendengar penjelasan Ki Wongso, mereka begitu kaget.
"Apa?! Jadi, desa tempat kami KKN itu hasil perjanjian ghaib?" kata Tejo dengan nada kaget.
"Benar, Nak. Kalian dalam bahaya. Kalian harus tahu, besok malam, di Malam Jum'at Kliwon, perjanjian ghaib itu berakhir. Semua penduduk asli desa itu akan diambil sebagai budak di alam ghaib. Dan, sebelum itu terjadi, kalian harus keluar dari desa itu," kata Ki Wongso.
"Lalu, bagaimana dengan tugas KKN kami?" tanya Tora.
"Sudahlah, kalian jangan pikirkan itu. Apapun alasannya, sebelum esok malam kalian harus keluar. Nanti aku akan menemui Pak Karta, lurah kalian. Tadi aku lihat dia menemui Pak Dharma, sesepuh disini. Sekarang, pulanglah kalian. Bilang pada teman-temanmu untuk berkemas dan segera tinggalkan desa itu," perintah Ki Wongso.
Mendengar perkataan Ki Wongso, mereka yang begitu panik langsung pamit untuk pulang.
BERSAMBUNG …