Di kostnya, Silvy dan Dinda merasa khawatir.
"Sil, Lo beneran gak lihat Tejo, Tora dan Hendy?" tanya Dinda dengan perasaan cemas.
"Iye. Tadi gue sempet denger, Hendy ada masalah Ama Pak RT. Gue denger dari salah satu warga yang sempat ngelerai mereka. Warga itu datang ke rumahnya Pak Lurah, tepat saat gue tadi di panggil Pak Lurah barusan," jawab Silvy.
Dinda mencoba menghubungi ketiga temannya, namun berulang kali di coba ternyata hasilnya nihil. Setelah hari semakin malam, Dinda mendengar Heny meracau. Mereka berdua langsung menuju ke kamar tempat Heny terbaring.
"Pak Narso … Pak Narso …." Heny mulai mengigau dalam tidurnya. Suara itu terdengar seperti tengah merindukan seseorang.
"Sil, gue gak salah denger? Kok Heny bisa-bisanya kayak kangen ke Pak RT?" kata Dinda setengah berbisik.
Tampak keringat mulai membasahi tubuh Heny. Dinda berusaha membangunkan Heny.
"Hen, bangun. Please, bangun …," kata Dinda sambil menggoyangkan tubuh Heny.
Dan, tak lama kemudian, Heny terbangun. Wajahnya tampak pucat dan ketakutan. Dia pandangi Silvy dan Dinda.
"Sil, gue takut. Mimpi itu muncul lagi," kata Heny dengan nada ketakutan.
Dinda memeluknya, "Hen, tenanglah. Kita akan jaga Lo. Kita gak akan biarin Lo ketakutan."
Bersamaan dengan itu, datangnya Tejo, Tora dan Hendy denga wajah pucat dan nafas tersengal-sengal. Melihat para gadis ada di tempat Heny berbaring, mereka bertiga langsung mendatanginya.
"Guys, malam ini kita mulai berkemas. Sudah tak ada waktu," kata Tora dengan suara parau.
Dinda dan Silvy memandangi mereka dengan wajah kaget.
"Berkemas? Maksud Lo, kita mau keluar dari sini?" tanya Silvy.
Tora mengangguk. "Kalau bisa, malam ini kita keluar dari sini."
"Kenapa?! Kalau kita pulang, nanti kita harus mengulang mata kuliah kita. Kita bakalan rugi!," kata Dinda dengan nada sedikit marah.
"Dinda, perkara KKN kita pikirkan nanti, yang penting, kalian semua selamat. Desa ini kagak beres," tukas Hendy.
"Kagak beres?! Kagak beres gimana?!" balas Dinda dengan wajah keheranan.
Silvy teringat akan penjelasan Pak Lurah.
"Dinda, mungkin bener kata Hendy. Tadi, gue sempet lihat data penduduk di sini. Dan Lo tahu gak, kalau di desa ini tidak ada anak kecil. Satu-satunya anak kecil di sini hanya anaknya Pak Lurah. Dan, tadi gue dapat penjelasan dari Pak Lurah. Itu sebabnya, kita gak bisa menjalankan program KKN yang sudah kita buat proposal ya," kata Silvy menjelaskan.
Silvy mengeluarkan salinan data penduduk dari Pak Lurah.
"Nih, lihat. Sejak tahun 1996, tak ada lagi kelahiran," kata Silvy sambil memperlihatkan salinan data itu.
Mereka semua melihat data itu. Wajah mereka tampak keheranan. Seketika itu, mereka merasa merinding. Tanpa berkata-kata lagi, mereka segera mengemasi barang-barang. Setelah berkemas, mereka langsung menuju ke rumah Pak Lurah untuk berpamitan.
Di sana, mereka bertemu dengan Ki Wongso. Ki Wongso sempat menatap Silvy.
"Lho, orang itu?" gumam Silvy.
Rupanya, di sana Pak Lurah juga mulai berkemas. Istri dan anak-anaknya telah siap untuk pergi dari desa itu.
"Anak-anak, mulai besok, kegiatan kalian harus berpindah ke desa sebelah. Tadi, saya sempat berembug dengan Ki Wongso. Karena sesuatu hal, untuk sementara kalian akan tinggal di rumah Ki Wongso," kata Pak Lurah.
Ki Wongso sempat menatap tajam pada Heny. Tanpa berkata-kata, dia mendekati Heny dan meletakkan tangannya di dahinya.
"Aaakh! Panas!" teriak Heny sambil meronta berusaha menyingkirkan tangan Ki Wongso.
Dinda dan Silvy begitu panik. Mereka berdua hendak membantu Heny melepaskan tangan Ki Wongso, namun di cegah oleh Bu Lurah.
"Nak, biarkan Ki Wongso melunturkan pengaruh sihir yang ada di tubuhnya," katanya dengan nada lembut.
Heny terus berteriak histeris, hingga akhirnya dia pangsan. Ki Wongso segera keluar dan menghentakkan tangannya ke tanah. Dhuar!! Terdengar suara ledakan yang keras, dan keluarlah asap dari tanah itu. Setelah selesai, Ki Wongso kembali menemui para mahasiswa.
"Syukurlah, sihir di tubuhnya sudah saya hilangkan. Jaga dia baik-baik, Nak. Dia akan di jadikan tumbal, sama seperti pelajar yang hilang dua tahun lalu," kata Ki Wongso menjelaskan.
Mendengar perkataan Ki Wongso, Tejo dan kawan-kawannya begitu panik. Mereka segera pamit dan membawa Heny yang masih pingsan. Bersama Ki Wongso dan keluarga Pak Lurah, mereka langsung pergi ke desa sebelah, sementara Pak Lurah masih mencari satu kerabatnya yang ada di desa itu.
Sementara itu, Narso yang berada di suatu ruangan tengah merintih kesakitan. Dia memegangi dadanya.
"Sial! Rupanya ada yang bantu gadis itu! Siapa sih dia?!" gumamnya sambil memegangi dadanya.
Dia melihat, semu peralatan ritualnya berantakan. Walau merasakan dirinya lelah, Narso berusaha merapikan peralatan ritualnya. Rupanya, Narso masih belum kapok juga.
"Aku gak akan menyerah. Apapun caranya, Mahasiswi itu harus aku dapatkan," gumamnya dalam hati.
Narso berfikir sejenak. Rupanya dia teringat akan name tag Heny yang terjatuh. Di name tag itu, ada foto Heny. Dengan berbekal itu, Narso kembali melakukan ritual untuk mendapatkan Heny. Dia kembali menata peralatan ritual, dan mengirimkan ilmu hitam itu kepada Heny. Setelah menyelesaikan ritualnya, tampak senyum kepuasan Narso. Dia segera keluar dari kamar ritualnya dengan senyum tersungging.
Keesokan harinya, Silvy terkejut melihat Heny yang tak ada di kamarnya.
"Teman-teman, Heny kabur," kata Silvy dengan nada panik.
Mereka semua terkejut. Karena merasa khawatir, akhirnya mereka berpencar. Tejo dan Hendy memutuskan mencari Heny ke Desa Mlintang, sedangkan lainnya mencari di kampung. Silvy, Dinda dan Tora berkeliling kampung untuk mencari Heny, sementara Tejo dan Hendy mencari di desa Mlintang.
Hari telah petang, namun usaha mereka tak membuahkan hasil. Heny tetap tak di temukan.
"Sil, gimana nih? Sudah seharian kita cari Heny, tapi tak ada yang ngeliat," kata Tora dengan wajah kelelahan.
"Iya, nih. Oh ya, Lo udah dapat kabar dari Tejo?" tanya Dinda.
Silvy menggelengkan kepalanya, "Entahlah. Dari tadi gue Lom dapat kabar dari mereka."
Sementara itu, Heny tersadar dari pingsannya. Dia pandangi alam sekitarnya.
"Lho, gue ada di mana nih?" gumamnya dalam hati.
Sejauh mata memandang, Heny hanya melihat kegelapan. Dia ingat tempat dia sadar adalah di dekat rumah Pak Narso, tapi suasana di sana sama sekali berbeda. Suasana yang begitu gelap dan angker.
"Ugh! Badan gue pegel bener," keluhnya dalam hati.
Heny bangkit dan berjalan keluar dari kampung itu, namun dia di hadang oleh sosok yang sangat mengerikan. Sosok itu berbadan manusia dengan kepala kerbau.
"Hei! Mau kemana kamu?! Kamu harus jadi budak kami!" bentaknya sambil mengeluarkan cemeti.
Ctar!! Cemeti itu di pukulkan di tanah dan menimbulkan suara yang menggelegar. Heny yang merasa ketakutan berlari menghindari makhluk itu. Makhluk itu memanggil pasukannya untuk mengejar Heny. Di satu tempat, Heny menemukan tempat persembunyian. Dia menghela nafasnya dalam-dalam. Sambil mengintip dari persembunyiannya, Heny berusaha tak mengeluarkan suara kendati wajahnya ketakutan.
Di tengah ketakutannya, Heny merasakan ada yang menepuk pundaknya. Dengan wajah ketakutan, dia mencoba menoleh ke belakang. Ternyata, dia adalah gadis yang pernah mencegahnya ke rumah Pak Narso.
"Sssst! Jangan berisik, Kak. Ayo kita keluar dari sini," bisiknya.
Gadis itu mengajak Hendy untuk pergi dari tempat itu. Dengan mengendap-endap, mereka berpindah-pindah tempat persembunyian. Dia mengajaknya ke sebuah gubuk di tepi sungai. Di dalam gubuk itu, mereka menghela nafas panjang.
"Kak, minum ini," kata gadis itu menawarkan air.
Karena merasa haus, Heny langsung ingin menenggaknya, namun di cegah oleh gadis itu.
"Kak, baca do'a dulu," katanya.
Heny membaca do'a, lalu meminum air itu. Seketika itu dia tak pernah merasa haus lagi.
"Terima kasih, Dek. Oh ya, nama Adek siapa?" tanya Heny.
"Saya Mila, Kak," jawab gadis itu.
"Saya Heny. Oh iya Mila, kenapa kamu di sini?" tanya Heny.
Mila terdiam sejenak. Dia akhirnya menceritakan awal kejadian yang menimpanya.
"Waktu itu, aku ikut rombongan untuk study tour ke desa ini. Awalnya, kegiatan ini begitu menyenangkan. Aku melihat kebun-kebun yang subur, sawah yang hijau, dan buah-buah yang segar. Namun, ketika aku sedang melihat sebuah tanaman, tiba-tiba aku merasa ada yang membekapku hingga pingsan. Dan, ketika aku bangun, ternyata ada sosok tinggi besar yang menyeretku ke sebuah penjara," katanya dengan mata berkaca-kaca.
Mila terdiam sejenak. Kemudian dia kembali melanjutkan ceritanya.
"Entah berapa lama aku terjebak di sini, Kak. Aku begitu rindu pada ibuku. Aku udah gak tahan di paksa kerja di sini. Aku pingin cepat keluar. Aku ingin pulang," katanya kemudian.
Heny kembali teringat ketika Mila menghalanginya. Entah apa yang terjadi, belum sempat Mila melanjutkan ceritanya, tiba-tiba terdengar lantunan do'a yang menggetarkan tempat itu. Lantunan do'a itu begitu keras, dan membuat gempa dan angin yang bertiup kencang.
Brak!! Tiba-tiba pintu gubuk itu terbuka, dan muncullah sosok wanita cantik dengan mahkota emas. Wanita itu menatap Mila dengan tatapan tajam.
"Kak, Mila takut!" kata Mila sambil bersembunyi di belakang tubuh Heny.
Heny berusaha menutupi ketakutannya.
BERSAMBUNG …