Chereads / Kumpulan Cerpen Horor / Chapter 22 - Perjanjian-7

Chapter 22 - Perjanjian-7

Sosok itu menatap Heny dan Mila dengan tatapan tajam, seolah ingin marah. Lantunan Do'a semakin nyaring terdengar seiring dengan semakin kencangnya angin yang berhembus. Gempa terasa semakin keras.

"Kalian berdua sudah membuat tempat ini kacau. Pergi kalian dari sini!" ucapnya dengan nada marah.

Gempa semakin keras, sehingga membuat gubuk itu mulai goyah. Mila dan Hendy bergegas pergi, namun tiba-tiba sosok itu memegangi tangan Heny. Tanpa berkata-kata, sosok itu melepaskan gelang tali di tangannya.

"Pergi dari sini!" ucapnya dengan nada membentak.

Di tengah gempa dan angin yang berhembus kencang, Mila dan Hendy berlari dari tempat itu. Di sepanjang perjalanan, mereka melihat banyak orang yang tengah di belenggu dan di siksa. Siksaan itu begitu sadis. Ada sekitar ratusan atau ribuan orang yang di jadikan jembatan ataupun menarik kereta kencana. Ada juga yang di paksa bekerja tanpa henti. Terdengar rintihan kesakitan dan tangis pilu yang begitu mengerikan.

Ketika Heny menengok, dia merasakan dirinya di cambuk dengan keras hingga membuatnya terjatuh. Heny meringis kesakitan. Tangannya mengeluarkan darah karena terkena cambuk yang begitu keras. Mila berusaha membantunya.

"Pergi! Kalian tak perlu ikut campur!" teriak salah satu sosok tinggi besar yang menyeramkan.

"Kak, ayo kita pergi. Jangan pernah menoleh ke belakang," kata Mila sambil membantu Heny berdiri.

Sambil menahan sakitnya, mereka kembali lari. Sementara, gempa semakin keras. Sebagian tanah yang mereka pijak retak, dan nampak kobaran api keluar dari retakannya. Heny dan Mila begitu ketakutan. Mereka berduan terus lari untuk keluar. Gempa semakin keras, dan tampaklah sebuah cahaya putih. Di depan telah berdiri Bu Lasmi.

"Heny, kemari. Cepat!" teriaknya sambil melambaikan tangan.

Melihat itu, Heny dan Mila berlari sekuat tenaga ke arah cahaya putih. Gempa itu semakin keras, dan tanah di tempat itu mulai amblas. Dengan segala upaya, mereka berdua lari menuju ke arah Bu Lasmi. Akhirnya, setelah berusaha payah, pandangan Heny menjadi gelap. Dia jatuh terkapar karena merasa lelah.

Sementara itu, di depan gerbang Desa Mlintang, tampak Hendy dan Tejo tengah berusaha menyadarkan Heny yang pingsan. Kampung itu tertutup kabut hitam. Kabut itu begitu cepat menyebar, sehingga sebagian besar warga di sana tak sempat menyelamatkan diri.

Tampak sebagian orang berusaha menghindari kabut itu, namun akhirnya mereka terkapar di jalanan desa itu. Rupanya, kabut hitam itu membunuh semua orang di desa itu.

Sementara itu, Ki Wongso dan dua orang kyai tengah berdiri sambil membaca do'a. Sambil membaca mantra Ki Wongso langsung menancapkan sebuah tongkat kayu berwarna emas tepat di depan gerbang Desa Mlintang dengan sekuat tenaga.

Setelah tongkat itu di tancapkan, tampak cahaya putih menyilaulan dan terjadilah ledakan besar. Ledakan itu menyebabkan tanah di desa itu amblas dan tertimbun longsoran dari tebing yang berada di atasnya. Suara gemuruh itu terdengar begitu keras, dan dalam sekejap Desa Mlintang itu telah rata dengan tanah seiring hilangnya sinar putih yang menyilaukan itu.

"Syukurlah, selesai sudah beban beratku," katanya dengan senyum puas.

Dan, Ki Wongso langsung tergeletak lemas. Kedua ulama itu segera memberikan pertolongan. Sementara itu, Heny telah sadar. Perlahan dia membuka matanya, dan dia melihat kelima temannya.

"Syukurlah, Lo udah bisa keluar dari tempat itu," kata Dinda sambil memeluknya.

Heny menengok ke sekitar. Dia tak melihat Mila, gadis yang keluar bersamanya. Selain itu, dia juga tak melihat Bu Lasmi, orang yang sudah menunggunya tadi.

"Guys, Lo tadi lihat Bu Lasmi?" tanya Heny yang baru tersadar.

Silvy keheranan. "Bu Lasmi? Kayaknya tadi gue gak lihat tuh."

"Lalu, bagaimana Mila? Kemana Mila?" tanya Heny dengan wajah khawatir.

Mereka mengernyitkan dahi dan saling pandang.

"Mila? Siapa dia?" tanya Dinda.

Heny berusaha bangkit. Dia berdiri walau merasakan keletihan di badannya. Dia berjalan ke sekeliling, namun tetap tak melihat Mila yang tadi keluar bersamannya.

"Kalian pulanglah dulu, Nak. Biar nanti saya dan Pak Kyai menyusul," kata Ki Wongso yang tengah duduk untuk memulihkan tenaganya.

Mereka akhirnya pulang ke tempat kost mereka. Tempat kost mereka kebetulan di dekat rumah Ki Wongso. Ketika mereka melewati rumah Ki Wongso, tampak seorang gadis tengah bersama Pak Lurah dan salah satu sesepuh desa itu. Heny langsung menghampiri Mila.

"Mila?" sapa Heny.

Mila tersenyum, dan langsung memeluk Heny.

"Kak, terima kasih sudah bantu Mila. Mila seneng banget akhirnya bisa pulang," katanya dengan tangis haru.

Tejo dan temannya memandang haru kebahagiaan gadis remaja itu. Dan, tak lama kemudian, datanglah dua orang ulama yang tadi bersama Ki Wongso. Namun, kedatangannya ternyata membawa berita duka.

"Pak Karta, kami kemari membawa kabar duka. Ki Wongso baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Dia telah bersyahadat, dan meninggal sebagai seorang muslim. Kami meminta ijin untuk memakamkan beliau secara Islam," kata salah satu kyai itu.

Pak Lurah dan sesepuh desa itu terkejut.

"Pak Lekso, sebaiknya kita umumkan berita ini ke warga. Saya akan ikut pak kyai," kata Pak Lurah.

Akhirnya, berita kematian Ki Wongso segera tersebar. Sesuai wasiat dari Ki Wongso, malam itu juga Ki Wongso langsung di makamkan. Selain itu, sebelum meninggal Ki Wongso sempat berwasiat kepada sesepuh desa untuk menggunakan rumah dan memberikan seluruh hartanya untuk masyarakat desa.

Hari demi hari berlalu. Rumah Ki Wongso telah menjadi tempat untuk mengaji, dan Mila telah kembali pada keluarganya. Namun, persahabatan antara Mila dan Heny masih terus berlanjut. Tak jarang Heny, Silvy dan Dinda terus memotivasi Mila yang sempat putus asa karena harus mengulang pelajarannya setelah dua tahun menghilang.

Dan, tanpa terasa waktu KKN pun berakhir. Di hari terakhir itu, mereka berpamitan pada Pak Karta dan Pak Lekso sebagai tokoh di desa tersebut. Mereka merasa ada yang aneh. Ketika itu, mereka tak melihat Bu Lasmi.

"Maaf, Pak. Kemana Bu Lasmi? Kok tidak nampak?" tanya Heny.

Pak Lurah hanya tersenyum. "Beliau sudah mengundurkan diri. Entah, kemana beliau pergi. Oh ya, ini ada sebuah buku dari Ki Wongso. Terimalah," katanya.

Pak Lurah memberikan buku tua itu pada Hendy. Setelah selesai berpamitan, mereka langsung berjalan ke tempat mobil mereka di parkir. Ketika akan pergi, Hendy bertemu dengan orang tua yang melerai pertengkarannya dengan Narso.

"Mau pulang ke kota, Nak?" sapa orang itu.

"Uhm … iya, Pak. Oh ya, terima kasih sudah melerai pertengkaran saya dengan Pak Narso," kata Hendy.

Orang itu mengangguk dan tersenyum.

"Ya sudah, Nak. Hati-hati di jalan ya. Semoga selamat sampai tujuan," kata orang tua itu sambil berlalu. Mereka akhirnya naik mobil itu dan langsung pergi. Hari itu, Tejo menyetir mobil yang membaea para mahasiswa.

Di tengah perjalanan, mereka sempat melewati bekas Desa Mlintang. Desa itu sudah benar-benar rata dengan tanah. Kemegahan desa itu hilang dalam sekejap, dan tak berbekas. Perjalanan hari itu begitu panjang. Hendy membuka buku tua dari Ki Wongso.

Dia membaca tulisan-tulisan itu, dan di halaman tengah, ternyata ada sebuah keterangan yang mencengangkan. Tulisan itu di tulis tahun 1985, dan ada sebuah foto di catatan itu. Dahinya berkenyit keheranan.

"Bro, Coba Lo lihat, bukankah ini foto Bu Lasmi?" kata Hendy pada Tora.

Tora mengambil buku itu. Dia melihat foto usang yang ada di buku itu. Wajahnya tercengang.

"Iya. Lho, tapi kok namanya Seruni ya?" kata Tora.

Silvy, Dinda dan Heny merasa penasaran. Mereka mencoba meihat foto usang itu.

"Eh iya. Mirip dengan Bu Lasmi. Tapi sebentar, kok ada tulisan yang buram ya?" kata Dinda menyelidik.

Dinda mengambil kaca pembesar yang dia bawa. Dia mencoba membaca tulisan yang buram itu. Setelah membacanya, dia tampak keheranan sekaligus ngeri.

"Din, Lo kenapa?" tanya Heny.

"Guys, asal Lo tahu, Bu Lasmi itu … UHM … duh, gimana ya? Jujur, ini gak bisa di percaya," kata Dinda.

"Din, maksud Lo apa?" tanya Hendy yang merasa penasaran.

Dengan wajah sedikit ketakutan, Dinda akhirnya mengungkapkan apa yang dia baca.

"Guys, Bu Lasmi itu sebenarnya bukan manusia. Dia adalah dayang dari ratu siluman yang menghuni di sekitar Desa itu," katanya.

Mereka semua melongo. "Jadi, selama ini Bu Lasmi itu …," kata Tora seolah tak percaya.

Sementara itu, di tanah kosong bekas Desa Mlintang tengah berdiri Bu Lasmi. Dia tersenyum menatap kepergian mahasiswa itu. Tak lama kemudian, datanglah sosok wanita cantik yang merupakan ratu siluman.

"Sudah waktunya kamu kembali, Seruni. Tugasmu sudah usai," katanya.

"Baik, Baginda ratu," jawab Bu Lasmi.

Seketika itu, sosok Bu Lasmi berubah menjadi sosok wanita cantik, yang tak lain adalah Seruni. Tak lama kemudian, kedua sosok wanita cantik itu menghilang.

TAMAT