Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Tejo dan kawan-kawannya yang kala itu tengah bermusyawarah di kejutkan oleh suara ketukan pintu di depan. Tejo segera membuka pintu depan. Di depan pintu, tampak Bu Lurah dan salah satu anaknya yang masih kecil di depan pintu.
"Nak, ini makan pagi untuk kalian," kata Bu Lurah sambil memberikan rantang susun itu pada Tejo.
Tejo terkejut sekaligus merasa sungkan. Dia keheranan.
"Terima kasih, Bu. Maaf kalau kamu merepotkan ibu," kata Tejo sambil tersipu malu.
"Oh, gak apa-apa. Ini tugas saya untuk menjamin keselamatan kalian selama disini," kata Bu Lurah.
Tejo terkejut. "Keselamatan?"
"Iya, Nak. Tadi Bapak berpesan pada ibu untuk menyampaikan hal ini. Kemarin Bapak sempat lupa mengenai pantangan di desa ini untuk kalian. Kalian jangan pernah memakan apapun has dari perkebunan di sini. Itu sebabnya, kami akan terus mengantarkan makanan ini untuk kalian. Dan ingat, selama di sini jangan sekalipun kalian mengambil makanan atau hasil kebun disini," pesan Bu Lurah.
Tejo terheran-heran mendengarny, namun dia sembunyikan perasaan herannya.
"Baik, Bu. Saya mengerti," kata Tejo menutupi keheranannya.
Setelah itu, Bu Lurah dan anaknya segera pergi dari tempat itu. Dia berjalan pulang kembali ke rumahnya.
"Teman-teman, ini sarapan pagi dari Bu Lurah," kata Tejo sambil membawa rantang.
"Waduh, kok kita jadi ngerepotin gini ya?" ujar Hendy keheranan.
"Teman-teman, kita gak boleh makan buah ataupun makanan dari warga sini. Pak Lurah lupa menjelaskan," kata Tejo menjelaskan pantangan itu
"Kok aneh ya? Kenapa?" tanya Heni keheranan.
"Sudahlah, Heni. Kita ikuti saja aturan ini. Kan kita bertamu di sini," balas Dinda yang sudah tahu sebelumnya.
Tejo membagi sarapan itu pada teman-temannya, dan mereka segera melahapnya. Dan, tak lama kemudian datanglah Pak Lurah bersama seorang pamong desa.
"Anak-anak, untuk memulai kegiatan kalian, nanti akan di dampingi sekertaris saya, Bu Lasmi karena hari ini saya sedang ada kegiatan di luar desa," kata Pak Lurah memperkenalkan pamong desa itu.
"Baik, Pak," jawab mereka semua.
"Bu, tolong dampingi mereka ya," kata Pak Lurah.
Pamong desa itu hanya mengangguk. Pak Lurah segera pergi. Sepeninggalnya Pak Lurah, Bu Lasmi mengajak mereka untuk menemui tokoh desa dan sesepuh di sana. Namun, dia menatap Heny dengan tatapan yang berbeda.
"Kenapa Bu Lasmi menatapku begitu tajam?" gumamnya dalam hati.
Akhirnya, mereka diajak oleh Bu Laksmi ke rumah seorang ketua RT. Di tengah perjalanan, Bu Laksmi menjelaskan bagaimana tradisi masyarakat desa itu. Di tengah perjalanan, ada sekelompok pria menatap mereka. Pandangan mereka tampak begitu sinis, namun genit pada pada gadis. Tejo dan kaean-kawan merasa risih. Dengan suara berbisik, Silvy bertanya pada Bu Lasmi.
"Bu, kenapa para pria tadi memandangi kami sebegutunya?" katanya dengan suara lirih.
Bu Lasmi tersenyum, "Kalian harus hati-hati disini. Mereka masih belum seberapa. Nanti, kalian akan mengetahui hal yang lain."
Mendengar perkataan Bu Lasmi, Hendy sempat tercengang.
"Lebih aneh bagaimana?" tanya Hendy penasaran.
Dan, tak lama kemudian apa yang di katakan Bu Lasmi pun mereka jumpai. Di sebuah balai yang ada di sebuah rumah, mereka melihat seorang gadis tengah bersenggama dengan seorang pria paruh baya tanpa merasa malu sedikitpun. Mereka semua terbelalak.
"Ya ampun!" kata para gadis sambil menutup matanya.
"Busyet! Ini mah lebih parah dari kehidupan kita di kota. Kok mereka bisa ya ngelakuin itu di tempat terbuka?" kata Tejo pada Bu Lasmi.
Bu Lasmi hanya tersenyum. "Sudah, biarkan saja."
Dan, akhirnya sampailah mereka di sebuah rumah besar yang ternyata rumah Pak RT. Bu Lasmi langsung mengetuk pintu. Dan, seketika itu muncullah seorang wanita muda yang membuka pintu.
"Oh, Bu Lasmi. Mari masuk," kata wanita muda itu sambil menatap genit ke para mahasiswa yang sedang KKN.
Bu Lasmi mengajak para mahasiswa untuk masuk ke rumah itu. Silvy merasakan bulu kuduknya merinding ketika masuk ke rumah itu.
"Maaf, Mbak. Pak Narso ada?" tanya Bu Lasmi pada wanita itu.
"Ada, Bu. Sebentar ya. Saya panggil beliau," kata wanita muda itu.
Wanita itu berjalan menuju ke sebuah kamar. Kamar itu ada di bagian agak belakang. Sepeninggal wanita itu, Silvy yang merasakan keanehan berbisik pada Dinda.
"Dinda, kok gue ngerasa merinding di sini?" tanya Silvy.
"Iya, nih. Gue juga ngerasa begitu," kata Heny berbisik.
Bisikan Silvy di dengar Bu Lasmi. Dia menatap ke arah Silvy.
"Kalian banyak-banyak berdo'a, dan sebaiknya harus berhati-hati selama di sini," bisik Bu Lasmi.
Sayup-sayup terdengar rengekan manja seorang wanita. Dan, tak lama kemudian keluarlah seorang pria yang bisa di bilang cukup tua dengan pakaian yang kurang rapi. Tampak pria itu seolah membenarkan celananya sebelum berjalan ke ruang tamu.. Usianya sekitar 50 an.
"Bu, itu ketua RT nya?" tanya Tejo.
"Iya. Itu Pak Narso, ketua RT di desa ini," kata Bu Lasmi.
Tak lama kemudian, wanita muda itu datang mendampingi Pak Narso ke ruang tamu.
"Oh, Bu Lasmi. Ada perlu apa kemari?" tanya Pak Narso pada Bu Lasmi.
"Pak, saya kemari mengantar anak-anak ini untuk melakukan KKN. Ini ijinnya dari kampus tempat mereka belajar," kata Bu Lasmi sambil memberikan sebuah map.
Pak Narso memandangi satu persatu mahasiswa itu. Namun, pandangannya ke Heny berbeda. Pandangannya lebih genit dan seolah mengeringkan matanya. Dia baca sejenak berkas itu, dan menanda tanganinya.
"Berkasnya sudah saya tanda tangani," kata Pak Narso sambil memberikan map itu.
"Baiklah, Pak. Saya pamit dulu untuk mengantar mereka berkeliling," kata Bu Lasmi.
Pak Narso tersenyum manis dan mengangguk. Namun, ternyata diam-diam dia melirik ke arah Heny. Dan ketika Bu Lasmi mengajak para mahasiswa itu pergi, Heny seperti tersihir. Dia seolah enggan untuk pergi.
"Heny, ayo kita harus berkeliling," ajak Dinda.
"Uhm kalian jalan dulu gih," kata Heny yang sudah terkena pengaruh guna-guna.
Bu Lasmi seolah tahu apa yang terjadi. Dia segera memegangi pergelangan tangan Heny dan menariknya. Seolah tersadar, Heni langsung mengikuti tenan-temannya.
"Heny, kamu harus hati-hati," kata Bu Lasmi.
Heny yang tersadar lalu bertanya, "Bu, tadi saya kenapa?"
"Kamu tadi kena pelet Pak RT, Heny. Makanya dari awal ibu khawatir sama kamu. Ini, pakai gelang biru ini. Ingat, sebelum pulang, pakai terus gelang ini. Ibu gak mau ada mahasiswi yang jadi korban lagi," kata Bu Lasmi sambil memberikan gelang benang berwarna biru pada Heny.
Heny segera memakainya. Bu Lasmi mengajak para mahasiswa mengelilingi desa tersebut. Mereka melihat banyaknya sawah yang menghijau, dan juga hasil perkebunan yang begitu melimpah. Buah-buahan hasil perkebunan yang begitu segar dan ranum, juga hasil pertanian yang melimpah.
"Bu, hasil bumi di sini begitu bagus. Buah-buahan dari sini bahkan lebih bagus daripada yang pernah saya tahu di pasaran," kata Tejo yang begitu kagum dengan hasil pertanian dan perkebunan di sana.
Silvy sempat melihat salah satu buah mangga yang di panen. Dia melihat salah seorang penduduk memakannya. Buah mangga itu begitu besar dan ranum.
"Wow, enaknya buah mangga itu," kata Silvy dalam hati.
Tiba-tiba, orang itu menawarkan salah satu buah mangga itu ke Silvy.
"Mbak, silahkan di cicipi," kata orang itu.
Sejenak, Silvy memandangi Dinda dan Heny. Dia sempat tergoda. Namun, Dinda dan Heny memberi isyarat untuk tidak menerimanya.
"Maaf, Pak. Gak usah repot-repot. Kebetulan tadi kami baru saja makan," kata Silvy berusah menolak.
"Oh, nggak apa-apa. Kebetulan buahnya masih banyak. Ini, Mbak. Silahkan di ambil," kata orang itu memberikan dua buah mangga yang tampak ranum.
Silvy terdiam sambil memandangi Dinda dan Heny. Wajahnya tampak bingung. Bu Lasmi sempat melihat Silvy yang kebingungan. Karena merasa tak enak, Silvy terpaksa menerimanya.
"T–Terima kasih, Pak," kata Silvy dengan nada gugup.
Orang itu hanya tersenyum dan terus bekerja. Mereka kembali berjalan mengelilingi area pertanian itu. Sambil menjelaskan area perkebunan dan pertanian itu, Bu Lasmi mengambil sebuah kantung kain dari dalam tasnya. Dia berikan kantongan itu pada Silvy.
"Silvy, masukkan mangga itu ke dalam kantongan itu. Ingat ya, nanti jangan kalian makan," kata Bu Lasmi pada Silvy.
Silvy mengangguk. Karena lahan yang begitu luas, tanpa terasa hari telah sore. Bu Lasmi kembali mengajak mereka pulang ke tempat mereka menginap. Sesampainya di sana, Bu Lasmi mulai menjelaskan apa saja kejadian aneh yang terjadi tadi termasuk yang menimpa Heny.
"Heny, sesepuh desa di sini terkadang menumbalkan gadis perawan untuk mencari kekayaan. Tadi, kamu hampir saja jadi korbannya Pak Narso," kata Bu Lasmi.
Mereka semua terkejut. Bu Lasmi kembali meneruskan ceritanya.
"Dua tahun lalu, ada juga sekelompok anak remaja yang melakukan studi tour kemari. Seorang dari rombongan itu mendadak hilang. Anak itu tak pernah di temukan. Dan, setelah pencarian dalam waktu seminggu, pencarian tetap nihil. Berbulan-bulan pencarian di lakukan, hasilnya nihil hingga pencarian di hentikan. Setelah pencarian di hentikan, ternyata gadis remaja itu di tumbalkan Pak RT dengan cara membiusnya, dan di bawa tanpa sepengetahuan rombongannya. Di sebuah ruangan rahasia, dia menumbalkan gadis itu dengan cara memberikannya untuk di setubuhi sosok ghaib, dan gadis itupun akhirnya benar-benar di bawa ke alam ghaib. Jasadnya tak pernah di temukan," kata Bu Lasmi menjelaskan panjang lebar.
Mereka semua bergidik ketakutan. Bu Lasmi meminta kntung kain berisi mangga yang di bawa Silvy. Dan, ketika di buka, mangga itu ternyata sudah tak ranum, dan buahnya berwarna hitam.
"Silvy, kantung ini bukan sembarang kantung. Buah yang tadi di makan penduduk asli itu sebenarnya beracun seperti ini. Jadi, pesan saya. Apapun pemberian penduduk sini, jangan pernah kalian makan. Kalau terpaksa kalian terima, taruh saja di kantung ini," pesan Bu Lasmi.
Kembali Bu Lasmi memandangi Heny. "Heny, gelang biru itu untuk menutup kecantikanmu supaya tak di incar oleh Pak Narso. Apapun itu, jangan kamu lepas sebelum kamu kembali," pesan Bu Lasmi.
"Baik, Bu Lasmi," jawab Heny dengan wajah ketakutan.
Setelah penjelasan panjang lebar itu, Bu Lasmi langsung pamit dan meninggalkan para mahasiswa yang masih ketakutan.
BERSAMBUNG …