Sore harinya, Dion yang baru sampai di kostnya langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Karena kejadian siang itu, dia merasa badannya remuk. Dia langsung memejamkan matanya. Antara sadar dan mimpi, dia menyaksikan seseorang melakukan ritual. Dari komat-kamit sang pelaku, dia mendengar nama Nani.
"Hei!! Hentikan! Jangan celakai temanku!" bentak Dion.
Namun, bentakan Dion tak di dengar orang itu. Orang itu terus melakukan ritual dengan cara memerintahkan makhluk itu untuk mencelakai Nani.
"Nani!" teriak Dion yang langsung terbangun.
Budi, teman kostnya yang ada di depan kamarnya terkejut.
"Dion. Kamu kenapa?" teriaknya sambil mengetuk pintu kamar Dion.
Dion menghela nafasnya sejenak. Dengan langkah gontai, dia buka pintu kamarnya.
"Aku gak apa-apa, Budi," kata Dion sambil menutupi sesuatu.
Budi memandanginya sejenak, lalu memberinya sebagian kue hasil kiriman orang tuanya pada Dion.
"Oh, oke. Selamat menikmati. Kebetulan kue itu banyak sekali. Jadi aku bagi ke teman-teman yang lain," kata Budi.
"Thanks, Budi," kata Dion.
Budi hanya mengangguk dan berjalan kembali ke kamarnya. Dion kembali masuk ke kamarnya. Dia diam sejenak.
"Mimpi itu begitu nyata. Sepertinya, Nani dalam bahaya. Aku harus menyusulnya," gumam Dion dalam hati.
Dion memakan sedikit kue itu, dan langsung berganti pakaian. Dia langsung pergi ke rumah Nani. Namun, sesampainya di sana, rupanya tidak ada orang. Karena tidak ada orang, dia langsung kembali ke kostnya dan menemui Budi, teman kostnya.
"Budi, aku pinjam mobilmu sebentar ya," pinta Dion.
Sejenak, Budi berfikir. "Oke, berapa lama kamu pinjam?"
"Palingan dua hari aja. Jaminannya, ini surat-surat motorku dan kontaknya," kata Dion sambil memberikan STNK dan kunci motornya.
Budi menerimanya, dan langsung mengambil kunci mobilnya. Tanpa berlama-lama, Dion langsung pergi menyusul Nani.
Setelah beberapa jam perjalanan, sampailah Dion di sekitar kampung halamannya Nani. Hari telah malam. Dia amati sekitar. Karena tak mengenali daerah itu, Dia turun dan menanyakan alamat itu pada seorang tukang becak yang ada di depan sebuah gang. Melalui tukang becak itulah akhirnya dia tahu lokasi tepatnya rumah Nani.
Dion langsung menuju ke rumah Nani. Sesampainya di sana, tampak ada bendera palang merah yang menandakan ada orang meninggal di rumah itu. Rumah itu masih ramai. Dia langsung memarkir mobilnya dan langsung berjalan ke rumah Nani. Sesampainya di sana, Dion terkejut melihat Anik ada di sana. Di sana, Dion di temui Suli, Pamannya Nani.
"Maaf, mau cari siapa?" tanya Suli pada Dion.
Dion sempat terdiam, lalu menjawab dengan gugup.
"Saya Dion, teman sekelasnya Nani di SMA," kata Dion sambil berusaha menyembunyikan perasaannya.
Suli mempersilahkan Dion masuk. Di dalam rumah, dia merasakan hawa di rumah itu begitu panas. Ketika Suli memanggil Nani, ada banyak sekali suara rintihan dan bisikan di rumah itu.
"Tolong … bebaskan aku …." Terdengar suara lirih di telingan Dion.
Dion memandangi sumber suara itu. Dan, di pojokan rumah, terdapat sosok seperti kuntilanak yang menangis. Di sebelah kuntilanak juga ada sosok orang tua yang wajahnya hancur.
"Nak, bebaskan kami dari belenggu ini!" kata sosok orang tua itu dengan suara lirih.
"Dion?!" Nani langsung menepuk pundaknya.
Seketika itu juga Dion tersadar. Di depannya telah berdiri Nani.
"Oh, UHM … I–iya, Ni." Dion begitu gugup sambil pandangannya mengelilingi sekitar rumah itu.
Nani melihat Dion seolah memandangi sekeliling rumah itu. Kembali Nani menepuk pundak Dion.
"Dion, kamu kenapa sih? Kok pandamgau kemana-mana?" tanya Nani keheranan.
"Oh, nggak apa-apa," kata Dion dengan gugup.
Nani duduk di depan Dion. Dan sejenak, mereka berdua bercakap-cakap. Dion berusaha merahasiakan maksud sesungguhnya datang ke rumah Nani. Dan, di tengah percakapan itu, datanglah salah satu saudara Nani. Dion sempat terkejut, namun dia berusaha menyembunyikannya.
"Nani, kamu yang tabah ya," kata sosok lelaki yang tak lain adalah adik dari ibunya.
"Terima kasih, Pak De," kata Nani.
Dion melihat, orang itu memberikan sebuah amplop pada Nani. Namun, Dion menatap amplop itu dengan mata tajam.
"Ya ampun, jadi orang ini yang akan mencelakai Nani?" gumamnya dalam hati.
Setelah orang itu pergi, Dion berbisik pada Nani.
"Nani, itu siapa?" tanyanya pelan.
"Itu Pak Dhe Jono, kakak ibuku. Memangnya kenapa?" tanya Nani.
"UHM … nggak apa-apa. Oh ya, tadi aku seperti lihat Anik. Kemana dia?" tanya Dion.
"Oh, Anik ada tuh di kamar. Sebentar ya, aku panggil," jawab Nani.
Nani berjalan ke kamarnya Anik. Sepeninggal Nani, Dion merasa ada sosok yang mengawasinya. Dan, ternyata dia adalah Pak Jono. Tatapannya begitu tajam. Pak Jono langsung menghampiri Dion.
"Anak muda, aku tahu kamu punya kelebihan. Tapi, jangan ikut campur urusanku," katanya dengan suara pelan.
Dion hanya tersenyum sinis, "Aku tak ingin Nani celaka, Pak."
Jono hanya tersenyum sinis. Namun, percakapan itu terputus ketika Nani datang bersama Anik. Sempat ada kecurigaan di wajah Nani.
"Lho, Pak Dhe kenal sama Dion?" kata Nani tanpa rasa curiga.
Pak Jono gelagapan. Namun, Dion berhasil meredakan ketegangan itu. "Oh, nggak. Tadinya, Pak Dhe mu mengira aku anak temannya. Katanya kebetulan mirip."
"I–iya, Nani. Udah ya, Pak Dhe mau ke ibumu," balas Pak Jono berusaha menutupinya.
Pak Jono melangkah ke dalam. Sejenak, dia sempat menatap Dion dengan tatapan tajam sebelum akhirnya pergi. Sepeninggal Pak Jono, mereka bertiga bercakap-cakap di ruang tamu. Dion berusaha menutupi perseteruannya. Mereka bercakap-cakap seperti biasa.
Malam semakin larut. Karena rumah itu sangat besar, Pak Suli menyuruh Dion menginap di rumah itu. Dion disuruh tidur di kamar belakang. Dan, ketika malam semakin larut, semua tamu telah pulang. Tak lama kemudian, terasa angin bertiup kencang. Dion merasakan sesuatu yang janggal. Dan, di tengah malam terdengar suara teriakan dari kamar Nani. Suara barang berjatuhan pun terdengar nyaring. Dion yang mendengarnya langsung menghampirinya. Nani yang sudah di rasuki sosok itu langsung menyerang Dion.
"Hei, kamu! Jangan campuri urusanku! Aku mau anak ini," kata Nani yang sudah kesurupan dengan suara berat.
Dion bangkit. "Oh, rupanya kamu ingat juga. Aku sudah tahu kelemahan mu," kata Dion dengan nada membentak.
Makhluk itu kembali meyerang, namun Dion berhasil menghindarinya. Pak Suli dan Anik berusaha memegangi Nani, namun mereka dengan mudah di hempaskan. Dion langsung memegangi kening Nani, dan membaca Do'a.
"AAARGH! Panas!" teriak Nani sambil berusaha menghempaskan Dion.
Dion berusaha sekuat tenaga memiting Nani. Dia terus membaca do'a sambil memegangi kening Nani.
"Keluar! Keluar kamu," teriak Dion.
Nani yang kesurupan meronta dengan begitu kuatnya, sehingga Dion sempat terhempas dengan keras.
"Ugh!" Dion bangkit sambil memegangi punggungnya.
Di sela kesakitannya, Dion melihat Nani yang kesurupan mendekati ibunya, lalu mencekiknya. Suli langsung memiting Nani. Dan saat itulah, Dion langsung memegangi dahinya sambil membaca do'a.
Nani yang kesurupan berusaha meronta.
"Keluar kamu! Keluar dari tubuhnya!" teriak Dion sambil dalam hatinya membaca do'a.
"AAARGH!! Panas!!" Nani berteriak histeris, dan melepaskan cekikan itu. Suli terus memitingnya, hingga akhirnya Nani pingsan.
Dion dan Suli akhirnya membawa Nani ke ke kamarnya.
"Pak, makhluk ini begitu kuat. Mungkin, kita harus memanggil Pak Kyai," kata Dion.
Suli mengerti. Tanpa membuang waktu, Suli dan adiknya Nani segera pergi memanggil Pak Kyai, sementara Dion,Anik dan ibunya menunggu Nani.
"Bu, kalau saran saya sebaiknya rumah ini di bersihkan. Banyak sekali pusaka di rumah ini," kata Dion pada Bu Sri, ibunya Nani.
"Nak, ibu sebenarnya sudah gak ingin di sini, namun amanat dari kakeknya Nani, rumah ini tidak boleh saya jual. Itulah sebabnya saya wariskan rumah ini ke Nani, supaya bisa di jual," kata Bu Sri.
Dion mengangguk. "Baiklah, nanti saya coba bersihkan rumah ini. Tapi, sejujurnya pusaka disini sudah terlalu lama. Kalaupun pusaka itu bisa di kembalikan, sisa-sisa auranya akan ada. Dan itu satu-satunya cara untuk menghilangkan kutukan dari pusaka yang sudah di salah gunakan."
"Dion, Nani sepertinya siuman," kata Anik tiba-tiba.
Dion memandangi Nani yang mulai menggerakkan tangannya. Perlahan dia membuka matanya.
BERSAMBUNG ...