Malam itu di SMA Tugu Bangsa begitu ramai. Rupanya, ada kegiatan pentas seni setelah para siswa menjalankan ujian tengah semester. Selain ada kegiatan pentas seni, bazaar dan olahraga antar kelas pun diadakan malam itu.
Di tengah kemeriahan malam itu, tampak tiga orang siswi tengah duduk di taman, di bawah sebuah pohon besar. Mereka duduk menepi dari keramaian.
Mereka bertiga adalah Nindy, Dita dan Ratna, siswa kelas dua di SMA itu. Ketiga gadis itu adalah sahabat karib atau yang biasa di sebut rekan satu geng di kelasnya.
"Nin, kok tumben kamu lesu? Biasanya kamu ceria," tanya Ratna.
Nindy hanya diam dengan tatapan kosong. Dengan ekspresi lucu, Dita menimpalinya, "iya nih! Ada apa, Bestie? Kok cemberut Mulu?"
Lagi-lagi Nindy hanya diam dengan tatapan kosong. Dita dan Ratna saling pandang dengan wajah keheranan. Sejenak, mereka terdiam.
"Sebentar lagi aku akan pindah dari sekolah ini," jawab Nindy tiba-tiba.
Dita dan Ratna terkejut mendengarnya. Belum sempat mereka berbicara, Nindy kembali melanjutkan pembicaraannya, "Sejak awal masuk sekolah ini, aku begitu senang karena punya sahabat seperti kalian. Tapi, karena ayahku harus dinas ke Jakarta, aku harus pindah dari sekolah ini, tepat ketika hari libur ini."
Nindy bangkit dari duduknya. Dia pandangi kedua sahabatnya yang masih duduk.
"Mungkin, esok adalah hari terakhir aku di sini," kata Nindy dengan wajah sedih.
Dita tersenyum dan berusaha menghibur Nindy.
"Nin, bukannya masih ada sosial media seperti IG, Facebook, atau E-mail? What's App dan telegram masih ada. Kita masih bisa berhubungan kan?" balas Dita.
"Iya nih. Jaman sekarang banyak kemudahan. Kenapa sedih?" timpal Ratna.
Nindy memandangi sahabatnya.
"Memang sekarang banyak kemudahan, tapi aku lebih senang kita berkumpul seperti sekarang," balas Nindy.
Kedua sahabatnya kemudian bangkit dan mendekati Nindy.
"Sudahlah, Nin. Walau kita berjauhan, persahabatan kita masih lanjut," kata Dita menghibur.
"Iya, Nin. Sudahlah, jangan sedih. Yuk, kita ke aula saja nonton pertunjukan band," ajak Ratna.
Nindy mengangguk, dan mereka bertiga berjalan ke Aula tersebut. Awalnya, tak nampak keanehan dari jalan itu. Namun, Nindy mencium bau wangi melati. Dia langsung menghentikan langkahnya.
"Dita, Ratna. Kalian mencium bau melati?" tanya Nindy.
"Bau melati?" Dita mengernyitkan dahinya sambil berusaha menajamkan indera penciumannya.
Sejenak, Dita memandangi Ratna.
"Nggak, kok. Aku gak mencium apapun," kata Dita.
"Bener, Nin. Aku juga gak mencium aroma melati," kata Ratna menimpali.
Nindy sejenak terdiam. "Uhm...mungkin perasaanku saja," gumamnya dalam hati.
Akhirnya Nindy kembali berjalan ke arah aula bersama dua orang temannya.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di depan aula. Namun, mereka bertiga terkejut melihat orang-orang yang ada di dalam aula. Mereka bertiga saling berpandangan dengan wajah heran.
"Ratna, emangnya ada pesta kostum? Kok orang di dalam aula itu pakai pakaian tradisional?" tanya Nindy pada Ratna.
Dita dan Ratna sejenak saling berpandangan dengan wajah keheranan.
"Entahlah. Perasaan sih, tak ada pesta kostum. Tadi, waktu aku datang, teman-teman gak ada tuh yang pakai pakaian tradisional," jawab Dita kemudian.
Nindy dan kedua temannya sejenak terdiam dan saling pandang. Namun, karena perasaan penasaran, mereka akhirnya masuk ke dalam aula itu. Di dalam aula memang ada semacam pentas seni, namun semua berbeda dengan gambaran ketiganya.
Di tengah keheranan mereka, seorang gadis dengan pakaian tradisional mendatangi mereka.
"Mbak, yuk duduk dulu. Kok bengong gitu?" kata gadis itu.
Mereka bertiga terkejut, karena tak ada yang mengenalinya.
"M--maaf. Kamu siapa?" tanya Ratna.
Gadis itu tersenyum manis. "Saya Riana, kakak kelas kalian," katanya.
Nindy sejenak terhenyak seolah ingat sesuatu. Dia sempat membelalakkan matanya.
"Riana? Kok seperti aku pernah ingat sesuatu?" tanyanya dalam hati.
Gadis itu memandangi Nindy sambil tersenyum, "Kenapa? Ada yang salah dengan aku?"
Dengan perasaan gugup, Nindy berusaha menutupi kecurigaannya, " oh, nggak kok. Oke, yuk kita nikmati saja suasana malam ini."
Kebekuan mencair, dan mereka bertiga menikmati suasana meria di dalam aula tersebut. Namun, kendati berusaha menikmati malam itu, perasaan Nindy tetap berkecamuk.
"Perasaanku kok janggal?" kata Nindy dalam hati sambil memandangi kedua temannya yang bercanda dengan Riana.
Sementara itu, malam semakin larut, dan para siswa sudah mulai pulang. Ketika itu, Rino, kakak Nindy begitu gundah. Berulang kali dia melihat jam tangan yang dia kenakan.
"Sudah jam 22:00, kemana Nindy? Kok belum juga keluar?" gumamnya dalam hati.
Di tengah lamunannya, seorang bapak-bapak menepuk pundaknya.
"Nak Rino, kamu lihat Ratna?" katanya.
Rino terkejut. Seketika itu dia menoleh ke belakang. Dan, dilihatnya seorang bapak-bapak dan seorang ibu-ibu di belakangnya. Rupanya, Rini mengenali keduanya. Kedua orang itu adalah orang tua Ratna dan Dita.
"Maaf, Om, Tante. Saya tidak melihatnya. Nindy juga gak tampak. Tadi saya tanya teman-temannya mereka juga tak tahu di mana Nindy, Ratna dan Dita," jawab Rino.
Mereka terdiam dengan perasaan gundah. Namun, ibunya Dita yang bersikap lebih tenang berusaha menenangkan.
"Kita tunggu sepuluh menit lagi, kalau Nindy, Ratna dan Dita tak muncul, kita tanya ke penjaga sekolah," kata ibunya Dita.
Mereka kembali menunggu. Dan, menit demi menit berlalu, namun Nindy, Dita dan Ratna tak kunjung muncul. Bahkan, ketika semua siswa pulang. Akhirnya, mereka bertiga mendatangi penjaga sekolah dan menanyakan ketiga siswi itu.
Mendengar penjelasan Rino, penjaga sekolah keheranan.
"Lho, jadi Nindy, Dita dan Ratna belum pulang?" tanya penjaga sekolah.
"Benar, Pak." Rino menjawab singkat.
"Setahu saya, semua siswa sudah pulang. Mari kita cari sama-sama," ajak Penjaga sekolah.
Mereka berjalan ke dalam. Baru saja berada di taman, mendadak seorang tukang kebun berlari ke arah mereka dengan wajah ketakutan. Sambil mengatur nafasnya, tukang kebun itu berkata, "Pak, tadi saya lihat ada hantu."
Penjaga sekolah terkejut, "Hantu? Hantu apa?"
"Tadi, waktu saya menyapu di sekitar aula, saya mendengar suara gamelan dan tari-tarian, tapi waktu saya lihat Aula kosong. Sudah gelap. Dan, saya lihat ada kuntilanak di dalam. Saya juga dengar ada yang memanggil nama Nindy," kata Tukang kebun dengan wajah pucat pasi.
Semuanya terkejut. Ayahnya Ratna mendekatinya dan berkata, "Pak, bagaimana dengan Ratna?"
Tukang kebun itu menggelengkan kepalanya, "Maaf, Pak. Saya tidak melihatnya."
Penjaga sekolah itu terdiam sejenak. Dia berfikir, dan akhirnya dia mengingat sesuatu mengenai aula itu.
"Pak, tolong panggilkan Pak Ilyas, guru agama di sini. Nanti saya tunggu di aula belakang," kata Penjaga sekolah pada tukang kebun.
"Baik, Pak," jawab Tukang Kebun itu sambil berlalu.
Sepeninggal tukang kebun, mereka langsung berjalan menuju aula belakang. Aula itu adalah aula lama yang berada di antara tiga sekolah di komplek itu. Bangunan Aula itu sangat kuno dan tampak jarang di gunakan. Rino tampak bergidik memandangi aula yang sudah usang itu.
"Pak, Aula ini kok seperti tak terawat?" tanya Rino.
Penjaga Sekolah itu akhirnya menceritakan riwayat bangunan itu.
"Aula ini adalah bangunan Belanda. Dahulu, ketiga SMA ini adalah rumah sakit di jaman Belanda. Dan, kisah seram ini dimulai ketika jaman Jepang," kata Penjaga Sekolah mengawali ceritanya.
Rino mendengarkan cerita penjaga sekolah itu. Panjang lebar penjaga sekolah menceritakan cerita masa lalu komplek SMA itu. Rupanya, komplek SMA itu bekas tempat penyiksaan tawanan Jepang. Rino bergidik mendengar cerita itu. Dan, tak lama kemudian Pak Ilyas datang bersama tukang kebun. Tanpa berlama-lama, Pak Ilyas membaca do'a sambil melempar kerikil ke arah Aula tua itu.
"Pak Andi, tolong di buka pintu aula itu. Saya lihat ada tiga siswa di bawah aula itu," kata Pak Ilyas pada penjaga sekolah itu.
Mendengar perkataan Pak Ilyas, Rino menduga adiknya dan kedua temannya ada di dalam. Penjaga sekolah langsung membuka pintu aula tua itu, dan langsung membuka sebuah pintu di tengah aula. Tampak sebuah lorong panjang yang penuh dengan sarang laba-laba.
Penjaga sekolah itu segera mengambil senter dan menyalakannya. Dia turun bersama Pak Ilyas dan Rino. Di dalam lorong yang gelap, mereka bertiga berjalan menyusuri lorong itu. Dan, setelah berjalan sekitar sepuluh menit, akhirnya mereka menemukan Nindy, Dita dan Ratna.
Pak Ilyas membaca do'a, dan seketika itu juga mereka bertiga tersadar. Dengan wajah terkejut, mereka memandangi Rino, Pak Ilyas dan Penjaga sekolah.
"Lho, saya ada di mana?" kata Dita dengan wajah kaget.
Nindy tak kalah heran melihat Rino, kakaknya.
"Kak, aku ada di mana? Kenapa semuanya gelap?" kata Nindy.
Pak Ilyas berusaha menenangkan ketiga siswi itu. "Sudah, ayo cepat keluar dari sini."
Tanpa berlama-lama, mereka segera menyusuri lorong itu dan naik ke atas. Setelah setelah semuanya naik, Penjaga sekolah menutup lorong itu dan mereka langsung keluar dari aula itu.
"Kalian sebaiknya langsung pulang, dan jangan lupa berdo'a," kata Pak Ilyas pada Nindy, Dita dan Ratna.
"Iya, Pak," jawab mereka bertiga.
Ketiga siswi itu akhirnya berjalan keluar dari sekolah. Sambil mengantar ketiga siswi itu, Penjaga sekolah yang merasa heran langsung bertanya pada Nindy.
"Aula itu terkunci begitu lama, tapi bagaimana bisa kalian ada di dalam?" tanya Penjaga Sekolah.
"Pak, kami tadinya mau melihat pertunjukan Band. Tapi, kami malah tersesat ke sana," kata Dita.
"Benar, Pak. Pertunjukannya beda. Dan, semua yang hadir malah berpakaian kuno. Sebenarnya, saya sempat curiga. Apalagi ketika saya bertemu dengan Riana," kata Nindy.
Deg! Penjaga sekolah itu menghentikan langkahnya. Dia menatap Nindy seolah tak percaya.
"Riana? Kamu bertemu Riana?" kata Penjaga Sekolah.
Nindy hanya mengangguk. Penjaga Sekolah itu akhirnya menceritakan perihal Riana. Dari kisah Penjaga Sekolah, Nindy akhirnya tahu bahwa Riana adalah siswi SMA itu yang meninggal akibat kecelakaan di depan sekolah. Nindy, Ratna dan Dita makin shock mendengarnya.
"Jadi, Riana sudah meninggal?" kata Ratna tak percaya.
"Iya, dua tahun lalu, tepat ketika kalian akan masuk sekolah ini," jawab Penjaga Sekolah.
Nindy, Ratna dan Dita langsung terdiam dengan wajah ketakutan. Hingga pulang ke rumah, mereka tak bisa menyembunyikan wajah ketakutannya.
TAMAT