"Pokoknya mamah mau kamu sewa ballroom mewah di hotel buat pernikahan kalian. Lagian ini kan acara sekali seumur hidup, dan mamah juga mau acara pernikahan kamu jadi moment indah yang harus diinget para tamu kita semua nanti, terutama teman-teman mamah dan rekan bisnis papah kamu" ucap seorang wanita paruh baya itu dengan lembut. Matanya menatap serius sosok perempuan dihadapannya yang sedari tadi hanya dapat membuka mulutnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun karena tak diberi kesempatan untuk bicara.
"Tapi, Mah-" perempuan berwajah oval dengan paras cantiknya itu kembali membuka bibirnya yang berbentuk seperti apel menggiurkan untuk dilahap. Sayangnya lawan bicaranya tak ingin melahap apel didepannya karena ia menganggapnya masih belum matang.
"Nico udah setuju kok, kamu gak usah bicarakan lokasi lagi. Mending sekarang kamu fitting gaun pernikahannya. Mamah mau berangkat arisan dulu, bye sayang"
Setelah ditinggal sang ibunda. Perempuan cantik itu hanya bisa membuang nafas dengan berat lalu mengerucutkan bibir seksinya karena kali ini ia pun gagal merayu mamahnya.
"Kenapa harus di ballroom hotel mewah si?. Padahal bisa resepsi di tempat lain yang gak harus mewah tapi punya pemandangan bagus dan harganya gak mahal" dumal perempuan itu.
Drrtt. Suara getar ponselnya mengalihkan perhatian perempuan itu sehingga ia langsung melihat ponsel yang ada di atas meja dan melihat siapa yang menelpon.
"Halo, Nico?" Ucap gadis itu pada sosok yang menelponnya.
[Halo, Nin. Um, sayang ... kamu lagi dimana?, kata mamah kita bisa fitting baju buat pernikahan hari ini. Aku jemput kamu]
"Aku di rumah kok"
[Oke deh. Aku ke rumah kamu sekarang ya. Kamu siap-siap aja]
"Iya. Oke"
[Sipp. Sampai ketemu nanti, sayang]
Tut.
Panggilan diakhiri dan Nina pun hanya kembali menghela nafas. Sebenarnya ia masih cukup kesal dengan Nino, calon suaminya karena pria itu membicarakan lokasi tempat resepsi pernikahannya hanya dengan ibu Nina tanpa melibatkan Nina didalamnya. Tapi Nina sudah dapat menebak jika semua itu pasti karena mamahnya yang agresif dan berinisiatif bicara duluan dengan Nico karena ia tau calon mantunya itu adalah sosok yang baik dan cukup kaya hanya untuk mengadakan resepsi pernikahan di sebuah ballroom hotel mewah. Walau begitu, Nina tetap merasa sebal dengan Nico yang terlalu baik untuk menuruti permintaan mamah begitu saja tanpa berunding dulu dengan dirinya sebelum memberikan jawaban ke mamahnya.
Tak lama kemudian. Ponsel Nina bergetar lagi karena Nico menelpon dan mengatakan jika dirinya sudah berada di depan rumahnya. Jadi Nina pun segera turun dan mereka berangkat ke butik untuk fitting pakaian pernikahan.
"Sayang, kamu kenapa sih?, kok wajahnya ditekuk aja dari tadi ..." terang Nico yang sesekali melihat wajah cantik calon istrinya itu.
"Mamah keras kepala dan susah banget di bujuknya. Coba kamu yang rayu mamah biar lokasi resepsi kita diganti. Gak harus di hotel itu"
"Lho, kamu masih ngomongin tempat resepsi sama mamah?. Bukannya kita semua udah setuju?"
"Iya. Aku terpaksa di awal karena kemarin ada kakek juga"
"Jadi, kamu gak mau di hotel?. Maunya dimana?, tapi mamah kamu maunya di hotel. Aku juga udah coba bicara lagi sebenarnya dan merekomendasikan beberapa tempat seperti pantai, tapi mamah kamu tetep keras kepala dan maunya ngadain resepsi di hotel"
Nina menghela nafas, "mamah emang keras kepala" ucap Nina singkat. Ia merasa pusing memikirkannya. Sebenarnya ia pusing karena memikirkan harga sewa Ballroom hotel mewah itu yang begitu mahal hanya untuk seharian. Nina adalah sosok yang sangat suka berhemat dan lebik mengutamakan kebutuhan daripada gaya hidup meskipun ia berasal dari keluarga yang berkecukupan karena ayahnya adalah manager CEO sebuah perusahaan software yang tengah naik daun di Indonesia dan bahkan CEO perusahaan itu adalah teman baik ayahnya sekaligus ayah dari Nico sehingga keduanya kini sangat akrab.
"Iya. Kamu juga keras kepala. Padahal hari H-nya udah deket tapi masih berusaha bujuk mamah buat rubah lokasi resepsi" timpal Nico. Suaranya sangat menenangkan dan kembut sehingga Nina merasa serba salah dengan kebaikan Nico.
"Aku ngelakuin itu demi pernikahan kita juga. Aku gak suka hamburin uang banyak cuma buat pamer gitu. Mamah itu seleranya ketinggian dan suka banget bergaul sama kaum sosialita yang ampas" ucap Nina dengan sebal.
"Jadi kamu maunya yang gak mahal?. Gimana kalau kita cari hotel lain yang gak kalah mewah dari pilihan mamah tapi harganya gak terlalu mahal, pasti ada"
Nina terdiam sejenak memproses ucapan Nico setelah itu ia barulah memandang Nico dengan cukup kagum.
"Bisa. Ayo cari hotel yang agak murah tapi gak murahan. Yang penting kan acaranya di Ballroom hotel, mamah pasti gak akan terlalu marah kalau kita ganti sekarang" ucap Nina dengan cukup semangat. Setidaknya ia bisa memotong sedikit pengeluaran itu sudah cukup meskipun yang membayar lokasi resepsi itu adalah Nico pribadi.
Hari pernikahan keduanya pun tiba.
Dua pasangan pengantin nampak bahagia memberikan sambutan di pesta pernikahan mereka untuk memeriahkan acara di dalam hotel mewah itu untuk para tamu undangan yang telah datang ke acara penting dalam hidup mereka. Setelah itu para tamu undangan pun menikmati acara setelah memberikan ucapan selamat kepada pasangan muda itu.
"Sayang, udah dong cemberutnya. Mau gimana lagi?. Ini udah yang paling murah kan?" Bisik Nico pada Nina karena perempuan itu memasang wajah muram setelah acara sambutan.
Nina tak menanggapi Nico. Pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu memamg berkata benar. Tak ada lagi yang bisa diubah. Acara resepsi sudah berjalan di hotel mewah, sesuai dengan keinginan mamahnya. Nina masih tak percaya jika hotel yang dipilih mamahnya merupakan yang paling murah karena ia tak menemukan hotel lain yang memiliki harga lebih murah dari pilihan pertama yang diberikan mamahnya itu. Dan pada akhirnya, mereke tetap mengadakan pesta pernikahan sesuai dengan keinginan sang mamah.
"Papah mana sih?, kok belum sampe juga udah jam segini?" Gumam Nina sembari melihat ponselnya dan chat dengan ayahnya yang tak kunjung membalas pesannya.
"Ayahku juga gak bisa dihubungi dari tadi. Mungkin mereka masih di pesawat?. China ke Indonesia kan cukup lama"
"Tapi harusnya mereka udah di bandara jam segini"
"Mungkin ada masalah jadwal penerbangan. Kita tunggu aja ya" ucap Nico yang berusaha menenangkan Nina. Ia juga menyodorkan gelas berisi jus agar Nina sedikit merasa segar.
Nina mengambil jus jeruk itu dan meminumnya perlahan sembari terus mengscroll sosial medianya. Disana ia dapat melihat postingan-postingan mamahnya yang nampak sangat bahagia sehingga kekesalan Nina perlahan memudar. Waalaupun keras kepala, namun jika mamahnya dalat tersenyum lebar seperti itu, Nina tak bisa berbuat apapun lagi. Asalkan mamahnya bahagia, dia juga akan bahagia. Nina merasa harus menikmati moment bahagia ini dan tak seharusnya menyesali semua hak yang sudah terjadi.
"Memang sudah takdir mungkin. Ya sudahlah ..." batin Nina. Ia menengguk habis jus jeruk itu sebelum akhirnya ia menjatuhkan gelas yang sudah kosong sehingga Nico terkejut.
Prang!
"Sayang?!. Kamu kenapa?. Kamu sakit?, kok wajah kamu pucet-"
"Ayah!. Gak mungkin!. Ayah!!" Nina nampak histeris ketika ia membaca sebuah berita yang berulang kali muncul di beranda instagramnya. Itu adalah berita tentang kecelakaan sebuah pesawat yang kebetulan memiliki jadwan terbang dan nama yang sama dengan yang ditumpangi ayahnya dan kedua orang tua Nico setelah mereka melakukan perjalanan bisnis ke China.
"Sayang, kenapa?!" Mamah Nina yang mendengar suara gelas pecah datang dari Nina pun segera menghampiri putrinya itu.
"Mah, ayah!. Ayah!"
"Nico, ada apa ini?"
"Tenang dulu, Nin. Belum ada konfirmasi. Bisa aja beda pesawat kan?. Aku coba hubungi kantor dulu ya" ucap Nico dengan tenang namun sorot matanya jelas ia juga sangat terkejut, bahkan tangannya bergeyar ketika ia memencet berbagai tombol di ponselnya. Jantungnya oun berdetak begitu cepat dengan penuh harap.
"Tuan Nico. Tuan Roy ... ayah dan ibu anda serta pak Manager, saat ini sudah berada di ruang otopsi"
Deg!
Setelah mendengar informasi itu. Nico lemas dan mendadak seperti kehilangan kedua kakinya. Ia pun terjatuh. Jiwanya terguncang. Di hari kebahagiaannya, ia dan Nina justru harus memakai pakaian hitam dan berduka.
"Ayah!"
"Mas Roy!. Kenapa kau meninggalkan kami di hari penting putri kita?!"
Kedua isak tangis itu datang dari Nina dan ibunya. Sementara itu, Nico hanya bisa menahan air matanya di depan kedua jenazah orang tuanya. Ia tak menyangka akan kehilangan keduanya sekaligus di hari pernikahannya.
Hari bahagia dan duka pasangan baru itu pun berlalu. Kini keduanya hanya bisa pasrah pada takdir dan menjalani kehidupan yang masih terus berputar. Begitupula dengan mamah Nina yang masih sangat terpukul dengan suaminya yang meninggal. Tapi rasa sedihnya perlahan berkurang ketika Nina memberi kabar gembira jika dirinya sudah hamil.
Mamah Nina pun sangat bahagia karena ia akan segera memiliki cucu yang dapat mengisi kekosongan dalam hatinya. Ia berharap kehadiran cucunya akan menjadi pelipur laranya.
Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya Nina melahirkan dan memberikan cucu untuk mamahnya. Namun kebahagiaan tak kunjung datang untuk sang mamah. Bahkan Nico dan Nina pun tak lagi dapat tersenyum lebar dengan kehadiran Giselle, putri kecil mereka.
Nico yang mewarisi perusahaan milik ayahnya mengalami kebangkrutan. Tak tanggung-tanggung. Ia bahkan masih memiliki hutang pada hotel tempatnya mengadakan resepsi karena hari itu sangat kacau dan setelahnya Nico sangat disibukan dengan urusan perusahaan ayahnya yang masih baru berkembang itu sehingga mereka mengalami kendala keuangan yang sangat parah dan barus menunda pembayaran yang harusnya dibayar malam itu.
Waktu itu, Nico sebenarnya hanya baru membayar uang mukanya karena sewa ballroom hotel itu begitu besar dan memilih untuk menyicil pembayarannya. Untungnya hotel itu mau menerima transaksi Nico.
Dan kini semuanya telah berakhir. Pernikahan dan perekonomian Nico dengan Nina menurun dan mulai berantakan. Nico pun memilih mengakhiri nyawanya karena ia kehilangan kehidupannya. Ia dengan tanpa peduli meninggalkan Nina bersama dengan putri kecil mereka dan hutang yang belum dibayarnya.