Pembicaraan Nina dengan Arista pun berlanjut. Arista sedikit memberitaunya jika tadi temannya mengundang Arista untuk datang ke pesta ulang tahun kepala divisi di tempat mereka semua bekerja.
[Nanti gw sekalian tanyain deh ke temen gw. Kali aja ada loker buat Lo, Nin]
"Oke. Thanks banget ya. Kalo ada bisa tolong langsung kirim info lokernya ke gw, biar gw bisa langsung apply lamaran"
[Sipp, beby Nina. Btw, gw pulang dulu. Nanti kita lanjut telpon ya, gw mau curhat hehe!]
"Okedeh, tapi jangan kemaleman ya. Si kecil Giselle udah tidur soalnya"
[Wah-wah, hampir lupa gw. Kapan-kapan videocall yak. Gw mau liat Giselle, tapi pas Giselle bangun]
"Sipp, bisa di atur kok aunty hehe"
[Oke. See you, Nina!]
Panggilan pun berakhir dan Nina sudah sedikit lega. Ia berharap akan segera mendapatkan info loker dari Arista besok.
Nina memandang wajah Giselle yang tertidur. Wajah itu begitu tenang dan polos. Pipi Giselle yang penuh memiliki rona merah muda yang menggoda sehingga Nina tanpa sadar membelai pipi malaikat kecilnya itu. Dalam hati Nina berdoa dan berharap agar ia tetap dapat melihat Giselle memiliki pipi bak bapao itu. Ia tak ingin melihat Giselle kekurangan gizi dan menjadi kurus. Ia harus berjuang demi Giselle dan melupakan semua yang terjadi di masa lalu. Nina harus terus melangkah kedepan.
"Sayang, malaikat kecil mamah. Do'a kan mamah ya agar besok mamah dapat pekerjaan dan Giselle bisa beli susu yang bagus. Elle harus tumbuh dengan sehat" bisik Nina sembari memeluk Giselle dan kembali hanyut dalam kekalutan karena kepergian Nico juga cukup membuatnya sedih karena selama ini Nico sudah banyak berbuat baik padanya. Nina sendiri juga tak bisa menyalahkan Nico sepenuhnya atas hutang besar yang ditinggalkannya karena Nico pun hanya terlalu baik dan tak enak menolak permintaan mamahnya Nina. Tapi disisi lain Nina juga tak bisa menyalahkan mamahnya karena mamahnya hanya sudah terbiasa menjadi bagian dari kaum sosialita dan ditambah sifat bawaannya.
Jadi satu-satunya yang dapat disalahkan adalah dirinya sendiri. Nina harus menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bertindak tegas. Harusnya waktu itu ia tetap menolak permintaan mamahnya dan secara egois mengganti lokasi resepsi meski mamahnya tidak akan menyukainya, tapi itu demi kebaikan semua. Tapi semuanya sudah terlanjur. Nina hanya bisa menyesal dan membuat ketidaktegasannya sebagai pelajaran yang tidak boleh ia ulangi. Ia tidak harus selalu menuruti permintaan orang lain, meski itu orang tuanya sekalipun karena Nina seharusnya sudah tau apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Ia tidak bisa selalu terbawa arus karena orang lain tak tentu memahami kondisinya dan apa yang terbaik untuknya. Mulai sekarang, Nina harus tegas pada dirinya sendiri. Ia harus tegas pada kata 'iya' dan 'tidak' yang menurutnya memberikan kebaikan.
Malam semakin larut. Beberapa ingatan berputar di kepala Nina. Ada bangak momen di masa lalu yang melintas dalam benaknya. Bayangan-bayangan wajah orang-orang yang pernah ada di hidupnya dan sebagian dari mereka yang perlahan wajahnya memudar tak dapat lagi Nina ingat, termasuk sosok pria cinta pertamanya di SMA dulu. Tapi semua itu tak terlalu penting lagi. Yang menetap tetap ada dan yang pergi tak perlu dicari. Ia hanya harus mengingat wajah Giselle kecilnya.
Malam berlalu. Dering suara alarm di ponselnya membangunkan Nina tepat pukul empat pagi.
"Ngh!" Suara erangan dari Giselle sukses membuat Nina membuka matanya cukup lebar meski ia sangat ingin tidur lagi karena di sepanjang malam, Nina beberapa kali terbangun akibat Giselle yang selalu lapar.
"Duh, sayang. Kamu masih laper ya?" Gumam Nina karena ia mulai melihat Giselle resah dalam tidurnya seperti ia belum kenyang dengan semua Asi yang diberikan Nina padanya. Sehingga Nina harus kembali memberikan Asinya untuk mengganjal perut Giselle. Setelah Giselle sudah tidur lagi, ia memutuskan ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan membuat bubur untuk Giselle.
"Yah, bubur Elle udah abis. Bikin pakai nasi aja deh ..." gumam Nina. Ia dengan cekatan memblender nasi dengan menambahkan beberapa sayuran seperti wortel dan brokoli rebus. Sembari membuat bubur, Nina juga membuat sup untuk sarapan dirinya dan mamahnya.
Perlahan, cahaya matahari menembus masuk ke jendela dapur dan membuat ruangan itu tambah menghangat. Nina pun membuka pintu dan membiarkan udara pagi yang segar masuk. Untuk sesaat, Nina menikmati teh pagi sembari melihat sosmednya. Ia mungkin saja akan menemukan info loker baru disana karena ia juga tak bisa hanya menunggu info dari Arista mentah-mentah.
"Kamu masak apa, sayang?" Tanya sang mamah yang sudah ke dapur karena mencium aroma lezat dari ruangan itu.
"Pagi, mah. Nina masak sup tuh pakai sayur yang ada sama tulang ayam. Nasinya juga udah mateng kalau mamah mau sarapan duluan"
"Iya, mamah emang udah laper dari semalem. Mamah makan duluan ya"
"Iya. Aku mau ke kamar dulu sambil suapin Elle bubur"
"Hm" sang mamah nampak tak begitu peduli saat Nina menyebut Giselle. Bahkan Nina yakin, mamahnya terlalu malas untuk sekedar menyuapi Giselle makan. Tapi Nina tak mempersalahkannya karena Giselle adalah tanggung jawabnya dan mamahnya hanya ikut membantunya disaat ia sibuk kesana kemari kerja paruh waktu dan mencari pekerjaan baru yang tetap.
"Elle sayang, ayo bangun. Mamah bikin bubur nih" ucap Nina sembari menggoyangkan lembut tubuh Giselle sampai putri kecil itu meregangkan tubuhnya dan perlahan membuka matanya.
Nina pun membawa Giselle bersamanya ke teras untuk menikmati udara pagi yang segar dan memberi makan Giselle disana.
"Arista bilang dia berangkat kerja pagi, jadi harusnya sekarang udah di tempat kerjanya kan ya?. Semoga anak itu cepet beri kabar lokernya" batin Nina.
Karena hari ini tak ada jadwal wawancara pekerjaan dan Nina juga hanya tersisa jadwal berangkat part time di sebuah restoran keluarga jam dua belas nanti, jadi ia memiliki cukup waktu bersama Giselle.
Setelah waktu berlalu, Nina kembali menitipkan Giselle pada ibunya karena ia harus berangkat part time.
"Mah, titip Elle ya. Kalau Elle laper kasih aja bubur. Tadi aku bikin lebih dan tinggal dihangatkan aja"
"Iya-iya. Mamah juga kan udah ngurusin kamu dari bayi sampe segini gedenya. Udah sono berangkat" ucap mamah Nina yang nampaknya tak suka jika Nina bersikap sok tau.
Nina hanya tersenyum dan mencium pipi gemuk Elle lalu berangkat. Dan sesampainya di resto, Nina segera melakukan bagiannya. Ia bertugas sebagai waitres untuk menerima pesanan dan mengantarkannya.
"Permisi tuan, ini pesanan anda" ucap Nina pada seorang pelanggang pria yang sibuk membaca sesuatu di ipad-nya, namun Nina tak menghiraukan siapa pelanggannya karena ia hanya perlu bekerja mengantar dan menerima pesanan tanpa peduli siapa pelanggannya, kecuali pelanggannya itu adalah sosok yang khusus memesan di resto itu sehingga ia harus memperlakukannya secara khusus pula.
"Oh, terimakasih"
"Sama-sama. Selamat menikmati. Permisi tuan" ucap Nina dan dengan cepat ia sudah menghampiri meja lain yang membutuhkannya.
Sementara itu, sosok pria tadi menatap hidangan yang ada di mejanya lalu mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi sedikit bingung.
"Ini bukan menu yang aku pesan ..." gumamnya. Jadi ia memutuskan memanggil pelayan untuk menjelaskan masalahnya, tapi ketika ia baru saja hendak memanggil, ponselnya bergetar.
"Halo. Ada apa?"
[Tuan muda Gabriel, maaf menganggu waktu anda-]
"Langsung saja pada masalahnya. Katakan ..." pria itu nampak tak suka dengan basa-basi dan dengan tegas menanyakan masalahnya.
[Saya ingin melaporkan sesuatu. Ada kecelakaan di hotel Lotus. Seorang petugas room attendant ditemukan tewas dalam sebuah kamar dan kami sudah menghubungi pihak berwajib]
Pria bernama Gabriel itu terkejut walau ia tak menunjukan ekspresinya, tapi kedua alisnya yang bertaut cukup menjelaskannya.
"Tewas?!" Batinnya.
"Aku akan segera ke sana" ucap Gabriel dan panggilan pun di akhiri. Tentu saja, ia juga tak jadi makan siang. Tapi ia masih menyempatkan diri untuk memberitau masalah sebelumnya jika ia mendapatkan pesanan menu yang salah di mejanya. Bagi Gabriel, kesalahan kecil itu harus diberitaukan juga untuk mendisiplinkan pegawai yang bekerja disana. Ia sendiri merupakan sosok yang detail dan memperhatikan banyak hal, terutama pada bisnis-bisnis miliknya. Tak ada satu pun yang tau jika Gabriel merupakan pemilik restoran keluarga itu. Ia siang ini datang untuk sekedar meninjau sembari makan siang, tapi siapa sangka ia justru akan disibukan dengan sebuah kasus di hotel mewah miliknya.
"Nina Rayna" gumam Gabriel yang mencoba mengingat nama pegawai part time yang melakukan kesalahan itu. "Rasanya aku seperti kenal ... wajahnya juga ... Tapi aku tidak ingat" lanjutnya. Ia semakin pening dibuatnya, jadi ia memutuskan melupakan sejenak masalah kecil itu dan harus segera berangkat ke hotel lotus untuk menangani masalah lainnya.
"Bagaimana bisa ada yang tewas disana?!" Tukasnya dengan berdecak sebal.
"Kita ke hotel Lotus dulu" ucap Gabriel pada sopirnya.
Sesampainya di hotel, Gabriel langsung berhadapan dengan petugas dari kepolisian dan bertindak sebagai penanggungjawab hotel.
"Menurut saksi, korban sudah tergeletak tak bernyawa di kasur setelah beberapa menit masuk ke dalam ruang yang akan dibersihkannya" terang sang polisi pada Gabriel yang meminta penjelasan apa yang terjadi di tkp.
"Lalu, bagaimana dengan korbannya pak?. Apakah dia dibunuh?. Bagaimana dia bisa tewas?"
"Dugaan sementara adalah dibunuh. Jenazah korban sedang kami otopsi dan kami juga akan membawa beberapa saksi untuk dimintai keerangan lebih lanjut di kantor kami. Selanjutnya kami akan memberitaukan perkembangannya lagi nanti"
"Baik pak. Terimakasih atas kerjasamanya"
"Baik. Selamat siang, tuan Lee" sang polisi pun pergi meninggalkan Gabriel disana.
"Tuan Gabriel, apakah kita harus menutup hotel untuk sementara?"
"Sehari saja sudah cukup, namun untuk keesokan harinya kita tutup dulu lantai sembilan, dan pastikan berita seperti ini tak tersebar ataupun mencoreng nama baik hotel kita" terang Gabriel pada asistennya.
"Baik pak, lalu untuk divisi housekeeping. Apakah kita harus memberikan penyuluhan psikis pada mereka karena mungkin akan ada yang trauma dengan kejadian ini dan mungkin akan ada yang mengundurkan diri juga"
"Aku terima masukanmu. Berikan penyuluhan psikis pada mereka dan antisipasi, persiapkan saja lowongan pekerjaan di divisi itu" jelas Gabriel.
"Baik tuan. Kalau begitu saya permisi"