Chereads / Cinta sang CEO Misterius [IND] / Chapter 2 - 1. Mencari Loker

Chapter 2 - 1. Mencari Loker

Hujan mengguyur ibukota jakarta dengan begitu deras, namun Nina tak dapat menghentikan langkahnya. Ia harus tetap berjalan. Tidak. Ia harus berlari sebenarnya karena ia tak memiliki waktu lagi. Ia harus menghadiri wawancara kerjanya apapun yang terjadi setelah ditolak begitu banyak tempat, dari perusahaan sampai supermarket sekalipun.

Karena Nina menikah saat ia berada di awal-awal masa perkuliahannya, Jadi saat ini Nina hanya bisa mencari pekerjaan yang dapat meluluskan pekerjanya yang hanya memiliki ijazah SMA. Lagipula Nina tak memiliki waktu lagi untuk memikirkan biaya kuliah karena ia lebih harus memikirkan Giselle dan mamahnya, serta rumah peninggalan ayahnya yang harus ia pertahankan bagaimanapun caranya agar tak disita. Nina sendiri sudah memutuskan berhenti kuliah dan akan fokus bekerja juga mengurus Giselle, meski ia tak dapat sepenuhnya mengurus putri kecilnya itu. Tapi untungnya sang mamah mau membantunya mengurus Giselle meski ia terlihat selalu kesal dengan Giselle karena Giselle selalu mengingatkannya akan kematian Nico yang rasanya tidak bertanggung jawab karena memilih bunuh diri dan meninggalkan keluarga kecilnya serta hutang besar kepada mereka sehingga Nina kini harus membanting semua tulangnya untuk membiayai hidup.

Nina akhirnya sampai di halte bus dan segera menaiki busway. Setelah sampai di tujuan, Nina segera berlari ke tempat wawancaranya. Ia tak lagi peduli guyuran hujan yang membasahi banyak pakaiannya karena meskipun menggunakan payung, Nina harus terus berlari sehingga payung yang ia gunakan tak lagi efisien melindunginya dari air hujan.

Sesampainya di tempat wawancara, Nina segera menunggu di kursi tunggu sampai dirinya di panggil untuk wawancara. Nina melamar di sebuah supermarket besar untuk menjadi karyawan dan sangat berharap ia diterima.

"Nona Nina, terimakasih sudah mengikuti sesi wawancara ini. Hasilnya akan di umumkan sekitar sejam lagi bersama dengan hasil pelamar kerja lainnya. Dan satu hal yang harus Nona ingat. Kesan pertama saat wawancara itu sangat harus diperhatikan. Permisi" ucap HRD sembari mengulas senyum simpul lalu pergi meninggalkan ruangan.

Nina tertegun sejenak mendengar kata-kata terakhir HRD itu. Dia tau kesan pertama itu memang sangat harus diperhatikan, tapi ia tak memiliki waktu dan ia berharap HRD itu memahami keadaannya ketika datang hari ini karena ia oun juga sudah menceritakan sedikit tentang latar belakang kehidupannya pada sang HRD. Ia berharap diberi sedikit simpati untuk diterima bekerja disana. Ia membutuhkan uang untuk membayar listrik, kebutuhan Giselle, dan hutangnya. Ketiga hal itu adalah yang utama dan ia harus memiliki uang akhir bulan ini. Jika tidak, listrik akan dicabut, rumahnya akan disita dan Giselle juga mamahnya akan kehilangan tempat tinggal. Dan kemungkinan buruk lainnya yang tidak lagi dapat difikirkan Nina karena ia saat ini hanya ingin fokus mencari solusi untuk semuanya seorang diri.

Waktu berlalu begitu cepat. Hujan di luar masih deras, dan bahkan langit telah menjadi sangat gelap karena malam akan segera tiba.

Satu persatu orang yang pergi wawancara tadi menunjukan ekspresi bahagia setelah melihat pengumuman yang sudah di pajang. Namun beberapa dari mereka juga menunjukan ekspresi muram karena tak di terima. Dan sayangnya, Nina menjadi bagian dari orang-orang berwajah muram itu. Ia tak diterima kerja dan kini fikirannya dihantam badai.

"Berakhir sudah ... kemana lagi aku harus mencari pekerjaan di kota ini sementara aku hanya lulusan SMA?" Gumam Nina. Ia hanya diam berdiri di lobby supermarket sembari melihat hujan yang tak kunjung berhenti jatuh. Nina bahkan tak sadar jika air matanya kini ikut menderas seperti hujan yang turun hari ini. Ia menggigil tapi bukan karena angin yang menerpa tubuh rampingnya. Nina kedinginan saat memikirkan banyak hal buruk yang akan menimpanya nanti dan ia tidak tau harus bagaimana. Nina bingung seorang diri. Ia tak memiliki apapun untuk dijdikan sandaran. Nico juga telah pergi. Kini ia benar-benar harus berjuang sendiri tanpa ada seseorang pun disisinya, bahkan untuk sekedar menyemangatinya. Nina tak memilikinya. Ia hanya bisa termotivasi oleh Giselle putri kecilnya yang tak mengerti apapun yang tengah menimpanya.

"Bagaimana ini?. Aku harus mencari kemana lagi?. Masih adakah lowongan untukku?" Gumam Nina dengan penuh kekalutan. Ia mencoba menscroll sosmednya namun tak menemukan yang cocok untuknya.

Semakin lama penglihatan Nina mengabur karena kabut air matanya yang terus membendung. Nina tak kuasa menahan perasaan yang terus berkecambuk dalam dirinya. Selama ini ia hanyalah gadis manja yang selalu bergantung pada ayahnya, tapi setelah sang ayah pergi, Nina menjelma menjadi seperti perempuan yang tidak berguna sama sekali. Ia merasa tak bisa melakukan banyak hal tanpa bantuan ayahnya termasuk mencari uang. Nina benar-benar harus merasakan beratnya mencari kertas berangka itu.

"Ayah ... Nina harus gimana?" Bisiknya. Nina terisak sembari terus berjalan menuju halte busway. Air matanya terus mengalir, padahal Nina sudah menahannya agar tidak turun tapi air matanya sangat keras kepala. Sampai angin kencang tiba-tiba berhembus dan menghempaskan payung Nina begitu jauh dan terjatuh tepat di atas aliran sungai bendungan. Dan kini Nina pun menangis didalam pelukan hujan seolah hujan memahami perasaannya sehingga ia mencoba untuk menutupi air matanya.

Nina terdiam memandang payungnya yang terus hanyut terbawa arus. Ia mulai berfikir, "haruskah aku bisa melompat untuk mengambil payung itu?" Batinnya berbisik kepada hatinya agar ia tau maksud dibalik kata melompat itu. Sejatinya, Nina merasakan tarikan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke sungai itu dan mati seperti tokoh penulis novel sastra terkenal di jepang, yakni Osamu Dazai. Sayangnya, Nina tak memiliki kekasih untuk di ajaknya melompat bersama karena Nico bahkan sudah lebih dulu pergi meninggalkannya.

"Mama, ayo cepetan pulang. Aku kedinginan. Bajuku basah semua nih"

"Iya, kita mau pulang kok. Mamah juga udah basah semua bajunya. Tunggu sebentar lagi ya, Ayah lagi di perjalanan jemput kita"

Suara percakapan seorang bocah kecil dengan seorang wanita yang merupakan ibunya membuat Nina yang berada tak jauh dari mereka seketika sadar dari lamunannya. Fikiran kosongnya kini kembali. Wajah manis Giselle yang tersenyum tiba-tiba melintas di benaknya. Lalu Nina kembali berfikir. "Apa jadinya jika Giselle tak mendapati ibunya tak kunjung pulang?"

Tangan Nina bergetar. Ia mengurungkan niat bunuh dirinya dan menjadi ketakutan sendiri.

"Aku harus pulang ..." gumamnya. Nina pun berjalan lagi menembus hujan sampai ke terminal. Fikirannya kini dipenuhi oleh Giselle yang menunggunya pulang. Nina juga merindukan memeluk putri kecilnya itu.

Sesampainya di rumah. Nina langsung di sambut ibunya yang berwajah masam karena ia lelah dengan Giselle.

"Lihat. Mamah kamu udah pulang. Sekarang kamu sama mamah ya" ucap ibu Nina pada Giselle.

"Mama!" Ucap Giselle pada Nina yang baru pulang dengan wajah berseri dan mereka berdua pun berpelukan.

Nina seketika merasakan kenyamanan. Kehadiran Giselle juga bagaikan embun penyejuk hatinya sehingga Nina dapat dengan cepat melupakan kekalutannya hari ini karena tidak dapat pekerjaan.

"Mamah mau istirahat ya" ucap mamah Nina yang langsung pergi ke kamarnya begitu saja.

"Iya. Makasih udah jagain Giselle hari ini ya, Mah"

Nina menatap putri kecilnya yang nampak bingung, "Elle sayang, kita ke kamar juga yuk. Mamah mau ganti baju nih" ucap Nina pada putrinya.

"Maaf ya sayang, bajunya Elle jadi ikut bacah deh" gumam Nina yang mengajak bicara Giselle. Ia sadar jika baju putrinya juga ikut basah.

"... tadi mamah kehujanan sih jadinya bajunya basah deh" jelas Nina sembari mengganti setelan pakaian hitam putihnya.

Setelah mengganti pakaiannya, Nina kembali lagi ke Giselle yang sudah lebih dulu ia gantikan bajunya karena tadi ikut basah setelah Nina memeluknya dengan pakaian basah.

"Mama, lapel!"

"Yuk sini" Nina lantas membaringkan Giselle di kasur bersama dengan dirinya dan memberikan Giselle Asi karena Nina belum bisa sepenuhnya memberikan Giselle susu formula.

Setelah membuat Giselle tidur, Nina memeriksa sisa tabungan miliknya yang sudah sangat-sangat menipis, meski begitu Nina cukup bersyukur memiliki simpanan tabungan mati itu. Tabungan yang awalnya akan ia gunakan nanti setelah lulus kuliah untuk keperluannya, tapi siapa sangka ia justru harus memakainya secepat ini dan sekarang jumlahnya pun sudah berkurang banyak.

Nina menghela nafas berat lagi. Jika tak mendapatkan pekerjaan bulan ini, ia benar-benar akan bingung dengan kedepannya harus bagaimana. Nina juga tak memiliki banyak koneksi lagi dengan teman-temannya untuk sekedar menanyakan lowongan pekerjaan. Sejak kehidupan Nina hancur, semua manusia yang dicap dengan kata 'teman' itu sudah tak lagi berlaku. Mereka semua menghindari Nina kecuali seseorang teman Nina yang jarang ia hubungi karena ia tak terlalu menyukai satu temannya itu karena selalu curhat tentang keluhan masalah hidup yang sebenarnya dibuat olehnya sendiri, tapi dia satu-satunya teman Nina yang tidak melihat Nina dari sudut kekayaan dan murni berteman karena mungkin ia merasa Nina selalu mau mendengarkan curhatannya.

"Udah lama gak kontakan sama anak itu, tapi dia satu-satunya harapanku sekarang yang mungkin punya informasi lowongan kerja ..." gumam Nina. Ia menatap satu nama di ponselnya. Disana tertera nama Putri Arista.

Tut ... tut ... ting.

"Halo"

[Hallo. Nina kan?]

"I-iya. Ini aku. Apa kabar, ta?"

[Ya ampun, kemana aja lo!. Sosmed jarang aktif juga. Gw baik-baik aja kok. Lo sendiri gimana kabarnya?]

"Um. Lumayan hehe. Oh ya, Ta. Gw gak ganggu lu kan?. Sibuk gak?"

[Gw lagi mau pulang ke kos sih, kenapa?]

"Eh. Ya udah ngobrolnya pas lu udah di kos aja biar santai"

[Ya elah. Udah gak papa disini. Gw juga mau curhat nih. Mau dengerin gw kan?]

"Santai aja, ta. Gw selalu mau dengerin curhag lo kok. Tapi gw mau curhat duluan boleh?"

[Iyadeh lo duluan aja. Udah lama gw gak denger suara lo. Mau curhat apa sama gw?]

"Sebenernya, gw lagi nyari loker ta. Gw yakin lo udah tau keadaan gw kan ya?, pasti ada gosip di grup alumni kan?" Ucap Nina yang langsung to the point.

[Um, iya gw udah tau. di grup emang pernah banyak yang koar tentang Lo, Nin. Pas banget setelah Lo keluar dari grup. Jadi, Lo mau nanya loker ke gw?]

"Syukur deh kalo lo udah paham keadaannya gw. Sejujurnya gw gak kuat kalao disuru cerita dari awal hehe. Iya gw lagi nyari loker. Lo punya info gak?"

[Eh, bentar Nin. Gw dipanggil temen gw]

"Oh, oke" Nina pun hanya diam menunggu. Dari panggilan itu, Nina dapat mendengar suara tawa Arista bersama teman-temannya yang nampaknya tengah berencana makan-makan bersama untuk merayakan ulang tahun salah seorang temannya.

Seketika Nina teringat dengan masa lalunya disaat usianya tujuh belas tahun. Itu adalah kenangan saat pesta ultah Nina yang sangat meriah yang kini tak lagi dapat ia rasakan. Tak ada lagi perayaan ulang tahun meriah. Bahkan untuk Giselle. Ia tak tau apakah ia akan bisa membuatkan pesta ulang tahun untuk putri kecilnya itu nanti.