Saya ini belum pernah melakukannya dengan wanita maupun pria ....
.... s-sama sekali ....
Phi Mile benar-benar yang pertama kali. Jadi Saya masih sedikit terkejut---
Bisa kita sudah dulu, Phi?
.... saya benar-benar bingung seks itu rasanya begini ....
Malam itu aku ingin berteriak karena mengatakan hal memalukan. Bukan karena Mile menghina faktanya, tapi dia justru kesenangan. Suamiku pun langsung membantingku ke ranjang lagi. Dia ereksi, padahal baru saja tuntas tiga kali. Dia memposisikan penis di tengah liangku basahku. Lalu menghentak masuk tanpa peduli lelehan air mani yang penuh di dalam.
Gerakan Mile juga makin kasar setiap detiknya. Dia berani karena aku menikmati ini. Tapi jujur aku takut nyawaku melayang karena melayaninya. "Akhhh--nghh--sudah, Phi--! Saya benar-benar tidak bisa lagi--"
Menurutku ini agak keterlaluan, serius. Untung tenagaku jenis yang cukup tangguh, tapi tetap kuakui seks itu lebih melelahkan daripada kerja dikarenakan menguras daya serta emosi. Aku memang tidak pingsan, tapi pandanganku buram berkali-kali. Mile yang menyadarinya pun mengatur kecepatan tumbukannya di dalamku.
Tidak ingat berapa kali kami melakukannya. Aku lelah. Tahu-tahu sudah ketiduran dalam pelukannya yang posesif. Kupikir Mile akan mandi terlebih dahulu seperti hari-hari sebelumnya, tapi ternyata dia betah di sisiku dengan wajah tidur polos. Seperti benar-benar tak berdosa, ya Tuhan ....
Aku sadar perubahan Mile besar semenjak kami bercinta, yakni makin perhatian, tapi dia maunya juga sering dimanja.
"Natta mau apa? Kita beli oleh-oleh dulu untuk dipaketkan ke rumah ...." tawar Mile setiap kami ganti tempat. Semua daerah yang kucoba pun punya hadiahnya masing-masing. Mile antusias, seolah pria ini tidak pernah cemas kehabisan uang.
Aku pun memilih beberapa benda daripada dia marah. Walau yang dibawa pulang jelas lebih dari itu. Katanya harus ada jatah untuk Gabby, Ibu-Ayah, Ibu-Bapak, dan teman-temanku jika memiliki sahabat. Sayang, aku ini bukan orang yang ekstrover, padahal Mile menilai diriku "baik" kepada orang lain. Pertemananku memang tak terlalu berwarna. Semua orang kuanggap sama. Maka jangan heran soal hubungan romansa aku ini benar-benar awam.
Waktuku habis untuk bekerja sejak lulus di bangku SMP. Dulu ikut bengkel motor, tapi besar-besar mulai menguli bangunan. Selain itu aku juga perjaka murni karena malu dengan latar belakangku. Toh gadis jaman sekarang jarang mau dipacari anak orang miskin. Yang susah makan ... yang jarang pulang ... yang tak punya bakat ... prestasi ... apalagi titel super membanggakan--aku bahkan lupa siapa gadis yang pernah membuatku tertarik ketika remaja.
Aku hanya onani ketika habis bermimpi basah. Itu pun tidak berani lama karena di rumah ada Ibu-Bapak. Aku mustahil mendesah berisik, karena tempat tinggal kami kecil. Tidak kedap suara. Lebih-lebih tidak punya pintu berkunci di setiap ruang. Kamarku adalah jenis lesehan dengan bilik kecil, isinya hanyalah baju yang digantung pada paku dinding, dan Ibu-Bapak biasa keluar masuk untuk membangunkanku dari tidur.
Aku pernah gugup memasukkan penis ke celana karena kaget Ibu memanggil dari dapur. Padahal aslinya birahi, tapi disuruh memasangkan gas elpiji dadakan. "Nattaaaaa! Sayang, Ibu mau menggoreng ikan tapi apinya mendadak matiiiii!" Hal-hal seperti ini sudah biasa kualami. Jadi aku malas dengan kehidupan seksual.
Sial (atau beruntungnya) menjadi istri Mile merubahku 180 derajat. Aku dipaksa tertular libido besarnya, dia sering menyentuhku, bahkan saat aku tidur saja Mile kadang mencoba meraba-raba.
"Phi Mile, tolong Saya mau tidur sebentar saja ...." kataku usai diajari main ski. Aku capek karena medan salju Zermatt bukanlah zona nyamanku. Apalagi membuat boneka Olaf di bagian Alpen Timur.
Mile sudah kucurigai sejak mengajak menginap di hotel terbuka bernama "Zero Real Estate." Tempatnya di atas bukit. Dimana kamar kami tanpa atap maupun dinding serta jauh dari pemukiman. Di sana kami bisa menikmati pemandangan Swiss yang dipenuhi gunung serta udara bersih tanpa AC. Langit cerah, cuaca bagus, tapi nyaris tidak pernah hujan bila itu yang kau khawatirkan.
Aku pun disetubuhi di tempat itu usai pelayan hotel mengirimkan paket makan malam. Pertanda jam istirahat datang jadi mereka takkan kemari hingga pagi lagi. Semuanya turun bukit untuk menjaga privasi pelanggan hotel. Contohnya kami berdua, dan jarak setiap hotel cukup jauh diantara bukit yang tingginya berbeda (memang diatur begitu untuk menentukan titik buta).
"Ahhh ....! Phi Mile .... ampun---hhh ... ini agak--"
Mile Phakphum justru tertawa melihat ekspresiku di bawahnya. Aku pun ditelanjangi dengan dia di dalamku. Kami berdebat beberapa kali karena aku ingin selimutan sedikit. Setidaknya menutupi bokongku agar pemandangan keluar masuk penis suamiku tidak kelihatan. Tapi, memang siapa yang akan menonton?
Tidak ada.
Mile memaksaku paham situasi ini. Hanya saja aku tak selalu kuat memenuhi fantasinya. Aku pun memohon sambil menggapai-gapai udara. Tapi Mile segera menjauh dengan berlutut agar aku tidak bisa memeluknya.
Aku berakhir hanya meremas bantal di sisi kepala. Mencoba menikmati langit lembah Grisons dan Appezellerland dengan kedua mata terbuka. Kelopakku terasa panas karena Mile memotretku dari atas sana. Ckrek! Ckrek! Ckrek! Padahal kondisiku benar-benar berantakan karena dicumbu dirinya.
"Akkhh ...."
"Pemandangan yang bagus sekali ...."
"Phi Mile, h-hapus ...." pintaku di tengah-tengah hunjaman pada liangku. Namun, Mile bilang kita impas karena dia juga ingin mengoleksi fotoku. Tapi ini beda soal karena Mile mengambil sudut pandang erotika! "Hiks ... Phi Mile jangan ... ambil ... hhh ... hhh ... hiks ...."
Puas menjepret, Mile pun menaruh kamera DSLR-nya ke pojokan ranjang demi menimang perasaanku. "Uh, uh ... Nattaku yang manis ...." katanya sambil mengangkat kepalaku dengan dua telapak tangannya. "Lihat, Sayang. Kau semakin menggemaskan jika menangis begini ...."
Aku pun meremas bisepnya jengkel. "Saya takut ada orang lain lihat fotonya nanti ...."
"No, sweetheart ...." kata Mile, lalu mengecup bibirku mesra. "Percayalah suamimu ini hanya menjadikannya koleksi pribadi, hhh ... hh ...." kekehnya.
Aku pun mengalah, bukan karena betulan percaya. Tapi berjanji dalam hati akan memukulnya jika suatu hari nanti ada kejadian yang seperti itu.
Ini nikmat, Tuhan. Ini nikmat sekali rasanya aku hampir gila ....! Batinku karena terlalu sering digempur. Aku harus sabar karena bulan madu kami masih 6 hari lagi. Mungkin Mile juga pun akan menuntutku melakukannya hingga kami pulang.
Membayangkannya saja sudah pusing, apalagi menjalani? Tapi aku bersyukur karena bisa menjalankan tugas sebagai pasangan Mile. Bahkan kini kuterima keberadaannya jika ingin memeluk ketika tidur. Aku tak lagi insomnia seperti malam pertama kami. Aku mudah lelap. Tapi kadang penasaran juga bagaimana isi hati Mile yang sebenarnya.
"Phi Mile ini .... belum suka Saya, kan?"
".... belum."
Aku ingat obrolan kami waktu itu.
"Saya juga."
Aku --entah kenapa-- segan bertanya tak seperti dulu. Padahal jika dibilang pasangan suami-istri sempurna, kami sepertinya layak dikategorikan juga. Dengan hubungan yang sangat baik, saling paham, seksualitas panas--hanya saja aku sendiri tidak yakin dengan perasaanku.
"Ini adalah destinasi yang terakhir, Paris ...."
Karena hingga perjalanan bulan madu itu selesai. Tak ada satu pun dari kami yang mengatakan perasaan, kecuali fokus jalan-jalan untuk menikmati waktu berdua. "Anda sepertinya hapal daerah sini ya Phi? Sudah sering kah datangnya?" tanyaku sambil minum kopi di kafe terdekat menara Eiffel.
"Ya, mungkin ini sudah kelima kalinya."
"Oh ...." desahku. "Apa Anda juga membawa istri yang dulu kemari?" tanyaku tiba-tiba penasaran.
"Hm?" Dia pun menatap curiga padaku.
"Kenapa bertanya begitu?"
Aku sendiri pun bingung kenapa. "Saya hanya ingin tahu saja ...."
Mile pun akhirnya tak menjawab karena ada telepon masuk ke ponselnya
Ternyata itu Gabby yang ingin video-call kami berdua. Katanya kangen karena Mile lama tidak muncul di rumah.
"Alooo, Phi Natta!" sapa Gabby tiba-tiba fokus kepadaku. Dia pamer permen lollipop ukuran besar. Lalu berdebat dengan Mile karena Ibu Nathanee mengajari Gabby soal panggilan baruku. "No, Daddy! Gabby wants Mama's! Phi Natta--Mama's!" tunjuknya ke arah wajahku. Mile pun uring-uringan untuk pertama kalinya. Dia menegur Gabby, bahkan ibu kandungnya sendiri karena momen itu digantikan orang lain.
"Bukan begitu, Sayang. Panggilnya Papa. Pa Natta, paham?"
"Uh, Daddy! But Ma Natta sound's good thooo!"
"Sayang ...."
Gabby malah marah dan turun dari pangkuan sang nenek. Dia lari mengadu kepada sang kakek, Songkit. Lalu menuduh Mile berbuat semena-mena kepadanya.
"Grannaaaaaa! Hiks ... hiks ... Daddy took my Mama Nattaaaaaaa!" katanya. "Daddy works hard but don't give Gabby sugaaa kekiii! He don't love Gabby anymoawwaarrrr!"
Entah apa yang diocehkan bocah itu. Aku tak paham. Sebab selain Bahasa Inggris, Gabby juga tantrum parah untuk pertama kalinya. Maksudnya, tantrum di depan mataku langsung. Padahal aku berpikir Gabby adalah tipe yang jarang rewel, dia pintar. Namun setelah sambungan disuruh matikan, Gabby tidak mau mengangkat telepon ayahnya.
"Dia kenapa, Phi?" tanyaku.
Mile pun menoleh sambil menggeleng. "Tidak, tidak. Jangan bertanya sekarang, tapi kuberitahu jika panggilanmu nanti sudah pasti," katanya. "Aku heran kenapa Gabby menjadi rewel begini ...."
Aku pun mengangguk saja karena tidak paham bahasannya, tapi Mile tak pernah membahas Aro sama sekali. Aku penasaran apakah dia tipe pria yang seabai itu, just move and go ... atau diam-diam membantai sepupu Ayahnya dengan kejutan di akhir. Kami lalu pulang setelah mengunjungi Tibet, Florida, Munich, Pyongyang, dan Jeju. Plus ternyata sisa hari yang kami miliki betul-betul untuk menjelajah bumi.
Mile pengertian aku tak mau seks tiap hari, apalagi luka-ku di bawah sana belum sembuh total. Namun, kata Mile itu normal karena otot liangku sedang menyesuaikan dengan ukuran penisnya. Bukan berarti aku akan berdarah selamanya ketika kami bercinta.
Saat kami berjalan bersama, Mile juga berubah perhatian kepada pinggangku. Apalagi jika tempatnya ramai sekali, Mile sering melingkari bagian itu agar orang lain tidak menyenggol ngilunya. Baik sengaja, atau tidak sengaja. Tapi buang jauh-jauh ekspektasimu soal memeluk pinggulku erat.
Mile tidak seperti itu. Suamiku hanya memblokade orang-orang di belakang tubuhku dengan lengan kekarnya. Dia melindungiku, padahal andai tubuh ini tak digempur seks anal aku terbiasa digebuk kasar dalam perkelahian.
Serius, dibanting pun rasanya aku biasa saja dan langsung berdiri--
"Barusan orang itu mengenaimu? Atau Phi salah lihat? Menyerempetmu ya? Sakit tidak, Natta Sayang?"
Pertanyaan Mile bisa sebanyak itu hanya karena ada pria mengejar anjing puddle-nya di Pulau Jeju. Tapi karena sembarangan dia sempat menyenggol lenganku.
Lengan, Mile!
LENGAN!
"Saya tidak apa-apa," kataku sambil tersenyum. Dia pun lega setelah kukonfirmasi, mungkin karena tadi malam kami bercinta lagi setelah jeda 4 hari. Mile seperti ingin mengukir momen manis bersamaku, tapi memiliki pasangan yang asli baik kemungkinan membuatmu berpikir saat ditinggal sendiri.
Apakah dia perhatian karena memang dasarnya baik ....
.... atau ada perlakuan khusus lain yang hanya ditunjukkan untukmu.
"Sayang, Natta. Phi berangkat kerja ya. Jangan lupa bangun lagi sebelum jam setengah 7. Sarapan bareng lho. Gabby menunggu di luar," kata Mile setelah kami menjalani hari-hari biasa di rumah. Suamiku ternyata betul-betul sibuk seperti yang dia bilang. Hampir setiap hari begini. Sementara aku punya hobi mematikan alarm setelah berbunyi biar ditegur olehnya.
Entah kenapa aku ingin mendengar suaranya, setiap pagi.
Aku diomeli pun tidak masalah, atau dicapnya pemalas tak mau bangun.
Karena jika aku sengaja bergelung dalam selimut, dia pasti mendekat untuk menciumku sebelum pergi seharian hingga malam tiba.
Wajahku, bibirku, leherku, jariku ....
Semuanya kena, tapi aku stress jika dia pulang larut malam. Atau bahkan kadang tidak pulang secara dadakan. Hanya meninggalkan pesan pula. Itu pun telat-telat saat mendekati jam istirahat.
[Phi Mile: Tidur duluan saja ya, Natta. Phi langsung berangkat ke Leiden. Pulangnya 3/4 hari lagi. Kalau mau oleh-oleh dari Belanda, kasih tahu saja. Jangan lupa makan dan olahraga]
[Natta: Iya, Phi]
Sudah, tak ada percakapan lagi selama 4 hari itu jika aku tidak meminta hadiah.
Aku jadi sering merenung di depan cermin wardrobe karena dulu ada Mile. Mungkin setelah aku berpiama, dia akan mengusiliku cuma demi memakaikan kaus kaki.
Kini aku punya kebiasa baru memandang chat terakhir sebelum fokus ke cermin. Tapi aku tidak tahu minta barang apa setiap kali ditawari.
Padahal bukan barang yang kumau, serius. Aku hanya ingin menyambung pembicaraan dengan dia melalui cara itu. Tapi setelah searching Google barang apa, aku ragu mau bilang. Apa ini tidak mengganggunya? Mile di sana kan sedang bekerja.
"Mama Natta? You're here? Can I come in?"
Palingan Gabby akan menyentakkan kesadaranku dengan mengintip di ambang pintu. Dia membawa buku dongeng. Tapi aku betul-betul ingin menangis karena tidak paham bahasanya.
"Gabby ...."
"Can u read this fairy-tale for me? I wanna--"
Apapun maksud omongannya pada waktu itu, aku tetap menyahutnya dengan bahasa lokal. Tak nyambung tak masalah. Karena saran Mile berguna juga di saat seperti ini. Gabby akan menjawabku tanpa Bahasa Inggris, dia senyum. Lalu mengangguk saja karena aku bilang bisa bercerita di luar buku dongengnya.
"Cerita apa itu, Mama?" tanya Gabby usai duduk di atas ranjangku. Dia bersender nyaman pada dadaku. Kakinya selanjor diantara kaki-kakiku yang mengangkang lebar. Semua agar kami bisa memangku sebuah buku gambar A3 bersama-sama. "Apa kita bisa menggambar kisahnya di sini? Mama jago?"
Kotak pensil warna Gabby berserakan di sisi tubuh kami.
"Jago! Kelas-nya legend karena bisa membuatmu senyum."
"Ha ha ha ha ha ha!" tawa Gabby karena legend versiku berarti basic ala anak TK.
Aku pun bercerita tentang kucing hitam kecil yang ditemukan bocah lelaki di tepi jalan. Kukarang-karang sendiri tentunya. Si kucing mewakili aku dan bocahnya mewakili Mile. Lalu Gabby membayangkan sendiri adegannya sambil kita coret-coret bersama.
"Terus apa yang terjadi setelah itu? Mama dirawat Daddy?"
"Iya. Kucing kecilnya dibawa pulang."
"Wahh ...."
Gabby pun semangat mewarnai si kucing karena sebelahnya sudah kutandai dengan tulisan 'Mama Natta'. Sudah pasti panggilanku ini takkan berubah lagi. Karena Gabby terlanjur nyaman mau bagaimana pun Mile menyuruhnya berubah terus.
Kusadari Mile hanya mengalah jika dengan anak semata wayangnya. Dia lemah akan Gabby, tapi jika denganku pasti akan memaksa hingga menangis.
Aku ini sekeras kepala itu, ya ... memangnya?
Aku sudah berusaha untuk mematuhi Mile.
"Ma Natta, lihat! Sudah jadiiiiiii!" kata Gabby tiba-tiba. "Ini kucing Natta, terus yang itu si Boy-Maimai ...." tunjuknya pada buku gambar dia. Gambaran Gabby memang jelek sekali. Sulit melihatnya sebagai gambar, malah. Namun aku tersenyum karena dia bilang akan menunjukkan itu kepada sang Ayah jika nanti sudah pulang.
"Wah ... bagus. Bintang lima! Sekarang tos dulu untuk gambar keren ini."
"Tos!"
"Ha ha ha ha ha."
"Ha ha ha ha ha."
Kesepian hatiku pun benar-benar ringan karena ada bocah ini. Dia temanku. Maka sudah benar Mile memintaku menjadikannya sobat kriminal. Buktinya Gabby mau-mau saja kuajak ke Disneyland Bangkok besok pagi. Dan dalam pikiranku bukan untuk memenuhi kebutuhan bocah dia. Aku sendiri pun penasaran karena belum pernah ke tempat permainan seperti itu. Gabby senang. Jadi perjalanan tersebut benar-benar memenuhi sisi inner-child kami berdua.
Kulihat-lihat orangtua lain hanya melihat anaknya naik wahana. Jadi saat menangis hanya dipegangi oleh petugas. Namun Gabby tidak karena dia kupegangi sendiri. Toh aku ikut main karena memang ingin terlibat di sana. Gabby pun makin senang karena aku tidak malu seperti orangtua anak-anak itu. Jadi dia pun bergandengan denganku sepanjang hari.
"Ayooooo! Mama ke sanaaaaa!" ajak Gabby habis naik helikopter-helikopter mini. Dia menarik celanaku untuk mencoba mobil tabrak di antara bola warna. Aku pun menurutinya. Kami masuk. Lalu benar-benar main tabrak sambil tertawa lepas di sana.
"WHAHAHAHAHAHAHAHAH!"
"HA HA HA HA HA HA HA HA!"
Demi Tuhan suara tawa Gabby renyah sekali.
Aku jadi kecanduan membuat bocah ini bahagia. Dia layak disebut berlian aslinya Mile bukan hanya karena darah Romsaithong mengalir dalam tubuhnya, tapi Gabby sendiri punya sisi sosial tinggi seperti Mile. Dia memahami saat aku lelah, senang, sedih, atau rindu ....
Karena ketika tatapanku kosong di kursi peristirahatan Gabby tiba-tiba menyodori aku ponsel milik Peter (oh, iya lupa bilang bahwa Peter selalu menemani kami kemana pun).
"Ma Natta, lihat aku lagi telepon Daddy! Say hello!" kata Gabby. Aku pun terkejut karena Mile yang sedang di parkiran tapi menerima video call anaknya. Dari situ aku lupa bahwa seorang Gabby bisa melakukan itu kapan pun bahkan meski tanpa alasan.
"Hai, Sayang. Kalian sedang bersenang-senang?" tanya Mile yang ditemani beberapa bawahannya di belakang. Ada Manajer Bas, ada Sekretaris Perth, ada juga beberapa bodyguard yang tidak kukenal ....
"Iya, Daddy! Sekarang aku lagi makan Claisee Round-Round sama Mama! Mau coba tidak? Ini enak lho ...." kata Gabby sambil menunjukkan jajan tusuk manis ke arah layar.
Aku sendiri pun hanya senyum sambil mengusapi rebet gula Classie dari pipiku. Tapi aku tak ikut bercakap, kecuali ditanya Mile dalam frame layar tersebut.
"Oh, iya. Sayang-sayang-nya Daddy mau minta jajan apa? Sekalian di sini mampir dulu sebelum pulang, hm Natta? Gabby?"
Gabby pun langsung menjerit ceriwis seperti biasa. "AAAA! AKU MAU POFERTJESS LAGI, DADDY!" katanya. Karena ini mungkin bukan pertama kalinya Mile menawarkan oleh-oleh dari Belanda untuknya. "ITU ENAAAK!
Terus ontbijtkoek, teh pickwick, apple-pie, stroop-waffle, klompen, royal delf blue, jangan lupa keju dari Leidse Kass! Gabby suka semuanya! Pokoknya bawa banyak buat Gabby sama Mama Natta."
"Ha ha ha ha ha ha ... terus?"
"Gabby mau jaket kembaran sama Mama Natta juga. Gambar kincir angin yang ada bunga tulipnya. Itu lhoo, Daddy yang oleh-oleh dari Keukenhof. Sepatu juga mauuuu."
"Oke, oke. Pasti dapat semuanya. Besok Daddy pulang ya. Kita makan strop-waffle-nya sama-sama ...."
"Otayy!"
"Dadah dulu, sampai jumpa ...."
"C-U-L DADDYYYYYYYYY! PAI PAIIII!" kata Gabby sambil melambaikan tangan. Sampai di rumah aku pun baru tahu C-U-L itu singkatan dari "See you later." dan percaya atau tidak justru aku lah yang tambah ilmu terus karena penasaran omongan Gabby. Bocah ini seperti media paling menyenangkan untuk aku memahami dunia yang lebih luas, walau dulu kesulitan ekonomi membuatku sulit menjangkau bangku pendidikan formal.
Aku sering searching Google tiap kali ada istilah baru yang Gabby ucapkan, tapi bocah itu cukup menyerap materi pelajaran dengan otak cedasnya lewat guru les. Aku tak perlu susah-susah berpikir cara menjadi "Mama" rumahan yang berkewajiban mengajari anaknya, karena nyatanya Gabby ini yang mentransfer ilmunya untuk diriku.
Kenapa kami baru bertemu sekarang?
Aku benar-benar seperti diajak main malaikat setiap hari.
Gabby ....
"GRANNAAAAAAAA! DADDY PULAAANG? MANAAAAAA!"
Bocah itu pun berteriak ribut turun tangga saat ada suara mobil Mile. Kaki kecilnya menyalip kakek dan neneknya. Lalu melompat naik ke pelukan sang ayah.
"Sayaaaang."
"DADDY WELKAAAAAAM!"
Gabby pun langsung menyerang muka Mile dengan ciumannya. Dia sepertinya dibiasakan begitu sedari kecil. Dulu mungkin Mile yang menciumi dirinya, kini Gabby mengingat itu sebagai kebiasaan ketika mereka bertemu lagi.
"Ugh, jajanku!"
"Ha ha ha ha ha, di mobil. Sebentar itu lihat baru diturunkan kakak-kakaknya," tunjuk Mile kepada para pelayan dan satpam di rumah. Mulanya aku kaget karena Mile menyebutkan mereka begitu meski mereka hanya bawahan, tapi suamiku benar-benar perhatian dengan pendidikan attitude Gabby. Meski terlahir sultan, mungkin Mile ingin Gabby paham mereka pun juga manusia. Jadi harus dipanggil sopan sebagai "kakak", walau setiap hari disuruh-suruh.
"Mau turun! Mau turun! Mau turun! Gabby mau unboxing yang hitam itu ...."
Gabby pun diturunkan Mile segera.
Sementara aku diam di ambang pintu kala Mile menoleh. Pria itu senyum kepadaku sebagaimana lelaki menikah pada umumnya. Dia mendekat untuk memelukku. Lalu mencuri kecupan dari bibirku.
"Too crave for me?"
Aku menatapnya bingung. "Apa itu Phi?" tanyaku.
Dia pun tertawa gemas. "Ha ha ha ha ... sudahlah. Ayo masuk," katanya. "Capek sekali, ingin bersih-bersih plus keramas sekalian ...."
"...."
Aku pun mengikuti langkahnya. Dia langsung menggandengku ke kamar mandi, sambil bilang: "Boleh peluk lebih lama biar charge-nya sampai penuh?"
Dengan bibir yang melengkung, aku pun mendekati dasi suamiku untuk melepaskannya perlahan-lahan.
"Iya."
"Hhhh ... hhh ..." kekehnya sambil menarik pinggangku.
Seharusnya aku tak perlu memusingkan pernyataan rasa, karena kami memang pasangan yang sudah menikah ....