Aku pun meraba lengan kekar Mile untuk memastikan suamiku sungguhan ada.
Bukan mimpi, kan?
Aku hanya terkejut dan ingin mendengar pernyataannya sekali lagi.
Kalau bisa berkali-kali.
Setiap hari.
Apa aku jadi tamak karena menginginkan ini?
"Iyakah, Phi?" tanyaku.
"Hm," gumam Mile sambil menghirup aroma leherku dalam-dalam. "Jaraknya hanya 12 kilo dari sini. Senang kan?"
"Iya ...."
Aku menunduk dan menatap tetesan air mataku di lantai walau cuma sedikit.
"Jadi kalau kangen orangtua tidak terlalu jauh," kata Mile. "Kamu bisa berkunjung ke mana saja, Sayang. Lagipula Gabby juga masih TK."
Aku benar-benar lega, walau kaget jarak rumah itu tak terlalu jauh. Maksudku, harusnya aku tahu ada kontruksi baru di wilayah ini. Tapi karena jarang keluar, dunia pun berubah asing bagiku (ingat kan? Dulu aku mondar-mandir karena profesiku sebagai kuli). Beda lagi setelah menjadi pasangan Mile. Melakukan kegiatan di rumah pun sudah menghabiskan waktu (paling sering nge-gym, renang, baca buku, dan nonton film di home theater ditemani Gabby).
Aku pun merasa bersalah karena kurang perhatian, tapi Mile tetap menenggelamkanku dalam kehangatan tubuhnya.
Suamiku berbisik, "Ush, ush, ush, ush ...." meski matanya masih terpejam, seolah aku balita yang butuh permen karena balon hadiahnya lepas ke udara. "Susah-susah aku menyortir calon diantara banyak orang. Setahun lebih dia kukejar, kunikahi, kusetubuhi, kunafkahi, kuajak jalan-jalan, kubangunkan rumah ... masih juga tidak paham?"
Aku selalu takut kalau sudah diomeli begini. "Maaf, Phi."
Mile tetap lanjut mencibirku. "Ckckck ... harusnya kamu itu bisa membedakan, Sayang. Andai aku tidak asli suka, setelah seks mending kamu kulepas terus kita tidurnya pisah."
"...."
"Kamu di kanan, aku di kiri. Yang penting penis masuk dan selesai. Memang kamu pernah kubegitukan?" tanyanya.
"Tidak ...."
"Hmmh ...."
"Tapi, Phi Mile ini orangnya baik ...." kataku tak terima. Terlanjur masuk pembahasan. Sekalian dibicarakan biar aku tidak kepikiran lagi. "Mungkin jika calonnya bukan Saya, pasti Anda juga baik ke dia ...."
Mile diam kali ini. "...."
"Anda begini karena kebetulan pasangannya adalah Saya ...." kataku. "Anda menyukai Saya bukan karena itu Saya, Phi. Jadi, Saya merasa jika kita bertengkar suatu hari nanti, atau salah paham dan berpisah. Kemungkinan Saya mudah digantikan seperti istri pertama Anda."
"...."
"Saya hanya tidak mau kehilangan Anda ...."
Mile baru membuka matanya kali ini. Tatapan matanya tampak redup di bahuku. Dia berpikir seolah bilang kata-kataku tadi merupakan kebenaran.
Jelas itu membuatku gelisah lagi. Bagaimana pun latar belakangku tak setara dengan Mile, dan pria ini pantas dapatkan yang lebih baik.
Bayangkan jika suatu hari ada orang yang (menurut Mile) sebaik aku, tapi lebih menawan, lebih pintar, dan lebih kaya lagi. Mile pasti akan tertarik padanya juga.
"Phi ...."
Aku ini terlalu logis karena pola pikirku sama-sama terlahir sebagaimana lelaki pada umumnya.
"Ha ... begitu?" tanya Mile tiba-tiba. "Jadi, menurutmu ... aku yang punya banyak mantan, pernah bercerai, punya anak, dan menikah denganmu ini tak pernah benar-benar menyukai seseorang?"
Aku pun tidak bisa berkata-kata. Jujur dalam pandanganku, Mile memang tipe yang menyukai siapa pun yang hadir dalam hidupnya. Maksudku, selama masuk dalam kriteria dia.
Mile akan memaknai itu sebagai perasaan suka hanya karena mereka saling ada. Menjaganya, tapi bukan berarti sosok ini benar-benar yang paling dirinya mau.
Apa aku terlalu banyak berpikir?
Aku hanya ingin Mile jadi pasanganku sampai kapan pun. Karena sekarang sulit sekali membayangkan aku jatuh sendiri jika dia pergi.
"Natta, aku yakin kamu mendengarkan kata-kataku."
Aku pun menatap langit malam dengan mata sendu.
"Jujur Saya sulit menjelaskannya, Phi," kataku. "Karena Saya sendiri tidak benar-benar tahu."
"Bagaimana?"
"Saya bingung kenapa bisa suka Anda," kataku lagi. ".... tapi kemungkinan beda dengan Anda jika ditanya begitu."
"...."
"Ayah Songkit, misalnya. Jika bertanya, 'Nak, kenapa bisa menikahi Natta?' ya karena Saya ini pemenang program pencarian istri Anda," kataku. "Perasaan Saya sudah berkali-kali bilang kepada Anda ... Saya tidak tahu apakah siap dinikahi Anda. Saya tidak tahu alasan berdiri di altar bersama Anda. Saya juga bingung kenapa menyerahkan diri kepada Anda."
"...."
"Saya ini sebelumnya suka perempuan, Phi," tegasku. "Saya juga suka profesi Saya, walau susah. Dan Saya tidak suka mematuhi orang, kecuali orangtua dan bos Saya dimana pun itu--hh ... hh ...." Napasku mendadak tersengal-sengal. "Contohnya di bengkel dan kontruksi gedung? Mereka jelas-jelas membayar Saya untuk hidup. Tapi uang dari Anda, Saya malah mikir dulu jika ingin memakainya."
"...."
".... apa Phi Mile tidak apa-apa kalau Saya beli benda A dan B? Maksud Saya, ini bukan soal harga dan merk-nya," jelasku. ".... saya hanya khawatir nanti kalau sudah dipakai apa Anda suka melihatnya? Mungkin warna, gaya, bentuk, atau bisa jadi orang lain lebih tampak bagus. Lebih buruk lagi jika menurut Anda barang itu tidak cocok dengan Saya."
"...."
"Saya selalu penasaran bagaimana pendapat Anda, Phi. Tapi Anda ini orang yang jarang berkomentar jika ada suatu hal yang tidak Anda sukai," kataku parau. "Palingan melakukan sesuatu dadakan. Seperti tak suka air berkapur, tahu-tahu rumah Bapak dipindah. Atau saat Bapak muntah, tahu-tahu jendela mobil Anda diturunkan ...."
"...."
"Saya jadi takut, kalau suatu hari Saya bikin salah ... tiba-tiba saja Saya disuruh pergi ...."
Aku pun tidak sanggup melanjutkannya lagi.
Mungkin menurutmu agak berlebihan, tapi selain beban dadaku berkurang, rasa cemas juga menghampiri usai berkata jujur padanya. Aku ketar-ketir menanti reaksi Mile mengenai yang barusan, padahal harusnya ini bisa disederhanakan.
Intinya aku mencintai suamiku, titik.
Aku belum menemukan ungkapan yang lebih baik untuk mewakilinya.
"Coba katakan lagi sambil menatapku?" pinta Mile tiba-tiba.
"Huh?"
Mile pun membalik tubuhku hingga mata kami saling pandang.
"Istri siapa ini yang manjanya minta ampun?"
Seketika telingaku memerah.
Aku tak menyangka Mile membawa suasananya jadi lebih santai. Dia mengecupku. Lalu bibir itu menyeringai tipis. Mungkin karena dia pernah kutolak terus-menerus. Pria ini jadi senang mendapatkanku sepenuhnya. Statusku, tubuhku, hatiku, jiwaku, hidupku, tubuhku, kepercayaanku ... atau apapun itu.
Secara resmi semua dia lah yang memiliki.
"Saya ... boleh mencintai Anda?" tanyaku, benar-benar menuruti perkataannya.
Seringai Mile jadi lebih lebar. "Bukan, bukan yang itu," katanya. "Ha ha ha ha ha ... coba pikir sekali lagi?"
Aku pun meremas pinggiran balkon. "Saya ini mencintai Anda ...." kataku, yang langsung berdebar tidak karuan. "Saya tidak suka Anda dengan orang lain. Siapa pun. Jadi, bisa sama Saya saja Phi?" pintaku dengan mata menegang. ".... meskipun Saya tidak tahu Anda ini betulan cinta atau tidak sama Saya."
Kali ini seringai Mile berubah jadi kuluman. Dia seperti ingin tertawa, tapi menahannya karena gemas dengan diriku. Lalu geleng-geleng kepala. "Manjanyaaaaa ...."
"Ugh, Phi--"
Aku diam karena telunjuknya ada di bibirku.
"Sering-seringlah begini, paham? Aku suka," kata Mile. "Kalau perlu bilang itu setiap saat kita bercinta, that's good. Siapa yang tidak suka diposesifi?"
Entah kenapa perasaanku campur aduk saat ini.
Apa semuanya sudah selesai?
Kenapa aku melanggar prinsipku sendiri? Bukankah inginku Mile harus bilang lebih dulu.
"Hey, kenapa lagi ....?" tanya Mile karena raut wajahku kembali sedih.
Aku justru menutup wajah dengan punggung tangan sebelum mataku membanjir kembali. Jemariku dihiasi basah-basah hingga mengalir ke pergelangan. Mile bingung, tapi aku sudah lelah menjabarkan.
Pikirku, kenapa tanggapan dia cuma begitu? Apa menurut Mile tadi aku bercanda?
Aku hanya ingin hatinya lebih dari apapun--
"Sayang, Natta ...."
Aku tetap menangis di depan matanya.
"Natta ...."
Kali ini panggilan itu tidak membuatku luluh. Aku juga tidak takut dia marah, PEDULI SETAN!! Aku kesal dengan diriku sendiri--
"MINGGIR--!!"
Tanpa sadar aku menyikut dadanya hingga mundur. Semua agar aku bisa menjauh dari balkon.
"Hah--? NATTA!" kaget Mile karena aku berhasil lepas darinya. Suamiku pun refleks menarikku dari belakang. Dia melemparku dalam dekapannya, dan aku memberontak di sana.
"ARRRGHHHHH! LEPAS, BRENGSEK! PHI TIDAK AKAN PERNAH PAHAM UCAPAN SAYA! PERGI!!"
"APO NATTAWIN!"
"SAYA TIDAK MAU TAHU!"
"NATTA!!"
"LEPAS--!!"
"APO NATTAWIN ROMSAITHONG!! DIAM!!!"
Mataku pun terbelalak mendengarkan bentakan terakhir. Seketika Mile sanggup mendekapku karena terdiam. Lalu kami tersengal diantara tirai balkon yang mengayun oleh angin.
"Phi Mile ... hiks, hiks, hiks, hiks ...." isakku yang lagi-lagi lemah arah. Saat memeluknya, entah kenapa emosiku naik-turun, sementara Mile menghela napas menghadapiku begini untuk pertama kalinya.
Mungkin karena suamiku masih letih pasca dinas jadi susah fokus dengan percakapan ini. Namun begitu aku membasahi piamanya dari bahu hingga dada, Mile pun paham apa kemauanku.
"Cintaku, Sayangku, Baby-ku, Istriku ... apapun sebutanmu--astaga ...." kata Mile mulai pusing dengan kepala berdenyut denyut. "Please, calm down--tenang dulu, oke?" pintanya. "Dengar ... Ibu memang pernah menyuruhku memberi hadiah dan perhatian demi mengujimu. Tapi sejak hari pernikahan semua itu tidak kulakukan, mengerti? Aku bergerak dengan kemauanku sendiri. So don't make everything more hard to win the trust of my own wifey, Sayang ...."
Aku pun mencengkeram punggung piama Mile. "Tidak percaya ... hiks, hiks, hiks, hiks ...." kataku sengau. "Kesal!! Saya benar-benar tidak tahu lagi! Hiks, hiks ...."
Tahu penjagaanku lemah, Mile pun menjambakku untuk berciuman. Dia juga sama kesalnya. Ingin melumatku hingga remuk, tapi hatiku bisa lebih pecah jika dia semena-mena. Suamiku bahkan sampai menggigit bibirku. Aku menjerit, "Akhh!" tapi dia lanjut menyedot kekenyalannya tanpa peduli. "Mnhh! Ssshh ...." Aku pun merintih selagi dia mengunci pinggangku. Mile baru mengakhirinya setelah isakanku berhenti. Lalu kudorong dadanya, walau tidak bisa sampai lepas.
"Aku cinta kamu, Natta ...." katanya sambil memandangi bibirku yang luka. "Mile Phakphum ini benar-benar cinta padamu," imbuhnya hingga pipiku merona.
"Lagi ...." pintaku, dengan bola mata bergerak gelisah.
"Aku cinta kamu, sudah dengar? Aku benar-benar cinta kamu."
Seketika cengiranku keluar.
Aku tak peduli jika wajahku sekarang super buruk rupa. Mau bengkak atau merah, terserah. Selama dadaku lega, maka pertarungan batinku belasan hari kemarin tidak sia-sia.
"Dasar ...." kata Mile. Lalu membenamkan aku dalam ciuman yang dalam.
Sejak malam itu, Mile pun menambah hobinya dengan kalimat yang paling kusuka. Gunanya mirip password khusus, dimana jika aku hampir uring-uringan, atau ingin menolak permintaannya, Mile akan menggunakan itu untuk mengambil hatiku.
Contohnya pada hari kepindahan rumah baru. Terus aku diajak keliling-keliling. Parah sekali suamiku ini. Mile tiba-tiba meletakkan cangkir kopi, padahal kami sedang menikmati pemandangan kota Bangkok dari sudut pandang baru. Aku yang berdiri penasaran di sebelah dinding rooftop pun melepas kamera. Dia memeluk dari belakang. Tahu-tahu tangannya sudah masuk untuk meraba punggungku.
"Tunggu, tidak--jangan di sini, Phi. Kita pindah--"
"Love you, Natta."
Aku pun terkejut dengan ciuman Mile yang bertubi-tubi, selagi dia memelukku agar diam.
"Phi--!"
"Mau ya?"
Mendadak dia sudah menarik celana piamaku turun. Pria ini memijat bokongku, terus mencium, sementara tubuh depanku diinvasi tangan kirinya. Dari perut, naik ke dada. Aku pun refleks berpegangan pada ambal rooftop karena dia tergesa-gesa. "Nngh--tapi pintunya--"
"Sudah kukunci, hhhh ... pelayan takkan ada yang naik ke atas," katanya.
Aku pun berupaya menghentikan kocokan Mile di penisku yang sudah menggantung. Tadinya lemas, tapi kini mengeras. Walhasil celana dalamku yang baru melorot selutut pun basah saat aku muncrat keluar. "AHH! Mmh ...." desahku sambil menatap kelap-kelip lampu kota.
Aku tahu keramaian orang di bawah takkan tahu kami melakukan seks karena dinding rooftop cukup tinggi. Sekitar lantai sepinggang berupa bata, tapi perut ke dada bahannya dari kaca tebal. Karena itu, dia aman menggempurku separuh telanjang dalam posisi berdiri sekali pun--tapi tetap saja kan ....

Manik mataku tidak bisa tak berkaca-kaca setiap kali diajak seks outdoor. Karena aku takut ada apa-apa. Mungkin karena pola pikirku --yang lahir di desa ini-- tidak bisa seliberal dirinya. Jadi kelopakku akan meneteskan air mata basah kepanikan, walau dadaku berdebar mau.
"Phi Mile, masih lama kah--hh ...."
"Hm?"
Aku pun meremas pinggiran kaca sambil berkedip menatap lalu lintas jalan raya. "Saya mulai kedinginan ...." keluhku, karena anginnya kencang sekali. Kudengar gesekan dedaunan pohon cukup menegangkan, dan ini mirip saat kami di Alphen Timur. Bedanya sekarang cuaca kota buruk. Bahkan aku yakin langit di atas kami menandakan akan turun hujan.
Namun, Mile tetap mengajakku menuntaskannya.
Suamiku bahkan tega menelanjangiku penuh. Jadi aku pun memeluknya saat kami sudah berhadapan.
"Khh---mmhh ....."
Aku benar-benar ingin bersembunyi di balik tubuhnya. Aku malu. Kalau bisa ingin menghilang saja dari dunia ini.
"Pegal? Ha ha ha .... pindah ke sofa, ya?"
"Sudah ...."
"Natta, Sayang. Cintanya Daddy ...."
Otakku berkabut kalau sudah begini.
Mile pun merebahkanku dengan susah payah. Dia menumbukku ulang, sementara aku memandangi raut cerahnya di atas sana. Lambat laun aku sadar sofa yang ini sedikit aneh --punggungku menempel karena sifat bahannya merekat kulit-- beda dengan model lain yang ada di sini.
Kupikir tadi hanya untuk variasi hiasan (aku hanya terlalu ber-positive-thinking) tapi sampai sini paham betul agar sperma kami besok mudah dibersihkan.
"Hhh ... hhh ... hhh ...." Hela napasku menderu hebat. Aku pun berusaha tenang usai Mile terpuaskan. Dia keluar dari tubuhku perlahan. Lantas memandangku yang terbaring dengan lubang basah nan lengket.
Rasanya kram dimana-mana, serius. Aku bahkan sulit bergerak karena emosiku terkuras. Bukan hanya tenaga habis, tapi ini terjadi akibat aku menahan cemas selama seks berlangsung.
"Natta?"
Andai malam itu Mile tak peduli dan langsung pergi aku pasti tertidur, tapi dia duduk untuk memangku kepalaku usai menaikkan restleting kembali.
"Natta, dengar? Mengantuk ya? Paham suara Phi tidak?"
Aku pun meringkuk karena pori-poriku menggigil.
Semenit.
Dua menit.
Semuanya pun menjadi gelap.
Aku tidak ingat apa yang terjadi setelah itu, yang pasti pagi-pagi badanku sudah jadi croissant gulung di sebelahnya.
"Pagi ...." sapa Mile sambil membelai rambutku. Dia juga mengesun pipiku sekali, cukup sebentar. Lalu kembali fokus pada buku yang dibacanya.
Eh? Libur ya?
"Pagi, Phi," sapa-ku tapi ingin tetap malas-malasan dalam selimut.
"Sebenarnya aku sudah mengundang orangtua kita untuk makan bersama kemarin," kata Mile. "Hitung-hitung pancang rumah baru, tapi mungkin kuganti tanggalnya kalau kamu tidak bisa bangun."
Aku pun langsung terbelalak lebar. "Mfff ... tidak-tidak apa?" tanyaku sambil menatapnya. Selimut makin kutarik kencang agar menutupi sebatas bahuku. Aku kedinginan, tapi anehnya tidak sampai demam. "Rasanya benar-benar tidak enak--maksud Saya ingin makan manis-manis, Phi," imbuhku. "Saya tidak mau sampai sakit."
"Hmm ...."
Mile pun meletakkan bukunya ke pojok ranjang untuk fokus menanyaiku.
"...."
"Mau makan apa memangnya? Mumpung ini baru pukul 6," kata Mile. "Nanti dicarikan Peter biar pas sarapan sudah siap."
Ingat kebiasaan Ibu dulu, jika aku masuk angin pasti dibuatkan air perasan lemon yang direbus hangat. Atau kalau tidak cukup irisan jambu biji yang sudah matang. Semua karena itu paling murah plus mudah dijangkau. Tapi saat pesananku datang isi piringnya jadi macam-macam. Ada irisan stroberi, buah naga, brokoli, pepaya, kiwi, pisang, dan pojokannya dilengkapi tiga mangkuk beda-beda selai.
"Katanya mau yang manis-manis ...." kata Mile. ".... tinggal celupkan saja, oke? Saat aku kembali nanti harus sudah habis."
Aku pun langsung menangkap tangannya. "Phi mau kemana?"
"Hm?"
"Perasaan hari ini tidak kerja ...."
Mile hanya mengusap ubunku sebelum pergi. Aku pun bingung, tapi memilih sarapan saja. Lalu mengganggu Gabby saat sudah mandi bersih. Bocah itu ternyata masih pulas di sebelah boneka Dino-nya. Dia nyaris ngiler--eh eh eh? Lucunya! Tapi langsung bangun karena aku kelepasan tertawa.
"HA HA HA HA HA HA!"
"Uggfff ... Mama ....?"
Aku pun makin terbahak-bahak karena Gabby auto-bangun dan terduduk meski matanya masih terpejam.
Benar-benar mirip Ayahnya! Ya Tuhan!
Bedanya Gabby ambruk lagi dalam pose yang teramat random.
Aku pun ikut-ikutan tidur karena masih kurang enak badan. Lalu Gabby dimarahi Mile karena tidak bangun ke sekolah.
"Daddy kira tadi sudah siap, tumben ditunggu-tunggu tidak turun! Malas sekali kamu akhir-akhir ini--!!"
"Huaaaaaaa ... Grannnaaaaa!"
Sayang Gabby tak bisa mengadu lagi ke kakek-neneknya karena sudah pindah. Jadi aku pun memeluk bocah itu sekalian ikut diomeli. Namun, tentu saja Mile tidak sekasar itu. Dia hanya menyuruh Gabby cepat mandi biar diantar, meski telat. Padahal Gabby malu sekali.
"Cup-cup, berhenti. Nanti waktu pulang ayo beli cake sama Mama mau?"
"Iya ...."
Aku pun menyenangkannya selama berangkat pakai mobil menuju sekolah.
"Bagus."
"Tapi Mama tidak apa-apa? Wajahnya pucat sekali ...." Dia mengucek mata, tanpa tahu Mile melirik kami dari spion depan. "Mama ke dokter saja ...." katanya, bahkan lebih peka daripada suamiku sendiri.
"Ha ha ha, tidak dulu. Tidak usah," kataku. "Belum parah kok. Nanti sembuh sendiri kalau main sama Gabby." Aku mendekap bocah menggemaskan itu di pangkuanku.
Gerbang sekolah memang sudah ditutup pukul 9 pagi, dan halaman sepi karena keramaiannya masih padat dalam kelas. Namun, namanya bocah TK Gabby tetap boleh masuk oleh satpamnya, padahal tak pernah begitu. Apa dia langsung nyaman dengan rumah baru? Sampai tidak bangun begini.
"Benar-benar tidak mau check-up dulu?" tanya Mile tiba-tiba. "Nanti kalau demam malah makin repot."
Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa, Phi. Saya sudah biasa begini," kataku.
Ini bukan mitos, serius. Sejauh ini aku hanya pernah masuk ke RS karena DBD seminggu, selain itu penyakit-penyakit yang datang ke tubuhku cukup dipakai istirahat di rumah. Mau itu demam, cacar air, diare, apalagi cuma batuk-pilek ... aku tidak mau manja hanya karena kini jadi orang yang berada.
"Baiklah, kalau begitu mau mengunjungi museum?"
"Museum?"
"Ya, kan kamu bilang suka materi IPS ...." kata Mile. "Kita akan melihat peninggalan zaman kerajaan, naik motor ATV di pantai, makan sea-food, mencoba paralayang ...." imbuhnya. "Mumpung aku masih bisa libur."
Langsung semangat, aku pun duduk tegak daripada tadi. "Mau," kataku. "Saya sudah lama tidak naik motor ....."
Meski tersenyum, Mile malah menegurku dengan nada menggatalkan telinga. "Jangan kencang-kencang ... nanti menabrak sesuatu dan pinggangmu kena semakin sulit sembuhnya."
Sial!
Aku pun membuang muka dan pura-pura tak dengar. "Saya tidur ya, Phi," kataku sambil membuka jendela mobil. "Nanti tolong bangunkan kalau sudah sampai ...."
"Hm ...."
Jantungku pun berdebar hingga melambat perlahan. Lalu kesadaranku hilang hingga ke tempat tujuan.
"Natta ... Natta, Sayang ...."
Tahu-tahu Mile menepuk bahuku lagi dengan destinasi pantai karena lebih dekat. Dan dia bilang museumnya nanti nanti di akhir saja."
"Hnngh ... di mana ini, Phi?"
"Pattaya."
"Kenapa cepat sekali ...." gumamku sambil menatap sekitar.
Aku pun keluar diikuti Mile usai memparkir mobilnya. Tapi memang makin pusing karena cuaca terik, beda dengan tadi malam. Kudengar sayup-sayup Mile menelepon Peter di sebelahku. Dia tampak serius. Sementara aku sendiri mencopot sepatu untuk merasakan pasir pantai.
"Iya, tolong jemput Gabby khusus hari ini. Aku sedang bersama istriku."
"Baik, Tuan."
"Bilang nanti cake-nya dibelikan saja waktu kami pulang."
"Siap."
Aku pun berjalan dengan senyum mulai terbit di wajahku. Sebab ini benar-benar membuat mood-ku membaik, meski bumi kadang rasanya berputar.
"Natta--! Hei, tunggu dulu ....!"
Aku tidak mendengarkan ucapan suamiku karena sudah keasyikan menendangi air laut. Di situ ada bulu babi dan ikan kecil yang berwarna-warni. Aku tertawa, apalagi tiba-tiba ada orang memakai speed-boat yang airnya muncrat di wajahku. "Ha ha ha ha ha!"
Aku tak perhatian di belakangku ada sekumpulan orang main voli pantai. Mereka ribut sendiri, tapi tidak lagi saat smash bolanya mengenai kepalaku.
"AWAAAAAAASSSSSS!"
BUAGH!
"NATTA!"
Mile pun berlari ke arahku untuk kedua kalinya. Persis seperti dulu, tapi kali ini bukan hanya badanku yang sakit semua.
"ASTAGA! Darahnya! Darahnya! Darahnya! Mimisannya banyak sekali! CEPAT TOLONG!" teriak orang-orang yang ikutan voli. Mereka pun langsung bubar untuk memburuku. Semuanya kacau. Tapi sumpah telingaku mendengar jelas beberapa percakapan sebelum pingsan--
"Aro, apa yang sudah kau lakukan?! Dia Apo!"
"Sial, Pim! Mana aku tahu dia di sini!"
"BEDEBAH KAU CEPAT ANGKAT DIA DARI AIR!"
Bersambung ....