Tak seperti biasanya, perkelahian siang itu justru tidak membuatku pingsan. Aku betul-betul sadar saat dibawa ke rumah sakit, tapi dokter membiusku dua jam untuk proses pengobatan lebih mudah. Katanya, lukaku terlalu banyak, besar, dan letaknya dimana-mana. Kepalaku diperban karena memar, bahuku, lenganku, bahkan pinggul dan kaki kiriku. Semua kena gebuk dan pitingan, sementara Gabby diplester pada pinggang yang gosong disetrum.
Usut punya usut pingsanku yang pertama dulu karena kedinginan es, kedua karena paruku kemasukan air, namun kali ini Mile tak bisa berkata-kata melihatku bertahan.
Dalam hati, ".... sudah kubilang kan? Aku tidak selemah itu--" Namun karena Mile campur aduk, aku memang seharusnya tetap diam. Dia tampak uring-uringan, kesal, dan jengkel. Bahkan ingin memaki Aro, memarahiku, memarahi Gabby, atau memarahi dirinya sendiri--hanya saja situasi sekarang tidak cocok ditangani dengan tangan panas.
Mile memilih ada untukku, menggendong Gabby kemana pun bayi-nya mau, dan memperhatikan rengekan Gabby karena terus mengeluh pinggangnya panas.
"Sayang, lapar tidak? Mau makan ya? Kusuapi bareng Gabby kalau tak bisa sendiri."
Aku yang terbaring seperti mumi dan tak bisa bersentuhan dengan suamiku pun memikirkan ide usil. "Tidak mau, Phi."
"Baby ...."
"Apa Anda tak melihat kondisi rahang dan bibir Saya?" tanyaku, sengaja blaming agar dia makin perhatian.
Enak saja sudah luka begini tak dimanfaatkan. Padahal lagi kangen sekali .... (Ehem--bahkan berciuman dengannya saja tak bisa).
"Lihat, lihat. Tapi nanti perutnya sakit ...."
Aku pun memelototinya. "Ya memang sakit. Kan Phi Mile datangnya lama sekali," kataku. "Kalau cepat kan Saya tidak sendirian."
Mile pun makin resah melihatku. Belum lagi Gabby ikutan menggeleng karena aku tidak mau makan. Bocah itu masih terisak karena tak tahan lara, merintih curhat di bahu Mile, lalu menolak pulang ke rumah. "Gabby, paling tidak diminum dulu susunya ...."
Gabby malah menenggelamkan wajah ke leher Mile. Dia kompak denganku lalu minta turun. Sama sekali tak mau pulang karena ingin tidur di sebelahku.
"Hiks, mau Mama ...." kata Gabby sambil merangkak ke arahku. "P-Pokoknya Gabby maunya sama Mama saja ... hiks ... hiks ...." Dia kini memeluk lengan kiriku sambil meringkuk bola.
Mile pun mengehela napas panjang. Suamiku pasti pusing karena boneka Dino Gabby tertolak, bahkan benda itu dilempar ke lantai begitu saja. Padahal biasanya Gabby bisa dibujuk dengan hal kecil. Dia murah hati, tapi makin ke sini makin se-frekuensi saja denganku. "Oke, terus sekarang mau bagaimana?" Dia bertelakan pinggang. "Sayang-sayangku rewel semua? Aku juga tidak mau makan kalau begitu," ancamnya. "Dengar Gabby? Daddy tidak akan makan sampai kalian berdua makan."
Hei, mana bisa begitu. Padahal dia bilang belum makan tadi siang--
"Ya sudah ...." Aku justru menutup mata, berbanding terbalik dengan batinku yang khawatir padanya. "Kalau mau mogok silahkan saja--cih ... Phi Mile sendiri juga yang nantinya kelaparan."
"Natta ...."
"Saya mau tidur saja. Ngantuk," kataku, sok ketus. "Anda jangan berisik nanti bisa menganggu Gabby."
Mile pun kesulitan berkata-kata. Pria itu memandang kami kesal. Tapi saat kuintip tangannya mengepal tanpa pukulan karena sisi gemasnya lebih besar daripada amarah.
Ha ha ha ha ha!
Mampus kau, Mile!
Tidak bisa ngomel, kan?
Kau harus tahu betapa kesalnya aku setiap disuruh makan, kerjaanmu itu selalu marah-marah 24/7!
"Atau mau masakanku?" tawar Mile tiba-tiba. Aku yang kaget pun membuka mata. Dan lihatlah kedua iris tajam yang ingin menangis itu. Sungguh kombinasi yang bagus. Khe ... khe ... khe ... khe ....
"Hah? Anda bisa?" tanyaku seolah tidak percaya.
"Bisa, bisa. Walau cuma mie instan, tapi aku akan bikin buat kamu ...." katanya, lalu berjalan memutar agar kami makin dekat. "Ya, Sayang, ya?" bujuknya, dengan jemari membelai rambutku. "Aku tidak bisa fokus kerja kalau meninggalkan kalian seperti ini ...."
Aku pun mengalihkan pandangan daripada semakin luluh.
Hei, hei. Tidak dulu. Jangan dulu. Terlalu cepat untuk itu. Permainan ini harus dibuat semakin seru--enak saja Mile kira hanya dia yang bisa mengerjaiku?!
"Cium."
"Apa?"
Aku memejamkan mata. "Cium dulu 20 kali. Di mana pun yang bisa dicium. Gabby juga," kataku, padahal aslinya sangat kesulitan menahan tawa. Tapi, persetan. Pokoknya harus aku yang menang si sini! TIDAK PEDULI! Kau ini sudah sibuk terus dua hari!!!
Suara Mile pun terdengar frustasi. "Astaga, oke! Tapi janji mau makan ya setelah ini?" katanya. "Jangan sampai aku lembur sambil memikirkan ada mie atau tidak di perut kecil kalian."
Sambil menahan debaran dada, aku pun meremas pinggiran celana dalam selimut. Sebab nafas Mile tiba-tiba dekat untuk mengendus wajahku yang luka. Dia ternyata benar-benar meninggalkan kecupan di sembarang tempat. Pertama kening--tepatnya di tepi perban--di sisi hidung, di pipi kanan, di leher bawah, di lengan kiri, di dada, kembali ke atas lagi--dan itu diulang hingga jumlah mauku tercapai. Setelahnya Mile baru pindah ke Gabby, walau bocah itu agak enggan karena mengantuk sungguhan (kau tahu kan? Anak-anak itu butuh tidur siang, tapi tadinya malah diculik).
"Gabby kecil ... shhh, Daddy barusan lagi tanya lho ...." kataku memanggil-manggil. ".... kamu mau tambahan telur tidak di mie-nya? Sayur-sayuran, mungkin? Iya ya? Nanti ma'em-nya bareng Mama ...."
Gabby pun atensif setelah pipinya kena belaian jariku. "Seriously, Mama?" tanyanya dengan mata dan hidung bengkak.
"Hm. Nanti dibikinkan sama Daddy," jelasku. "Sudah kangen kan tidak makan mie lama? Ha ha ha ha ...."
Daripada takut rupa mumi-ku, Gabby malah melirik ayahnya lurus. "Mau ...." katanya dengan pipi memerah. "Pakai sosis yang banyak, Daddy ...." imbuhnya lantas kembali memelukku.
Mile pun langsung lega, walau dia harus menebalkan muka saat pinjam dapur kafe RS. Bagaimana pun RS ini bukan miliknya, jauh dari rumah, dan makanan sejenis mie bisa lembek jika tak segera dimakan. Dia juga bilang, mie adalah tawarannya yang pertama dan terakhir. Mulai besok kami harus makan sehat lagi biar lukaku segera pulih. "Iya, Phi."
Mile membangunkan Gabby begitu kembali. Dan dia menenteng nampan hati-hati mirip waiter amatir. "Ayo, makan dulu. Makan dulu. Nanti baru tidur lagi, Nak ...." Dia menepuk-nepuk lembut paha si bocah. Lalu Gabby duduk dengan rambut awut awutan. "Aaaa ...."
Bocah itu membuka mata tiap kali disuapi.
Kadang terpejam, kadang sadar. Dia benar-benar hiburanku saat ditinggalkan Mile sendiri.
"Sudah mau pergi, Phi?" tanyaku, begitu Mile beres-beres. Dia pun meminta maaf karena ada jadwal yang tak bisa ditunda, yakni besok ada acara "azv@s#je?!ydh" entah apa yang dia jelaskan, tapi sulit sekali ditangkap otakku.
Intinya acara bisnis, oke?
Kalian harus terima penjelasanku karena profesi Mile bukanlah ranah yang mampu kuceritakan detail.
"Lagipula ini sudah jam 10," kata Mile sambil mengecup keningku. "Nanti kamu akan dijaga Peter dan lain-lain. Mereka siaga gantian. Jadi telpon saja kalau ada sesuatu."
"Iya."
Menyebalkan sekali.
"Peter ada di luar kamar sekarang."
"Uhm."
"Aku pergi ya Sayang."
Aku malah diam tanpa memandangnya menuju ke pintu keluar. Jujur, aku terdorong begini karena badanku sakit semua. Tapi salah tidak sih kalau ingin dimanja sedikit? Aku bahkan langsung memunggungi Mile dan memeluk Gabby. Tidak peduli lagi. Sehingga Mile gagal memutar kenop karena ragu pergi. Dia ternyata kembali lagi di sebelahku. Menyentuh bahuku. Lalu menghidu pipiku seperti kecupan kupu-kupu.
Apa?
Pokoknya aku tidak mau tahu kalau dia langsung pulang!
"Kamu tahu, Aro sudah di kantor tahanan sekarang," kata Mile, mencoba mengambil hatiku kembali. "Dia sedang diinterogasi, aku akan cari pengacara. Jadi persiapkan saja ya kalau ada polisi datang mengambil foto lukamu?"
".... hm."
"Kamu harus tahu semua akan baik-baik saja."
Aku mengelus-elus punggung Gabby yang sudah tertidur. "Soal perjanjian itu benar kah, Phi?" tanyaku, karena tiba-tiba takut kehilangan bocah dalam pelukanku. "Anda benar-benar memisahkan Nona Pim dari Gabby kita?"
"Ya."
"Kenapa sampai seperti itu?" tanyaku, padahal jantung sudah bergejolak saat mengangkat topik sensitif ini.
Ya, bagaimana ya ...
Sejak dulu aku memang menahannya meski ingin tahu. Tentu karena aku begitu cemburu.
Aku benci membuat Mile ingat pernah menikahi wanita, apalagi menghamilinya hingga Gabby gemas lahir ke dunia.
Sumpah demi Tuhan aku tidak benci pada Gabby--hanya saja ... ah! Tapi kau paham maksudku kan?
Andai bisa aku tentu ingin dihamili juga untuk melahirkan anaknya.
"Ya bukan apa-apa. Lebih baik memang begitu, karena situasinya dulu tidak mendukung," kata Mile. "Keluarganya dan keluargaku pecah hanya karena urusan uang. Mereka berani cekcok dengan kata kasar saat sengketa bayi. Jadi sekalian saja kupotong total akses Pim ke Gabby biar tidak ada masalah lanjutan."
".... oh."
"Aku memang jahat, tapi kalau Pim kuizinkan dekat sejak Gabby kecil--bisa saja anak ini malah menempel ibunya," kata Mile. "Terus, kalau sudah begitu ... bagaimana? Aku lemah secara hukum karena Gabby baru bayi 7 bulan. Dia masih butuh ASI ibu, tapi otakku tidak menerima kalau Gabby jatuh ke tangan mereka. Enak saja. Aku tak mau anakku masuk dalam lingkup keluarga yang se-strict itu."
Memang sebenarnya masuk akal ....
"Tapi, kalau Saya yang meminta apa bisa dikabulkan, Phi?"
Mile pun tak langsung menjawab. ".... apa itu?" tanyanya.
Kini aku berbalik menghadapi suamiku. "Ya, misal kalau ada momen penting, Nona Pim boleh hadir untuk menemui Gabby," kataku. "Saya pasti menemani juga kok. Jadi kalau Gabby dewasa tidak kaget dan malah membenci Saya."
".... oh."
"Boleh kan?" tanyaku agak memaksa. "Bagaimana pun Mama baru laki-laki belum biasa di sini. Jadi Saya harus membuatnya paham dari kecil bahwa masalah ini sudah rampung di masa lalu."
Mile mungkin tidak menyangka aku berpikiran sampai sana. Dia pun mengambil jemariku yang diperban, dikecupnya pada bagian punggung, padahal aku yakin baunya obat steril dan alkohol. "Oke, boleh. Tapi kalau ada sesuatu bilang padaku," katanya. "Bagaimana pun Pim kan masuk circle milik Paman Aro. Mereka pasti memiliki banyak percakapan pribadi sebelum ini. Maka lebih baik tidak berteman, daripada membahayakanmu."
"Saya pasti baik-baik saja."
"Yakin ya."
Aku pun terkekeh kecil. "Buktinya Saya masih melek habis dihajar begini."
Mile pun loading sesaat untuk mengendalikan jengkel, barulah tertawa di depanku. "Ha ha ha--dasar ... jangan begitu bilangnya."
Aku pun rileks setelah Mile mengecup bibirku, meski rasanya memang perih sekali.
"Cepat sembuh, Sayang. Lusa kukunjungi lagi setelah acara selesai."
"Hm."
"Biar kubereskan dulu orang-orang di luar sana."
"Iya."
Usai Mile keluar, aku dapat pesan dari Peter bahwa besok kedua orangtuaku datang. Ibu Nathanee juga ikut, meski Ayah Songkit tidak. Karena beliau akan dalam perjalanan bersama Mile juga. Ketiganya pun hadir dengan tatapan mata yang berbeda. Ayah menangis. Ibu berusaha menenangkan Ayah seperti biasa. Sementara Ibu Nathanee membawa hasil masakannya sendiri untukku. Beliau bilang mengolah itu bersama dua pelayan, sampai-sampai Ibu cemburu karena hanya membawa croissant dari toko.
Ya, wajar sih. Mile sengaja telat bilang soal kondisiku kepada Bapak dan Ibu. Karena jika langsung, jantung sepuh mereka pasti syok sekali.
"Terima kasih, Bu ...." kataku. "Masakannya enak sekali."
"Sama-sama."
"Bapak jangan khawatir, croissant-nya pasti kumakan kok, ya?" kataku sembari mengalihkan pandangan kepada Bapak. "Tapi masakan Ibu Nee harus kumakan selagi hangat."
"Iya ...."
Untung Gabby doyan dengan croissant, jadi saat aku menyuap nasi dia justru mau jajan dulu.
"Granna mau?"
Bocah itu menawari Bapak dan Ibu karena mood-nya membaik. Dia pun mengulurkan croissant sisa gigitannya. Aku tertawa, tapi Ibu mau membuka mulutnya.
"Mau, tentu saja. Aaaa ...."
"Aaaaaa ...." kata Gabby seolah sedang menyuapi bayi. Dia pun nyengir-nyengir sebelum menggigit sisa dari Ibu. Dan mereka berbagi jajan padahal di kotak masih banyak sekali. "Hihihihi! Granna giginya ada yang hilang! Lucu!"
Ibu pun mencubit hidung Gabby karena teramat gemas. "Iya lah. Dirimu pun nanti akan ganti gigi susu ...."
"Awww, really?" tanya Gabby, malahan tidak takut sama sekali. "Am I going to meet fairies too, Granna? Can't wait to lose my teeth to see them irl! HOHO!" jeritnya. Membuat Bapak terbengong-bengong karena dialog Inggris Gabby di luar nalarnya. Beliau pun tertawa sambil tepuk tangan antusias, padahal sebenarnya tak paham sama sekali. Beliau menggendong Gabby kemana-mana sangking senangnya punya cucu pintar. Lalu menciumi pipinya yang gembil.
"Utututututututu, Sayangkuuuu! Ayoo ...! Kakek belikan jajan lagi di luar sana!"
"Whooaaaaaa! I'm flying ....!!!"
"Emmhh, emhhhh ... harumnya Nak ... baumu padahal katanya belum mandi."
"HAHAHAHAHAH! GELYIII! GELYIII!! GRANNA GELLLYYYY! Awwhhhhh ....!"
Gabby lalu diculik Bapak untuk berputar RS, selagi ada kesempatan. Beliau memang penasaran sensasinya sejak dulu. Sayang Bapak tak berani memonopoli Gabby di depan Mile karena segan ke menantunya itu.
Kata Bapak, "Suamimu itu disiplin, ya, Nak. Bocah seumur Gabby saja tak boleh absen sekolah sehari pun. Padahal Bapak kan pengen sekali sekali-kali mengemong dia."
Aku pun tersenyum saat mendengarnya. Apalagi Bapak setuju pendidikan itu penting. Beliau mendukung Mile, karena pernah merasa tak mampu mendaftarkan aku ke sekolah. Jadi saat Gabby kubawa mampir ke rumah, mereka pun bonding meski hanya sebentar. Ya, tentu karena Gabby lebih sering kubawa main sendiri. Paling-paling setelah keliling baru ke sana.
Aku hanya ingin Gabby dekat denganku, dan sekarang sudah tercapai.
"Aaaa ... mam dulu," kata Gabby begitu dibawa kembali. Dia pun disuapi Ibu meski masih di gendongan Bapak. Jadilah anak itu cucu paling beruntung karena dapat kasih sayang dari semua pihak. Dia difoto oleh Ibu Nathanee menggunakan ponsel. Mereka mengambil memori bersama, sementara aku hanya menatap dengan binar lega karena Gabby tak merengek lagi.
"Pasti panas sekali setrumannya," batinku, karena kulit anak-anak tipis. "Untung Gabby tipe ceria. Jadi sedihnya tak berlarut-larut."
Takut sekali, ya Tuhan.
Takkan bisa kubayangkan anak seimut Gabby punya trauma hingga dewasa.
"Mama, apa sakitnya masih lama?" tanya Gabby begitu kakek dan neneknya pulang. Dia pun mendekatiku yang penuh perban. Menyentuh tanganku dengan jemari mungilnya. Lalu memandang rembesan darah yang muncul di permukaan.
"Hm, hm. Menurutmu?"
"Sakitnya di mana saja?" tanyanya. "Mama pasti cepat sembuh kan? Gabby mau main sama Mama lagi ...."
Mataku pun berkaca-kaca karena tatapan polosnya. Apalagi Gabby mau naik-naik kepayahan untuk memelukku di atas ranjang.
Ha ha.
Kata Gabby dia rindu sampai ingin menciumku. Dan rasa ngilu ditempeli dia tak sebanding dengan betapa besarnya kebahagiaanku. "Hmmh, Gabby ...." gumamku saat balas mendekapnya.
Aku betul-betul senang karena lusanya bocah itu mambacakanku buku dongeng, padahal biasanya Mile melakukan itu untuknya.
"Eh, kenapa?"
Gabby langsung duduk di sebelahku dan memangku buku dari Peter. "Soalnya Mama bilang sulit tidur," katanya. "Aku kadang juga begitu kok. He he he ....."
Akhirnya aku pun pura-pura pulas karena dia sudah berusaha. Mataku terpejam, menikmati suara lembut anakku yang mirip Mile, tapi soal menenangkan di telinga itu memang nyata. Sungguh nyaman, serius. Mood-ku pun membaik, meski ditinggal Mile dinas dadakan lagi. Dan itu adalah pertama kalinya Gabby diizinkan Mile untuk absen lama.
"One day, a handsome young prince heard her voice and fell in love with her. Both of them decided to flee, but somehow the witch came to know about it. She cut down Rapunzel's long beautiful hair and cast a spell on her, which led her to live in a lonely desert. The witch also cast a spell on the prince that made him go blind and left him to wander in the deserted forest ...."
Aku juga tak peduli, paham atau tidak cerita darinya. Karena bagiku itu tidak penting lagi. Asal aku dan Gabby baik-baik saja dari peristiwa penculikan itu. Maka semua masalah di dunia terasa bisa disingkirkan.
"Halo? Permisi?"
.... termasuk 6 hari kemudian. Saat pintu kamar rawatku didatangi seorang wanita. Senyum cantik itu bahkan tak membuatku kaku sama sekali.
"Ya?"
"Aku Pim, Mama-nya Gabby. Kata Mile, aku benar-benar sudah boleh kemari?" tanyanya coba memastikan.
Aku yang tengah mengelus Gabby tidur pun mengangguk pelan. "Tentu, Nona Pim. Silahkan ...." kataku ringan. "Saya memang ingin bertemu Anda sekali-kali."
"Terima kasih ...."
Pim yang membawa buket dan kotak jajan pun mendekat. Lalu permisi menaruh hadiah sebelum duduk dengan anggun.
Oh, wanita ini sebetulnya benar-benar tipe-ku.
"Apa kabar, Tuan Natta?" tanya Pim. "Aku memang sudah mendengar tentangmu, tapi bagaimana kalau kita kenalan resmi dahulu?"
"Oh, tentu," kataku. "Tapi maaf, tangan Saya masih begini. He he he ...."
"Tidak masalah, santai saja ...."
Kami pun berjabat tangan tanpa kekuatan. Cukup menempel dan terpisah karena perban di tanganku. Lalu mulai berbicara soal banyak hal demi membunuh waktu.
Bersambung ....