Terserah jika ada yang tak suka, tapi ini aku lagi: Mile Phakphum Romsaithong. Untuk kesekian kali aku harus datang untuk menggantikan Apo bercerita, karena istriku termasuk tipe ceroboh. Aku heran kenapa begitu. Ini tabiat, kurang didikan, atau memang sudah bawaan dari lahir--namun faktanya Apo sudah dua kali pingsan sejak kami menikah. Dulu masuk danau es, sekarang malah masuk laut langsung.
Aku pun mengangkatnya dari sana, kegendong dia, lalu kuletakkan lagi ke atas pasir terdekat. Demi apapun jantungku nyaris copot karena dia tak bernapas. Batang tenggorokannya kemasukan air, lalu aku memompa dadanya beberapa kali. "NATTA! BANGUN!" teriakku selagi melakukan resustasi. Secara hati-hati aku pun memberikan napas buatan untuknya. Kutepuk pipinya, dan mataku sempat berair. "Sayang, Natta ....!" bentakku diantara orang-orang yang berkerumun.
Untung istriku segera batuk dan mengeluarkan air. Lalu aku mendekap tubuhnya ke dada. Menakutkan sekali, ya Tuhan.
Aku pasti gila kalau sampai dia kenapa-kenapa.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk! Uhuk! Phi Mile ...."
Aku pun segera mengecup tangannya agar lebih hangat. Tangannya juga kugosok-gosok sangking paniknya diriku.
Kulihat darah mengalir deras dari hidung Apo. Aku mengusapnya, tapi terasa tidak pernah cukup. Aku pun berteriak minta bantuan, seseorang menelepon nomor darurat, karena istriku justru pingsan lagi. Ya, itu wajar. Sebelum kemari badannya memang agak kurang beres, apalagi bola itu kena kepalanya. Kalau sudah begini baru berpikir harusnya kuhangatkan dia di rumah saja, tapi semua sudah terlambat.
Apo pun kugendong ke ambulans begitu datang. Lalu dia diangkut ke rumah sakit. Aku tidak ikut karena tenaga medisnya sudah banyak, toh masih ada mobil juga untuk menyusul. Namun, saat berbalik aku bertatapan dengan dua wajah. Pertama mantan istriku, Pim dan sepupu ayahku, Aro berlarian dengan baju pantai yang terbuka. Itu menandakan mereka sudah di sini sebelum kami, apalagi di belakang ada circle-nya yang ikutan tanding voli.
"MILE! SEDANG APA KALIAN DI SINI?!" tanya Paman Aro.
Aku terlampau muak, jadi hanya menatapnya sebelum pergi. "Kita bicara kapan-kapan lagi," kataku, sementara Pim menatapku di balik badan Aro dengan emosi yang sulit dibaca. Mungkin dia panik, mungkin juga merasa bersalah. Apapun itu dia bukan lagi urusanku, karena saat sidang cerai kami sudah janji untuk melepaskan secara baik-baik.
Tapi kesal juga jika Apo yang kena, meskipun tidak sengaja.
Aku pun menyusul istriku yang dibaringkan di RS Sukumvit karena memang paling dekat, dan ternyata sudah bangun saat aku datang. Terbilang cepat, kan? Aku tahu Apo tak selemah itu, hanya saja tetap kumarahi dia karena sering membuatku khawatir.
Apo bilang, dia lelaki.
Dengan tenaga yang besar dan fisik yang kuat, harusnya tidak perlu dilindungi sebegitunya. Namun sudah cukup dia sembarangan sebelum menikah. Jika menjadi istriku berarti dia milikku, maka mau tak mau harus jadi bagian hal yang perlu kujaga.
Untung tak ada cedera serius di kepalanya. Usai mimisan berhenti dan dapat obat demam khusus, Apo pun kubawa pulang meski kami sempat berdebat di mobil. Kupaksa dia masuk kamar. Kulempar dia ke ranjang. Bahkan kukunci dia di dalam sana.
"Phi! Phi Mile! Saya tidak apa-apa! Saya bosan di sini! Saya mau baca buku atau nonton film! Atau bagaimana dengan ponsel Saya? Saya tidak apa-apa kok kalau baca-nya di kamar! Demamnya serius tidak separah itu!"
"TIDUR SAJA!"
Dia diam setelah kubentak kasar. Suara kenop pintu bahkan ikutan berhenti. Lalu aku bilang kuncinya akan dibuka pukul 4 sore. Mau tak mau Apo pun harus istirahat sekitar 4 jam. Dia mengalah. Buktinya aku tidak mendengar apapun lagi dari dalam sana.
Benar saja, kutilik-tilik istriku meringkuk di ranjang saat aku masuk. Dia habis mandi dan berpiama, tapi obatnya tak diminum karena aku lupa memberinya air atau buah untuk proses menelan.
Sedikit banyak omongan Apo ternyata benar juga. Dia tangguh. Sebab demamnya sudah turun saat aku menyentuh keningnya. Bagian itu rasanya hangat. Keringatnya basah. Hanya saja ini bukan alasan untuk aku berhenti keras padanya.
Lihat kan? Berkali-kali aturan dariku membuatnya lebih baik. Toh ini rumah tanggaku dengan aku sebagai kepala keluarga. Takkan kubiarkan Apo atau Gabby melampaui batas. Mereka dalam teritoriku, tapi mungkin dalam beberapa hal harus kutoleransi.
Seperti saat ini.
Tiba-tiba Apo ingin dibelikan tiramisu dan croissant begitu ponselnya kembali. Lalu dia menunjukkan gambar dengan kata kunci "Jajan Enak Ada Coklatnya" di kotak searching dalam Google. "Saya boleh minta ini, Phi? Tapi tidak tahu juga dimana belinya."
"Coba lihat."

Dia pun memindah-mindah gambarnya dengan banyak variasi lucu. Tapi pusing juga kalau begini. Pasalnya Apo sudah kusiapkan menu sehat di ruang makan. Pelayan susah-susah memasaknya, tapi kali ini kubiarkan.
"Boleh, nanti biar dibelikan Peter dulu," kataku. "Mungkin sampainya malam, karena jarang ada yang menjual di kota ini."
"Iya."
"Ada lagi?"
"Saya maunya es Boba, tapi Anda mungkin tidak suka."
Dia makin paham jalan pikiranku, rupanya.
"Ya sudah, nanti akan dibelikan juga. Tapi jangan minum sampai habis. Separuh saja."
Dia pun nyengir, meski ekspresinya lemas. "Terima kasih."
Namun Apo tetap kuwajibkan ikut makan malam. Dia tadinya habis sedikit, tapi kumarahi lagi biar ditandaskan semua. Percaya atau tidak melihatnya patuh merupakan kepuasan tersendiri. Aku senang, walau Gabby kadang membela Mama barunya.
"Daddy, you get off Mama's back!" kata anakku sambil menendang kakiku waktu enak-enak makan. Dia bahkan turun sebentar dari kursi untuk menyumpahiku dengan bahasa slang, aku terkejut. Apalagi dia menendangku sekali lagi. "He's hella beautiful angel! You're THE DEVIL! Gabby'll kick your ass soon! Arrrghhh!"
Hei, sejak kapan anakku jadi "sepintar" ini?
"Dia bilang apa, Phi?" tanya Apo, yang tidak paham karena guru lesnya baru mengajari hal-hal dasar Bahasa Inggris dari awal.
"Tidak, bukan apa-apa. Lanjutkan saja makan malammu," kataku, karena tidak mau kalah langkah dengan Apo. Mana mungkin kuceritakan anakku sendiri memaki-makiku demi dirinya. Itu jelek, tapi aku memang heran bagaimana bisa Apo dan Gabby sefrekuensi dengan cepat.
Malam itu, saat Apo dan Gabby berbagi jajan cokelat, aku pun meninggalkan mereka ke tempat kerja pribadiku. Awalnya lancar saja, aku mencicil banyak tugas hingga sampai pukul 10. Namun, rasa-rasanya ada yang belum kucek sampai sekarang.
Aku pun menilik kado pernikahan yang dipindah ke rumah kami tadi sore. Dan tampaknya memang belum disentuh Apo sama sekali. Tumpukan tersebut belum ada yang dibuka, sebab Apo yang sempat penasaran jadi malas setelah menemukan pesan tajam. Di sana aku menemukan satu yang tidak ada lagi memo-nya. Itu pasti dari Aro. Lalu kubuka isinya.
"Apa-apaan semua ini."
Percaya atau tidak Aro memberiku mainan seks berbagai jenis. Ada buku panduannya. Beda-beda kemasan. Dan penataannya sampai menggunung secara penuh. Ada dildo, vibrator, lubrikan, grinding, pecut, lilin, nipple pinch, telinga kucing-kucingan, ekor, lingrie, borgol, tali, kondom, urethral sounding, bahkan yang paling bawah gaun pengantin berbahan organza.
Dari situ aku tahu Aro sedang ingin merendahkan. Apalagi jika mengingat pesan yang diceritakan Apo.
Oh, ya. Memang salahku juga Apo belum kuperkenalkan resmi pada keluarga besar Romsaithong. Jadi wajar bila sebagian kecil ada yang vokal menunjukkan tidak suka. Bagaimana pun mereka tahu Apo lelaki biasa, miskin, kutemukan di desa kecil, tidak berpendidikan formal, dan profesinya lebih rendah dari ekspektasi terburuk mereka. Pernikahan kami juga hanya dilakukan secara privat, dan tentunya itu makin memberikan peluang untuk menghina meskipun aku kesal sekali.
Ya, bukan membenci alat-alat ini, sebetulnya. Toh aku memang punya fantasi yang liar. Tapi andai memang ingin memakaikan untuk Apo, tidak seharusnya benda-benda ini diberikan oleh orang lain.
Benar-benar pria kurang ajar.
"Apa, Tuan?" tanya pelayan yang kupanggil. Dia pasti kaget jam segini disuruh membuang benda ke tempat sampah. Apalagi harus membakarnya agar tak terlihat mataku lagi.
"Ya, pokoknya begitu. Cukup tuang minyak tanah dan hanguskan. Tak perlu dibuka dulu atau gajimu kukurangi bulan ini."
"Ahh! Baik!" katanya langsung gelagapan.
Aku juga membongkar semua isi kado setelah pelayan pergi. Semua demi memastikan apa saja hadiah para kerabat untuk pernikahanku. Lalu kujejer semuanya dan ternyata normal saja. Ya, walau diantara bahasa formal, ada juga beberapa kerabatku yang penasaran.
[Owwh, Nong Mile. Kamu sudah menemukan cinta sejati ya? Kali ini laki-laki? Kaget sekali dapat undangan darimu! Oh, ya ... Apo Nattawin Wattanagitiphat ini memanggilnya siapa? Apo? Natta? Win? Watta? Nagi? Thiphat? Ha ha ha ha. Tapi kuakui, walau kuli dia manis ya? Aku ingin kenalan dengannya langsung kapan-kapan]
___ Phi Tong
[Wow, Phi Mile? Menikah lagi? Gabby oke? Tak masalah ya dapat Ibu baru laki-laki? Khawatirnya istri barumu tak punya sisi keibuan untuk keponakanku yang lucu]
___ Nong Ta
[Wah, cuma bisa kirim kado, Saudaraku. Maaf tidak bisa hadir dalam resepsimu. Aku masih di Amerika untuk thesis akhir. Tapi congrats lho Istri Barunya. Bangga sekali melihatmu dapat laki-laki kekar. Percayalah lubangnya lebih nikmat karena pacar-ku Na juga begitu]
___ Jeff Bro
Tiga orang ini melantur rupanya. Namun aku tak masalah karena mereka temanku ketika kecil (kau tahu kan, diantara kerabat pasti ada yang dekat) jadi tak masalah kalau berkata begini.
Hanya saja, Aro?
Siapa dia sok bersikap akrab, padahal tak kuanggap siapa pun.
Dalam company, dia juga sainganku dalam edibilitas, karena Aro adalah CTO yang memegang bagian teknologi. Seolah-olah Aro ingin menyaingiku setiap detik, meski aku si pewaris asli. Cara bekerja pria ini juga obsesif agar kesanku tidak lebih pantas dari dia. Tapi takkan kubiarkan dia mendekati ayahku lagi jika ingin dicalonkan jadi penggantinya.
Enak saja.
Aku yang paling pantas di sini.
"Phi Mile?" panggil Apo tiba-tiba dari balik pintu.
"Ya?"
Istriku tampak segar karena sudah ganti piama yang baru. Dia habis cuci muka, berkaus kaki, dan mengenakan sandal lantai lucu. Namun, anehnya dia tak masuk ruangan. Melainkan hanya menentang jam beker dari kamar agar aku ingat ini jam 11.
"Kerjanya masih lama, kah?" tanyanya. "Kalau iya Saya akan tidur dulu."
"Huh? Ya, masih sedikit sebenarnya. Tapi pasti kususul kalau sudah selesai," kataku. "Tapi kenapa di sana? Coba kemari? Kucium dulu baru balik ke kamar."
Apo tetap menampakkan diri separuh badan. "Ya sudah, tidak jadi," katanya, padahal kedengaran tidak nyambung. "Saya cuma mengingatkan saja kok, Phi. Selamat malam."
Aku pun bingung dan merasa tak beres. Akhirnya kuletakkan semua isi kado itu. Kulangkahi kotak-kotaknya yang berserakan. Bahkan laptop kerja hanya kututup dalam mode sleep tanpa mati.
Asli aku penasaran kenapa istriku begitu, padahal biasanya dia hanya menilik tanpa membawa beker segala.
"Sayang ... Natta?"
Aku pun menyusul ke kamar dan ternyata dia hampir masuk kamar mandi.
"Iya, Phi?"
"Oh, mau pipis dulu? Ya sudah kutunggu sebentar tidak apa-apa."
Apo malah ragu-ragu saat mengambil kenopnya. "Saya mungkin akan lama."
"Hm? BAB?"
Aku pun duduk di ranjang dahulu.
Namun, kutunggu-tunggu Apo ternyata tak masuk, dia menoleh. Tapi langsung jongkok sambil memeluk kepalanya di lutut. "Phi, saya mau seks tapi nantinya mengganggu Anda," katanya. Langsung membuatku terkaget-kaget.
"Apa katamu barusan?"
"Tolong pergi saja, bisa tidak? Saya makin stress kalau Anda menunggu di sini."
Oh, Tuhan. Meski otakku lambat karena banyaknya urusan, tapi bisa kusadari kenapa dia begitu. Apo mungkin sedang menyembunyikan penis ereksinya. Dia birahi tanpa kusentuh (bagaimana bisa padahal baru saja pulih?) lalu aku pun mendekatinya.
"Ayo bangun. Kerjanya bisa kutunda dulu, paling tidak lama."
"Huh?"
Aku pun mengulurkan tangan, Apo mendongak, tapi dia tidak menyambut diriku.
"Ini baru jam 11, Sayang. It's okay. Tapi kalau sudah selesai, nanti kamu langsung kutinggal lemburan."
Apo pun berdiri meski ragu-ragu. "Tidak apa-apa kah Phi?" tanyanya, tapi langsung kugandeng ke ranjang. "Besok kerjanya kalau capek bagaimana?"
Perlahan dia kutindih di atas empuknya selimut yang masih rapi. "Ha ha ha, capek? Benar juga omonganmu ...." Aku pun langsung melepas celana Apo, dia hanya diam. Tapi sanggup berkedip manis kala kukecup. "Kalau begitu cukup 1 jam atau kurang dari itu. Tapi jangan protes kalau aku akan sangat kasar."
"Umnn ...."
Apo pun langsung memeluk. Dia menarikku seperti aku menarik bajunya, kemudian kami mengisi malam itu dengan kehangatan lain sebagaimana pasangan menikah membagi perasaannya.
Bersambung ....