Enam hari kemudian, kesehatanku pun membaik total. Aku sudah beraktivitas seperti biasa, dan acara makan-makan untuk pancang rumah kejadian juga. Aku, Mile, Gabby, Ibu, Bapak, Ibu, dan Ayah pun berkumpul jadi satu untuk menikmati hidangan dominan sayur. Setelah puas, kami masih kumpul di halaman belakang untuk bakar-bakar daging. Seolah kami merupakan peserta camping.
Gabby tampak super ceria waktu itu. Dia mendapat pet baru dari Ayah Songkit, yaitu baby Samoyed umur 1 Minggu. Gabby pun memangkunya sepanjang acara. Dia gemas karena umur hewan itu baru 1 Minggu, maka tak heran ukurannya hanya sebesar kucing kampung. Mereka bercanda dan menjadi teman baru. Kami foto-foto bersama, lalu begitu acara selesai dia bertanya padaku: "Mama, Samo-ku bagusnya dikasih nama apa?"
Dia menenteng dua lengan pet itu seperti boneka. Aku pun mengelusnya. Lalu jongkok di depan mereka. "Gabby suka yang bagaimana, memangnya? Nama lucu, keren, menakutkan, atau gemas-gemas sepertimu?"
"Lucu ...."
"Bagaimana kalau Kimi? Chiko? Piper?"
"Kimi bagus, Ma!!" cengir Gabby. "Kimi Kimi Romsaithong ...."
Aku pun tertawa karena Kimi dianggap adik daripada pet biasa. Dan Gabby senang mengajak Kimi tidur, padahal dia pernah diompoli si baby. Namun, Gabby senang karena Kimi sangat lucu, walau kerjaannya molor di sembarang tempat kalau majikannya pergi sekolah. "Mungkin kau butuh teman di sini ...." kataku sambil mengelus kepalanya.

Mile yang selesai nge-gym pun melihatku jongkok di tepi kolam. "Ada apa, Sayang?"
Aku menggendong si bayi padanya. "Phi, boleh tidak Saya mengadopsi peliharaan lagi di rumah?" tanyaku. "Kimi sepertinya sangat kesepian."
"Oh, Samoyed juga?"
"Tidak, tapi kucing hitam, Phi," kataku. "Saya jadi ingin melihat kucing ragdoll Bapak besarnya cantik sekali."
"Good, tapi aku tak bisa temani ke toko hewan," kata Mile. "It's okay? Soalnya nanti malam harus lemburan. Besok juga ada dinas 3 hari di Alabama."
"Iyakah? Dimana itu Phi?"
"AS," kata Mile.
Aku pun mengangguk pada akhirnya. Toh diizini saja sudah bagus. Namun, Mile peka wajahku murung. Dia tertawa. Lalu janji akan membelikan baju-baju pet kalau nanti pulang.
"Sungguhan, Phi?"
"Hm, tapi langsung PAP foto kucingnya begitu dapat," kata Mile. "Aku harus tahu kira-kira ukuran baju dan aksesorinya untuk mereka."
"Terima kasih ...."
Akhirnya pagi itu aku mengajak Gabby dan Kimi jalan-jalan, mumpung sudah akhir pekan. Anak TK memang dapat libur dua hari (Sabtu dan Minggu), jadi kami bisa senang-senang lebih lama. Rasa khawatirku soal barang juga dibebaskan Mile. Karena dia bilang aku cocok pakai apa saja--mau tabrak warna dan gaya aneh pun tidak masalah. Asal aku yang pakai, maka tetap enak dilihat matanya.
Benar-benar sangat berlebihan.
Aku pun sengaja beli barang di luar zona nyaman untuk membuktikan. Tidak hanya celana jeans dan singlet seperti dulu, tapi sepatu warna-warni dan jaket unik berwarna kuning. Kupikir Mile akan diam melihat selfie-ku dan Gabby di swalayan, ternyata dia memberikan pendapat pribadi.
[Phi Mile: Bagus. Hanya saja kurang rame. Tambahkan syal atau apa karena jaketnya tidak bermotif]
Aku pun senyum-senyum menerima balasan Mile dari AS sana. Bagiku dikritik Mile lebih melegakan daripada dia diam. Dengan begitu aku tahu isi pikirannya.
[Natta: Iya Phi :)]
Gabby pun kuajak berkeliling sekali lagi. Dia ceria. Apalagi Kimi anteng di kereta besi belanjaan. Sesekali Gabby mengelus bulu Kimi gemas, dan percaya atau tidak itu pertama kalinya aku memakai kartu hitam pemberian Mile setelah 5 bulan menikah.
"Ha ha ha ... Dasar. Malah rugi tahu, jika tidak dipakai."
"Hah? Iyakah, Phi?"
Aku begini karena obrolan kami semalam, dan jantungku serasa meledak karena kartu hitam punya biaya keanggotaan yang besar sekali. Kira-kira 153.500 baht sejak tercatat, dan itu harus dibayar rutin setiap bulan. Tak hanya itu, Mile bilang pemilik kartu tersebut wajib transaksi minimal 9.340.000.000 baht setiap tahun. Namun, bila kurang dari itu, semua fasilitas istimewa kami akan dicabut dari pusat (ngomong-ngomong, Mile mendaftar kartu itu atas namanya sebelum diberikan padaku) (*)
✓ (153.000 baht itu sekitar 66 juta) dan (9.340.0000 baht itu sekitar 4 triliun)
Aku sempat berdebat dengan Mile untuk minta kartu biasa. Kami bertengkar hanya karena aku sesak napas oleh uang. Soalnya malah bingung mau beli apa saja. Namun, Mile bilang kalau aku tidak mood belanja, belikan aset atau perhiasan saja. Jadi, suatu hari bisa dimanfaatkan jika ada apa-apa.
Ini demi perputaran uang, katanya.
Para pebisnis memang punya isi otak aneh yang aku tak paham. Karena bagi mereka uang itu harus mengalir, jangan sampai berhenti di satu tempat.
Dengan berbelanja, berarti aku sudah membantunya dalam perputaran uang. Tapi sumpah--daripada barang, aku memang lebih sering beli perhiasan sejak saat itu. Aku menyimpannya di brangkas khusus pemberian Mile. Ada kunci, sertifikasi kepemilikan, dan lain-lain. Namun dia hanya geleng-geleng, saat memberikan saran lain: ganti fasilitas saja, jika sedang ingin.
"Apa? Mobil baru? Tidak mau, Phi. Porsche dari Anda saja umur 5 bulan," kataku. "Saya juga jarang pakai kok. Masih terlalu bagus untuk diganti ... atau m-mungkin nanti kalau lewat 2 tahun? Koleksi juga tidak bagus, kalau cuma dipajang."
Mile hanya senyum-senyum mendengar perkataanku, lalu dia pergi begitu saja dan kembali kerja.
Pantas dulu biaya operasi Bapak dia bilang "Uang kecil". Karena total prosedur hingga Bapak sembuh pun (mirisnya) masih mahal tas Dior-ku.
Ya Tuhan ....!
"Tapi ini kenang-kenangan yang bagus, tahu. Coba lihat ...." kata Mile pada suatu malam. Kami baru selesai bercinta waktu itu. Aku selimutan, dia duduk. Lalu Mile menunjukkan sebuah kotak kecil dari dalam nakas. Isinya ternyata 3 amplop hasil cicilanku dulu. Uangnya kumal seperti perkataanku, dan totalnya kurang dari 1.200 baht. (*)
(*) 1200 baht sekitar 518.000 ribu.
"Ugh, Phi! Bisa-bisanya masih disimpan ...."
"Eits ...." Mile pun menjauhkan kotaknya dariku. "Ini akan jadi sejarah unik, paham? Apalagi jika usia pernikahan kita sudah perak atau emas ...." katanya sambil mengelus pipiku. "Hal tersebut patut diceritakan. Biar Gabby paham aku tidak main-main denganmu."
Aku pun semakin jatuh cinta kepada suamiku setiap harinya.
Kadang-kadang, aku juga mengintili ke tempat kerja Mile untuk melihat apa yang dia lakukan. Bukan di kantor, bukan. Tapi pabrik, rumah sakit, dan hotel Keluarga Romsaithong. Aku juga mengintip dari balik jendela mobil tanpa membukanya (aku sengaja tak keluar daripada didengki teman-teman kuli-ku), tapi mengejutkan juga membaca plang di depan kontruksi hotel Huahin yang pernah kugarap dulu.
Tulisannya adalah "NATTAROLIE HILLSIDE HOTEL" yang digabung dari namaku "Nattawin" dan Gabbirolie" pertanda kami berdua adalah bagian terpenting dari Mile Phakphum. Tapi kenapa tidak pernah didiskusikan denganku? Andai aku tidak keluar pun takkan pernah tahu.
"Lihat itu Momo. Apa aku perlu membeli rumah kucing untukmu? Nanti pasti kutempeli namamu di sana seperti yang Mile lakukan."
"Meooowwww ...." sahut Momo, si kitten hitam yang sejak tadi kupangku. Dia pun kembali tidur sebagaimana Kimi meringkuk di jok samping. Lalu kami menjemput Gabby bersama-sama.
Mile bilang, soal jemput-menjemput ini boleh kugantikan, asal Gabby tidak diajak main setiap hari. Misal sehari keluar, sehari tidak. Sebab Gabby diwajibkan Mile punya kebiasaan tidur siang demi pertumbuhannya.
"Ayo Kimiiiiiiiiii! Lebih kencaaaaaang!" kata Gabby sambil menarik tali pet Kimi. Samoyed usia 6 minggu itu pun jalan miring-miring di swalayan. Dia belum lancar, tapi ukuran badannya sudah besar dan gemuk.
"Ha ha ha ha. Kasihan lho itu. Taruh di kereta saja seperti biasa."
"Tidak mau! Biar dia jago jalan, Ma! Kimi kan tidur terus di rumah! Ketularan sama Momo, ya ampun! Aissshhhhhh!"
Aku pun membiarkan bocah itu jalan-jalan sesuka hatinya. Kemana pun Kimi pergi, Gabby ikut. Sementara Momo anteng di sebelah belanjaan bertumpuk. Sesekali Gabby tetap kucek agar dia tidak hilang. Aku lanjut memilih buah, tapi jantungku berdebar mendadak.
Ada apa?!
"Gabby?"
Bocah itu sudah tak ada di tempat semula.
Gabby meninggalkan Kimi di sebelah rak-rak KinderJoy, tali-nya lepas. Pertanda sempat ditarik kencang tapi orangnya tak ada.
Aku pun langsung melepaskan apel yang kubawa. Kutinggalkan keranjang, Momo, dan Kimi. Lalu berlari kemana pun arah yang paling mungkin.
Tidak! Tidak!
Jangan bilang ....
"GABBY!"
Napasku seketika tersengal-sengal. Aku panik. Karena rak mana pun yang kutelusuri tidak ada Gabby. Sempat aku menepuk bahu seorang bocah yang digandeng wanita. Kukira Gabby, ternyata tidak sama sekali.
Hanya warna jaketnya yang mirip!
"GABBY!"
Ibu bocah itu pun melotot kaget ke arahku. "Eh? Bukan, ya. Ini anak saya, Aaron," katanya sambil menarik tangan si mungil.
Aku pun berdebar kencang karena wajah si bocah memang berbeda. Keningku berkeringat, aku kacau, dan keramaian di sekitar seketika memusingkan di kepala.
Oh, Tuhan. Jangan sampai Gabby diculik!
Tidak bisa ... tidak mungkin ....
Mile pasti akan marah besar padaku ....!
"GABBY!!!"
Tiba-tiba saja ada pengumuman anak hilang dari speaker swalayan. Aku refleks mendengarkan, tapi ternyata itu bukan Gabbirolie.
[Dimohon untuk segera datang ke tempat pengawasan kami untuk wali saudari Aze, tinggi 110, usia 8, gender perempuan, dan ciri-cirinya menggunakan baju--]
Aku pun tidak lagi mendengarkan kelanjutannya. Itu hanya buang-buang waktu. Bahkan Momo dan Kimi saja kutinggalkan, sebab bagiku Gabby lebih penting daripada apa pun. Aku pun hampir menangis. Hingga kutemukan sebelah sepatu jatuh di sisi kanan tempat sampah parkiran.
"Ini jelas-jelas sepatu Gabby, pasti! Aku sendiri yang mengenakan!" kataku. Lalu toleh kanan-kiri demi memperkirakan pelakunya lewat mana.
Kanan!
Entah benar atau tidak, kakiku pun ikut insting saja. Aku juga mengeluarkan kunci demi siap-siap masuk mobil. Langkahku cepat. Hingga aku yakin si pelaku sudah keluar dari parkiran.
Terbukti kali ini permen lolipop Gabby yang jatuh di gerbang. Aku juga terkejut karena sempat ada teriakan "Mama!" dari jauh. Lalu segera keluar demi membuntuti mobil yang mencurigakan. Kutoleh-toleh si pengemudi berwajah datar, dia belok kabur. Lalu Peter kubentak lewat ponsel sambil putar balik.
"IYA! TOLONG! MOMO DAN KIMI DIJEMPUT DULU PLUS CEK CCTV-NYA! PASTI ADA! PASTI! CEPAT AMBIL BUKTI, SAYA KEJAR DULU ORANGNYA!"
Suara Peter pun langsung terbata-bata. "B-Baik, Tuan Natta! Dimana?!"
"ICON-SIAM! DAERAH KHLONG SAN! MASIH DI SEKITAR BANGKOK! CEPAT!"
Aku pun melempar ponsel ke jok sebelah begitu menginjak gas. Lalu kecepatan mobil kutambah diantara ramainya jalan. Nyaris macet, malah. Tapi maaf, jika soal medan aku ini termasuk ahlinya. Maka jangan sepelekan putaranku kalau cuma merevolver mobil. Truck gandeng saja bisa aku kendalikan, apalagi menyaingi lelaki ini?!
BRENGSEK!
KAU BELUM TAHU BERURUSAN DENGAN SIAPA!
"BERHENTIIIII!" teriakku dari belakang.
Mobil sedan itu pun kuklakson berkali-kali. Dia makin kencang. Jadi kesimpulannya tak ada pilihan, kecuali menghentikannya secara paksa. Mau jungkir balik terserah! Aku pun segera mengejarnya dengan menabrakkan bemper berkali-kali. Sebab belum ada cara lain untuk menyalip kendaraan lain di sekitar sangking padatnya--brakh! Brakh!
Aku yakin si pengemudi sempat mengumpat di depan sana. Dia jengkel. Tapi memang tidak ada Gabby yang terlihat. Mungkin anakku sudah dibius atau. Jadi bisa kubayangkan bocah itu tertidur di jok belakang.
BRRRRRRMMMMMMM!
"BERHENTI SEKARANG, BODOH! KAU ITU SUDAH KETAHUAN, DASAR BAJINGAN TENGIK!" teriakku sambil memukul-mukul setir. Kami pun kejar-kejaran lagi saat jalan lebih leluasa. Kami masuk tol. Tapi dia tak kurang akal meski punya kualitas mobil rendah.
Pria ini sengaja menyenggol mobil angkutan telur hingga serong memepetku. Dua keranjang jatuh. Lalu telur-telurnya berpecahan di kaca depan. Mau tak mau pandanganku pun kabur sebentar, aku segera mengaktifkan pembersih kaca. Tahu-tahu mobil sedan itu sudah jauh di depan.
"TIDAK! TIDAK! KEPARAT KAU AKU BELUM MENGHAPALKAN NOMOR PELATMU!" teriakku frustasi sendiri.
Aku pun memburu lelaki itu meski jalan tol berubah jadi medan pertempuran kami. Dia belok lagi. Malah sekarang masuk gang kecil yang sama sekali tidak sampai di otakku!!
Lelaki itu pun membuatku putar balik lagi. Kejauhan! Lalu mobilku menyusul diantara lorong warna-warni itu. Ada banyak grafitti di dalam sana. Kanan kiri kotor, dan ini sudah seperti wilayah rahasia tak beres.
"Siapa dia sebenarnya?! Orang jahat?! Penculik biasa?! Penjual anak-anak?! Oknum organ?! Suruhan orang?! Aku benar-benar tidak habis pikir!" batinku resah kemana-mana.
Apapun itu, dia pasti tahu Gabby anak orang kaya. Karena caranya membawa Gabby seperti direncanakan. Mungkin selain obat bius dia juga membawa senjata. Jadi pemikiran itu kugunakan sebagai alasan berhati-hati, meski aku tahu yang barusan hanyalah spekulasi.
SRAAAAAAKKKKKHHHHHH!
"GABBY!"
Antara lega dan tidak, aku pun senang karena mendadak mobil itu berhenti di jalur buntu. Si pengemudi juga langsung mematikan mesin. Dia diam, sementara aku segera keluar memburu malaikat kecilku di dalam sana.
"GABBY, INI MAMA!" kataku sambil berlari ke arah mobil.
Namun, baru saja beberapa langkah. Suara geraman motor-motor lawas mendadak muncul di sekitarku. Mereka keluar dari persembunyian masing-masing dengan putaran debu di udara. Aku di-gas dari segala arah, dan wajah-wajah bertato itu pun tertawa dengan kencangnya.
BRMMMM!! BRRMM!! BRRRRM!!
BRRRRMM!! BRRMM!! BRMMM!!
"HA HA HA HA HA HA HA HA!"
"HA HA HA HA HA HA HA HA!"
"PANCINGANNYA BERHASIL!
"TARGET SUDAH DIDAPAT!"
"HA HA HA HA HA HA HA HA!"
"AKU TULANG LENGANNYA!"
"AKU KAKINYA!"
"AKU MAU MERUSAK WAJAHNYA SAJA!"
"HEH, JANGAN DULU! DIA MANIS! LEBIH BAIK KITA PAKAI LUBANGNYA DULU BARU HANCURKAN TENGKORAK DIA!"
.... oh, begitu ya rupanya.
Berarti mereka tadi sengaja ....
Aku pun sadar Gabby hanya dibekap sedari tadi. Dia tidak dibius. Karena di jok belakang ada wanita yang perlahan duduk dari persembunyian.
"Mama!" teriak anakku yang muncul dengan wajah merah. "Mama!! Hiks ... hiks ... Mama! Please save me! MAMA!" Gabby pun meraung kencang di pelukan tersebut. Jari jemari mungilnya mencakar kaca, dan air matanya berjatuhan terus menerus. "MAMA--!!"
BRRRRMMMMMMM!!
"SERAAAAAANNGGGGGGGGG!"
Bersambung ....