"Luke, mau ke mana kau?" Brade bertanya pada putra semata wayangnya. Ia mendapati Luke keluar dari Istana Emas mengenakan seragam latihan yang dilapisi jubah.
"Berlatih," singkat Luke, tanpa melakukan kontak mata dengan sang penanya.
"Mengapa kau masih berlaku dingin padaku? Bukankah aku sudah mengabulkan permintaanmu?"
Luke mengabaikan Brade---menganggap perkataannya masuk ke kuping kanan dan keluar ke telinga kiri.
"Termasuk, menggabungkan pesta perayaan kedewasaan dengan pesta kemenangan. Tidakkah kau tahu hal itu cukup sulit?" imbuh Brade.
Luke menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menatap ayahnya. "Apakah Ayah lupa apa saja yang Ayah telah lakukan padaku?"
Brade mengatupkan mulut. Ia tak menyangkal kenyataan dalam ucapan Luke.
"Kalau Ayah ingat sebaiknya jangan pedulikan aku."
Luke meninggalkan Brade termangu di tempatnya berdiri.
***
Luke keluar dari gerbang istana--- melanggar peraturan dan menerobos penjagaan yang ketat. Ia berkeliaran sendiri ke ibukota, kemudian memasuki kawasan hutan wilayah selatan---hutan terpencil yang cukup jauh dari jangkauan penduduk. Di dalam hutan itu, terdapat pondok pelatihan berpedang.
"Anda datang lagi, Yang Mulia?" tanya seorang pria berambut putih panjang di tanah lapang.
"Ya, Guru. Aku ingin memburu monster sebanyak mungkin. Jadi aku harus rajin berlatih," jawab Luke, sembari memamerkan pedang kebanggaannya.
"Bukankah Anda sudah menguasainya? Bagi Anda, memusnahkan monster itu semudah membidik seekor kijang."
Luke tertawa kecil. Ia mengetes ketajaman pedangnya ke batang pohon. "Sebagus apapun kemampuanku sekarang, aku harus terus mengasahnya. Bukankah logam besi nantinya akan berkarat jika terus dibiarkan?"
Pria tua yang juga pelatih berpedang itu terkikik sambil mengelus jenggotnya. Ia berkomentar, "Anda mengatakan kalimat yang saya katakan saat Anda seusia Rowena."
Rowena adalah cucunya yang baru saja mendaftar ke akademi sebulan yang lalu. Tahun ini, ia berusia 13 tahun.
"Tentu aku mengingatnya. Perumpamaan itu diucapkan Guru ketika aku malas latihan karena merasa sudah pintar," tutur Luke, yang kemudian mengayunkan sebilah pusakanya cepat.
"Itu bagus. Tapi, tidak biasanya Anda seambisius ini."
Luke menghentikan pedangnya. Sesaat, konsentrasinya terpusat pada sekarung jerami di hadapannya. Ia bergumam, "Aku ingin mempersembahkan sesuatu kepada calon istriku. Jadi aku harus melakukan yang terbaik."
Kemudian, ditebasnya karung itu hingga isinya berhamburan tersapu angin.
***
Beberapa hari setelahnya, hari perburuan tiba. Para bangsawan dari tuan, nyonya, sampai muda-mudi; berkumpul di lapangan lereng Gunung Alphenus.
Kaisar Brade mengucapkankan pidato singkat mengenai pengesahan event perburuan. Selepas itu, Luke menerima cawan platinum secara simbolis. Cawan itu akan diisi oleh darah binatang yang kemudian dijadikan persembahan kuil.
Pemenang dengan buruan terbanyak akan berkesempatan membawa cawan tersebut ke persembahan. Hal ini diyakini oleh masyarakat setempat agar wilayah gunung terbebas dari para monster.
Lalu, Kaisar Brade menggenggam setangkai mawar biru yang diawetkan selama satu tahun. Mawar itu ditempatkan di dalam wadah kaca bening. Bunga tersebut akan diserahkan kepada sang juara satu. Sang juara akan mempersembahkannya ke seorang Lady sebagai bentuk lamaran atau hadiah yang romantis.
Luke menatap bunga itu lama. Bunga berkelopak biru yang menarik. Di bawah mahkotanya, terdapat tangkai yang dipenuhi duri. Bunga yang indah, namun sulit didapatkan. Bahkan untuk sekadar menyentuhnya saja orang harus berhati-hati agar tidak tertusuk durinya.
Bunga itu mengingatkannya pada Senika. Sudah dua minggu lamanya Luke tak berjumpa dengannya. Terakhir kali bertemu ialah saat mereka mengukir kenangan bersama di Roem.
"Hah," desah Luke.
Pria itu merindukan sosok Senika yang menarik dan misterius. Tiap kali ia mendekat, gadis itu terus menghindarinya. Namun, ketika Luke membiarkannya sebentar, hati Senika mulai terbuka perlahan.
Luke mendengkus. Sungguh, bayangan sosok Senika terus berputar di dalam angannya. Setidaknya, ia ingin menghirup aroma Senika saat ini juga. Aroma parfum bunga lembut yang memabukkannya dengan sekali hirup.
"Senika, kau membuatku gila, kau tahu?"
Luke terus membenahi seragamnya yang sudah rapi.
"Aku ingin memilikimu sekarang juga. Tapi kau akan membenciku kalau aku memaksa. Kau itu wanita yang benar-benar sulit."
Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia begitu ingin memiliki Senika. Ia ingin menjatuhkan Senika ke pelukannya, merengkuh Senika seharian, dan mengurungnya agar tidak ada siapapun yang dapat melihatnya.
Namun, ia tidak bisa merealisasikan kemauannya. Senika tidak akan suka jika Luke melakukannya.
Maka dari itu, Luke berusaha keras untuk bersabar dengan mendekatinya secara perlahan. Tapi sesungguhnya, perasaan Luke sudah berkobar layaknya api di dalam dadanya.
Luke merogoh sakunya. Ia mengeluarkan sebuah kotak yang jauh lebih kecil dari telapak tangannya. Dibukanya penutup kotak biru itu sampai nampak sebuah cincin indah. Cincin yang terbuat dari emas putih murni. Emas itu bertatahkan berlian bening biru laut yang senada dengan warna mata Senika.
Luke tersenyum lembut, membayangkan bagaimana reaksi Senika saat dirinya menunjukkan cincin itu ke hadapannya.
Apakah dia akan terperangah? Panik? Ketakutan?
Ataukah seperti biasanya? Marah-marah dengan nada jengkel?
Apapun itu, Luke sudah siap menerima resiko. Entah dia menolaknya atau tidak, ia tidak peduli. Pria berseragam hitam itu akan terus mengejarnya sampai dia menerimanya.
"Yang Mulia?"
Willford menghampiri Luke yang sedang bersandar di batang pohon.
Lantas, Luke menutup kotak di tangannya. Ia kembali menyembunyikan benda itu ke dalam sakunya. "Ada apa, Willford?" tanya Luke.
"Lady Chester mencari Anda."
Mendengar nama pujaan hatinya, Luke langsung menegapkan badan. Ia pun menarik kedua ujung bibirnya. "Dimana dia?" tanyanya antusias.
"Di parkiran kereta kuda."
Luke kegirangan dalam hati. Kabar kedatangan Senika mengalihkan dunianya sekalipun gadis itu datang terlambat. Secepat kilat, Luke bergegas menuju ke tempat yang disebutkan.
***
Di parkiran, seorang gadis berambut biru tua berdiri membelakangi kereta kuda berlambang garuda emas. Paras gadis itu tetap menggoda dengan dandanannya yang natural. Ia mengenakan gaun era victoria klasik dengan warna pastel. Penampilannya nampak sempurna sebagai seorang Lady.
Berbeda dengan tampilannya, raut wajah gadis itu terus berkerut. Matanya menegang, alisnya menaut. Sedari tadi, dirinya mondar-mandir sambil membawa jaket. Orang-orang akan beranggapan bahwa gadis itu sedang gelisah mengenai sesuatu.
"Senika!" panggil Luke dari kejauhan. Ia berlari menghampiri gadis itu.
Gadis itu hanya tersenyum tanpa membalas panggilannya.
"Akhirnya kau datang juga. Aku menunggumu!"
Tanpa ragu, Luke mendekap gadis itu. Ia melepaskan rindu yang menumpuk di dadanya selama berhari-hari.
Luke memeluknya selama hampir satu menit. Namun, intuisinya mengatakan ada suatu keanehan. Senika sedaritadi bungkam. Dari mimiknya, ia nampak gelisah. Ia juga tak menolak pelukannya. Biasanya, Senika akan langsung melawan dan mendorongnya.
Lalu, indra penciuman Luke mendeteksi adanya aroma yang berbeda dari Senika. Aroma parfum buatan sedang menusuk hidungnya. Apakah dirinya adalah Senika yang dinanti Luke?
"Senika?"
Akhirnya Luke melepaskan pelukan itu. Ia melirik gadis yang dirasa asing baginya.
"Katakan padaku. Apa kau benar Senika?" Luke memastikan.
Di matanya, Senika bukanlah Senika yang ia kenal. Namun gadis itu masih membawa jaketnya. Artinya ... dia Senika bukan? Tapi mengapa ... mengapa perasaannya tidak enak begini?
Gadis itu menyodorkan selipat jaket cobalt-nya. Detik ini, lengannya gemetar hebat. Dan bukannya terganggu dengan kehadiran Luke, ia malah menggelapkan wajahnya. Parasnya yang cantik luntur karena air mata yang mengalir begitu saja.
Dengan berat hati, gadis itu berkata, "Maaf, Yang Mulia. Senika menitipkan ini padaku."
Luke membengong dengan tatapan kosong. Barusan, sepertinya ia salah mendengar sesuatu.
"Apa?"
Luke kembali bertanya, memastikan tuturnya barusan tidak salah.
"Senika ...." lirih gadis itu, "Senika pergi dari rumah!"
Seketika, suara tangisan pecah--- membuyarkan keheningan di antara mereka. Gadis itu adalah Serena, yang dimintai tolong Senika perihal titipan jaket. Serena tak tahan dengan kenyataan yang menyesakkan dadanya. Ia melanjutkan tangisannya hingga tersedu-sedu.
"Apa ... apa katamu?"
Luke mengantap gusar. Tatapan kosongnya beralih menjadi tatapan nanar. Ia mengepalkan telapak tangan hingga kuku jarinya melukai dagingnya sendiri. Cairan kental merah dari luka itu menetes membasahi bumi---yang menjadi saksi atas keguncangannya.
Serena tidak menjawab. Kakinya sudah tidak mampu ia gunakan untuk berdiri. Kakak kembar dari Senika itu berjongkok sembari melanjutkan isakannya.
Luke meringis miris. Dunia begitu kejam memisahkan dirinya dengan Senika. Dalam hati, ia berteriak.
Senika, apa yang sebenarnya kau lakukan?!
***