Lima tahun yang lalu
Pada peralihan musim gugur, Senika telah berpisah dengan Louis ketika ia berpartisipasi pada perang Alberian. Rasa kehilangan yang menyelinap mengembalikan kehampaan di dalam hatinya.
Walau tiada lagi teman di sampingnya, Senika tetap berupaya mengisi kekosongan tersebut dengan menyusun jadwal yang padat. Ya, ia menyibukkan diri untuk membangun rencana awalnya; yaitu mengembangkan bisnis permata dan melanjutkan penelitian.
Satu musim gugur telah berlalu, berubah menjadi musim dingin. Musim yang khas dengan salju dan kristal es itu membuat orang-orang menetap di bawah atap rumah mereka ketimbang keluar.
Pada suatu petang di dekat perapian, Senika melakukan rutinitasnya, yaitu belajar sembari menyisip cokelat panas.
Brak!
Setumpuk buku tersenggol siku kecilnya, hingga buku-buku tersebut berserakan di lantai.
Berusaha membereskan kekacauannya, Senika menjumput beberapa buku dan meletakkannya ke rak meja tulis.
Dan ... kala ia menyentuh benda yang terakhir, terpampang nyata sebuah buku besar bersampul merah yang kertasnya sudah lapuk termakan debu.
Buku tersebut adalah buku besar dengan aksara kuno yang dahulu pernah ia baca. Buku di mana ia menemukan informasi mengenai elixir biru dan khasiatnya.
Mengangkat buku berat itu, Senika mencoba mengeja judul aksara kuno yang terukir di sampul. Sekejab, terlintas kepingan ingatan ketika guru dan ayahnya memberikan petuah.
"Seandainya mereka (pihak kekaisaran, peneliti, dan kuil) mengetahuinya, maka ia bisa ditangkap atau dimanfaatkan. Hidupnya akan terkekang selamanya."
"Senika, berjanjilah pada Ayah untuk tidak memakai kekuatan itu. Jangan beritahukan juga pada siapapun!"
Peringatan itu terus berulang layaknya kaset tip yang berputar-putar. Membayangkan hal besar apa yang akan menantinya, tiba-tiba teringat olehnya sesuatu yang penting.
"Astaga!"
Baru ia sadari, satu-satunya manusia---selain Orwen Chester--- yang mengetahui tentang kekuatan sihirnya adalah ... Ferona Yelene--- gadis super aneh yang sempat ia lupakan keberadaannya.
Gadis itulah yang memberitahunya bahwa ia memiliki kekuatan sihir. Selain memberikan "hadiah" liontin elixir biru, ia juga menginginkan Senika menjadi temannya.
Mengapa? Apa tujuan Ferona memberitahukan Senika tentang sihir itu?
Sebenarnya, Senika lebih merasa curiga ketimbang ingin tahu.
"Jika Anda butuh sesuatu, Anda bisa mengirim surat!"
Seketika, Senika bangkit dari bangkunya. Dengan cekatan, ia masuk ke bilik lemari pakaian.
Selesai berganti mantel yang pas, Senika melemparkan koin perunggu ke arah jendela.
"Saya siap menerima perintah," ucap Erthen, begitu menampakkan diri di depan Senika.
"Ya, Erthen. Persiapkan kereta kuda!"
***
Di langit yang berselimut awan kelabu, Senika dan Erthen menembus hutan yang tertutup salju. Tiada yang menerangi jalanan yang berkabut selain lentera mini yang menggantung.
Selepas melalui perjalanan yang cukup panjang, Senika menapakkan sepatunya di depan gerbang sebuah kediaman. Akhirnya, dirinya sampai ke mansion Marquis Yelenne.
Walau tak sebesar mansion milik Duke Chester, mansion tersebut tampak bersih dengan kebun yang bebas dari gundukan salju tebal.
"Siapa yang datang begi---, oh!"
Memandangi gadis kecil termangu di depan pintu, Marquis membuka mulutnya lebar-lebar. Secepatnya, ia mengganti air muka terganggunya dengan wajah sumringah.
"Selamat datang, Nona Muda Chester!" sambut Marquis dengan senyum lebar.
"Ya, Marquis. Maaf mengganggumu."
"Tidak apa! Silakan masuk dulu! Di luar begitu dingin."
Begitu tiba di dalam, pelayan Marquis meletakkan mantel Senika di tiang gantung.
"Mari!"
Senika mengikuti ke mana arah Marquis menuntunnya. Selagi mereka berjalan, deretan lukisan seolah menyambut kehadiran Senika bagai pagar betis. Lukisan tersebut adalah potret lukisan keluarga Yelenne yang memenuhi koridor.
Sekilas, ruangan dan perabotan mansion ini memang biasa saja. Namun, terdapat satu kejanggalan pada perasaan Senika.
"Marquis, di mana kah foto dari ... putri sulung Anda?"
"Oh, anak itu?"
Marquis menggerakkan manik hijaunya ke atas. "Aku menyimpannya di ruang kerja," katanya.
"Begitu."
Setelah koridor berakhir, mereka tiba di ruang tamu. Marquis membawa Senika ke ruang tamu bagian dalam karena di sana terdapat perapian yang menghangatkan.
"Jadi ... ada keperluan apa Anda datang ke sini?" tanya Marquis.
"Aku berkunjung karena ingin menemui putri Anda. Bisakah aku bertemu dengannya?"
"Terima kasih atas perhatian Anda, tapi putri saya sedang tidur."
"Oh, benarkah?"
Marquis mengangguk dengan sopan.
"Sayang sekali. Kalau begitu, aku akan bertamu lain kali."
Senika menegapkan tulang belakangnya. Ia bersiap berbalik ke koridor. Kala tangannya mencapai mantel biru di tiang gantung, sesuatu menghentikan gerakan Senika.
Prang!
Nyaring bunyi kaca pecah mengetarkan setiap pasang telinga---membuat Senika otomatis memutar tubuh.
Begitu hadapnya tertuju ke belakang, sepasang matanya menangkap sosok Marquis yang buru-buru menghilang.
Kejanggalan terus membesar, bersamaan dengan misteri yang berubah menjadi pertanyaan. Mencoba mengatasi kejanggalan, Senika mengurungkan niatnya untuk pulang.
Ia tahu betul bahwa sikapnya ini sama sekali tidak sopan. Namun, rasa penasaran mendorongnya untuk kembali ke ruangan---sekadar mengecek apa yang sebenarnya terjadi.
Plak!
Kini, giliran bunyi tamparan yang mengusik gendang telinga Senika. Bunyi tamparan itu membuat bulu kuduknya berdiri---membayangkan betapa sakitnya orang yang mendapatkan tamparan itu.
"Kau memecahkan botol parfumku?!" bentak Marquis kepada seseorang.
Segera, Senika menyembunyikan dirinya di balik dinding.
"Maaf, Marquis," ucap seorang gadis kecil, menggunakan intonasi datar.
"Berapa kali kubilang, JANGAN SENTUH BARANG-BARANGKU!"
Gadis kecil itu menunduk---menurunkan geraian poni jingga yang menutupi dahinya. Ia meluruskan bibir keringnya yang tidak lagi merah muda. Ya, dia adalah Ferona Yelenne, gadis kecil yang katanya sedang tidur.
"Nona, bukankah seharusnya kita---"
"Ssst!" desis Senika, menahan Erthen yang mengintil di belakangnya.
"Tapi ... botol itu telah kosong," lirih Ferona, mengelus pipinya yang masih berbekas oleh rasa nyeri.
Seketika, Marquis menjambak rambut ikal Ferona.
"Sekarang berani melawan?!"
"Umhh!"
Gadis itu memejamkan mata, menahan perih akar mahkota kepalanya yang hampir lepas. Kepalanya bergerak ke sana kemari mengikuti arah tangan Marquis membawanya.
"Kau itu berisik, ya? Semua benda yang ada di ruanganku adalah milikku. M-I-L-I-K-U. Mengerti?!"
Gadis itu mengangguk pelan.
"Bagus! Sekarang kembali ke kamarmu!"
Namun, ia masih terdiam di lorong. Ia tak mengindahkan perintah ayahnya.
"Kubilang kembali ke kamarmu!"
Masih dengan posisi yang sama, ia tidak bergerak satu inchi pun dari lantai tempatnya duduk.
"Jangan bilang kau akan melakukan hal aneh lagi di gudang itu?!"
Gadis itu tidak menolak maupun mengiakan. Ia hanya menatap lantai dengan sorot mata kosong.
"Kau ini mirip dengan ibumu, ya! Yang kau kerjakan hanya merapal mantra seperti penyihir jahat. Masuk ke kamarmu atau aku akan membakar benda-benda aneh yang kau kumpulkan itu!" ancam Marquis yang berada pada puncak amarahya. Kedua matanya berapi-api dengan aura iblis yang kokoh.
Pada akhirnya, Ferona pun
berdiri sambil menyapu debu yang menempel pada gaun tidurnya.
"Pergi!"
Sekali lagi, Marquis membentak dan mendorongnya layaknya budak yang tidak berguna.
Pelan-pelan, gadis itu masuk ke kamarnya.
Sementara Senika menajamkan mata saat melihat situasi. Puzzle-puzzle yang ia kumpulkan semakin lengkap dengan kejanggalan tadi.
Ada yang tidak beres dengan Keluarga Yelenne. Meskipun susunan puzzle belum sepenuhnya lengkap, ia memutuskan untuk kembali ke teras sebelum Marquis Yelenne menemukannya.
***
"Nona Senika?"
Erthen bertanya saat mereka berada di kereta kuda. Senika mengangkat alis ketika Erthen memandangnya dengan tatapan ragu.
"Mengapa Anda diam saja?"
Maksud Erthen adalah ... mengapa Senika tidak melakukan apapun saat terdapat penganiayaan?
Setahu Erthen---yang baru sebulanan bekerja bersama Senika, ia mengenalinya sebagai gadis lemah hati yang tidak sanggup membiarkan seseorang ditindas. Apakah perkiraannya salah?
Senika melemparkan senyum tipis pada pria bermata cokelat itu. Dengan yakin, ia menyilangkan kaki dan melipat lengannya. "Kau tahu, Erthen? Kalau aku mengintrupsi mereka berdua saat itu juga, aku tidak akan bisa membantunya."
Erthen mengeryit. Sementara Senika melepaskan tawa kecilnya selama tiga detik. "Mayoritas bangsawan itu sesungguhnya tidak pedulian."
Semakin Senika menjelaskan, semakin Erthen tidak memahami pola pikir Senika. Erthen memang cakap, namun ia tidak begitu memahami sifat para bangsawan, karena ia bukan berasal dari kalangan bangsawan.
"Jika aku mencampuri urusan keluarga orang lain, maka aku akan disingkirkan karena tidak memiliki adab. Terlebih, aku ini masih anak-anak. Pastinya, keberadaanku masih diremehkan meskipun aku merupakan putri sah dari Duke Chester."
Senika mengembangkan senyumnya, lalu mengganti topik. "Erthen, bisakah kau cari tahu mengenai latar belakang Ferona Yelene?"
"Baik, Nona."
Senika pun beralih memandang salju yang berjatuhan dibalik jendela. Sembari melemaskan dirinya ke sandaran kursi, ia mengencangkan mantel untuk menghangatkan diri.
***
Keesokan harinya, Erthen langsung melaporkan apa yang diperintahkan Senika. Ia menyodorkan beberapa lembar rekapan informasi yang ia dapatkan.
"Sungguh, aku bertanya-tanya bagaimana caramu mendapatkan informasi secepat itu." Sambil menerima lembaran kertas, Senika menggedekkan kepalanya.
"Terima kasih pujiannya?"
Senika terkekeh. Lalu, mulai memindai kertas dokumen yang ia pegang.
"Apa yang kau ketahui tentang Ferona?"
"Dia merupakan putri tunggal Marquis. Berusia 13 tahun, memiliki ciri-ciri---"
"Tidak-tidak." Senika melambaikan tangan. "Maksudku rahasia yang jarang orang lain ketahui. Bukan secara keseluruhan."
"Ia merupakan anak haram dari Marquis Yelenne dengan seorang Gipsi. Namun ada satu rumor yang tidak beres yang didapatkan dari pelayan mansionnya."
"Apa itu?"
"Marquis Yelene sengaja menyerahkannya pada petugas keamanan. Katanya, karena wanita itu terus melakukan sihir yang jelas-jelas dilarang kekaisaran. Kemudian, Gipsi itu mendapat hukuman bakar di depan semua orang."
Senika memegang dagunya dan tercenung.
"Dan, sejak kematian ibunya, Ferona terus berada di bawah naungan Marquis."
"Oleh karena itu, dia memperlakukan Ferona dengan sangat buruk?"
"Secara biologis, dia adalah putrinya, tapi dia menganggapnya sebelas dua belas dengan 'tikus pengganggu'."
Senika mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke atas meja. Ia beralih menyatukan jemarinya.
"Sepertinya sedikit sulit jika mengulik masa lalu anak itu. Kalau Marquis Yelenne sendiri, apakah kau sudah mencari tahu tentangnya?
"Saya sudah mengumpulkan informasi secara garis besar. Marquis Yelenne memiliki usaha produksi persenjataan seperti pedang, meriam, crossbow."
"Hmm, begitu."
"Ya."
"Cari tahu lebih dalam lagi! Pasti ada sesuatu."
"Baiklah."
Kemudian, Erthen menyuruh anak buahnya untuk melakukan pengkajian yang lebih mendalam. Pengumpulan data itu menghabiskan waktu selama satu minggu karena mereka sedikit kesulitan. Selesai melaksanakan pekerjaannya, Erthen menyerahkan dokumen yang dibutuhkan kepada nonanya.
"Kerja bagus, Erthen!"
Senika membaca laporannya dengan seksama. Gadis bertulang pipi kecil itu pun menekuk bibirnya ke atas.
"Jadi, apa yang akan Anda lakukan dengan itu?"
Senika merapikan lembaran yang sudah dibacanya. Kemudian, meletakkannya tumpukan kertas itu di meja.
"Pertama, bantu aku mempersiapkan sesuatu!"
***
Beberapa hari kemudian, Senika bersama Erthen kembali bertamu ke rumah Marquis. Mereka pergi dengan dalih ada barang Senika yang tertinggal di mansion.
"Bagaimana jika putra saya mengantarkan Anda berjalan-jalan?"
"Baiklah."
Marquis Yelenne memanggil putra keduanya, Franz Yelenne, untuk datang ke ruang tamu. Ia menyuruh Franz mengantarkan Senika mengelilingi mansion. Tak butuh waktu lama, Senika cepat akrab dengan Franz selagi mereka mengobrol.
"Franz, bolehkah aku bertanya?"
"Ya."
"Apakah kau tahu di mana kamar Nona Yelenne?"
Tidak seperti sebelumnya, Franz tiba-tiba membungkam mulutnya. Ia melirik Senika tanpa mengatakan apapun.
"Franz, aku ingin bertemu Nona Yelenne. Ini hal yang sangat penting."
"Aku tidak tahu apakah ayah akan ...."
"Ayolah, Franz. Sebentar saja."
Senika menurunkan matanya. Kini, ia memasang mimik sedih seperti akan menangis.
"Baiklah, kali ini saja."
Franz kemudian mengantarkan Senika ke tempat di mana Ferona tertidur. Ia berada di paviliun yang jauh dari rumah.
Marquis mengasingkan dirinya di dalam kamar sederhana dengan ukuran 3 x 3 meter. Di sebelahnya, terdapat gudang penyimpanan tempatnya biasa bermain sendiri.
"Nona Yelenne?"
Saat itu, pintu dari dalam kamar Ferona terbuka. Melihat secercah cahaya, Ferona bangkit dari tempat tidur.
"Anda datang ke sini?"
"Ya. Bolehkah aku masuk?"
Senika pun memasuki kamar Ferona setelah dipersilakan, sedangkan Franz yang mengarahkannya berjaga di luar. Franz membatasi waktu Senika supaya tidak ada kecurigaan
Tak mau membuang waktu, Senika segera duduk di ranjang; sementara Ferona berada di sebelahnya.
"Maafkan saya. Kamar ini pasti terlalu sempit bagi Anda."
"Tidak masalah."
Ferona menyodorkan segelas air dan Senika meminumnya.
"Menarik. Di kamar ini, hidup seorang gadis yang cukup cerdas."
Ferona memiringkan kepalanya. "Maksud Anda?"
Gelas yang Senika pegang ia taruh ke meja. "Bukankah kau melakukannya dengan sengaja?"
Gadis berambut jingga itu menggerakkan manik hijaunya ke samping.
"Melakukan?"
"Ah, tidak."
Senika beberapa kali mengamati pintu dan Ferona secara bergantian. Setelah itu, ia mendekatkan dirinya ke telinga Ferona.
"Aku ingin membicarakan hal penting tapi waktu kita tidak banyak. Terlebih, ada banyak mata di sini," bisik Senika terus terang.
Senika pun menjumput selipat kertas dari dalam tasnya. "Dalam waktu dekat, hal yang kau harapkan akan terjadi. Jika sesuatu itu telah terjadi, maka datanglah ke tempat ini! Aku akan berada di sana pada hari Sabtu pukul 9 pagi. "
Toko Pastry Tuille
Jalan Rentville no. 87
Sabtu, 27 Desember 993 TD*
Pukul 09.00 A.M.
"Baik, Nona."
Ferona sedikit penasaran dengan apa yang Senika katakan. Namun, ia cukup menangkap beberapa kalimat yang dimaksud.
Selepas Senika pergi, ia kembali berbaring di ranjangnya. Biasanya, Ferona berlanjut mengotak-atik benda sihir di gudang hingga fajar menyingsing.
Tapi tidak untuk malam ini. Untuk malam ini, ia hanya ingin menutup matanya rapat-rapat---hingga kesadarannya perlahan memudar.
***
*TD: Tahun Kekaisaran Dawnell
Funfact:
- Marquis Yelenne berusaha mengakrabkan Franz dengan Senika, supaya barangkali dia dapat menjodohkan keduanya. Kalau mereka dijodohkan, otomatis Marquis bisa mendapatkan kekuatan keluarga Duke Chester yang dapat membantu bisnisnya.
_________________