"Ayolah, jangan panggil aku seperti itu, Erthen. Aku bukan 'Lady' lagi sekarang," tawa gadis itu.
"Anda terlalu buru-buru. Padahal Black Panther pastinya akan menjaga rahasia Anda dengan aman," tutur pria bernama lengkap "Erthen Haymitch" tersebut. Ya, anak-anak yang ia bawa barusan adalah bawahannya dari grup informan Black Panther.
"Aku melakukannya karena sayembara itu."
Maksudnya, hadiah sayembara yang tergolong besar pastinya sudah mampu membuat orang-orang di seluruh penjuru negeri tergiur. Dua juta koin emas adalah sepuluh kali lipat dari gaji yang didapatkan seorang informan Black Panther setiap bulannya. Bila hal ini dibiarkan, skenario terburuknya, Senika akan tertangkap karena dijebak oleh salah satu anak buah yang termakan ambisi kekayaan.
Meskipun sudah bertahun-tahun menggunakan jasa Black Panther, Senika tetap belum bisa menaruh kepercayaan sepenuhnya terhadap mereka. Selain Erthen dan Ferona, ia tak akan membiarkan seorangpun tahu tentang jati dirinya yang sebenarnya. Hal itu merupakan pertahanan diri untuk mengantisipasi dampak negatif yang terjadi.
"Bagaimana penyamaranku?" tanya Senika kemudian.
"Mungkin saya bisa memberi Anda nilai 6 dari 10? Karena Anda masih terlalu kaku."
Penilaian objektif Erthen membuat Senika mengembuskan napas kasar. Ia pun menaruh pinggulnya ke kursi dan menyilangkan kaki.
"Jadi ... apa kau sudah membawa yang aku minta?"
"Ya."
Pria yang sudah tidak lagi menjadi ajudan itu pun mengeluarkan beberapa dokumen dari tas kotaknya. Sejak Senika menyelesaikan urusannya dengan toko Orion, ia dibebaskan dari pekerjaan lamanya sebagai ajudan. Namun, Erthen tetap menjadi "orang Senika" yang berkontribusi besar dalam setiap rencananya.
"Saya membawa kartu penduduk sipil, akte kelahiran, dan surat identitas," ucap Erthen begitu meletakkan berkas dokumen ke atas meja.
Setelah membuka arsip, Senika mengecek keaslian lembaran itu satu per satu dengan meraba, mengangkat dan menerawangnya. Hasilnya, masing-masing lembarnya telah terdaftar, karena serat kertasnya adalah serat bambu, tinta yang menempel merupakan tinta sihir permanen yang tak mudah luntur.
"Tapi, saya belum bisa mendapatkan surat legal imigran, mengingat kekaisaran memperketat akses imigrasi saat ini."
Menaruh lembaran surat, Senika berkata, "Baik. Ini pun sudah cukup. Terima kasih atas kerja kerasmu, Erthen."
"Omong-omong, kalau boleh saya tahu, bagaimana cara Anda mengubah penampilan seperti itu?"
"Kau bisa menebaknya sendiri," kata Senika, menyisir poni panjang dengan tangan kirinya.
Erthen yang terfokus pada tangan Senika bertanya, "Cincin?"
Sedangkan Senika hanya tersenyum, sembari menyisip minumannya yang belum habis. Ia mengingat-ingat bagaimana ia bisa mendapatkan cincin ajaib itu.
***
Sebelum menyiapkan ruangan rapat, Senika melihat-lihat koleksi benda sihir Ferona. Benda-benda itu Ferona kumpulkan di rak dan peti khusus dalam gudang vila.
Sebenarnya, vila yang ditinggali Senika ini merupakan salah satu aset keluarga Marquis Yelenne. Namun, karena Marquis dan Marchioness Yelenne yang lama sudah dipenjara, vila itu menjadi salah satu aset mereka yang tak terurus.
Memanfaatkan kesempatan kala itu, Senika meminta Ferona meninggali vila untuk sementara waktu. Itulah sebabnya koleksi benda sihir Ferona masih tertinggal di sana.
Sesekali, Senika menemui Ferona untuk mempelajari sihir dasar di wilayah Arentel.
Kemudian, kala Senika sudah mampu menghasilkan uang sendiri, ia membeli vila yang ditinggali Ferona dan beberapa rumah lainnya.
Vila dan rumah-rumah inilah yang sudah dipersiapkan Senika dalam rencananya untuk melarikan diri.
"Ferona, adakah benda sihir yang bisa mengubah total penampilanku?" tanya Senika. Ia melirik deretan benda-benda sihir di rak khusus sisi kiri.
Ferona menyeringai sambil memandang Senika dengan kagum. "Setelah sekian lama mengenal kepribadianmu, akhirnya aku bisa menebak apa yang kau pikirkan. Kau mau memalsukan keberadaanmu, bukan?"
Selagi membalikkan jam pasir di rak kayu, Senika membalas, "Yah, kau tahulah."
Ferona melipat lengan dan menutup kedua matanya. "Aku tidak punya yang seperti itu."
Mendekatkan dirinya ke sebuah peti yang berdebu, Ferona mengobrak-abrik benda-benda yang ada di dalamnya.
"Tapi aku punya ini," kata Ferona, begitu dirinya menyodorkan sebuah cincin bermata batu giok hitam.
Sementara Senika menatap lama benda asing di telapak tangan Ferona. "Cincin?" tanyanya ragu.
"Ya, itu adalah cincin giok neagră."
"Cincin apa itu?"
"Cincin perantara untuk membuat ilusi."
"Hah?" desah Senika.
Jujur saja, Senika merasa aneh dengan benda kuno yang baru saja dilihatnya. Pada kehidupan Senika yang sebelumnya, cincin itu nampak sebelas dua belas dengan cincin batu akik yang dijajakan pria tua di pinggir jalan. Hal itu membuatnya geli dan merinding, membayangkan bapak-bapak pengoleksi batu akik mengenakan cincin tersebut dengan bangganya.
"Gunakan cincin ini dan alirkan manamu ke dalamnya. Maka, bentuk wajah sampai tubuhmu akan berubah menjadi apa yang kau bayangkan. Memang tidak bisa mengubah diri seutuhnya, tapi kita bisa menipu orang lain dengan ilusi yang kita inginkan," jelas Ferona.
Senika masih segan untuk mengambil benda itu. Apakah cincin neagră benar-benar bisa digunakan?
"Bukankah itu cukup berbahaya?" tanya Senika.
"Tidak juga. Jika seseorang memiliki kekuatan sebesar milikmu, maka ia akan dapat dengan mudah memanfaatkan benda sihir menengah seperti ini."
Senika memeluk lengannya seraya memundurkan diri. "Itu tidak mungkin bagi tubuhku yang lemah. Bahkan aku baru bisa mengendalikan air setelah belajar satu tahun."
Ferona menggelengkan kepala dan mendengkus. "Akan kuberi tahu satu rahasia tentang dirimu," tuturnya.
"Kau sebenarnya memiliki kekuatan yang besar. Tapi, karena seseorang menyegelnya, kau hanya bisa menggunakan sebagian kecil dari itu."
"Kau pasti hanya beromong kosong."
"Aku serius!"
Senika mengembuskan napas pelan. Ia pun merebut cincin dari tangan Ferona dan berkata, "Baiklah, aku akan mencoba menggunakan ini."
***
Kini rencana Senika tersusun dengan utuh. Tadinya ia hanya berencana berpura-pura menjadi laki-laki dengan memotong rambutnya. Namun, jika ia memikirkan ulang hal itu, ia memiliki tubuh yang benar-benar ramping seperti seorang wanita. Parasnya juga sama persis dengan Serena, sehingga orang-orang akan gampang mengenali dirinya.
Akan tetapi, ia tak perlu repot seperti itu, karena adanya cincin pemberian Ferona. Sungguh, ia merasa beruntung mendapatkan benda untuk mengubah identitas dengan sempurna.
"Walau begitu, ini sedikit sulit."
Senika mengetuk-ngetukkan jari telunjukknya ke meja. Setelah itu, ia melepas ikat rambutnya dan berlalu.
"Aku perlu bersabar lagi."
***
Sementara itu, di kediaman Duke Chester ....
"Br*ngsek!"
Umpatan itu datang dari seorang gadis bangsawan berparas cantik. Ia berhadapan dengan seorang wanita yang mengenakan cincin berbatu giok hitam dan seorang pria yang membawa wanita itu datang ke mansion Chester.
Satu menit yang lalu, wanita itu benar-benar mirip dengan Senika. Namun, setelah sihirnya yang lemah menghilang, ia berubah wujud menjadi gadis biasa dengan wajah kusam.
"Bisa-bisanya kau menipuku menggunakan cincin murahan ini! Kau benar-benar meremehkanku ya!"
"Nona, saya---"
"Penjaga!" seru Serena.
"Laporkan penyihir ini ke petugas keamanan! Pastikan mereka dipenjara karena telah menipu Keluarga Chester!"
Lolongan minta ampun terus menggema ke dalam ruangan. Tapi, rasa iba sama sekali tak melemahkan hati seorang Serena. Ia hanya berpikir, berani-beraninya mereka mencoba membohonginya.
Haruskah Serena kembali menyebarkan rumor tajam tentang dirinya, sehingga orang-orang akan ketakutan?
Tidak. Serena terlalu malas untuk melakukan hal itu.
Walau begitu, mereka cukup beruntung tidak dijadikan sasaran olehnya. Sebab, Serena sudah bertekad tidak akan menyiksa orang lain lagi.
"Hah! Kepalaku benar-benar sakit."
"Nona, bagaimana bila Anda beristirahat?"
"Tidak usah!"
Serena pun bangkit dari sofa, kemudian buru-buru menjauhi Carol yang berdiri di belakangnya.
"Buatkan saja teh buah persik. Aku akan pergi ke gazebo!"
"Baik, Nona."
Sembari berjalan, wajah Serena tampak kusut seolah ia sedang berpikir keras.
Aku perlu cara lain untuk mempercepat pencarian.
Anehnya, orang pertama yang muncul pada bayangannya adalah Luke Carlyle. Sebesit ide pun terlintas dari benak Serena.
Benar. Aku bisa memanfaatkannya.
Selagi duduk di bangku gazebo, ia meminum teh yang baru saja diseduh oleh Carol.
***
"Kami sudah menyelidiki apa yang ada di toko Orion dan tidak ada jejak apapun. Katanya, direktur utama yang lama sudah mengundurkan diri satu bulan yang lalu."
Brak!
Luke memukul mejanya hingga membuat sang pelapor terlonjak kaget. Menyisir rambut pirangnya yang semakin panjang, Luke menahan emosi dengan menggigit bibir bawahnya.
"Terakhir kali mereka berjumpa adalah saat rapat darurat bulan Agustus untuk pembagian saham kepemilikan direktur utama (Lady Senika)."
Semakin mendengar perkataan tersebut, semakin Luke menggertakkan giginya dengan geram. Tidak ada perasaan lain selain emosi yang membara di dalam hatinya.
Bahkan ketika Luke mengetahui toko rahasia Senika pun ia tak dapat menemukan apa-apa dari informasi itu. Sungguh, Senika benar-benar menyapu bersih jejaknya tanpa terlewat satu pun.
'Jadi kau sudah lama merencakan ini?' tanyanya dalam hati.
Tangan Luke terus mengepal hingga kuku jarinya memperdalam bekas luka telapaknya. Ya, kebiasaan Luke akhir-akhir ini demikian bila sedang marah. Sebab, ia sudah mengurangi kebiasaan lamanya menghancurkan barang-barang. Selain menambah beban pekerja, ia juga harus menambah pengeluaran anggaran.
"Yang Mulia, saya minta maaf bila bertanya. Jadi, apakah Anda ingin saya melanjutkan?"
"Sudah cukup. Kau boleh keluar."
"Baik, Yang Mulia."
Sang pelapor membungkukkan dirinya, sebelum membuka pintu ruang kerja dari putra mahkota.
Bam
Menarik napas dalam-dalam, Luke memandang dunia yang terbentang di balik jendela. Mentari yang mulai terbenam masih memancarkan sinar hangatnya. Aktivitas para pekerja di istana pun berjalan seperti hari-hari biasanya. Hanya dirinya lah yang terus berada di titik yang sama.
Ceklak
Pintu kembali terbuka, namun kali ini bukan sang pelapor yang baru saja keluar, melainkan Willford yang sedang membawa senampan surat berstempel garuda.
"Mohon maaf mengganggu, Yang Mulia. Ada kiriman surat dari kediaman Duke Chester untuk Anda."
"Kemarikan surat itu!"
Luke langsung menyambar amplop begitu nampan emas berada di hadapannya. Ia pun membuka dan membaca isi dari surat tersebut.
Sudah beberapa minggu berlalu. Namun, tidak ada yang datang selain penipu ulung yang mengaku sebagai adik saya.
Yang Mulia, adakah hal yang Anda temukan?
Saya memohon bantuan Anda bila memang belum.
Setelah saya berjumpa dengan adik saya nanti, saya tidak akan melupakan perjanjian kita.
Selain permintaan rahasia Anda, kediaman Chester juga akan memberikan apapun yang Anda inginkan.
Tertanda,
Serena Chester.
"Ck! Beraninya dia!" decak Luke.
Walaupun begitu ...
Luke mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Kotak yang sedikit kotor karena sempat ia banting bersama benda-benda lain di tenda perburuan. Ketika ia membukanya, sebuah cincin yang memantulkan kilauan terpotret lensanya. Selepas memejamkan mata cukup lama, ia pun menutup dan mengembalikan kotak itu ke dalam sakunya.
Baiklah, sudah kuputuskan.
Meninggalkan Willford yang masih berdiri, Luke memutar pegangan pintu.
"Willford, ambil kembali jadwal inspeksi ke beberapa wilayah!"
Sesaat, Willford memandang Luke dengan tatapan ragu. "Apakah Anda benar-benar akan meninggalkan istana, Yang Mulia?"
Untuk ke sekian kalinya, Luke membalikkan badan demi menjawab pertanyaan Willford.
"Bukankah ini bagus?"
Willford memiringkan kepalanya dengan kerutan wajah yang penuh kekhawatiran.
"Kaisar sedang mengusirku melalui inspeksi selama beberapa tahun. Selama itu, aku juga bisa mencarinya sendiri, bukan?"
"Tapi ... Yang Mulia---"
"Willford," potong Luke, "tidak masalah mau berapa lama pun itu. Aku memang sudah tak berambisi dari awal."
Bam!
Mencengkram nampannya, Willford terus memandang pintu yang sudah tertutup dengan tatapan sedih. Kekhawatiran akan masa depan Luke terus memenuhi kepalanya.
"Jika Anda menyerah sekarang, maka posisi Anda sebagai putra mahkota akan terancam."
Sebab, pemberontakan akan terjadi karena Anda terus melalaikan pekerjaan demi seorang gadis.
Namun, Willford tidak bisa melakukan apa-apa, sebab, jika tuannya memang menyuruhnya demikian, maka ia tidak punya pilihan selain mengikuti kemauannya. Ia tak bisa melupakan fakta bahwa tuannya merupakan pria paling keras kepala yang pernah ia kenal.
***