Semenjak rapat itu, aku lebih sering berdiam diri di vila. Terkadang, aku keluar hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti makan dan minum.
Setiap satu bulan, pertemuanku dengan Black Panther diadakan supaya aku dapat mengetahui daerah mana saja yang aman untukku. Sebab, hampir setiap waktu pemantauan wilayah dilakukan untuk mencari keberadaanku. Black panther sudah menjelma menjadi mata yang mengawasi ibu kota.
Sedangkan Erthen yang menjabat sebagai ketuanya, merupakan kaki tangan yang selalu membantuku. Katanya, hal itu termasuk bentuk kesetiannya, karena aku pernah menyelamatkan dirinya sewaktu krisis ekonomi. Erthen bahkan menuruti apapun yang kuperintahkan. Membuatku terkadang merasa bersalah, karena aku tidak pantas untuk orang secakap dirinya.
Maksudku, statusku bukan bangsawan lagi sekarang. Kami sama-sama rakyat jelata yang sederajat dan tidak memlliki ikatan. Bukankah semestinya ia pergi saja kepada tuan yang jauh lebih baik untuknya?
Namun, aku tak berbohong kalau aku begitu senang mendengar dia masih ingin membantuku sampai akhir.
"Erthen, bisakah kau mengajariku cara memanah?" tanyaku suatu pagi, ketika aku tak punya hal untuk dikerjakan.
"Tentu saja, No--"
"Merliana. Jangan lupa untuk menggunakan bahasa informal."
"Sesuai yang kau inginkan."
Sejak aku memintanya, Erthen mulai mengajariku cara memanah dan memimpin latihan fisik. Erthen juga memberitahuku berbagai hal seperti cara bertahan hidup. Darinya, aku banyak belajar untuk melindungi diri.
Selain Erthen, aku memiliki Ferona yang menjadi mata bagi pergaulan kelas atas. Ia secara rutin mengirimkan laporan melalui Ruve sebagai perantara dan sesekali, ia datang untuk membawa bahan makanan.
Dahulu, aku memang sendirian dan kesepian. Namun, semenjak Ferona berperan penting di dalam hidupku, aku tak pernah merasa tak bersyukur setiap harinya. Bagiku, keberadaan Ferona merupakan sebuah keberuntungan, walaupun pada awalnya kami bertemu untuk saling memanfaatkan.
"Bagaimana?"
Aku melepaskan air rawa untuk mengguyur pepohonan yang mengelilingi bukit. Air itu tampak seperti ombak, namun pada akhirnya gagal karena guyurannya mengurai menjadi tetesan air yang membasahi bajuku.
"Itu bagus," puji Ferona.
"Jujurlah padaku," lirihku, sembari menahan malu.
"Sen--- maksudku Merli, perkembanganmu sudah cukup baik. Kau hanya perlu konsisten."
Aku menjatuhkan diriku ke tanah. Berpikir bahwa apa yang Ferona ucapkan adalah kebohongan yang tak mempan untuk menyuntik motivasi. Seraya bertopang dagu, aku menyembunyikan wajah masamku dengan kedua lengan.
"Kau tahu kisah Baron Ernest? Sejak usia sepuluh tahun, ia selalu mencoba melakukan hal gila dan menjadi bahan gunjingan tetangganya. Tapi ia tak menyerah sampai situ dan sekarang, ia menjadi wakil kepala peneliti, 'kan?"
Aku hanya membuang napas karena tak bisa menyangkal perkataan Ferona. Baron Arnold Grey Ernest, mantan guru alkimia sekaligus penguji produk lidah buayaku. Aku mengetahui betul biografinya karena ia merupakan salah satu orang paling berpengaruh yang pernah kukenal.
Kisah guruku menjadi panutan bagi para rakyat, karena ia merupakan tokoh yang dapat menaikkan derajat keilmuan sekaligus teknologi pada masyarakat aristokrat. Perjalanan karirnya membuktikan bahwa rakyat jelata yang tak punya apa-apa pun bisa menjadi bangsawan yang sukses.
Memang, tidak ada orang sukses yang jalan hidupnya selalu mulus. Pasti terdapat jalan terjal yang harus mereka lewati sebagai rintangan, sebelum akhirnya sampai ke tempat tujuan yang diinginkan.
Kuakui, sihir memang bukanlah sesuatu yang mudah. Tapi mungkin, bukan berarti aku tidak bisa melakukannya.
Selepas membuka kedua tanganku, aku bangkit dari keputusasaan. Dengan keyakinan yang terkumpul, aku pun beseru, "Baiklah! Aku akan melakukannya sampai akhir!"
Lantas, Ferona tersenyum lebar dan menepuk pundakku. "Bagus. Itu adalah poin yang membuatmu menarik."
Tanpa sadar, bibirku ikut tertarik ke atas, tertular oleh senyuman Ferona yang semanis madu. Sebagai bentuk rasa kasih sayang, aku memeluk Ferona dari samping dan mengungkapkan, "Terima kasih!"
Sementara Ferona dengan muka kakunya menggertakku, "Hentikan, itu membuatku geli!"
Aku hanya tertawa lepas mendapati Ferona yang berupaya mendorongku.
***
Dua setengah tahun berlalu begitu cepat. Selama itu, aku selalu berpindah-pindah tempat tinggal sembari mengelilingi berbagai daerah kekaisaran. Melegakannya, aku tak pernah tertangkap oleh prajurit dan orang-orang yang memburuku.
Aktivitas yang kulakukan berbeda-beda. Karena hidup nomaden, aku selalu mengeksplor hal baru yang tak pernah kutemukan sebelumnya ketika aku menjadi bangsawan. Dengan keterampilanku, aku mengggunakan alibi dengan melakukan pekerjaan sampingan.
Pekerjaan itu dimulai dari menjadi jurnalis surat kabar. Aku cukup menikmatinya karena aku mampu menulis artikel dan mendapatkan manfaat dengan mengetahui perkembangan kabar di antara masyarakat aristokrat. Tapi sesekali, surat kabar yang dimuat adalah tentang pencarianku. Hal itu membuatku resah, sehingga aku memutuskan untuk resign dari sana.
Setelah keluar dari pekerjaan sebagai jurnalis, aku kembali menjadi pengangguran yang diam-diam menghabiskan kekayaan. Akan tetapi, kegiatan itu tak berlangsung lama karena aku cepat bosan dan merasa tidak tahu apa-apa.
Untuk mengisi kegiatan, aku memutuskan menggunakan uangku dengan mengambil program eksklusif jurusan kedokteran. Jadi, program eksklusif ini memungkinkan seseorang bisa belajar langsung dari dokter di rumah sakit tanpa sertifikat akademi terlebih dahulu. Tentunya, untuk masuk ke program eksklusif itu, diperlukan seleksi yang sangat ketat. Seleksi itu setara dengan ujian kelulusan akademi yang tingkat kesulitannya tinggi. Beruntungnya, aku merupakan salah satu orang yang lolos seleksi masuk program tersebut.
Setelah itu, aku belajar di rumah sakit selama dua tahun di bawah bimbingan seorang dokter. Proses belajar-mengajar dilakukan dengan praktek langsung sebagai guru dan petugas magang. Bermacam-macam kasus kupelajari di rumah sakit. Mulai dari kasus gawat darurat, penyakit dalam, sampai ibu melahirkan.
Singkat cerita, selepas melalui proses yang panjang dan penuh tekanan, akhirnya aku menghadapi ujian akhir. Dari ujian akhir itu, aku lulus dan mendapatkan lisensi sebagai dokter muda.
Kini, aku pun mendirikan sebuah klinik menggunakan identitas baruku. Klinik itu sedikit jauh dari jangkauan orang lain agar aku tak menarik perhatian. Itu merupakan klinik pribadi atas nama "Dokter Merliana Haymitch."
Sekarang adalah hari ke-14 dari pembukaan klinikku. Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya seorang pasien datang untuk memeriksakan diri.
"Apa keluhan yang Anda rasakah, Nyonya?" tanyaku pada seorang nyonya dengan senyum bisnis.
"Aku merasa lemas akhir-akhir ini. Pusing, nafsu makan berkurang, dan kaki kesemutan. Aku juga sering merasa haus, tapi tak pernah puas untuk minum. Lalu bagian jari telunjukku seperti membusuk setelah tersayat pisau beberapa hari lalu."
"Boleh saya lihat luka Anda?"
Nyonya tersebut menunjukkan telunjuk kanannya yang terlapis serat kasa. Saat terbuka, luka kecil di ujung telunjuknya mengeluarkan nanah yang bebau tidak sedap.
Setelah menjelaskan, meminta persetujuan, dan memakai sarung tangan khusus, aku segera bertindak melakukan prosedur memasang balutan luka kotor (wound dressing). Aku membersihkan lukanya dengan mengusap kasa dengan air garam (0,8%), sedangkan untuk membuang nanah, aku memeras lukanya dengan kain kasa yang dibasahi cairan antibiotik. Setelah itu, aku menutup luka tersebut dengan kasa kering dan benda sejenis plester.
"Apakah Anda dan keluarga memiliki riwayat diabetes mlletus?" tanyaku, setelah membereskan peralatan dan membuang sarung tangan. Tentu saja, aku sudah mencuci tangan selesai melakukan tindakan.
"Apa itu diabetes milletus?"
"Itu sejenis penyakit kelenjar (endokrin), karena organ pankreas tak mampu mengeluarkan hormon insulin. Insulin berfungsi untuk penyerapan gula dalam tubuh kita, sehingga jika kekurangan insulin, kadar gula dalam tubuh tidak bisa terserap dengan baik. Pada akhirnya, zat gula mengalir bebas ke dalam aliran darah dengan tidak terkontrol, sehingga menyebabkan diabetes milletus."
"Em, apa?"
Nyonya itu mengerjapkan mata setelah mendengarkanku. Ia memiringkan kepala dengan ekspresi bertanya-tanya.
Refleks, aku menepuk dahiku, menyadari betapa bodohnya diriku yang memaparkannya secara teoritis. Seharusnya, aku menjelaskan kepada pasien dengan bahasa yang mudah dipahami, bukan dengan bahasa patologis seperti orang yang sok pintar. Sepertinya, aku kelepasan melakukan kebiasaan itu karena sering ditanyai mendadak oleh dokter dulu.
"Maafkan saya, Nyonya. Jadi, itu merupakan penyakit dalam ketika kita kelebihan kadar gula dalam darah. Bisa juga disebut kencing manis."
"Oh, begitu. Aku tidak tahu karena tidak pernah memeriksakan diri sebelumnya. Keluargaku juga tidak ada yang terkena penyakit itu."
"Kalau begitu, saya akan memeriksa Anda. Tunggu sebentar!"
Setelah berlari kecil ke rak peralatan, aku meraih sebuah aquarium tanpa air yang berisi koloni semut dan wadah spesimen. Lalu, kembali ke ruang pemeriksaan.
"Saya akan mengecek kandungan gula dalam urin Anda, Nyonya. Jadi, Anda bisa pergi ke toilet untuk mengisi wadah spesimen ini dengan air kencing. Setelah itu, saya akan menguji kadar gulanya dengan melihat warna, dan meneteskannya ke aquarium berisi koloni semut. Apakah Anda bersedia?"
Sang nyonya hanya mengangguk dan melakukan yang kuminta. Setelah melakukan prosedur yang sesuai, aku melihat spesimen itu. Urin yang dikeluarkannya berwarna pekat.
Setelah itu, aku meneteskan air spesimen ke dalam wadah, lalu menaruhnya di tengah aquarium dan menunggu reaksi koloni semut. Seandainya mereka langsung berkumpul untuk mendekati spesimen kurang dari 10 detik, maka kadar gula nyonya ini berarti sangat tinggi. Jadi, bagaimana hasilnya?
Mereka langsung berkumpul dengan rentang waktu 21 detik. Jadi, gula dalam urin nyonya ini cukup tinggi, sehingga dapat digolongkan menderita diabetes milletus. Selepas pemeriksaan, aku mengatakan hasil pemeriksaan. Setelah itu, aku mendekati lemari penyimpanan obat---mengambil obat-obat herbal yang kira-kira berguna untuknya. Obat yang kuambil antara lain; daun kelor, jahe, dan bubuk kayu manis.
"Anda bisa mengonsumsi rutin daun segar ini sehari dua kali. Minum rebusan jahe untuk meredakan mual, dan mulai sekarang, ganti gula dengan bubuk kayu manis. Anda harus menjaga pola makan dari sekarang. Hindari memakan makanan manis seperti berbagai dessert. Okay?"
"Okay, Dokter. Saya akan melakukannya."
Aku sungguh malu untuk mengatakan ini, tapi tidak sepantasnya aku dipanggil dengan sebutan "Dokter". Di kehidupan sebelumnya, aku hanyalah perawat biasa yang bahkan terancam akan di-PHK karena tuduhan malpraktek.
Kini, sudah dua minggu aku melakukan praktek pengobatan sendiri. Beruntungnya, tidak ada masalah selama aku menerapkan teori yang kupelajari.
Bila seperti ini saja yang kukerjakan, tidak masalah. Aku hanya takut kalau harus melakukan prosedur yang beresiko seperti kompresi jantung dan CPR.
Mengapa?
Karena aku tak bisa melakukannya dengan benar. Aku benar-benar trauma akan hal itu, karena kesalahan prosedur yang kulakukan, aku meregang nyawa seorang pasien yang sedang sekarat. Setelah itu, aku semakin dikucilkan dari kalangan rekan kerja dan aku terancam dilepas dari profesiku.
Makannya, aku memilih untuk membuka klinik saja daripada di rumah sakit. Selain menghindari orang-orang, aku tidak ingin melakukan prosedur beresiko yang sukar kulakukan.
"Terima kasih telah membantu saya!"
Sehabis menerima obat, nyonya bertubuh kurus itu membuyarkan lamunanku dengan ungkapannya. Ia pun menyuggingkan senyuman tulus yang membuatku berdebar.
"Sama-sama, Nyonya! Silakan kontrol tiga hari lagi. Saya ingin mengetahui perkembangan Nyonya selanjutnya!"
"Baik, Dokter."
***
"Fyuh!"
Menghapus peluh dari keningku, aku menurunkan tirai bambu jendela. Setelah membereskan peralatan, aku keluar mengunci pintu untuk segera pulang.
"Merliana!"
Seorang pria dengan suara yang kukenal memanggilku dari kejauhan. Otomatis, aku memutar badan demi merespon pria itu dengan benar.
"Erthen?" panggilku balik.
"Aku memiliki sesuatu yang penting untuk dibicarakan."
"Ayo bicara di dalam!"
***
Sesuai ajakanku, Erthen duduk bersamaku di ruang pemeriksaan. Tanpa basa-basi lagi, aku bertanya, "Hal penting apa yang ingin kau bicarakan?"
Erthen mengaduk-aduk isi tasnya, kemudian menyodorkan sebuah map coklat ke arahku. Ia menjawab, "Aku telah mendapatkan surat legal untuk imigrasi."
Menerima map itu, aku hanya menggulirkan mataku ke arah Erthen---yang dua tahunan ini berusaha mendapatkan surat tesebut.
***