"Aku telah mendapatkan surat legal untuk imigrasi."
Asaku hampir tergapai kala rencana terakhirku akan segera terlaksana.
Tapi ... perasaan apa ini?
Sudah kupastikan apa yang kurasa tak lain merupakan bahagia. Namun, mengapa hatiku tidak sepenuhnya rela?
Ada sesuatu yang memberatkanku, sehingga aku tak bisa melangkah begitu saja.
Apa? Mengapa?
"Merliana, apa kau baik-baik saja?"
Aku mendongakkan kepala saat pertanyaan Erthen berhasil menyentakkanku. Sekarang, Erthen sudah terbiasa memanggilku "Merliana". Tapi, entah bagaimana nama itu mendadak terdengar asing untukku.
"Aku---"
"Kau tampak pucat. Apa kau kelelahan?"
Wajahku pucat?
Dia pasti sedang bercanda. Apa Erthen sedang membohongiku?
Tapi, tatapannya tidak mencerminkan itu sama sekali. Apa aku memang tidak baik-baik saja?
"Em, tidak. Aku hanya ... a-aku akan segera kembali!"
Setelah berpamitan dengan gagap, aku meninggalkan Erthen sendirian. Kemudian, aku berlari sekencang-kencangnya tanpa arah dan tujuan.
***
Aku menyusuri bukit yang jauh dari pedesaan. Pada sisi kanan dan kiri, tertanam pohon pinus di sepanjang jalan yang tiada habis. Aroma hutan dan pasir gersang menguar kuat. Dedaunan rindang menghalangi radiasi mentari, sehingga jalan setapak yang kupijak semakin redup.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya pantulan air terbias di ujung jalan. Segera, aku mendekat ke sumber pancaran---di mana mentari ufuk barat terpantul oleh genangan air.
Saat jalan setapak ini habis, aku menghentikan langkah. Namun, tumpuan kakiku bergetar, sehingga tubuhku langsung terhempas ke bumi.
Ini ....
Danau favoritku sejak kecil, batinku.
Masih di posisi yang sama, aku memandang jauh air danau yang sama jernihnya seperti dulu. Lalu, aku meremas pasir kasar yang kuraba.
Ada apa denganku? Aku bertanya-tanya.
Seharusnya, aku merasa senang karena akhirnya akan pergi.
Tapi, mengapa perasaanku kacau begini?
Apa rasa berat itu datang karena ... aku belum mampu meninggalkan kekaisaran?
Atau ... karena harus menyembunyikan diri seumur hidupku?
Benar, selama ini kedamaian yang kurasakan bersifat sementara. Bersama kedamaian itu, terselip kekhawatiran yang sama setiap harinya.
Apakah aku harus berpura-pura menjadi orang lain sampai habis usiaku?
Sekarang, aku tidak mengerti dengan diriku sendiri.
Aku bukan Merliana, Senika, maupun Arsy.
Sebenarnya, siapa aku?
Aku seperti kehilangan arah dan tujuan hidup. Aku melarikan diri karena masa depan yang akan terjadi. Kukira, jika aku meneruskan perjalanan, aku akan mendapatkan ketenangan. Namun, perkiraanku sungguh meleset.
Aku merasa hampa.
Hembusan angin membelai uraian rambut hazelku. Merapikan rambut yang menghalangi pandangan, aku menyelipkannya ke belakang telinga. Angin itu seolah menjawab dengan mengalihkan perhatianku pada ... pemandangan danau.
Ketika aku melihat danau, aku jadi mengingat kepingan memori tentang hari itu. Hari di mana pertama kalinya aku bertemu seseorang di sini.
Ia meledekku dan membuatku kesal, menertawakanku sampai sakit perut, mengerjaiku hingga aku lelah hati. Walau begitu, ia juga memberikan solusi atas masalah yang kuhadapi, memberikan jawaban atas pertanyaan yang rumit, memberitahu sesuatu yang tidak kuketahui di dalam buku.
Seseorang itu adalah ....
"Louis?"
Teman yang sudah lama tidak kutemui, menghilang tanpa kabar yang pasti. Entah mengapa, tiba-tiba saja aku teringat dengan anak laki-laki itu.
Dulu, aku pernah mencoba mencarinya, menggali informasi tentangnya, dan bertanya pada sang pemimpin medan perang.
Tapi, tidak ada yang mengenalnya. Semua kabar tentangnya tertelan bumi layaknya tidak pernah ada.
Bahkan, tak ada satu pucuk surat pun yang dikirimkan anak itu untukku.
Apa yang terjadi padanya?
Pada akhirnya, aku hanya menyerah dengan keadaan. Karena tahun demi tahun telah berlalu, pasti ia sudah lama meninggal di medan perang. Meskipun demikian, sesekali, aku mengingatnya di saat tersulit dalam hidupku.
"Hmph!"
Aku mendengkus, lalu meletakkan kepalaku di antara lipatan lengan. Kala sepi menjadi teman sejati, justru aku ingin dia berada di sini.
"Louis, apa yang harus kulakukan?"
Dengan suara gemetar, aku bergumam sembari menatap rerumputan yang sedang bergoyang. Tapi berapa kalipun aku bertanya, orang itu pasti tidak akan pernah kembali lagi.
"Ahh."
Selepas berduka dengan waktu yang cukup lama, aku menghapus air mataku dengan punggung tangan. Lantas, setelah mencuci muka dengan air, aku beranjak dari tempatku termangu.
Tepat di depan mata, kebun bunga matahari tampak jelas dari tempatku berdiri. Bunga-bunga cantik itu tertiup semilir angin musim panas. Menghindari pemandangan, aku mencoba untuk kembali berbalik.
Namun, aku malah mendapati sebuah pohon yang sarat akan berbagai kenangan. Masih di posisi yang sama, pohon ek tertanam di tepian dengan dedaunan yang menguning.
Di bawah pohon itu, aku pernah melakukan berbagai hal lucu dengan Louis. Kami pernah menghabiskan waktu dengan bercerita, bergelak tawa, menangis, berbagi penderitaan, dan ...
Dan ....
"Senika, kau tahu tidak mengapa bunga matahari selalu mengikuti arah matahari?"
"Aku pernah mendengarnya. Mengapa menanyakan hal itu?"
"Karena aku seperti bunga matahari. Aku selalu menatap matahariku, namun jarak kita sangatlah jauh. Butuh waktu lama untukku menggapainya."
"Mataharimu?"
Kini, kupandangi mentari yang sebentar lagi akan tenggelam. Ketika mengingat secuil ucapan, mataku semakin berkaca-kaca. Entah karena kemasukan debu, terpapar silaunya cahaya, atau perasaaanku yang kian memburuk. Yang jelas, air mata ini kembali turun saat membayangkan pria itu mengukir senyum manisnya ke arahku.
"Iya, kamulah matahariku. Orang yang selalu kutunggu, orang yang selalu kucintai. Walau mungkin kau tak bisa membalas itu aku tidak peduli, aku tidak peduli sama sekali."
Saat mentari hampir tenggelam, aku mengingat untaian kata yang paling membuatku merasa bersalah. Di senja hari di mana ia menempelkan dahinya ke dahiku, ia menatapku lembut dengan manik beningnya.
"Yang terpenting, bisa melihatmu terus sudah membuatku bahagia."
Kelenjar air mataku kembali mengucurkan cairan. Semakin lama waktu berjalan, semakin deras air mata itu mengalir. Sungguh, otak kecil ini menyuruhku supaya berhenti menangis. Akan tetapi, perasaan ini sudah terlanjur mengalut, sehingga aku tak dapat menghancurkan rantai kesedihan yang membelengguku.
Terakhir, rambut keemasannya terlihat semakin nyata dalam fatamorgana. Ia menyunggingkan senyuman lembut sebelum menyelipkan bunga dandelion kecil ke telingaku.
Saat itu, aku sedikit takut. Namun detik ini, aku menyadari bahwa butuh keberanian besar untuk mengungkapkan perasaannya.
Bila cahaya senja lebih terang sedikit saja, akan terlihat daun telinganya yang memerah dan pipinya yang berwarna semburat.
Pria itu ... ialah orang yang paling ingin kuhindari, namun kurindukan pula di saat yang sama.
"Luke...."
***
Setelah menguras energi dengan kesedihan, aku berjalan ke ladang bunga matahari. Bunga-bunga itu tampak tidak sehat. Kelopaknya tidak lagi segar dan lembut, namun bertekstur kasar dan berwarna kuning kusam. Tangkainya tidak lagi kokoh, namun semakin melengkung dan menyusut. Dedaunan tangkai yang seharusnya hijau mulai berbintik dan menguning. Mereka berubah warna menjadi lebih pucat.
Bunga yang tak terurus sama sekali. Selain itu, mereka menua karena layu dimakan waktu.
Ya, bunga matahari hanya mekar saat musim panas. Ketika peralihan musim gugur tiba, ia mulai menguning dan akhirnya akan mati.
Walau begitu, mereka tetap menatap matahari setiap harinya, hingga ajal menjemputnya.
"Seharusnya kalian tidak pernah berharap," gumamku kepada mereka.
Memetik dan memilahnya, aku mengumpulkan beberapa tangkai bunga matahari. Aku pun menaburkan mereka ke perairan danau. Selaras dengan getaran air yang membawanya, aku berdoa, "Semoga kalian bahagia ...."
Secara simbolis, penyerahan bunga itu berarti perpisahan. Petang ini, di tempat pertemuanku dengan Louis, juga tempat di mana Luke pernah menyampaikan perasaannya, aku akan memutuskan untuk mengubur kenanganku bersama bunga-bunga ini.
Sebenarnya, aku ingin membuang kalung pemberian Louis juga. Namun, karena Louis pernah bilang bahwa kalung itu memiliki sihir pelindung, aku tak melepasnya dari leherku.
Aku akan pergi, pikirku, setelah pertimbangan yang panjang.
Atas nama Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan danau yang merefleksikan semburat petang sebagai saksi, dan langit berawan yang mulai menggelap, aku akan meninggalkan jejakku yang terakhir kali sebagai Senika Chester dan Arsy Berliana.
Sebab esok hari, kala aku memulai perjalanan panjang, aku tak akan pernah kembali lagi ...
Sebagai diriku sendiri.
"Sekarang saatnya ...."
Orang bilang, melonggarkan beban dengan tangis merupakan hal yang paling mujarab. Dan itu terbukti hari ini.
Hatiku sedikit lega.
Meskipun derita sesak masih menempel di dada, aku tak akan menyesal. Aku harus menelan resiko dalam setiap keputusan, juga bertanggung jawab atas pilihanku sendiri apapun itu.
"Selamat tinggal!" salamku pada alam.
Menghirup angin sejuk sebelum malam tiba, aku memalingkan badan. Segera, flatshoes coklatku berderap, menjauhi tempat bersejarah ini.
Namun ...
Grep!
Seketika, mataku terbelalak. Aku merasakan seseorang sedang meraba tangan kecilku. Tidak, dia tidak meraba. Tapi, tangan besarnya yang kasar dan sedikit ... lengket, menggenggam pergelanganku dengan eratnya. Sepertinya itu adalah tangan dari seorang laki-laki.
Jantungku meletup seperti akan meledak. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipisku. Masih dengan tubuh yang membeku, kepanikan menguasaiku sehingga aku tak mampu bergerak.
Siapa?!
Aku menengok ke belakang, di mana orang itu mencengkram tanganku kuat-kuat.
Detik ini, yang pertama kali kulihat ialah seorang lelaki bertubuh jangkung. Lelaki itu ... aku tak dapat mengenali wajahnya karena hari sudah mulai gelap. Saat mentari telah tenggelam, penampakannya mampu membuatku begidik.
Jemarinya yang penuh kapal membekaskan jejak darah ke lengan gaunku. Seragam hitamnya seperti robek karena berbagai luka cakaran. Setengah dari dadanya bersimbah darah segar yang baunya cukup anyir.
Tentu saja, aku segera menarik pergelangan tanganku darinya. Tapi, cengkramannya tak kunjung melepasku.
"Lepaska---"
"Kau ...."
Dengan putus asa, pria berambut hitam itu memandangiku dengan tatapan sayu. Iris matanya yang sehitam mutiara bergetar kaku di atas kekosongan. Dari pelupuk matanya, mengalir beberapa tetes air yang membasahi pipi.
Pria itu ...
".... akhirnya datang juga."
Siapa?!
***