Petang menuju malam yang lengkap dengan hawa sejuk. Selaras dengan suhu yang menembus kulit, pegangan tangannya begitu dingin. Membuatku bergeming karena membeku.
Astaga, siapa dia?!
Baru kali ini aku mengalami kejadian semacam ini.
Apakah dia seorang prajurit yang mengenalku?
Tidak, sihir penyamaranku sedang terpasang. Buktinya, batu cincin neagra masih diselimuti dengan warna biru laut. Jika batu cincin neagra kembali menghitam, maka mana di dalamnya telah habis, sehingga sihir ilusi yang terpasang akan menghilang dari tubuhku.
Tidak apa, aku masih dikenal sebagai Merliana. Tidak akan ada yang berani menangkapku.
Jantung, tenanglah! Semuanya masih baik-baik saja!
"Maaf, kau pasti salah orang," beoku, dengan nada serendah mungkin.
"Tidak mungkin," elaknya. Dari caranya bicara, ia lebih seperti tunawisma yang bersikukuh.
"Tuan, aku ingin pulang sekarang. Tolong lepaskan aku! Aku tidak mengenalmu sama sekali!" Sekali lagi, aku mencoba untuk tenang, meskipun bulu kudukku sudah berdiri daritadi.
Berbeda denganku, ia yang tak kenal takut hanya mematung. Selagi mengeryip, pegangannya tetap mengunci pergelangan tanganku.
Apa dia pria gila?
Itu masuk akal. Dari simbahan darah yang menempel sampai ekspresi anehnya menunjukkan bahwa pria itu tidak waras. Terlebih, dia salah mengenaliku sebagai orang lain.
Perasaanku tidak enak, aku harus pergi dari sini!
Mempersiapkan hal yang diajarkan Erthen, aku berpura-pura tak melawan. Setelah ini, aku akan menyolok matanya dan menendang titik vitalnya, kemudian kabur sejauh-jauhnya dari danau ini.
Itulah ide brilian yang kupikirkan.
Tapi ...
Bruk!
Tiba-tiba, badan bongsor pria itu jatuh ke tanganku. Tentu saja, aku langsung memelotot dan memekik saking kagetnya. Apa dia baru saja pingsan?
"Hei?! Tuan! Tuan?!"
Gila! Ini benar-benar ....
Kenapa aku harus berurusan dengan pria asing yang sangat aneh?! Argh!
"Tuan! Bukalah matamu!"
Aku menggoyang-goyangkan bahunya dengan panik. Namun, ia tak meresponku sama sekali.
"Tuan, sadarlah! Tuan!"
Aku terus memanggil sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun, ia tak kunjung membuka matanya. Sepertinya dia benar-benar pingsan.
Selanjutnya, kudekatkan jariku ke lubang hidungnya. Ia masih bernapas, meskipun tidak teratur. Lalu, kuraba pembuluh nadi di lehernya. Denyut nadinya teraba lemah.
"Ugh!"
Aku mengibaskan lengan. Darah yang mengalir di lehernya menempel pada jemariku. Bau anyirnya cukup membuatku pusing.
Setelahnya, aku menengok ke kanan-kiri dengan keringat dingin yang terus mengucur. Tentunya, tidak ada siapa-siapa di danau ini selain kami.
Ya ampun, apa aku harus meninggalkannya di sini?
Tapi ... membayangkan seorang mayat tergeletak di tepi danau malam-malam begini ....
"Tidak!"
Aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi! Aku harus membawanya.
Pelan-pelan, kubaringkan tubuhnya ke tanah. Aku tak tahu lukanya sedalam apa, separah apa, dan cidera mana saja yang dia alami. Jadi, aku terus memutar otak agar bisa membawanya dengan aman. Sebab, kalau aku menggendongnya sembarangan, bisa saja ia mengalami cidera yang fatal.
"Air!"
Aku bisa menggunakan air danau!
Perlahan, kugerakkan tangan kananku depan---mengumpulkan air dan mengalirkannya ke tanah. Lalu, kupadatkan air itu menjadi kasur agar yang dapat mengalasinya. Terakhir, aku berdiri sembari mengendalikan gerakan kasur.
Oke, aku akan membawanya ke klinik!
***
Sepuluh menit kemudian, tibalah kami di depan klinik yang bercahaya. Di balik jendela, sudah ada yang menyalakan lampu sihir di dalam ruangan. Tapi, kurasa bukan aku yang menyalakannya.
Siapa, ya?
Aku melamun untuk mengingat-ingat sesuatu.
"Erthen!"
Spontan, aku menepuk dahiku. Aku lupa bahwa akulah yang menyuruhnya menunggu. Sudah pasti dia menungguku dengan duduk manis di dalam.
Apakah dia akan marah?
Semoga saja tidak.
"Merliana?"
Erthen memunculkan dirinya dari balik pintu. Sepertinya ia mendengarku saat aku menyebut namanya.
"Maaf, membuatmu menunggu." Aku menunjukkan raut muka penuh penyesalan. Kemudian, memberanikan diri untuk mendongak. "Tapi ... bisakah kau membantuku?"
Mata kucing Erthen menyorotku dan pria kasur air secara bergantian. Ia pun menaikkan alis, tanda memahami sinyal yang kuberikan.
***
"Siapa orang ini? Bagaimana kau menemukannya?" cecar Erthen, setelah memposisikan pria asing itu ke tempat tidur.
"Aku juga tidak tahu. Aku hanya memungutnya dari suatu tempat."
Kini, aku mengelap sekujur tubuhnya dengan kain basah.
"Hmm." Erthen memegang dagunya, mengamati setiap inchi tubuh dari pria itu.
Sementara aku masih sibuk menggosok dadanya. Aku merasa aneh karena ... ini pertama kalinya untukku menyentuh dada pria yang begitu padat. Jelas terukir lekukan tubuh hasilnya latihan rutin. Tampaknya, dia memiliki kekuatan fisik yang bagus.
Apakah para gadis melihatnya latihan rutin setiap pagi?
Kalau iya, pasti mereka akan tergiur dengan cetakan otot pria ini.
Astaga! Kenapa aku malah memikirkan hal aneh? Ayo fokus! Dia adalah seorang pasien!
"Sepertinya dia diserang oleh sekelompok hewan." Erthen berkomentar. Untungnya, Erthen menyadarkanku sebelum pikiranku melayang terlalu jauh.
"Iya, dia mengalami pendarahan," timpalku.
Erthen mendekatkan dirinya kepada pria asing. Bola matanya terus menelisik dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya. "Atau, pria ini menerjunkan dirinya untuk memburu monster?"
Mataku berkedip beberapa kali. Lalu, aku bertanya, "Atas dasar apa kau menyimpulkan hal itu?"
Erthen menunjukkan padaku telapak tangan dari pria itu. "Lihat? Kapal dan bercak darah ini mengartikan bahwa dia sering menggunakan pedang."
Lantas, ia mengembalikan tangannya ke tempat tidur. "Lalu, bekas cakaran di dadanya merupakan jejak serangan dari monster sekelas chimera."
"Itu menakutkan."
"Benar. Lalu, setelah pertarungan sengit, akhirnya ia terdorong jatuh, sehingga bagian wajahnya terbentur batu atau sesuatu," jelas Erthen.
Kronologi yang masuk akal. Setelah itu, dia kabur dan memasuki kawasan danau.
Tapi, mengapa dia menahanku?
Apakah dia sengaja melakukan itu untuk meminta tolong?
Hah! Daripada itu, lebih baik aku memikirkan keselamatannya terlebih dahulu.
"Oke. Kalau begitu, tolong gantikan aku membersihkan ini, ya? Aku akan menyiapkan peralatan!"
Erthen mengangguk, lalu melanjutkan pekerjaanku. Sedangkan aku mendekatkan peralatan medis. Setelah mencuci tangan, aku mengenakan sarung tangan dan memulai prosedur perawatan luka.
***
Selesai melakukan penanganan, aku kembali memonitor keadaan umumnya. Beruntungnya, irama napasnya berangsur teratur. Denyut nadinya pun sudah tidak selemah tadi. Perlahan, kondisinya membaik.
Walau begitu, aku masih perlu memantau perkembangannya lebih jauh. Sebab, ia masih tidak sadarkan diri.
Sebenarnya, aku ingin membawanya ke rumah sakit. Tapi, jarak dari desa ke rumah sakit terbilang jauh. Dengan kereta kuda saja butuh waktu selama empat jam untuk sampai ke sana. Jadi, aku memutuskan untuk memberinya penanganan terlebih dahulu.
"Tentang hal yang kubicarakan sore, bagaimana?"
Terdiam sesaat, aku menimbang-nimbang pertanyaan Erthen. Aku pun memperhatikan pria asing yang terbaring lemah di tempat tidur.
"Mungkin kita bisa menundanya dulu. Untuk sementara waktu, kita tutup saja klinik ini," tuturku penuh pertimbangan.
"Baiklah. Katakan padaku bila butuh sesuatu."
"Oke."
Sejak malam itu, aku mulai merawat pria yang terbaring di ruang perawatan. Tak banyak yang bisa kulakukan karena keterbatasan alat yang kumiliki. Setiap pagi, aku hanya mengganti balutan lukanya, membubuhkan obat herbal, juga mengoleskan lidah buaya pada wajahnya. Aku tak menggunakan elixir untuk terapi penyembuhan, karena hal itu menimbulkan efek samping yang beresiko.
***
Dua hari kemudian, aku beraktivitas seperti biasanya. Mencari roti untuk sarapan, membeli rerumputan herbal, dan membersihkan rumah selayaknya hari libur. Selepas melakukan kegiatan, aku pun pergi ke klinik untuk mengecek kondisinya.
Ketika aku masuk ke ruang perawatan, tempat tidurnya telah kosong. Selimutnya juga sudah tertata rapi di ranjang.
Apakah dia sudah sadar?
Sepertinya, begitu.
Lantas, kucari keberadaan pria itu, barangkali, ia pergi ke toilet atau semacamnya. Tapi, kala derap langkah mendekat, aku berhenti.
"Hei."
Aku berbalik begitu sahutan terdengar dari belakang. Segera, kutatap sang pemilik suara yang jauh lebih tinggi dariku.
Meskipun sebagian pipinya tertutup oleh kasa, parasnya berbinar terpapar sinar jendela. Kulitnya yang putih pucat halus tak berpori. Kedua iris legamnya menusuk dengan memberikan kesan tegas. Berbeda dari saat tidur, raut mukanya yang sedingin kristal es lebih mirip seperti patung pahatan.
Apakah dia benar-benar manusia?
Bahkan walaupun sedang sakit, pria itu masih terlalu tampan untuk dilihat.
"Di mana bajuku?"
Aku menelan ludah begitu sadar dari lamunan. Baju? Oh! Benar! Saat ini, ia masih bertelanjang dada dengan balutan perban!
"Ackk!"
Spontan, aku memekik mendapatinya berdiri tanpa pakaian. Kedua telapak tanganku menutupi pandangan. Sementara dia berkacak pinggang dengan tatapan tajam."Kau sendiri yang memasang perban untukku, tapi kau juga yang berteriak seolah tak pernah melihatnya?"
"Ba-bagaimana kau tahu?"
"Tentu saja. Apa kau pikir aku selalu buta saat tidak sadarkan diri?"
Kutarik kembali kekagumanku terhadapnya. Sia-sia saja ketampanan itu kalau perilakunya sangat buruk.
"Ya, ya. Aku tahu."
"Maka dari itu, berikan bajuku!" Tangan besarnya menengadah layaknya sedang menagih.
"Maaf, Tuan, pakaian Anda yang bernoda darah sudah robek. Jadi, aku membuang dan membakarnya karena itu bisa menularkan infeksi."
Ia mengacak-acak rambut legamnya, kemudian membalas, "Ya sudah, kalau begitu."
Secara bertahap, ia berjalan menuju ke pintu masuk. Tangan kanannya meraih pegangan pintu.
"Tuan, Anda mau ke mana?!"
Tanpa sadar, aku menahan lengannya, dan itu membuatnya meringis kesakitan. Aku pun melepaskannya begitu merasakan aura ketidaksukaan yang terkuak.
"Bukan urusanmu," dinginnya.
"Memang. Tapi, siapa yang akan bertanggung jawab kalau Anda jatuh di jalan lagi?"
Ia pun berbalik dan memandangku dengan acuh. "Mengapa kau peduli?"
Dengan kerutan yang tak luput dari wajahnya, ia melanjutkan, "Kau hanya perlu meninggalkanku mati. Aku 'kan hanya orang asing yang tak ada hubungannya denganmu."
Apa?
Refleks, kukepalkan kedua telapak tanganku. Detik ini, darahku sudah mendidih dibuatnya. Kesabaranku telah mencapai ambang batas. Aku beralih menusuknya dengan pelototan yang penuh amarah.
Dasar pria menyebalkan!
Karena siapa aku repot begini?
Bukannya berterima kasih, dia malah membuatku marah karena sudah menolongnya? Dasar tidak punya perasaan!
"Kau!"
Aku menodongnya dengan jari telunjukku hingga ia terlonjak kaget. Mungkin, ia tak mengira kalau aku bisa melawannya.
"Kau sendiri yang bertingkah sok kenal denganku! Kau memegang tanganku di danau itu dan menahanku untuk pergi! Sekarang ketika sudah kutolong, bukannya berterima kasih, kau malah membuatku marah seperti ini?!"
Tanpa sadar, aku berteriak dan mengeluapkan emosiku ke arahnya.
Bodoh amat! Aku juga memiliki perasaan. Apa dia saja yang bisa seperti itu? Aku juga bisa!
"Silakan pergi sesukamu, huh! Aku juga tidak peduli mau kau mati di jalan atau tidak!"
Aku pun melemparkan lipatan baju Erthen setelah mengambilnya dari almari. "Ini! kau bisa membuangnya kalau tidak suka!"
Sehabis itu, aku bersiap untuk memutar badan. Namun, mengejutkannya, pria itu menarik lengan bajuku.
"Apalagi sekarang?"
Kini, aku menatapnya lurus tanpa kegoyahan. Aku siap menghadapi pria ini satu lawan satu.
"Barusan, apa yang kau katakan?"
"Apa?"
Lucunya, telinga dan pipinya memerah. Jakunnya juga bergerak turun. Apakah dia malu sekarang?
"Aku? Menahanmu?" tanyanya.
Tanpa jawaban, aku melipat lengan dan memalingkan muka. Jujur saja, aku terlanjur malas berbicara dengannya. Dia sudah membuatku benar-benar marah.
Saat kulirik, dia menatapku lekat. Kali ini bukan tatapan dingin, namun tatapan melunak karena perasaannya bercampur aduk. Bisa-bisanya ekspresinya berubah secepat itu.
"Jelas-jelas, aku melihat sosoknya di danau itu," gumamnya.
Lamat-lamat, sepasang mata almond-nya tergenang oleh air. Raut wajahnya berubah seperti anak kucing yang ditinggal tuannya.
Hah? Reaksi macam apa ini? Apa sebentar lagi dia akan menangis?
Aku tak menyangkanya sama sekali. Apa aku terlalu keras dalam membentaknya?
"Hei?"
Akhirnya, hatiku luluh dengan membalasnya. Ayolah, aku paling tidak tega melihat orang sakit menangis.
"Hei! Aku minta maaf karena sudah membentakmu, oke?"
Astaga, dia tampak menderita. Apa sikapku sudah keterlaluan?
Tuhan, tolong hentikan ini! Air matanya semakin membuatku merasa berdosa!
"Tuan, maafkan saya!"
Aku kembali menggunakan bahasa formal. Tapi, ia malah memalingkan muka.
Kemudian, tiba-tiba ia mendekatiku hingga jarak kami hanya sebatas dua jengkal. Ia pun meremas pundakku dan menatapku serius. "Katakan padaku kalau aku tidak salah."
"Apanya?"
Semakin dia membalas, semakin aku tak memahami apa yang dia ucapkan. Hal itu membuatku semakin frustasi karena tak mengerti.
"Siapa?"
"Huh?"
Aku mengerutkan dahi begitu lontaran pertanyaan keluar dari bibir pucatnya. Tunggu, apa dia sedang menyadari sesuatu?
Tidak mungkin, 'kan kalau ....
"Siapa kau sebenarnya?"
... dia mengenalku?
***