Chapter 50 - Luka

"Ferona! Tunggu!"

Aku menyusul Ferona yang berlari ke luar klinik. Dengan napas yang terengah-engah, aku menggantungkan tanganku ke rok gaun hijaunya.

"Apa kau bisa jelaskan mengapa kau membawa seorang pria ke tempat tidur saat klinikmu tutup?" introgasi Ferona.

"Bu-bukan seperti itu. Itu hanya pertengkaran kecil dan ...."

"Dan?"

"Dan aku tidak sengaja jatuh. K-kau tahu 'kan aku bukan perempuan yang akan berbuat aneh-aneh?"

Ferona merenung sesaat. Ia pun memisahkan tanganku dari gaun hijaunya dan berbalik. "Lalu, siapa pria itu? Apa dia memiliki hubungan khusus denganmu?"

"Tidak! Tidak ada!"

Untuk beberapa detik, Ferona menerawang jauh ke dalam mataku. Ia menampakkan raut tidak puas seakan mengetahui sesuatu. "Setengah benar dan setengah tidak. Kau masih ragu-ragu," ucap Ferona.

Menghindari matanya, aku menyembunyikan lenganku di balik punggung. Aku pun mulai mengisahkan tentang Louis dari awal pertemuanku di danau sampai aku bisa jatuh di kasurnya.

Meski aku tak membeberkan bagian kalung, identitas, dan fakta bahwa Louis teman lamaku, aku mengatakan kalau aku pernah mengenalnya di suatu tempat. Hal itu sedikit menurunkan keraguan Ferona terhadapku.

"Begitu. Bagaimana dengan latar belakang pria itu? Apa kau tidak merasa curiga dengannya?" Ferona bertanya.

"Entahlah. Tapi, aku yakin dia bukan orang yang ...."

Tunggu, Louis 'kan mencari keberadaanku. Terlebih, dia merupakan ksatria kekaisaran yang entah bagaimana sampai ke desa ini. Aku memang belum menambahkan informasi tersebut, namun aku yakin Ferona akan langsung menyarankanku mengusirnya dari bila ia tahu hal ini.

Setelah sekian lama, aku menemukan Louis dengan kondisi yang hampir mati. Bagaimana aku bisa membiarkannya pergi dengan kondisi yang tidak stabil?

"Yang apa?" Ferona membuyarkanku yang tertegun.

"Bukan orang yang mencurigakan. Percayalah, Ferona!" tegasku meyakinkan.

Ferona mendengkus sambil mengusap keningnya. Daripada menyerah, dia cenderung tidak mood berdebat denganku. "Yah, baiklah," pasrahnya.

"Tapi, kau ingat 'kan? Kau tak akan dekat dengan pria manapun sampai rencanamu berakhir sukses?" imbuhnya.

Aku mengulum bibirku sendiri, kemudian mengangguk kecil atas peringatannnya.

Sementara Ferona membenahi anak rambutku dengan jemarinya. Ia menyisirnya halus dan merapikannya. "Godaan seorang pria bisa saja membuatmu goyah. Aku hanya memastikan kau tak melupakan hal itu."

"Iya," singkatku.

Beruntungnya, Ferona tak mempermasalahkan hal itu lebih jauh. Artinya, ia tak begitu marah dengan adegan salah paham tadi.

Sebenarnya, Ferona tergolong sahabat yang baik. Ia selalu memberikan masukan dan arahan agar aku dapat mencapai tujuanku; melarikan diri dari genggaman Putra Mahkota.

Tentu, aku tak menceritakan keseluruhannya seperti tentang "ini adalah dunia novel dan aku harus lari dari obsesi pemeran utama pria". Aku hanya membeberkan kalau aku ingin hidup tanpa kekangan sebagai orang biasa.

Logis?

Menurutnya demikian karena aku selalu menutup diri dari orang-orang. Dia pikir, aku putri kesayangan Chester sehingga aku tak bebas dari penjagaan keluargaku. Alasan itu sudah cukup untuk meyakinkannya agar aku bebas dari ikatan keluarga dan tuntutan bangsawan yang menyesakkan.

"Terima kasih sudah mengingatkan," tambahku.

"Ya," kata Ferona, seraya menurunkan tangannya dari rambutku.

"Omong-omong, tiba-tiba kau datang ke sini. Ada apa gerangan? Kau bahkan tidak mengirim Ruve terlebih dahulu."

Kembangan senyum terukir di wajah manis Ferona. Lirikan matanya tertuju pada mulut pintu kayu pinus di belakangku. "Kudengar, kau menutup klinikmu. Jadi, aku mengunjungimu sambil membawa buah tangan."

Aku pun mengusap ekor rambut panjangku yang dikucir kuda. "Ah, itu benar. Bagaimana kalau kita minum teh dulu?"

***

Kini, aku mengajak Ferona ke dalam ruang tamu rumahku. Aku tak membawanya ke klinik karena aku tak mau membicarakan hal privasi dan didengar Louis. Di meja tamu, telah terhidang dua cangkir teh manis dan makanan ringan seperti beberapa potong apel.

"Surat imigrasi?"

"Yap. Aku telah mendapatkannya setelah sekian lama." Aku mengatakannya sambil memasukkan sepotong apel ke mulutku.

Ferona menyentuh cangkir putih berhias bunga di depannya. "Itu bagus. Tinggal selangkah lagi agar kau bisa keluar dari kekaisaran."

Sedangkan aku yang tengah mengunyah apel mencoba memaksanya masuk ke kerongkongan. "Dengan rapat?"

"Yeah. Gunakan saja anak-anak Erthen untuk mengurus akomodasimu. Mereka akan mengantarkanmu melalui jalan alternatif dan meloloskanmu ke kapal pelabuhan dengan orang dalam," jelasnya.

"Ide bagus," pujiku.

Kuakui, Ferona memang cepat tanggap. Dia mampu memecahkan masalah dengan hanya sekali mendengar. Walaupun begitu, isi pikiran Ferona cukup kompleks sehingga aku sedikit sulit untuk memahaminya.

"Bagaimana dengan situasi keluarga kekaisaran dan para bangsawan? Adakah isu politik yang sedang panas?" Aku mengalihkan topik.

Ferona lantas menyisip teh aroma lemonnya, lalu meletakkannya di piringan. "Tidak ada. Semuanya aman terkendali."

"Benarkah?" tanyaku ingin tahu.

"Ya, kau tidak perlu khawatir apapun. Persiapkan saja kepergianmu." Ferona berpesan sembari menunjukku.

"Baiklah."

"Jadi, kapan kira-kira kau akan pergi?"

***

"Fuhh."

Embusan napas berlalu dari mulutku. Saat ini, aku kembali ke klinik untuk mengecek ulang keadaan Louis. Aku harus memastikan dia makan dengan benar, memberinya obat, dan mengganti balutan perbannya. Lukanya akan bertambah parah dan membusuk jika aku tak rutin melakukan ganti balut.

"Kau datang lagi?" tanya Louis begitu aku sampai di mulut pintu ruang rawat.

"Tentu saja. Aku tak mau ada mayat yang mati kelaparan di klinikku," sinisku.

Louis hanya tertawa kecil dengan nada mengejek. Ia pun berkata,"Aku sudah makan, Dokter. Siang ini, aku mengambil anggur di kotak itu dan apel yang kau belikan."

"Ya, itu bagus."

Louis menarik sebelah ujung bibirnya. "Kau marah, ya?" Entah ia bertanya atau memastikan.

"Kau pikir?" sinisku lagi, sembari menata peralatan ganti balut.

"Haha, aku minta maaf. Aku hanya berpikir menggodamu itu menarik."

Aku membisu tanpa reaksi apapun. Jujur saja, ucapan maafnya terdengar tidak tulus dan itu membuat dirinya tampak mengesalkan.

"Apa dia sudah pergi? Sahabatmu?" Louis memecah kesunyian di antara kami.

"Tahu darimana kalau dia sahabatku?" Aku bertanya, namun dengan suara yang cukup angkuh.

"Jelas sekali," gumamnya.

Tidak heran, Louis memang cerdas. Dulu saat masih kecil saja, dia tahu bahwa aku Young Lady dengan hanya sekali lihat. Tentunya, tak perlu diragukan lagi tingkat kepekaannya.

"Ya, dia sudah pergi. Kenapa?"

"Jangan terlalu percaya dengannya."

Aku melepaskan kasa dan perban yang menutupi lukanya. "Kau bercanda? Sebutkan alasan mengapa aku harus percaya pada orang asing sepertimu daripada sahabatku sendiri."

"Pfft. Orang asing?" Louis menahan tawa. Kemudian, melihatku dengan tatapan aneh. "Tapi, bagaimana, ya? Aku merasa tidak asing denganmu."

Sekali lagi, pria itu membuatku tak bisa berkata-kata. Dia cukup blak-blakan juga dalam mengutarakan perasaannya.

"Sahabatmu ... dia tak segan berbohong padamu. Dia juga mengontrolmu dengan ikut campur." Sekarang, ia kembali membicarakan soal Ferona.

Aku yang terfokus membuka perban yang melilit dadanya memerintah, "Berhentilah mengucapkan hal yang tidak berguna!"

Kuletakkan perban itu ke kantung sampah infeksius. Lalu kuamati daerah dadanya. Masih tersisa luka cakaran tempo hari, namun sudah mulai kering dan menutup. Beberapa goresan kecil hanya tinggal bekasnya saja.

Bila di kehidupan sebelumnya, sistem penyembuhan lukanya tidak seperti ini. Seharusnya, butuh waktu sekitar satu minggu agar lukanya sembuh dengan sempurna. Akan tetapi, luka Louis sudah mulai 68% pulih dalam kurun waktu tiga hari.

Apakah hal itu karena pengobatan yang kuberikan? Ataukah sihir penyembuh yang mengalir di tanganku?

Apapun itu aku merasa lega karena ia bisa lekas sembuh.

"Astaga!"

Aku tersentak kala beralih ke bagian belakang Louis. Baru kusadari bahwa punggung lebarnya dipenuhi bekas luka goresan. Tapi, goresan itu berbeda, seperti lesi karena luka lama. Luka yang mirip dengan ... bekas cambukan.

Saat awal masuk klinik, aku memang melakukan pemeriksaaan fisik. Namun, aku tak begitu fokus dengan punggungnya karena selama memeriksa, aku melakukannya ketika malam hari---di mana penerangan ruangan ini begitu redup.

"Kenapa?"

"Bekas luka ini ... siapa yang tega menyakitimu?!" Aku membekap mulut karena terheran-heran.

Apa pasukan Alberian yang pernah menyekapnya? Menyiksanya?

Sayangnya, aku tak bisa menanyakan itu karena aku bukan Senika sekarang.

"Heh, itu tidak sakit."

Di saat-saat seperti ini, dia malah menyunggingkan senyuman dan terkekeh seolah itu candaan. Benar-benar manusia yang menyebalkan.

"Aku serius!" seruku.

"Kalau kau tahu, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku akan membuat perhitungan dengannya! Dia benar-benar gila!" umpatku dengan penuh amarah.

Louis menghela napas dan menengok ke arahku. "Kau tidak akan bisa." Ia pun mengembalikan kepalanya ke ke depan. "Dia bukan orang yang mudah."

"...."

Selanjutnya, aku tak membahasnya lebih dalam. Aku hanya mengoleskan obat herbal dan menyiapkan perban.

"Ibuku."

"...?"

"Ibuku yang melakukannya."

Selepas mengoleskan obat, aku meraba puluhan garis luka yang terukir di punggungnya. "Pasti itu sakit sekali."

"....?"

"Itu pasti sakit."

Tanpa terasa, air mataku mengalir. Aku baru menyadarinya kala bulirannya membasahi pipiku. Ya ampun, mengapa akhir-akhir ini aku sangat cengeng?

Aku hanya ... membayangkan betapa sulitnya hidup Louis selama ini. Orang kejam macam apa ibunya ini?

Hatiku semakin perih mengetahui aku tak bisa berbuat apa-apa untuknya. Hal itu pastinya sudah menjadi masa lalunya yang telah terjadi.

Louis membalikkan badan dari tempat tidur. Ia menatapku yang sedang menyembunyikan wajahku. Ayolah, jangan lihat ke sini! Aku benar-benar malu!

Lucunya, bukannya ia berpura-pura tak melihat. Ia malah mengulurkan tangannya ke lenganku.

"Maafkan aku."

Ucapannya kali ini mengejutkanku. Itu adalah ucapan tulus dengan suara yang merendahkan diri.

"Untuk apa?"

"Aku minta maaf."

***

Beberapa hari kemudian, aku tetap fokus dengan penanganan luka Louis. Jika dia sudah sembuh nanti, akan kupastikan dia mendapatkan perawatan yang lebih baik.

Selanjutnya, aku belum memikirkan apapun tentang imigrasi. Walau begitu, aku sudah mengirim surat kepada Erthen tentang rencana pertemuan berikutnya. Tinggal menunggu tanggal main saja supaya aku dapat merealisasikan kepergianku.

***

Pada suatu siang yang cerah, aku menunggui Louis yang sedang terlelap. Ia telah menyelesaikan makan siang, meminum ramuan herbal, sampai dirinya tidur siang di ruang rawat.

Kling-kling

Seseorang datang dengan jubah putih yang menyelimuti tubuhnya. Ia mendekat bertahap ke meja pemeriksaan dengan sepatu kulit rusa yang ia kenakan. Menggenggam satu tongkat kecil, ia mendudukkan dirinya ke kursi rosewood yang disediakan untuk pasien.

"Terima kasih sudah berkunjung, tapi maaf, klinik kami sedang tutup," tolakku dengan senyum bisnis.

"Ah, aku tak ke sini untuk memeriksakan diri." Suaranya rendah layaknya musik klasik yang menenangkan.

"Lalu?"

Ia pun menyibak kain putih yang menutupi rambut emasnya. Kemudian, menempatkan tongkat ulir kecil di atas meja. Di ujung tongkat itu, terdapat permata emerald sebesar telur angsa yang sudah retak.

"Kudengar, tempat ini menjual alat dan permata sihir. Apa kau mempunyai satu?"

Pria itu bertanya dengan senyuman ramah. Membuatku mengangkat sebelah alis secara insigtif.

***