Chapter 51 - Benci

Pria berkulit bersih itu sedang betopang dagu sembari mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. Sesekali, ia melirik arloji antik yang berasal dari saku jubahnya.

"Apakah permata ini yang Anda maksud?"

Aku menampilkan sebuah permata berwarna dasar emerald. Permata itu selaras dengan warna mata sang pria yang sehijau daun maple.

"Coba kulihat!"

Ia mengambil permata itu dan mengelus-elusnya. Sesekali, ia menerawang dan mengetuk benda tersebut dengan kukunya.

"Itu barang yang asli, Tuan. 'Green Roque Sharp' yang teramat langka dari Negeri Albasyian. Toko lain belum tentu memilikinya," jelasku, penuh penekanan.

"Ya, kau benar." Pria itu memegang dagunya dan mengangguk yakin. Ia pun menyerahkan kembali kotak permata tadi. "Berapa?" tanyanya kemudian.

"Empat puluh ribu koin emas."

Sang pria berambut emas meraba-raba jubahnya. Dari jubah tersebut, ia mengeluarkan kantong kecil berbahan sutra berwarna ungu. Itu adalah kantong ajaib yang bisa digunakan untuk memasukkan banyak uang ke mana-mana. Lantas, ia merogoh dan mengayunkan benda itu---seperti sedang mengecek isinya.

"Oh, bagaimana ini?" Setelah satu menit, pertanyaan putus asa terlontar dari bibirnya.

"Ada apa, Tuan?" tanyaku.

"Sisa uangku masih berada di kediaman."

"Memang di mana kediaman Anda?"

"Gunung Alphenus, tepatnya di kuil agung."

Desa ini bernama Desa Butterfield, desa terpencil yang berada di perbatasan antara wilayah barat dan selatan. Dari desa ini ke Gunung Alphenus---yang terletak di utara--- membutuhkan perjalanan panjang. Jika hendak mengambil uang, maka ia harus menempuh waktu kisaran tiga hari dengan kereta kuda. Selepas mempertimbangkan, aku pun memutuskan,"Kalau begitu, Anda belum bisa memilikinya."

Sesaat, ekspresinya berubah dengan cukup signifikan. Awalnya, ia yang begitu ramah memancarkan aura positif. Sekarang, auranya kian suram karena sedang bermuram durja.

"Padahal sudah ada tiga puluh ribu," gumamnya kecewa.

Aku menghela napas. Mau tidak mau, aku menyerahkan kembali permata mahal itu. "Anda boleh menyimpannya."

"Benarkah?!"

Tiba-tiba saja, ia berseru dengan mata yang berbinar-binar. Itu juga membuatku terkejut sejak ia bangkit dari kursinya dengan penuh semangat.

"Y-ya, Anda boleh memilikinya."

"Terima kasih!" Kini, senyumannya begitu lebar hingga kedua matanya menyipit cantik. Tapi, gelagatnya semakin aneh, terutama kala menjabat tanganku dengan mantap.

Mengapa perasaanku tak enak?

Ah, tak apa lah. Toh, uang yang kusimpan sudah cukup banyak hingga aku tak memerlukannya. Sekali-sekali, aku perlu beramal agar kehidupanku diberkahi. Ya, tidak apa-apa.

Aku pun mengangkat batu itu dari dalam kotak. Kemudian, mengambil tongkat ulir yang terlentang. "Omong-omong...."

"Lady...."

Kami membuka suara secara bersamaan. Sekilas, kami bertukar pandang. Lalu, pria itu terkekeh. "Lady duluan."

Sambil memasangkan permata ke tongkat ulir, aku menanyakan, "Bagaimana Anda tahu kalau saya juga menjual benda sihir? Toh, klinik ini belum satu bulan dibuka."

Pria itu menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Ia pun mengatakan, "Ah, itu persoalan mudah. Tentu saja, aku tahu segalanya."

Aku menyodorkan tongkat ulir yang telah terpasang permata kepadanya, "Padahal saya sudah tidak aktif berdagang. Anda tahu 'kan, bila ketahuan berjualan benda sihir bisa dipidana?"

Dia tertawa remeh, lalu memasukkan tongkat miliknya ke saku jubah, "Kekaisaran memang melarang segala hal yang berbau sihir, kecuali alat alkimia yang bisa digunakan."

Aku memindainya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. "Anda sendiri seorang penyihir 'kan?"

Pria itu mengembangkan senyumnya, lalu tergelak lepas tanpa beban. "Pertanyaanmu sangat ...."

"Kalau begitu, tak seharusnya Anda tinggal di kuil agung."

Ia hanya menggelengkan kepala. Tanpa tanggapan, ia menyerahkan kantong ajaibnya padaku-yang berisi puluhan ribu koin emas.

Setelah itu, kami seberbasa-basi. Dia mengatakan juga kalau kami pernah berpapasan di pasar. Ternyata, dia sang lelaki asing pemungut apel yang berserakan tempo hari. Namanya Daniel.

"Omong-omong, Lady," Daniel melirik tangan kananku, "Sampai kapan Anda akan menggunakan cincin itu?"

Mataku membulat. Bak petir di siang bolong, tiba-tiba saja ia membahas cincin neagra yang melingkar di jari manisku. Lantas, kusingkirkan tanganku dari atas meja.

Selagi menyeringai, iris matanya berkilat. "Padahal wajah aslimu lebih cantik."

"Hahaha."

Mengusap tengkukku, aku memalingkan wajah. Kupikir, pria ini cukup aneh. Ia adalah seseorang yang kelihatannya tak berbahaya, tapi jika aku menekan satu tombol saja untuk menyinggungnya, maka ia tak akan segan memelintir balasannya berkali-kali lipat.

Ting

Bunyi benturan logam menggema di meja kayu. Daniel meletakkan sebuah gelang emas dan menggesernya ke arahku.

"Ini balasan karena Anda baik hati," kata Daniel.

Aku menyunggingkan senyum palsu tanpa menyentuh benda pemberiannya, "Tidak perlu, terima kasih."

Dengan setengah memaksa, Daniel memasangkan gelang itu menggunakan sihirnya.

"Hei, Anda---"

"Itu gelang ajaib. Lady bisa memanggil namaku saat butuh pertolongan." Daniel tersenyum puas melihat gelang itu terpasang sempurna di pergelangan tanganku.

"Hah?! Tapi---"

"Sampai jumpa!"

Pria itu buru-buru keluar dari klinik tanpa menghiraukanku. Aku pun bergegas menyusulnya secepat mungkin. Namun, batang hidungnya tak terlihat di mana-mana. Bahkan, sisa jejak kaki di jalanan pun tak ada sama sekali.

***

"Ugh!"

Kepalaku pusing. Apa yang dilakukannya barusan?

Aku tahu maksudnya menutupi kekurangan biaya tadi. Tapi, kupikir ini tidak benar. Aku tak mau menerima benda asing dari pria yang baru kukenal. Mana benda ini tak bisa kulepas lagi.

Apa aku harus melaporkan hal ini kepada Ferona?

Ya, lebih baik menunggu Ferona selagi aku tak tahu bagaimana cara melepaskan gelang ini.

"Uakhh!"

Tiba-tiba saja, Louis mengejutkanku. Ia berdiri di belakang pintu dengan menyandarkan dirinya ke dinding.

"Siapa pria itu?" cecarnya langsung.

"Bukan siapa-siapa," balasku spontan.

Louis mengintimidasiku dengan sepasang matanya yang menelisik tajam. "Kau senang ya menerima benda jelek itu?" cibir Louis.

"Apa?"

Dilihat bagaimanapun, gelang ini tak seburuk yang dia katakan. Ini indah---gelang emas murni dengan kristal bening seberat 0,5 gram. Hanya saja, gelang pemberian Daniel memang cukup mencurigakan. Walau begitu, mengetahui reaksi Louis membuatku tidak senang. "Memangnya kenapa?" tanyaku, "'Kan ini hakku menerimanya atau tidak. Apa kau iri?"*

Sesungguhnya, aku asal bicara saja. Setelah ini, pasti dia akan berseru, "Kau gila, ya?"

Tapi ....

Mengapa tak ada jawaban?

Lantas, aku menoleh ke arah Louis. Mengejutkannya, raut muka Louis terlipat kelam. Semburat merah muda mengubah warna dasar telinganya. Dia tak berkutik sama sekali.

Heh, apa dia benar-benar iri? Apakah dia ... menginginkan gelang ini?

Iya, dulu 'kan dia tidak punya uang. Apa sampai sekarang juga?

Ah, bagaimana ini? Aku harus mengganti topik!

"Dia pelangganku," ucapku kemudian.

Kuputuskan untuk mengalah. Kuakui, wajah barusan sedikit membuatku takut.

"Apa yang dia beli?" tanyanya serius.

"Permata sihir."

Louis menatap mataku dalam-dalam seolah sedang menyimpulkan sesuatu. "Selain menjadi pedagang, apa kau juga ... seorang penyihir?"

Aku maju selangkah sembari tersenyum simpul. "Kalau kau tahu, apakah kau akan melaporkanku, Tuan Ksatria?"

Louis tertawa kecil, "Mengapa aku harus?" tanyanya balik.

"Karena kurasa ... kau tidak menyukai penyihir?"

"Kau benar," jawab Louis cepat.

Selanjutnya, Louis mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Namun, ini sungguh melelahkan. Kau seorang dokter. Kau juga seorang penyihir. Bahkan, wajahmu tak mirip dengannya sama sekali."

Ia pun mencengkram kencang gelang emas yang melilit pergelangan tanganku, "Seharusnya aku membencimu, tapi mengapa aku tak bisa?"

Ajaibnya, gelang yang sukar dibuka itu berpindah ke tangan Louis dengan mudah. Seraya memamerkan gelang bundar itu, Louis mengeluh, "Kau benar-benar membuatku frustasi."

Dengan secepat kilat, kurebut gelang itu dari tangannya. "Tentu saja, kau tak bisa. Lagipula, akulah orang yang menolongmu."

Louis mendengkus dan melebarkan seringainya. Lalu, kembali menatapku intens tanpa berkedip.

"Jangan terus menatapku seperti itu. Bukankah itu memang fakta?" tentangku.

"Ya, kau telah menyelamatkan nyawaku."

Setelah mengucapkan itu, Louis menjumput helaian rambut panjangku. "Oleh karena itu, sebagai rasa terima kasih, aku ingin mentraktirmu makan di akhir pekan."

Kemudian, ia menghirup rambutku selayaknya itu bunga harum yang berada di tangannya.

"Jadi, apakah kau ada waktu?"

Sepasang matanya seperti bara setengah padam yang menunggu semilir angin. Jantungku berdebar menatap sorot matanya mengandung sejuta makna.

Apa yang dia inginkan?

***

BONUS (Mini Story)

Ini adalah malam setelah Senika menemui Louis yang baru saja siuman dan mengerjainya di depan Ferona. Jadi, Senika telah berbaring di tempat tidur lengkap mengenakan piamanya dan melepas cincin neagra.

"Louis itu kenapa sih?" Senika bertanya-tanya. Malam itu, ia terus memikirkan Louis yang jauh berbeda dari perkiraannya.

Perasaan, tujuh tahun yang lalu dia sangat lucu. Mengapa sekarang dia begitu? batinnya.

Senika berguling ke kanan. Masih dengan kegundahan yang sama, ia terus membandingkan perbedaan dari Louis yang dulu dengan yang sekarang

"Aku senang dia masih hidup, tapi ..."

Dia seperti orang lain.

Kerutan dahi Senika tak kunjung hilang. Bayangan Louis yang sedingin kristal es dan menyeringai terus terpatri dalam ingatannya.

Apa sesuatu telah mengubahnya?

Menarik selimut, Senika memaksakan diri untuk memejamkan mata. Ia menggelengkan kepala dan menata rambut birunya yang berantakan.

Ah sudahlah, lebih baik aku tidur saja!

Itulah yang Senika niatkan. Namun, semenjak hari itu, malam-malam Senika tidak lagi tenang. Ribuan misteri mengenai Louis terus menumpuk dalam hatinya.

Apa yang sebenarnya Louis pikirkan?

Ada apa antara Louis dengan ibunya?

Sebenarnya Louis itu siapa?!

Pertanyaan itu terus berkecamuk dalam benak Senika.

Akhirnya, Senika menyelipkan sesuatu di dalam surat rencana rapatnya untuk Erthen.

"PS: Tolong cari tahu tentang ksatria kekaisaran bernama 'Louis'!"

Namun, sampai saat ini, Senika tetap jarang tidur. Hal itu membuat kedua kantung matanya menebal dan menghitam.

Senika menghela napas kasar sebelum tidurnya terakhir kali. "Sepertinya aku pernah mengalami de javu seperti ini," gumamnya, sebelum mematikan lampu sihir.

***

Funfact:

Kata "iri" dalam dialog berasal dari bahasa Inggris "envy" yang juga berarti "cemburu".

"Envy" yang dipikirkan Senika adalah Louis "iri menginginkan gelangnya", tapi "envy" yang dipikirkan Louis adalah dia pikir Senika bilang kalo dia sedang "cemburu" sama Daniel.