Musim gugur kembali datang dengan harapan panen yang melimpah. Namun, kekeringan masih terjadi di Ibukota.
Para klien membuat banyak permintaan tentang informasi hasil panen dan perdagangan. Jadi, untuk beberapa minggu ke depan, Black Panther kemungkinan belum bisa menghadiri rapat.
Untuk catatan tambahan, kami akan mencoba mencari informasi tentang pria itu. Walaupun itu cukup sulit karena belum banyak data yang terkumpul.
Mohon maaf. Kami akan segera kembali.
Tertanda
Erthen Haymitch
Setelah memindai isinya, kulipat selembar kertas itu dengan rapi. Api lilin hangat mengubah lipatan kertas menjadi abu dalam sekejab.
Sepertinya, Erthen sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku tak punya pilihan lain selain menunggunya. Rasanya, tak enak bila aku menghambat urusan Erthen. Kesibukannya tidak hanya menolongku saja. Jadi, akan lebih baik bila aku tak mengiriminya surat untuk sementara waktu.
"Sepertinya, aku belum bisa keluar negeri."
Yah, itu tak masalah. Aku tak perlu melaksanakan rencanaku dengan tergesa-gesa. Perlahan, tapi pasti, semoga saja semua tetap berjalan sesuai perkiraan.
Kini, kutatap refleksi bayanganku yang terpantul di cermin. Rambut biru panjang nan berkilau. Mata yang sedamai air laut. Paras lembut yang mampu melunakkan hati. Bahkan, sekuntum mawar biru pun perlu menyembunyikan dirinya agar tak menarik koloni serangga.
Senika. Getir membayangkan akhir hayat pemilik raga ini. Keindahannya tiada guna bila hal itu membuatnya menderita.
Tak
Aku menggelengkan kepala dengan keraguan yang menyelimuti.
Tidak, selama urat nadiku masih berdenyut, aku tak akan membiarkan nasib naas menimpaku.
Tinggal selangkah lagi supaya aku dapat keluar dari tragedi memuakkan ini.
Aku pasti bisa.
Perlahan, telunjukku menyentuh mata cincin neagra. Butiran pasir mengumpul di area tubuhku dan akhirnya, bayangan wanita dalam cermin tersamarkan dengan sosok lain. Wanita asing dengan pigmen rambut hazel yang mengkilap.
Merliana Haymitch.
"Astaga!"
Kulirik jam kayu yang berada di meja rias. Kedua jarum jam telah menunjukkan pukul 07.15 PM, yang mana aku sedikit terlambat dari waktu yang dijanjikan.
"Aku harus berangkat sekarang!"
Segera, kusambar tas kecil dan mantel coklat yang menggantung di tiang gantungan. Tak lupa, kuselimutkan kain itu ke tubuhku—yang telah terlapis gaun merah. Lantas, kakiku menapak buru-buru menjauhi pintu rumah.
***
Sepuluh menit bergulir cepat. Aku melangkah lunglai karena keletihan berlari malam-malam. Sungguh, aku menyesal mengenakan sepatu boots yang menyulitkan perjalanan. Aku harus berdandan rapi sampai seperti ini karena "dia" yang mengancamku demikian.
Namun, kelelahan itu tiada arti kala sesosok pria jangkung menarik pemandangan. Ia berdiri tegap di depan kereta kuda, menatapku asing dengan sorot pekatnya yang tertempa cahaya lampu.
"Maaf, aku ... terlambat!" pintaku, dengan napas dangkal yang menderu-deru.
Pria itu menyunggingkan bibirnya yang sedikit pucat. Kala mata kami bertemu, ia kembali menurunkan bibir dan memalingkan lirikannya.
"Tuan Louis!"
"Ya. Sudah siap?" Ia berdeham sembari menunjukkan telapak tangannya yang berpembuluh. Sesaat, ruas-ruas jemarinya tampak familier. Saat kuletakkan telapak tanganku di atasnya, kulit kapalnya teraba dengan suhu yang dingin.
Ini musim gugur, akan tetapi bila sebelum fajar atau hari mulai petang, suhu di luar rumah beralih lebih dingin dari biasanya. Apakah dia... sudah lama menunggu di luar?
"Mari!" ajaknya tenang. Perlahan, ia menuntunku menapaki tangga kereta kuda.
Setelah kami masuk, seorang kusir menutup pintu dan jendela kereta. Ia juga mengambil ganjalan roda dan menyiapkan kuda.
"Tempat makan mana yang akan kita kunjungi, Tuan?" tanyaku formal, begitu Louis dan aku telah duduk di sofa. Dua kuda di hadapan kusir mulai menarik kereta kami.
"Penasaran?" tanya Louis.
"Aku hanya ingin memastikan kalau kau tak akan membawaku ke tempat yang jauh." Aku menyilangkan lengan dengan nada yang sedikit bergetar.
Kau tahu? Sejujurnya, aku sedikit khawatir bila tempat itu berdekatan dengan ibukota maupun Dukedom Chester. Kalimat "semakin tersembunyi, semakin aman" telah menjadi motto utama dalam hidupku.
"Kenapa?" tanyaku, menyadari Louis menatap sepasang mataku tepat dan tersenyum hingga lesung pipinya terlihat jelas.
"Kau cantik."
Seketika, aku memalingkan muka ke arah jendela. Gila! Jantungku berhenti sesaat karena kaget. Mengapa ia memiliki wajah yang begitu tampan?
"Kau mengalihkan topik," balasku dingin. Tentunya, aku harus mengkondisikan diri untuk tenang dan berpikir rasional.
"Jangan khawatir. Aku tak akan membawamu kemana-mana meski kau terlihat manis," tukas Louis.
"Sepertinya kau tak berniat memberi tahu," gumamku.
Louis menyilangkan kakinya dan bertopang dagu. Sepertinya ia sedang menyeringai, namun aku tak begitu memperhatikannya karena pandanganku masih tertuju keluar jendela.
"Bukankah kejutan itu lebih seru?" responnya.
Percakapan kami terputus sampai situ dalam waktu yang cukup lama, hingga Louis kembali memulainya.
"Sebelumnya, adakah pria yang mengajakmu makan malam di luar?"
"Entahlah."
"Bahkan kakakmu?" Louis membicarakan Erthen yang saat ini sedang menjadi kakak palsuku.
"Kami jarang bertemu karena dia sibuk bekerja."
"Jadi, kau tak pernah berkencan?"
"Pernah."
Sesaat, Louis membungkam. Tiba-tiba, aura wajahnya tampak suram. Ia pun melirik ke samping kiri dan bertanya, "Lelaki macam apa?"
"Dia ...."
Kali ini, kuamati pria itu baik-baik. Bulu mata lentiknya, tonjolan jakunnya, gaya arogannya yang tampak dari gaya berjalannya, lengan berotot yang tertutupi setelan hitam.
Mengingatkanku pada seseorang yang....
"... memiliki vibes yang mirip denganmu."
...
...
"... ter"
"Dokter!"
Panggilan Louis sontak membuka kelopak mataku. Aku tersadar dengan sesuatu yang berbeda—blazer Louis yang berpindah di pangkuanku. Ternyata, aku ketiduran selama beberapa menit.
"Kita sudah sampai."
Tolehanku tertuju pada gedung restoran yang terpampang di jendela. Gedung besar itu memiliki pilar yang tinggi, pintu dari kayu jati yang mahal, puluhan jendela yang berderet di tiap lantai. Dindingnya juga tampak terang oleh lampu sihir di sekitarnya.
"Bagaimana?"
Aku mengerutkan dahi selagi mengembalikan blazer milik Louis "Apa ini tak berlebihan?"
Tanpa menanggapi, Louis mengenakan blazer-nya dan menuntunku turun dari kereta. Ia tak melepaskan tanganku hingga kami sampai di meja reservasi. Louis menarik kursi dan mempersilakanku duduk sebelum dirinya duduk di hadapanku.
Restoran ini tampak mewah. Tak hanya ukiran emas dan lukisan yang terpajang berjajar di dinding. Peralatan makannya pun terbuat dari gelas dan keramik porselen yang mahal. Bagaimanapun, ini bukanlah tempat makan malam yang tepat bagi rakyat biasa.
Ia tidak akan menipuku untuk membayarinya 'kan?
"Jadi, bisa kau jelaskan padaku?" tanyaku, sambil menyilangkan lengan tak sabar.
"Apa yang perlu kujelaskan, Dokter?"
"Mengapa kau membawaku ke tempat makan yang biasa dikunjungi bangsawan?"
Louis tertawa ringan. "Aku hanya ingin membalas budi karena kau menolongku. Apakah kau ingat?" tukas Louis.
Aku tak dapat menyangkal. Namun, aku merasa ada yang tidak beres dengannya.
"Tapi, bagaimana kau tahu kalau tempat ini biasa dikunjungi bangsawan?"
Seketika, tubuhku membatu. "Tentu saja karena gedung ini mewah. Apalagi?"
Kemudian, ia tak berkutik sama sekali.
Mengapa ia bertanya? Bukankah itu hal yang lumrah?
Pikiranku terlalu jauh, tapi...
Apakah ia mencurigaiku?
Ataukah ia akan menjebakku di tengah para bangsawan agar ia mendapatkan imbalan?
Sayembara itu memang sudah berlalu hingga bertahun-tahun lamanya. Akan tetapi, aku tak akan lupa fakta bahwa hadiah itu masih berlaku selama kekaisaran belum menemukanku.
Hingga saat ini, aku belum pernah mendapati cincin yang kukenakan rusak. Namun, aku harus tetap waspada dengan berbagai kemungkinan.
"Huft!" Aku mengembuskan napas kasar. Setelahnya, suasana di antara kami mulai terasa canggung. Beruntungnya, pelayan yang membawa troli makanan datang di saat yang tepat.
"Selamat menikmati!"
Selepas makanan terhidang, pelayan kembali meninggalkan kami. Tanpa menunggu, aku mengisyaratkan Louis agar segera makan. Louis memintaku duluan dan ia hanya meneguk air dalam gelasnya.
***