Angin dingin berhembus, menggoyangkan dahan-dahan pohon. Rambut hazel panjang yang tak beraturan berkibar di balkon itu. Dengan mata memicing, seorang pria sedang menerka wanita bersurai ungu di hadapannya.
Apa yang membuat wanita ini menangis?
Apakah karena dirinya mengalahkannya saat bermain poker?
Tidak, dia bukan orang yang akan menangis hanya karena hal kecil seperti itu.
Lalu, mengapa?
Louis tak peduli pada siapapun, kecuali satu orang yang paling berharga dalam hidupnya. Louis hanya mengharapkan keberadaannya, tidak ada apapun lagi yang ia inginkan. Namun, kini perasaannya tak dapat diartikan. Entah mengapa dadanya seperti terbakar mengetahui adanya jejak air mata pada paras Merliana.
"Bajingan mana yang membuatmu menangis?!"
Louis begitu murka hingga berniat menghajar seseorang. Siapapun yang mencari masalah dengan wanita ini, ia sudah siap memukulnya hanya dengan tangan kosong. Cukup beruntung bagi orang itu karena Louis tak membawa pedang yang biasanya ia pakai.
Bagaimanapun, Merliana merupakan manusia yang menyambung tali kehidupan Louis saat nyawanya berada di ujung tanduk. Louis tak akan melupakan jasanya walaupun tindak tanduknya terkesan dingin. Terkadang, ia hanya berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.
"Tidak ada. Kau salah paham," ujar Merliana.
"Bohong!" tekan Louis.
"Aku tidak."
"Lalu, mengapa?"
Perlahan, bulir-bulir air jatuh dari kedua pelupuk mata Merliana. Tenggorokannya tercekat, bibirnya terkunci tanpa sebab. Hanya suara isak tangis yang mampu membalas pertanyaan sederhana itu.
"Sial!" umpat Louis dalam hati. Emosinya sungguh membara pada saat itu, tapi ia tak ingin memperparah keadaan.
Dengan penuh pertimbangan, Louis merogoh saku celananya. Kemudian, ia memberikan selipat sapu tangan kepada Merliana.
Merliana menerima sapu tangan Louis dengan lengan yang gemetar. Buru-buru, ia menutupi wajahnya dengan sapu tangan itu.
Bila diamati, tubuh Merliana tampak rapuh seperti mudah patah. Namun, ia selalu berusaha untuk berdiri teguh seorang diri. Ia tak ingin orang lain menyadari kelemahannya, pun melihat sisinya yang ingin bergantung dengan orang lain.
"Tuan?"
Merliana yang tengah terisak tersentak ketika Louis menarik bahunya. Louis pun melapisi gaun Merliana dengan blazernya.
"Tidakkah kau kedinginan?"
Merliana berkedip beberapa kali. "Tidak, aku--"
Belum selesai Merliana bicara, Louis buru-buru menyandarkan kepala Merliana ke bahunya---yang membuat Merliana membeku beberapa waktu.
"Kau kira aku patung yang hanya diam saja saat melihatmu menangis?" tutur Louis. Ia mengusap puncak kepala Merliana dan berbisik, "Bersandarlah padaku!"
Perlahan, bulir-bulir air mata Merliana jatuh membasahi pipi. Merliana membenamkan kepalanya di dada Louis.
"Louis..."
Entah apa yang membuatnya menjadi sangat rapuh. Yang jelas, kabar buruk keluarganya telah menghancurkan perasaannya hingga berkeping-keping.
Sementara itu, Louis terus menepuk punggung Merliana. Walau tak tahu apa yang terjadi, ia tetap bersabar sampai perasaan Merliana lebih lega.
"Ternyata kau sangat cengeng, ya," ledek Louis. Ia kembali menjahilinya setelah memastikan bahwa Merliana telah berhenti menangis.
"Hmph!"
Merliana memalingkan muka. Wanita yang pipinya memerah itu sontak menjauhkan tubuh Louis darinya.
"Ahem."
Mendadak, suasana di antara mereka menjadi jauh lebih canggung. Terlebih, Merliana membelakangi Louis untuk memperbaiki penampilannya.
Seet
Louis menambahkan mantel pada tubuh Merliana. "Di luar dingin. Bukankah lebih baik kita pulang?" saran Louis dengan senyuman lembut.
"Pulang?" gumam Merliana. Sepatah kata itu membuatnya terbayang pada rumah besar bercat putih yang pernah ia tinggali. Rumah dengan kehangatan keluarga yang selalu melekat dalam kenangan.
Jadi, apakah sekarang aku harus pulang? tanya Merliana dalam hati.
***
Kini, Merliana dan Louis telah tiba di klinik. Semenjak turun dari kereta, Louis memapah Merliana karena ia terus berjalan sempoyongan. Merliana tak pernah meminum alkohol sebelumnya. Jadi, ia cukup sulit berjalan dengan benar.
Sesampainya di kamar klinik, Louis membaringkan Merliana ke tempat tidur.
"Fuuh."
Merliana merebahkan dirinya begitu menyentuh tempat tidur, sedangkan Louis tetap berdiri seraya meregangkan lehernya yang terasa kaku.
"Uh, uh."
Merliana berguling-guling hingga membuat dahi Louis mengeryit. Berbeda dari dirinya sehari-hari, sikap Merliana malam ini sangat merepotkan dirinya. Seandainya ia orang lain, pasti Louis akan meninggalkannya di jalanan begitu saja. Namun, entah mengapa ia selalu tak tega melakukannya.
Perlahan, Louis mendekati tempat tidur. Ia merapikan rambut Merliana yang tak beraturan.
Bila ia perhatikan, wajah Merliana tampak sangat asing. Namun, intuisinya mengatakan bahwa mereka sebenarnya begitu dekat.
Mereka seperti... diikat oleh takdir.
Ketika Louis tergeletak di tepi danau dengan jiwa yang penuh keputusasaan, Merliana ada di sana untuk menyambung asanya.
Ketika Louis tak peduli apapun yang terjadi pada dirinya sendiri, Merliana tak henti-hentinya memedulikannya.
Ketika Louis merasa ingin mati, Merliana terus berusaha untuk menghidupkannya.
Merliana mirip seperti... seseorang yang ia cari bertahun-tahun ini.
"Louis."
Louis tersentak. Refleks, ia melangkah mundur sejauh mungkin dari tempat tidur.
"Kau... kau benar-benar menyebalkan," gumam Merliana, selagi dirinya menunjuk-nunjuk Louis.
"Bagaimana kau bisa bersikap seperti itu sepanjang waktu pada orang yang menolongmu? Dasar berhati dingin!" umpat Merliana.
Tanpa mengambil hati, Louis justru menyunggingkan senyuman miring. "Memang aku harus bersikap bagaimana?" tanya Louis, seolah ia tidak tahu apa-apa.
"Ya... pokoknya harus bersikap baik! Memangnya hanya dirimu saja yang mau dimengerti?" rancau Merliana, "Aku juga ingin dimengerti, aku juga ingin."
Louis menggelengkan kepala. Wanita itu sepertinya sudah benar-benar mabuk.
"Tapi... apa ya yang akan kau minta? Aku sungguh ingin tahu," ucap Merliana.
Louis menaikkan sebelah alisnya. "Permintaan?"
"Ya, saat taruhan di casino."
Louis menyentuh dagunya, "Memang kau akan memenuhinya?" ragunya.
"Selama itu bukan permintaan aneh-aneh."
"Apa kau yakin?"
Merliana menggulirkan matanya ke sosok Louis. Saat itu, Louis memasang ekspresi yang tidak dapat ia tafsirkan.
"Tentu. Tapi, jika..."
"Baiklah," potong Louis.
Ia mendekatkan dagu Merliana, kemudian menembus lurus mata berlian Merliana yang bercorak sihir neagra. Seolah menghipnotis Merliana, ia berkata, "Permintaan pertama. Ceritakan padaku, apa yang membuatmu menangis?"
Merliana mengerutkan alis. Seketika, ia bangkit dari tempat tidur dan mengerjap.
Grep
Mendadak, Merliana menggenggam tangan Louis hingga membuat Louis terkesiap. "Baiklah, aku akan menceritakannya," tutur Merliana.
"Sebenarnya, aku memiliki keluarga. Aku kabur dari rumah karena sesuatu yang kutakutkan. Dua tahun berlalu begitu cepat seperti malam yang berganti menjadi siang. Aku meninggalkan mereka demi sebuah tujuan."
Merliana menelan ludah dan melanjutkan, "Kukira semua akan berjalan baik-baik saja. Mereka akan kembali pada kesibukan mereka sebagaimana mestinya. Akan tetapi... baru-baru ini aku mendengar kabar bahwa ayahku sakit keras dan kakakku kesulitan mencarikan obat untuknya. Kemudian...."
Merlina menghentikan ucapannya. Entah bagaimana ia membayangkan sosok Luke yang terus mencarinya di setiap sudut kekaisaran.
Ketika membayangkan Luke, ia bukan lagi merasa takut. Ia hanya ... mengingat kenangan manis yang Luke berikan untuknya.
"Jadi begitu."
Louis menyentuh helaian rambut Merliana dan bertanya, "Lalu, apakah kau ingin kembali ke rumah?"
Merliana menghindari tatapan Louis. Dalam hati, ia sedang bimbang dengan keputusan yang ia buat. Tujuan akhirnya ialah pergi keluar negeri dan hidup dengan damai. Akan tetapi, kini ada sesuatu yang memberatkan hatinya untuk menggapainya.
"Aku tidak tahu."
Jawaban itu pun memutuskan percakapan mereka selama beberapa menit.
"Ah, lalu bagaimana dengan keluargamu? Apakah mereka... ufh!" Merliana menutup mulutnya rapat-rapat. Ia baru teringat tentang luka bekas cambukan Louis dari ibunya.
Louis berbalik menghadap jendela. Dengan mimik datar, ia berkata, "Aku tidak tahu dan tidak ingin tahu."
Dari respon Louis, Merliana dapat menyimpulkan bahwa Louis menyimpan masalah yang jauh lebih berat darinya. Louis memiliki luka sendiri, sebanyak bekas luka yang terpahat di punggungnya.
Beberapa kali, Merliana mengerjap, menatap punggung Louis di tengah kegelapan malam. Ia pun beranjak dari tempat tidur dan merengkuh Louis dari belakang.
"Maafkan aku. Penderitaanmu pasti jauh lebih besar dariku."
Merasakan kehangatan yang merengkuhnya, Louis hanya bergeming memandang langit yang bertabur bintang.
"Namun, aku ingin kau tahu bahwa... kau tidak sendirian. Tidak semua manusia selalu jahat. Ada seseorang yang terus mendukungmu. Ada seseorang yang merindukanmu meskipun kau tidak tahu. Ada seseorang yang menganggapmu sebagai orang yang berharga baginya."
"Penderitaan apapun yang telah menempamu, kau berhak bahagia. Dan...."
Merliana menutup kedua matanya, sebelum mengatakan, "Aku berharap kau bahagia."
Duk Bruk
Ketika Louis berbalik, Merliana sudah tertidur lelap di lantai. Louis berlutut dan menyeka pelupuk mata Merliana.
Sekarang, siapa yang sedang menghibur siapa? heran Louis dalam lubuk hatinya.
***