Pada suatu malam, seorang gadis manis menyusuri jalanan kota. Ia mengangkat rok gaun bubble ungunya dengan hati-hati, takut bahwa dirinya bisa saja terjatuh karena terinjak roknya sendiri.
Penampilannya begitu anggun, lengkap dengan sebuah topeng violet yang menutupi wajahnya. Melangkahkan kakinya dengan pelan, ia membenahi anak rambut hazelnya yang terlepas dari jepitan.
Ya, ia adalah Merliana yang pada akhirnya terhasut bujukan Louis. Rasa ingin tahunya akan berita kekaisaran membuatnya nekat membeli tiket pesta topeng tiga hari yang lalu.
Seumur hidup, baru kali ini Merliana menghadiri pesta topeng. Sebelumnya, ia tak mengetahui jenis dress apa yang layak digunakan. Namun, atas rekomendasi Madam Gie, pemilik toko busana ternama di kota, ia mengenakan gaun ungu sutra yang cukup bagus.
"Tunggu!" Suara berat menggema di sisi kanan kiri gedung-gedung di belakang Merliana. Namun, gadis itu tak menghentikan langkahnya karena rasa penasarannya yang begitu besar.
"Kau bisa terjatuh," ujar seorang pria berblazer hitam dengan topeng kelelawar yang menempel di wajah pucatnya. Ia menyusul Merliana dengan mengulurkan tangannya yang bersarung putih.
"Jangan khawatir, Tuan Louis." Merliana mengayunkan tangan tanda menolak.
Louis menghela napas. Apa boleh buat, ia tak dapat menghentikan dokter yang kurang pergaulan itu.
Ya, bagi Louis, wanita di hadapannya ini wanita yang cukup mandiri, akan tetapi ia kekurangan asupan sosial.
Dalam observasinya selama sepuluh hari, Merliana hanya pergi ke tiga tempat: klinik, rumah, dan pasar. Sisanya, sesekali ia pergi ke hutan untuk menimba air dan mencari tanaman herbal. Sepintas, ia tampak seperti wanita pedesaan biasa yang tinggal sebatang kara.
Akan tetapi, Louis selalu menemukan sesuatu yang janggal mengenai Merliana. Contohnya; bobot wawasan Merliana ketika membicarakan monopoli perdagangan, lenggak-lenggoknya kala berjalan, gerakan anggunnya ketika menyeduh teh herbal.
Siapa yang tidak tahu bahwa sebenarnya ia merupakan wanita berwawasan?
Bahkan kala Louis sengaja membawa Merliana di restoran terkenal, Merliana tetap bisa menjaga etikanya sampai akhir. Wanita desa umumnya akan merasa canggung jika ia mengunjungi tempat yang dirasa terlalu mewah. Namun, Merliana justru memakan daging dan dessert dengan lahap tapi tetap anggun, tanpa merasa bingung dengan peralatan makan sebanyak itu.
Jika memang intuisinya benar, Merliana merupakan seorang Lady yang kabur dari rumah dan memutuskan untuk menjadi dokter pengabdi rakyat kecil. Lady yang melepaskan statusnya sebagai bangsawan demi cita-cita mulianya.
Benarkah prasangkanya yang berdasar ini?
Atau ....
"Tuan."
Suara Merliana membuyarkan Louis dari lamunannya.
"Kau membawa tiketnya, bukan?"
Begitu tersadar bahwa mereka telah sampai di depan pintu masuk, Louis menyerahkan kedua tiket pesta topeng kepada penjaga.
Segera, setelah dipersilakan masuk, keduanya menuju ke dalam lobby gedung. Dari luar, gedung tersebut tak jauh berbeda dengan bangunan lainnya. Namun, siapa sangka bahwa di dalamnya tersimpan ratusan barang mewah. Tak hanya kerlap-kerlip lampu chandelier raksasa yang menerangi ruangan, akan tetapi juga terdapat meja dan kursi besar yang lengkap dengan piring dan gelas perak.
Itu baru permulaan. Begitu Merliana membuka pintu aula utama, matanya membelalak lebar. Saking lebarnya, ia sempat melupakan sosok Louis yang mendampinginya di sampingnya. Di hadapannya, para manusia glamor bertumpah ruah di bagian mereka masing-masing. Ada perkumpulan orang yang bermain poker, domino, dan dadu di casino. Ada pula perkumpulan manusia yang berbincang dengan segelas sampanye, merayu para wanita, dan menari di tengah kerumunan.
Walaupun semuanya mengenakan topeng, Merliana tahu betul bahwa para bangsawan sedang menikmati waktunya di sini. Mereka tak tanggung-tanggung melakukan hal terlarang selagi tak mengungkap identitas.
Ini benar-benar bendera merah! batin Merliana.
Hanya dalam sepuluh detik, kepala Merliana menjadi pening. Merliana yang merasa asing hendak berbalik agar ia dapat pulang ke rumah. Namun, hal itu dicegat oleh Louis selaku penghasut Merliana dalam kesesatan. Tidak, Louis tidak melakukannya tanpa tujuan. Ia memiliki satu motif tersembunyi untuk menuntaskan keraguannya.
"Biarkan aku pulang!" keluh Merliana.
Louis menggenggam tangan Merliana. "Kita sudah jauh-jauh pergi ke tempat ini. Mengapa tak mencoba untuk bersenang-senang sejenak?" tanyanya. Sosok Louis ibarat iblis hitam yang sedang membisikkan godaan.
"Tapi--"
Louis buru-buru menariknya ke tengah kerumunan tak peduli bila Merliana mencoba melepaskan diri. Louis baru berhenti ketika mereka sampai di depan meja hijau. Merliana yang mencoba memproses apa yang akan terjadi mengeryitkan dahi.
"Jangan bilang...."
"Ya, mari kita bertaruh!" ucap Louis mantap. Sepasang matanya menunjukkan kesungguhan.
"Apa?! Aku tidak mau bermain judi!" Merliana memekik, membuat orang-orang spontan menengok ke arahnya.
"Kau takut kalah?" bisik Louis, sekaligus mengode agar Merliana tak menarik perhatian.
"Kau kira aku tidak tahu bujukanmu itu?" Merliana mendecih.
Louis melipat tangan. "Ayolah, jangan terlalu serius begitu. Ini hanya permainan," tandasnya.
"Mengundi nasib dengan permainan itu dilarang!" protes Merliana.
"Lalu, bagaimana? Kau akan pulang meskipun baru 36 detik?"
Merliana menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Louis ada benarnya. Merliana sudah terlanjur masuk pesta setelah mempersiapkan segalanya. Akan menjadi sia-sia bila ia kembali sekarang.
"Baiklah. Apa yang harus kulakukan?" Merliana akhirnya mengalah.
Sebelah alis Louis terangkat. Ia pun tersenyum simpul sebelum mengutarakan permintaannya.
***
"Kau kalah."
"Ashh!"
Merliana menaruh kasar lima lembar kartu reminya di meja. Sementara Louis menggelengkan kepalanya dengan heran.
Merliana benar-benar kalah telak dalam permainan poker kali ini. Tak pernah ia terka bahwa Louis begitu lihai dan licik.
Kemana saja Louis berada? Perasaan, sejak kecil, Louis sungguh baik hati dan menggemaskan. Sifat nakalnya semakin menjadi sewaktu dewasa. Bahkan, ia mengenal dunia bawah dan cukup ahli dalam memainkan poker.
Apa selama ini Louis menggunakan ketampanannya untuk bersenang-senang? Ataukah ia bekerja di dunia bawah secara rahasia?
Apapun itu, Louis sudah menjadikan Merliana yang biasanya sabar sampai menggertakkan gigi.
"Sudahlah, menyerah saja. Kau harus mengabulkan tiga permintaanku," ujar Louis.
Namun, Merliana hanya menggigit bibirnya tanpa menanggapi. Menggembungkan pipinya, ia meninggalkan Louis sendirian di meja casino.
Louis terkekeh. Bukan, bukan karena ia sudah mengalahkan Merliana. Louis sudah terbiasa memenangkan banyak pertandingan. Hanya berduel dengan seorang pemula, mengapa harus merasa puas?
Ia tersenyum karena melihat wajah Merliana yang sedang marah. Entah mengapa menggoda Merliana itu menyenangkan. Semakin Merliana marah, semakin dia tampak menggemaskan.
Sulit mengambarkan seperti apa perasaannya untuk Merliana.
***
Merliana tiba di meja jamuan, di mana minuman dan makanan tersaji dengan rapi. Dengan jemari lentiknya, ia mengambil satu gelas minuman, lalu membasahi tenggorokannya yang kering.
"Menyebalkan," gumam Merliana.
Kata Louis, Merliana akan bersenang-senang, tapi justru apa yang dilakukannya malah memperburuk mood Merliana. Walaupun begitu, permainan itu berhasil membuat pikirannya teralihkan.
Sebenarnya, Merliana hendak menggali kabar mengenai situasi kekaisaran. Walaupun ia bisa mencari tahu melalui Black Panther dan Ferona, Merliana ingin memastikannya dengan telinga sendiri.
Akan tetapi, tempat itu cukup asing dan berbahaya. Ia benar-benar merasa tak nyaman sampai Louis mengajaknya bermain poker.
"Hei! Aku mencarimu daritadi!"
Refleks, tatapan Merliana tertuju pada suara nyaring yang sepertinya pernah ia dengar. Suara itu berasal dari seorang wanita bersurai merah dengan topeng bulu yang cukup tebal. Ia mengajak bicara seseorang yang juga berada di meja jamuan.
"Menunggumu di casino membuatku kelaparan. Biarkan aku makan sedikit," desis wanita di samping Merliana yang merespon wanita bersurai merah. Wanita bertopeng merak tersebut memasukkan sepotong kue ke mulutnya.
"Bagaimana permainanku tadi?" tanya wanita bersurai merah.
"Seperti biasa. Kau diberkati." Wanita bertopeng merak mengendikkan bahunya.
Wanita bersurai merah menyesap gelas sampanye di tangannya. "Aku bosan menang," keluhnya.
"Oh, ya, aku dengar lelaki dengan topeng kelelawar itu menang tiga kali. Apa kau tidak ada keinginan untuk berduel dengannya?" Wanita bertopeng merak bertanya.
Merliana yang sedang menguping menggelengkan kepala. Bahkan, saat Merliana sedang ingin sendiri, lagi-lagi Louis menjadi topik perbincangan orang lain.
"Mungkin lain kali. Daripada itu, kau tak ingin mendekatinya? Bukankah dia sepertinya tampan?" Wanita bersurai merah balik bertanya.
"Tidak mau," tolak wanita bertopeng merak.
"Mengapa? Bukankah kau ingin menambah teman kencan, Tiana?" Wanita bersurai merah memicingkan matanya keheranan.
Tiana?
Merliana merasa familer dengan namanya. Jika ingatannya tak salah, maka Tiana ialah salah satu dari Trouble Maker Ladies.
Ada banyak nama "Tiana" di kekaisaran. Namun, bila memang benar dia yang dimaksud, maka wanita bersurai merah adalah Alexa yang kerap memenangkan perjudian.
Keduanya merupakan....
"Aku jadi tak berselera," gusar wanita yang dipanggil Tiana, seraya meletakkan kuenya.
"Jadi benar kau masih menyimpan rasa untuk---"
"Mana mungkin? Aku hanya jenuh karena terlalu lama bersamamu!" elak Tiana.
"Apa?"
Keduanya pun beradu mulut hingga menemukan titik buntu. Merliana yang merasa tak nyaman dengan situasi itu sedikit mengambil jarak dari keduanya.
"Hah, sudahlah. Intinya aku bosan karena hanya ada kita berdua."
"Yeah, rasanya seperti ada yang kurang karena tak ada Moli dan Serena."
Merliana membeku begitu mendengar nama yang baru saja disebut.
Ternyata dugaannya benar. Mereka adalah Trouble Maker Ladies, para sahabat Serena.
Apa yang harus ia lakukan?
Bagaimana caranya agar ia mengetahui kabar tentang Serena?
Merliana sangat ingin tahu bagaimana kabarnya, Merliana merindukannya. Setelah mendengar keluarganya baik-baik saja--layaknya yang dikatakan Ferona--ia akan benar-benar menghilang.
Akan tetapi, ia tak bisa mendadak bergabung ke obrolan mereka berdua. Bila ia menanyakan tentang Serena, otomatis mereka akan menutupinya.
Merliana paham bahwa meskipun mereka terlihat buruk di mata orang lain, mereka tak akan mengkhianati sahabatnya. Mereka lebih setia kawan dari yang diduga.
Merliana berpikir bahwa akan lebih baik bila ia hanya mengamati dari jauh. Itu merupakan batas yang tak bisa ia lewati.
"Moli berkata tak enak badan, tapi sebetulnya ia tak enak karena kondisi Serena," ungkap Alexa.
"Serena sangat sibuk bukan?" bubuh Tiana.
"Sejak kejadian itu, Serena menjaga jarak dengan kita. Terakhir kali di pesta perjamuan, ia yang biasanya terawat semakin lama semakin terlihat kurus. Belum lagi ayahnya masih terbaring lemah di tempat tidur. Ia menggantikan Duke dalam menangani semua urusan Chester."
Merliana terhenyak. Jemari lentiknya menggenggam badan gelas sampanye-nya erat-erat. Diam-diam, ia terus berdiri di sana, mendengar percakapan tentang Serena sampai akhir.
***
Langit bersinar cerah pada malam itu. Jutaan bintang bertabur di balik jendela. Helaian rambut hazel seorang wanita berkibar oleh angin.
Ia memegangi pagar begitu tiba di balkon. Kedua tangannya mencengkram kencang, seolah akan meremukkan pagar balkon itu dalam sekali genggam. Sungguh, ia ingin berteriak sekeras-kerasnya bila tak ada siapapun di sana.
Sepotong pembicaraan yang bereka ulang dalam ingatannya. Pembicaraan dari Alexa dan Tiana beberapa saat lalu.
"Aku ingin membantunya, tapi aku tak bisa apa-apa karena ayahku memaksaku berjudi."
"Tidak apa, Alexa. Lagipula Serena tidak ingin melibatkan kita pada masalah keluarganya."
"Kau tidak tahu apa-apa, Tiana."
"Memang. Tapi mau bagaimana lagi? Kita tak akan bisa membantu apa-apa."
"Apa kau tahu bahwa Duke mengalami kelumpuhan saraf?"
"Apa?"
"Serena mencari dokter, penyihir, atau siapapun yang bisa menyembuhkannya. Sudah adiknya menghilang, ayahnya menderita kelumpuhan. Dan kau paham kan bagaimana kondisi Serena?"
"Dengan kondisi mentalnya yang tidak stabil, bagaimana bisa dia bertahan?"
Sepasang mata berlian Merliana mulai tergenang oleh air. Seandainya saja ia tak mengikuti pesta, ia akan meraung sekeras-kerasnya. Akan tetapi, ia tak dapat melakukannya. Meriana hanya meremas tatanan rambutnya yang sudah tak beraturan.
"Ini semua karena adiknya. Dia memiliki segalanya, bahkan hati Putra mahkota. Lalu, mengapa dia harus melarikan diri?"
"Semua hancur sejak dia pergi meninggalkan Serena."
"Kau tidak boleh berkata seperti itu! Barangkali Lady Senika..."
"Aku paham! Tapi apakah mereka memaksanya untuk menikah dengan Putra Mahkota?!"
"Sssh! Jaga bicaramu!"
"Bahkan kini sudah 2 tahun lamanya Putra Mahkota menghilang. Takhta kekaisaran sedang mengalami konflik internal karena Putra Mahkota tak kunjung pulang!"
"AHH!"
Merliana menopangkan pinggulnya ke balkon. Seluruh emosi yang menumpuk di dadanya membuncah. Isak tangis memecah kesunyian malam. Hanya rembulan dan segelas sampanye yang menjadi saksi atas rasa bersalahnya.
Apa keputusan yang ia buat tepat?
Apa yang ia lakukan sudah benar?
Luke tidak membunuh Serena. Duke pun tidak meninggal.
Namun, kondisi ini tidak lebih baik dari akhir cerita.
Dada Merliana sesak. Sesekali, ia menutup mulutnya agar suara tangisannya tak terdengar.
Sreek
Sesosok lelaki masuk dari balik tirai balkon tempat Merliana berdiri. Napasnya tersengal-sengal karena telah lama mengelilingi ruangan mencari seseorang.
"Merliana?" panggilnya. Ia melangkahkan kakinya bertahap mendekati Merliana.
Merliana yang tampak kusut bergeming. Dengan tetap memunggungi lelaki itu, ia menyeka air mata di pipinya dan kembali memasang topengnya. "Mencariku, Tuan Louis?" lirihnya.
"Darimana saj--"
Suasana begitu hening. Menyadari ada sesuatu yang berbeda, Louis bertanya "Apa yang terjadi denganmu?"
Merliana yang tak membalas hanya memalingkan wajah.
Merasa geram, Louis menolehkan dagu Merliana agar mereka dapat berpandangan. Ia pun menyingkirkan topeng Merliana hingga tampak riasan Merliana yang telah luntur oleh air mata.
Louis mengatupkan rahang. Setelah beberapa detik membisu, ia pun akhirnya membuka suara.
"Bajingan mana yang membuatmu menangis?!"
***