Chapter 43 - Sesak

Senika menimba air menggunakan tali katrol. Ia menuangkan air tersebut ke dalam dua ember kayu yang telah ia sediakan. Lalu, Senika sempoyongan menggotongnya menuju ke depan villa.

"Oh, lelahnya," keluh Senika. Ia mengusap peluhnya menggunakan punggung tangan.

Kehidupan bangsawan yang memanjakanku membuatku sepenuhnya lupa diri, pikirnya.

Meletakkan embernya ke tanah, Senika beralih merapikan rambut birunya yang berantakan. Sembari menyapu keringat yang membasahi dahi, Senika celingukan.

Sepertinya, tidak ada makhluk hidup selain dirinya di sini. Terkecuali, bukit dengan rumput liarnya yang melayu, rawa lembab sebagai tempat para reptil bersemayam, dan rambatan sulur yang menjalar di dinding sendimen vila.

Menyimpulkan keadaannya aman, Senika mencoba menengadahkan tangan. Ia menghirup napas panjang sembari memusatkan pikiran. Perlahan, kerlip mana mengalir dari jantung ke aliran pembuluh arteri pada telapak tangannya. Mana itu mengerumun menjadi satu dan mulai melaksanakan perintah dari pusat motorik Senika.

Air jernih di dalam ember bergetar dan memercik pelan ---menampilkan efek dari mana penghisap Senika. Ia berusaha mengumpulkan satu per satu partikel hidrogen dan oksigen yang berada di alam; mulai dari embun pepohonan, air rawa jernih yang telah terfiltrasi, hingga air bersih yang ditimbanya tadi. Kemudian, kumpulan cairan itu melayang di udara---membentuk gumpalan yang serupa dengan agar-agar abstrak.

Setelah itu, jemari Senika memutar---mengendalikan air hingga membentuknya menjadi ular panjang. Sesaat, ketika dirinya menjentikkan jari, sang ular air yang bergoyang terbang memasuki rumah. Tak lama waktu berselang, ular air itu melebur, menyesuaikan dirinya ke tempat penampungan.

"Fuhh," lega Senika. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya untuk membersihkan debu. Sehabis itu, ia meraih kedua pegangan ember---sebelum memasuki bangunan yang sudah menjadi tempat tinggalnya semingguan ini.

"Senika!"

Gadis bergaun putih-coklat itu menoleh ketika seseorang memanggilnya. Ia adalah Ferona, yang baru kembali dari ibukota.

"Kau sudah membawakan ikan, Ferona?" Dengan santainya, Senika berkacak pinggang dan bertanya tanpa beban.

"Hei, harusnya kau lebih waspada! Bagaimana bila seseorang melihatnya?" Itulah yang pertama kali diteriakkan Ferona setelah tiga hari tidak bertemu dengan Senika.

"Aku tahu. Kau bahkan sudah mengatakannya ribuan kali. Apa aku tidak boleh menggunakannya satu kali saja?"

Ferona mengulurkan dua kotak belanjaannya. " Kau tidak boleh lengah! Siapa tahu, ada pangeran atau seseorang yang tersesat di sini?"

Senika menerima kedua kotak itu, kemudian menumpuknya sehingga ia dapat mengangkutnya dengan mudah. "Ayolah, Ferona, mana ada makhluk seperti itu?" Senika melambaikan tangannya, seolah itu hal kecil.

"Oh, kau tidak mengerti 'kan, betapa gencarnya Putra Mahkota dalam mencarimu?"

Deg

Pria itu ... bahkan walau namanya belum disebut, Senika dapat membayangkan persis wajah rupawan yang tak lekas tersapu dari ingatannya. Ibarat tombol merah yang apabila ditekan mampu meledakkan ranjau, jantung Senika langsung berdesir hanya dengan sekali mendengar inisialnya.

Dan ... tidak tahu mengapa serta bagaimana, suara berat nan lembut khas miliknya terus-menerus menggaung di telinga Senika.

Kenapa? Kenapa dirinya menjadi seperti ini?

Rongga pernapasannya ... bahkan tiba-tiba saja menjadi begitu sesak.

Walau udara di dunia ini masih terlalu melimpah untuk dihirup, walau dirinya tak menderita pneumonia, ia tak bisa bernapas dengan benar.

Apa yang terjadi padanya?

Sekejab, Senika memejamkan matanya rapat-rapat. Ia menggelengkan kepala sebelum berseru, "Sudahlah, aku akan membawa ini masuk!"

"Tunggu! Biar aku saja!"

"Tidak usah!"

***

Di dapur, Senika dibantu Ferona menata isi dari kotak belanjaan. Sebagian bahan seperti tomat, paprika, brokoli, dan ikan tuna diletakkan di wadah, sedangkan sisanya mereka letakkan di lemari penyimpanan. Jadi, mereka berencana memasak sup tuna pada siang hari ini.

"Apa kabar ibukota?" tanya Senika membuka topik. Ia mulai membersihkan sayuran dengan air yang ditimbanya tadi.

Ferona membalas, "Ramai. Anak-anak sekarang semakin banyak yang menjadi pengemis."

"Oh, ya?"

"Yup. Oleh karena itu, anak-anak antusias dalam mengikuti sayembara."

"Sayembara?"

"Yeah. Pengumuman terus tersebar ke seluruh kekaisaran, terutama di alun-alun kota. Pengumuman itu dibaca mereka dan .... "

"Jangan bilang tentang aku yang hilang," tebak Senika.

"Aku bahkan belum menyelesaikan kalimatku."

"Jadi itu benar?"

"Tentu saja. Malah Dukedom Chester menge-klaim akan menghadiahkan satu juta koin emas bagi siapa saja yang mampu menemukanmu."

Senika menjatuhkan wortel yang dipegangnya. "Satu juta koin emas?"

Satu juta koin emas setara dengan harga sebuah padepokan di tepi jalan besar ibukota. Itu jumlah yang cukup besar. Senika sedikit khawatir jika uang itu akan menguras kekayaan Dukedom Chester. Apakah mereka tidak sayang dengan uang?

"Yep. Bukankah keluargamu sangat menyayangimu?" tanya Ferona, memungut wortel itu dan memberikannya ke Senika.

"Entahlah," singkat Senika. Ia memotong sayuran di tatakan selagi tenggelam dalam pikiran. Sedangkan Ferona membantu Senika membersihkan kotoran dari dalam perut ikan tuna.

"Berikan aku ikan itu!"

Senika menunjuk sekilo mayat ikan tuna dalam wadah di depan Ferona. Ferona memindah tangankan wadah itu dan beralih mencuci tangannya.

"Senika, apa kau benar-benar ingin pergi?" tanya Ferona.

Senika menguliti tuna di tangannya dari sisik-sisik, kemudian berkata, "Sudah berapa kali kubilang, aku akan pergi dari kekaisaran ini dan memilih untuk hidup nomaden. Aku bahkan sudah menandai wilayah yang akan kutinggali di peta."

"Apa kau yakin?"

"Ya."

Ferona menyilangkan lengannya dan mengucap, "Aku tidak yakin. Sorot matamu mengatakan sebaliknya."

Refleks, Senika memalingkan muka dari Ferona. "Kau benar-benar sok tahu," elaknya.

"Kau tidak bisa membohongiku."

Ferona menggelengkan kepala. Ia memikirkan betapa Senika tak bisa mengenali dirinya sendiri. Bahkan siapapun yang melihatnya akan tahu bahwa dirinya lebih mirip dengan anak kecil yang tidak ingin ditinggalkan.

Saat mereka bertemu pandang, Senika kembali ke kesibukannya dalam memotong daging. Sepertinya Senika benar-benar tidak mau membahas hal itu.

"Oh ya, katamu, kau memanggil 'mereka' datang esok pagi?" Ferona mengubah topik agar keluar dari situasi canggung.

"Iya, 'dia' akan membawa teman-temannya ke sini. Makannya, aku memasak banyak sup," terang Senika.

"Begitu."

Ferona terus memandangi tiap gerakan Senika. Ia mengamati rambut biru gelapnya yang berkilau, kulitnya yang halus seputih susu, dan parasnya yang bisa membuat orang terpesona. Walau ada manusia secantik Senika, Ferona merasakan gemuruh batin yang melanda dirinya. Sorot matanya ... menyiratkan rasa kesepian yang mendalam.

"Senika." Akhirnya, Ferona memanggil namanya.

"Ya?" jawab Senika.

"Berhentilah membuat orang khawatir."

"...."

"Hah."

Sepertinya Ferona terlampau simpatik. Ia sudah lama tidak memiliki keluarga (kandung) yang menyayanginya. Namun, dia malah mengkhawatirkan Senika yang notabene-nya mempunyai nasib yang lebih baik darinya. Ini benar-benar aneh.

"Kau ingin membantuku?"

Senika membuyarkan lamunan Ferona dengan pertanyaannya.

"Aku bisa membantu apapun, selain memasak. Kau tahu 'kan, aku ini pernah meracuni orang karena masakanku?"

"Pfft--" Senika menutup mulutnya dengan kepalan tangan. "Terakhir kali ketika Franz sakit perut setelah kau memberikannya kue kering," tuturnya menahan tawa.

"Hahaha. Itu salah dia sendiri karena dia mengambil makanan sembarangan."

Seketika, tawa lepas mereka beriringan. Tak lama setelahnya, tawa itu berhenti dengan sendirinya. Lalu, suasana pun berganti menjadi lebih hening.

"Jadi .... kau ingin aku melakukan apa?" tanya Ferona.

Senika mengelap kedua tangannya setelah memasukkan sayuran ke dalam panci mendidih. Ia pun menoleh ke Ferona dan mengucap, "Bisakah kau perlihatkan padaku benda koleksi sihirmu?"

***

Di sisi lain, aktivitas di istana kekaisaran kembali berjalan sebagaimana mestinya. Sebab, keluarga kekaisaran telah kembali dari Gunung Alphenus.

Akan tetapi, terdapat suatu perbedaan. Hal itu ditandai oleh atmosfer di antara Kaisar, Permaisuri, dan Putra Mahkota yang semakin memburuk.

Terlebih, ketika Luke baru saja memasuki kamarnya. Brade bahkan langsung mengganggunya tanpa membiarkan ia beristirahat.

"Apa yang sebenarnya kau rencanakan?! Kau ingin membalas dendam?!" seru Brade dengan nada penuh amarah. Ia bahkan belum mengganti pakaian kebesarannya ketika dia dalam perjalanan.

Masih menetap di posisinya, Luke berdiri membelakangi Brade. Ia pun berbalik dengan sorot mata dingin tanpa membalas ucapan ayahnya.

"Akhir-akhir ini kau terus membuat rumor mengenai Putri Chester. Lalu sekarang, kau membuatku mencarinya yang menghilang dari rumah?!"

Brade memandangi Luke tajam dengan mata merah. Ia benar-benar marah dengan apa yang dilakukan putranya kali ini.

Bagaimana tidak?

Brade harus mengeluarkan anggaran yang besar karena mencari seorang Chester yang paling dibencinya.

Mengapa ia harus mengurus urusan yang tidak penting ini?

Apa yang sebenarnya Luke pikirkan?

Lelah dengan respon Brade, Luke meremas dahinya. Ia pun akhirnya membalas, "Melihat ayah marah, sepertinya ayah sedikit peduli dengan tingkah lakuku."

Pria itu menghela napas panjang. Ia berusaha menghadap dengan memperlihatkan emosi seminim mungkin. "Akan tetapi maaf, aku tak tertarik melakukan hal semacam itu. Aku hanya ... memang memiliki perasaan untuk gadis itu."

Brade mengepalkan telapak tangan dan menghela napas. Ia bergumam, "Aku memang setuju mencarinya ke seluruh penjuru."

Setelah membelakangi Luke, Brade menggenggam kenop pintu emas yang menempel di pintu kamarnya. "Akan tetapi, aku tidak akan membiarkan Chester masuk ke dalam silsilah keluarga kekaisaran!"

Bam!

Brade membanting pintu setelah memperingatkan. Sementara Luke yang masih termangu menggigit bibir bawahnya. Ia pun menyambar jubahnya dan pergi ke suatu tempat.

***

Luke memasuki sebuah ruangan gelap. Ia menyiah tirai merah jendela agar sinarnya dapat menembus ruangan itu. Kemudian, Luke beralih di satu lukisan besar yang menggantung di dinding. Ia juga memandangi lukisan itu dengan tatapan hampa.

"Dunia ini benar-benar kejam."

Pria itu berlanjut membelai kaca figuran dengan penuh perasaan. Manik birunya yang pucat berkerut seperti akan tergenang.

"Aku hanya menginginkanmu. Setelah mendapatkanmu, aku tidak ingin apapun lagi di dunia ini."

Memejamkan mata, Luke menghirup napas dalam-dalam. Rongga dadanya yang terisi udara masih terasa sesak, sama kondisinya dengan beberapa hari lalu---yang nyerinya tak kunjung hilang.

Ia beralih meremas dadanya sendiri. Lalu, menatap lurus sosok di dalam lukisan. "Katakan padaku, apakah aku benar-benar serakah?"

Luke menghentikan gerakan tangannya. Ia kemudian memundurkan diri dari figur lukisan. Menyadari dirinya mulai bertingkah aneh, ia mengalihkan pandangan. Kemidian, tanpa menutup tirai kembali, pria suram itu bergegas meninggalkan ruangan.

Kala ruangan tersebut telah kosong, sinar mentari yang mulai naik menembus jendela ruangan. Semakin tinggi sang mentari di angkasa, semakin terang cahaya yang memperjelas penampakan.

Tatkala cahaya menerangi ruangan, terpampang nyata sesosok gadis di dalam potret.

Sosok di dalam potret itu ... melukiskan rupa dari seorang gadis cantik. Gadis dengan rambut bergelombang yang sebiru langit malam; bermata bening dengan irisnya yang seindah lautan; berbibir merah muda layaknya bunga aster yang merekah.

Sosok itu ... adalah Senika Chester, gadis yang selalu diimpikan Luke sejak lama.

***