Salah satu dari ketiga pelayan tersebut tak tahan dengan nyeri yang menderanya. Semakin lama waktu berlalu, semakin indra perabanya mati rasa. Dengan tertunduk lemah, gadis itu meneteskan air mata penderitaan di tengah hukumannya.
Katanya, ia baru berusia lima belas tahun. Lantaran ingin membayar hutang kakaknya di desa, ia nekat mencuri perhiasan Senika yang seharusnya diberikan kepada Serena.
"Heh!" dengkus Serena kasar dengan mata mendelik.
Ia mendekati gadis itu, mengamati ekspresinya yang tidak berdaya. Lantas, ditariknya rambut cokelat sebahu yang melekat di kepalanya.
"Kau pikir kau boleh menangis?! Seorang pencuri sepertimu pantas menangis?!"
"Ampun, Nona!" rintihnya parau.
Telapak tangan Serena mengayun, hendak memukul wajahnya yang memuakkan. Namun, ekspresi tersiksanya mendadak menghentikan gerakan Serena. Gadis berambut biru itu mengerutkan alis; sedikit teringat dengan sesuatu yang mengganjal hatinya.
Beberapa detik berlalu dengan kesunyian. Hanya isakan tangis sang pelayan yang mengisinya. Setelah kembali tersadar, Serena menjorokkan pelayan itu hingga dirinya terjungkal ke tanah.
"Kau itu tidak pantas menangis!" gertaknya dengan nada kesal. Ia mengumpulkan udara masuk ke rongga pernapasannya. "Tidak tahu malu," imbuhnya.
Masih dengan kulit semerah kepiting rebus, ia menggertakkan gigi. Namun perlahan, air menggenangi kedua netranya.
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Tapi, sepertinya tangisan korbannya itu menularkan hawa kesedihan.
Serena kemudian membanting cambuk hitamnya ke semak-semak. Langkah kakinya bertahap menjauhi ketiga pencuri itu.
***
Serena berlari kecil, lalu berhenti pada sebuah pohon besar di hadapannya. Ia menopangkan lengannya pada sebatang pohon itu.
Serena pun berbalik dan menyandarkan punggungnya pada pilar gazebo. Punggungnya terseret kaku hingga ia terduduk lemas.
Beberapa saat kemudian, ia menatap langit biru yang masih begitu cerah. Langit itu berwarna biru muda, lengkap dengan mentari yang memancarkan sinarnya terhadap dunia.
Namun, tidak dengan perasaan Serena. Gadis itu melipat netranya yang berkaca-kaca. Dalam pikirannya, terus terulang isi surat yang ditorehkan oleh adik kesayangannya.
_____________________________________
Hai, Kak!
Apa kabar?
Semoga kau selalu bahagia di mana pun kau berada. Sudahkah Kakak menerima perhiasan yang kuletakkan di dalam laci? Kuharap, kau sudah menerimanya sekarang.
Kakak, aku sangat minta maaf karena mendadak pergi dari rumah. Sebenarnya, aku pergi karena ingin berkelana. Jika aku tidak pergi, maka sesuatu akan terjadi.
Maka dari itu, aku ingin meminta tolong padamu. Bisakah kau jaga ayah dan kediaman Chester untukku?
Tentu saja, ayah masih sehat dan perkasa untuk saat ini. Tapi, ayah sudah makin menua pada usianya yang ke-50. Ayah mulai rentan dengan berbagai penyakit.
Oleh karena itu, rawat dia, ya? Jangan sampai dia sakit. Kakak bisa kan? Ini permintaanku untuk yang terakhir kali.
Dan ... tolong tetap pegang janji Kakak kepadaku! Aku tidak mau Kakak melakukan kekerasan pada orang-orang. Akan lebih baik kalau Kakak berkutat pada baju dan perhiasan saja daripada itu.
Itu saja yang mau kusampaikan pada Kakak.
Tetap semangat ya, Kak! Aku akan terus mendukung Kakak. Semoga Kakak sehat selalu dan tetap menjadi orang baik.
Tertanda
Adik kembarmu.
______________________________________
"Haha, omong kosong!" umpat Serena.
Bayangan ketika Senika terus menyuruhnya menjadi orang baik terus berulang. Ia sudah mengikuti instruksinya selama bertahun-tahun lamanya.
Namun, apa yang ia dapatkan?
Mengapa adiknya meninggalkan dirinya di tempat busuk ini?
Dulu sewaktu kecil, mereka mengikat janji agar Serena tidak melampiaskan amarahnya pada orang-orang. Imbalannya, Senika akan terus bermain bersamanya, selalu memihaknya, berada di sisi Serena untuk selamanya.
Tapi ... sekarang apa? Pergi dari rumah?
Berkelana katanya?
Serena tertawa keras hingga dirinya mirip seperti wanita gila. Ia pun mengacak-acak rambut kusutnya dengan kesal.
Inikah akhirnya yang ia dapatkan?
Siapa sekarang yang melanggar janjinya?
Sungguh, Serena begitu marah. Namun ... ia tidak tahu kepada siapa ia marah. Perlahan kehampaan mengisi relung hati. Ia melemaskan tubuh yang kekuatannya sudah terkuras beberapa hari ini.
Setelah puluhan menit berlalu, akhirnya ia menyadarkan dirinya dari lamunan. Kedua kakinya menumpu, sebelum ia bangkit dari tempatnya duduk.
Syut
Selembar sapu tangan melayang dari dalam rok lapisnya. Serena lantas membungkuk; mencoba meraih sapu tangan itu.
"Nona Serena!"
Dari kejauhan, seorang pelayan berseragam hitam putih mengagetkan Serena. Dengan nyali yang cukup besar, ia mendekatinya selagi mood-nya sedang buruk.
"Ada apa?" tanyanya dingin. Tanpa menoleh, Serena memungut sapu tangan putih yang sudah terjatuh ke tanah.
"Nona, Tuan Duke akhirnya pulang!"
Serena menegapkan tulang belakangnya dan mendesah, "Oh."
Gadis bergaun ungu itu pun membersihkan sapu tangan katunnya dari debu tanah.
"Anda bilang saya harus memberi tahu Anda segera ketika ia kembali," tuturnya sedikit kecewa.
"Ah, ya. Terima kasih," singkatnya.
Tatapan Serena masih tertuju pada sapu tangan itu. Ia menelisiknya seksama dari ujung ke ujung. Bordiran bunga mawar biru teraba timbul pada jemari lentiknya.
Mengingatkannya pada seorang pria jangkung yang ditemuinya tempo hari. Pria yang selalu mengganggu adiknya dengan tingkah yang menjengkelkan.
***
"Pakailah!" ujar seorang pria berambut pirang. Tangannya yang berbalut seragam hitam menyodorkan selipat sapu tangan itu ke hadapannya.
Selepas tangisannya berhenti, Serena merebut sepotong kain itu tanpa mendongak. Segera, ia mengeluarkan ingus yang sedaritadi menumpuk di hidungnya.
"Bisa berdiri?"
Serena mengangguk, kemudian meluruskan kakinya hingga ia berdiri tegap; sendirian. Ia memalingkan muka, sedikit malu karena sudah menunjukkan sisi lemahnya pada pria itu. Pria yang pada dasarnya tidak ia suka, karena ia seperti seekor rubah yang selalu mengincar adik kembarnya.
"Terima kasih sudah mengabariku. Lady lebih baik segera pulang untuk menenangkan diri."
Dengan senyum paksaan, ia bertutur lembut. Putra Mahkota itu bertingkah normal seolah tidak terjadi apa-apa lima menit yang lalu. Namun, Serena mampu membaca sorot mata jernihnya. Mata dengan pupil safir yang bergetar hebat.
"Kalau begitu, saya pulang dulu, Yang Mulia."
Sehabis memutar badan, sang pemilik sapu tangan membantu memegangi tangan kecil Serena.
Secara bertahap, terdengar derap langkah Serena pada tangga kayu kereta kuda.
Untuk ke sekian kalinya, ia mengecek ekspresi pria itu, barangkali ia sedang salah lihat. Ekspresinya tak kurang dari topeng palsu yang ia gunakan untuk menutupi sesuatu.
***
"Carol."
"Ya, Nona?"
"Antar aku ke ruang kerja ayah!"
"Baik, Nona."
Keduanya pun pergi; meninggalkan gazebo labirin kosong tanpa penghuni.
***
"Ayah!" Serena memanggil ayahnya begitu tiba di mulut pintu.
Pelan-pelan, ia mengedarkan pandangan pada interior ruangan. Mulai dari kursi kayu rosewood yang berpasangan dengan meja ukir, jendela dengan gorden mustard yang melambai, sampai lampu chandelier yang menggantung di atas. Tidak ada tanda-tanda ayahnya di sana.
Serena pun mendekati sofa panjang di depan ruangan. Ternyata ayahnya sedang mendengkur karena tertidur pulas.
"Hmfh, kelelahan rupanya," gumamnya.
Serena pun melonggarkan pakaian Orwen, karena sepertinya ia kegerahan.
"Senika," rancau pria itu. Ia menggenggam tangan Serena saat membuka kancing lengannya. "Kau sudah pulang?"
Serena tertunduk sedih. "Bukan, Senika belum pulang."
Seketika, Orwen membuka matanya. Ia pun menarik tangannya lantaran menyadari itu adalah Serena.
"Aku tidak---"
"Aku paham. Ayah tidak perlu meminta maaf," potong Serena.
Walaupun nampaknya Serena tidak berperikemanusiaan, ia sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu. Sedikitnya, ia mengetahui situasi apa yang sedang terjadi pada Chester.
"Ehem. Ya." Orwen berdehem dan seketika, keheningan terjadi di antara mereka.
Sebenarnya mereka berdua sangat mirip. Saat muda dulu, sifat Orwen tidak jauh berbeda dengan Serena. Mereka adalah orang apatis yang dingin dan kejam.
Berbeda dengan Senika yang cenderung mirip dengan Solelia. Mereka sama-sama lembut dan dapat mencairkan suasana. Karena itu, ketika Senika menghilang, kecanggungan lebih sering terjadi di antara mereka.
Serena ingin meminta maaf telah membangunkan Orwen dari tidurnya. Namun, karena rasa gengsinya, ia hanya menelan niatnya itu tanpa sempat mengucapkannya.
"Ayah."
Orwen menggerakkan bola matanya saat Serena memanggilnya. Ia mengangkat alis, menunggu maksud Serena datang ke ruangannya.
"Aku tahu sebuah cara agar kita dapat menemukan Senika."
Orwen kemudian memfokuskan dirinya sembari membenarkan posisi duduknya. "Apa itu?"
***
Setelah menyampaikan maksud, Serena menutup pintu ruang kerja ayahnya. Ia meninggalkannya supaya dapat melanjutkan istirahat. Sehabis memutar badan, ia menjentikkan jari---mengisyaratkan Carol agar segera mendekatinya.
"Ya, Nona?" tanya Carol, sigap menghadap Serena.
"Tolong berikan perawatan luka!"
Carol mengerjapkan mata, sedikit kurang jelas dengan instruksi Serena. "Maaf?"
"Obati mereka yang tadi kuhukum di labirin!"
Pelayan pribadi Serena itu mengangguk. "Baik."
"Satu lagi," Serena memutar-mutar pita yang melingkar di lehernya, "Berikan gadis kecil tadi uang pengobatan!"
Memahami tugasnya, Carol menunduk dan bergegas melakukan instruksi.
Sementara pewaris Dukedom Chester itu menyusuri lorong yang dihiasi lampu dinding dan guci emas. Ia menapakkan sepatu haknya pada lantai marmer dengan yakin.
***