Chereads / Aku Tidak Mau Obsesi Pemeran Utama / Chapter 40 - Sayembara

Chapter 40 - Sayembara

"Kau tidak perlu tahu," balas Luke dingin.

"Dia bukanlah tipikal anak yang akan memberikan hadiah kepada orang lain, kecuali untuk menolongnya. Mengapa Senika menyerahkan sapu tangan pemberian saya pada Anda?" tanya Serena ingin tahu.

Luke menyunggingkan senyuman kecil. "Tentu saja itu karena dia menyayangiku. Apalagi?" bangganya dengan nada meledek.

Apa katanya?

Aura gelap menyebar dari dalam tenda.

Dasar sialan! Jika bukan karena Senika aku tidak akan sudi bertemu dengannya! batin Serena. Ia menggesekkan giginya seraya menusuk Luke dengan tatapan membunuh.

Luke terkekeh, lalu mengembalikan wajah seriusnya. "Daripada itu, kesepakatan apa yang kau maksud? Waktu tersisa tiga menit!" peringatnya.

Langsung pada intinya, Serena mulai membuka mulut. "Bisakah Anda meminjamkan Chester kekuatan kekaisaran?"

"Menurutmu?" tanya Luke, "aku bukanlah orang yang tepat untuk itu."

Apa yang dia nyatakan bukanlah kebohongan, karena selama Kaisar Brade berada di puncak aristokrat, maka kekuasaan itu masih ada pada genggamannya.

Serena salah jika itu merupakan tujuannya ke mari. Ibarat meminta tanah pada putra tuan tanah, hal itu akan sia-sia belaka. Luke hanyalah pewaris takhta yang belum tentu mendapatkan kekuasaan di masa depan. Bukankah seharusnya ia meminta langsung kepada kaisar?

"Saya tahu." Serena tersenyum miring.

Selepas memandangi orang-orang yang sibuk dengan jasad naga di luar tenda, Serena merapatkan jemarinya. "Untuk itu, Anda harus mendengarkan apa yang saya katakan!"

***

Pagi itu, partisipan perburuan berkumpul dalam satu lapangan. Setelah hari ketiga, pengumuman pemenang akhirnya akan dikumandangkan. Tak hanya kaisar dan permaisuri, bangsawan beserta tamu undangan ikut memberikan antusiasnya dalam merayakan puncak acara.

"Kini hari ketiga perburuan telah usai. Saya, Count Henel, selaku perwakilan dari para juri akan mengumumkan pemenang dari event ini," lontar seorang pria berjas kotak-kotak yang berdiri di podium.

"Pemenangnya adalah ...."

Bum

Ibarat banteng yang terpelanting, gemuruh itu mengalihkan sorot perhatian. Secepat detik terlintas, ratusan pasang mata langsung menoleh ke arah sumber suara. Tepat tiga ratus meter jaraknya dari panggung, seorang pria berjubah hitam menampakkan diri dengan misterius.

Bukan hanya hadirin, Kaisar Brade bahkan terlonjak kaget memelototi pria itu. Mereka tidak menyangka pria yang kelihatannya tidak peduli dengan kompetisi bisa membuat kegemparan.

Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja, putranya sendiri membuat keonaran dengan mengumpulkan beberapa jasad monster raksasa.

Sepengetahuan orang-orang, pemenang dengan buruan terbaik akan jatuh ke tangan Marquiss Querre. Tersebar rumor bahwa tiga ekor chimera dan beruang liar merupakan hasil terbaik yang ia dapatkan.

Namun, tangkapan itu belum ada apa-apanya. Sebab, seseorang bermata tajam itu telah memecahkan rekor dengan membawa dua ekor naga dan satu chimera. Dengan genggaman sebilah pedang---yang baru padam oleh mana api---, Luke memasukkan kembali senjata andalannya ke sarungnya.

Lantas, Luke menapakkan sepatu boots kulitnya---menginjak rerumputan yang belum sepenuhnya terhidrasi. Selagi ia melangkah, bisikan orang mengiringinya bagai sambutan.

"Putra mahkota ... Putra mahkota menangkap dua ekor naga?!"

"Bukan hanya berhasil memimpin pasukan, ia juga mampu membunuh monster raksasa seperti itu?"

"Gila, dia bukan lagi 'Serigala Api', melainkan tiran berdarah dingin!"

Luke menaiki satu demi satu anak tangga menuju panggung. Ia pun memposisikan dirinya di samping podium.

Count yang bergeming sejauh ini merasa was-was. Keringat dingin terus menetes dari pelipisnya--- membayangkan hal menakutkan apa yang akan Luke lakukan.

Sruk

Mengejutkannya, Luke bertekuk lutut. Layaknya ksatria yang patuh, ia menghadap ayahnya yang masih menyaksikan di singgasana.

"Saya membawa buruan saya untuk dipersembahkan demi kedamaian Alphenus."

Seketika, Kaisar Brade membatu. Mesin di dalam otaknya tak henti-hentinya bekerja untuk memproses apa yang terjadi. Namun, ia harus segera mengatakan sesuatu, mengingat para bangsawan sedang memperhatikan mereka detik ini.

"Haha, Putra Mahkota benar-benar luar biasa! Memang, tidak ada yang mampu menandingi kemampuannya," desisnya, melirik jasad-jasad monster yang mengotori lapangan dengan darah mereka.

"Seharusnya kaulah pemenangnya, Putra Mahkota. Sayang sekali, kau tidak memilih seorang pun Lady yang akan kau berikan mawar biru."

Para hadirin mengerutkan dahinya dengan reaksi kaisar. Ayolah, meskipun tidak memenuhi syarat, orang gila pun juga akan tahu bahwa Luke pemenangnya.

Tapi, tidak seorangpun yang mau menyampaikan pendapatnya. Hingga salah satu pemuda berseragam militer torquis-navy menghadap Brade dari sekian ratus manusia.

"Maafkan kelancangan saya, Baginda. Bagaimana bila Anda memberikan hadiah sebagai balas jasa Putra Mahkota?" cetus pemuda itu.

Sekejab, keheningan terjadi di antara mereka. Kemudian, seorang pria berbaju zirah ikut maju. "Saya setuju dengan yang dikatakan Marquis Querre, Baginda. Menurut saya, putra mahkota perlu diberi apresiasi!"

Brade mengamati para ksatria yang mengakui kemampuan Luke. Ketika orang-orang semakin mendesaknya, akhirnya ia menyerah.

"Baiklah, sebagai hadiah untuk pengabdian kekaisaran, aku akan mengabulkan satu permintaanmu!"

"Terimakasih atas kemurahan hati Baginda."

Luke bangkit dari tempatnya. Kini, tatap matanya sejajar dengan sepasang mata biru Brade. "Baginda, saya ingin mengakui sesuatu."

Menghirup udara alam yang segar, ia bersiap mengungkapkan sesuatu. "Sebenarnya, saya memiliki seorang kekasih. Namun, pada suatu malam, seseorang menculiknya hingga dirinya menghilang."

Ia pun menekuk bibirnya dan kembali menunduk. "Maka dari itu, bisakah Anda menurunkan perintah untuk mencarinya hingga ke pelosok negeri?"

Brade mencengkram pegangan kayu singgasananya. "Tentu. Siapa gadis yang mampu mencuri hatimu?" tanyanya ragu.

"Lady Senika Chester."

Sontak, perkumpulan Lady pecah dengan nama yang disebut. Mereka menimbulkan kegaduhan dengan cicitan.

"Apa? Lady Chester menghilang?"

"Jadi benar gosip tentang kedekatan mereka?"

"Sudah kubilang apa? Putra mahkota tertangkap basah membelanya saat cekcok dengan Putri Verolle!"

Mayoritas tidak menyangka tentang hilangnya putri Duke yang menggemparkan. Sebagian besar dari mereka tercengang, namun mereka menganggap itu adalah kesempatan emas.

Ya, sejak awal, mereka mengincar putra mahkota yang sudah menjadi idola. Tampan, bermartabat, kuat, serta memegang suksesi takhta kekaisaran. Gadis muda mana yang tidak menginginkannya?

Namun, berapa kalipun mereka menarik perhatian, pria itu sama sekali tak menoleh. Hanya beredar desas-desus tentang kedekatannya dengan putri Duke Chester.

Lain halnya dengan kaum minoritas, terutama seseorang. Serena Chester akhirnya angkat suara setelah tersenyum sepanjang pertunjukan. "Baginda, bersediakah Anda memberikan saya izin berbicara?"

"Ya, aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi," keluhnya.

Sebenarnya, Brade tidak terlalu menyukai keluarga Chester. Baginya, Orwen Chester merupakan musuh bebuyutannya sejak masih muda, sehingga ia sangat enggan untuk mengulurkan tangannya.

Tapi, bila persoalan publik seperti ini, apa boleh buat? Air yang sudah diludahkan tidak bisa dijilat lagi.

"Saya sedih sekali, Baginda. Adik saya diculik komplotan perompak sehingga mungkin saja dia akan berlayar ke luar negeri. Oleh karena itu, ayah terus mengerahkan kekuatannya beberapa hari ini, sehingga ia tidak bisa hadir pada acara ini," lirih Serena. Ia mengusap air mata buayanya dengan sapu tangan.

Sementara Molly dan Alexa memicingkan mata. Mereka merinding dengan akting Serena yang terlalu dramatis.

"Saya hanya ingin memberi tahu bahwa ... keluarga Chester telah menyiapkan satu juta koin emas bagi siapa saja yang dapat menemukan adik saya!" tekan Serena.

Mengangkat rok gaunnya dan menunduk, ia memberikan ucapan terakhir pada Kaisar Brade.

"Itu saja yang bisa saya sampaikan, Baginda. Terima kasih atas kesempatannya."

Brade terkekeh. Sekarang, ia menyadari situasi apa yang sebenarnya terjadi.

Serena Chester merupakan gadis yang cukup licik. Ia sedang mengambil kesempatan dari celah yang ia buat.

Serena memahami kalau Brade tidak akan membantunya jika ia memintanya di ruangan privat. Ia sangat tahu bahwa Brade membenci Orwen. Sudah menjadi karakter Brade yang sedikit kekanakan---dengan membawa masalah pribadi ke ranah pekerjaan.

Berbeda kondisi jika ia memelas di tengah acara publik. Apalagi, ketika putranya sendiri yang meminta demikian. Mau tidak mau, Brade harus menjaga citranya agar tetap bijaksana di depan para bangsawan.

"Baiklah, catat titahku ini. Atas nama kejayaan Dawnell, aku mengumumkan sayembara bagi yang bisa menemukan Lady Senika Chester. Siapa saja yang dapat menyelamatkannya, ia akan mendapatkan dua juta koin emas!" titahnya.

"Kemudian, sebagai imbalan untuk keberanian Putra Mahkota, aku memberikan misi kepada para prajurit untuk menemukan putri bungsu Chester ke seluruh penjuru negeri!"

Serena tersenyum puas, begitupun dengan Luke. Keduanya lalu memagut dan mengungkapkan rasa terimakasihnya atas kebaikan Brade.

***

"Kau tidak bilang kalau putra mahkota akan meminta itu," gerutu Tiana begitu acara dibubarkan.

"Tiana, aku akan mengenalkanmu pada pria tampan. Aku janji!" celetuk Serena.

Tiana melipat lengannya dengan jengkel. "Ck, tidak ada yang setampan putra mahkota di kekaisaran ini!" decaknya.

"Ayolah, masih banyak yang lebih rupawan darinya! Dunia begitu luas!"

"Huh! Apa boleh buat."

"Terimakasih sudah membantuku. Aku janji akan membawa 'kenalanku'."

"Ya, ya!"

Tiana kemudian meminum air lemon, tidak menyadari kalau Marquis Querre sudah berada di belakangnya.

"Kau akan berkenalan dengan pria lain? Betapa teganya dirimu," keluh Marquis.

Begitu mendengar suara rendah itu, Tiana memuncratkan air minumnya. Setelah mengelap dagunya, ia pun membalikkan badan.

"Sayang, itu hanya salah paham! Jangan dengarkan Serena!" gagap Tiana, yang kemudian menatap tajam Serena.

Serena tertawa kecil di balik kipas tangan. Ia pun menimpal, "Eum, ya, aku hanya bercanda, Marquis."

"Nah, kau dengar itu, Sayang?" Tiana mengerlingkan mata. Sedangkan Marquis hanya berdehem, berusaha menyembunyikan emosinya dengan memalingkan muka.

"Oh, sepertinya aku akan menjadi serangga jika terus berada di sini," kata Serena, seraya mengipasi lehernya. "Aku pulang dulu, ya? Terima kasih atas bantuan kalian!"

"Hati-hati, Serena!" riang Tiana, yang kemudian merangkul lengan Marquis.

Serena berjalan cepat---mencoba meraih rok gaunnya yang lumayan berat. Tapi itu tak berhasil, karena sepatu stiletonya menginjak surainya yang menjuntai.

"Astaga! Maaf, aku tidak melihatmu," ucap Serena, ketika keseimbangannya yang terganggu itu menyebabkan gadis di depannya hampir terjatuh.

"Tidak apa-apa!" seru gadis bergaun hitam tersebut. Ia membantu membetulkan posisi Serena sampai ia bisa berdiri tegap.

"Kau baik-baik saja?" tanya Serena.

"Ya! Saya baik-baik saja!"

Setelah memiringkan topinya, gadis itu langsung beranjak menjauhi Serena. Sewaktu Serena menengok ke belakang, rambut jingganya berkibar di bawah topi.

***

Gadis bergaun hitam tadi menepi ke kebun di dekat lereng gunung. Ia termangu di sana seolah sedang menunggu sesuatu.

"Pwitt!" Gadis itu mendongak dan bersiul. Ia mengulurkan tangannya ke arah langit.

Kpak pak pak

Kini, seekor burung elang yang bertengger dari pohon cokelat hinggap di lengan gadis itu. Gadis itu balas mengelus dagu sang unggas dengan lembut.

"Anak pintar," gumamnya.

Ia pun menyodorkan kertas lintingan yang ia sembunyikan dari saku gaun. Diselipkannya kertas itu ke kaki besar burung elang.

"Ruve, bawa ini ke tempatmu tadi, ya?" perintah si Gadis Berambut Jingga kepada burung elang.

Burung yang dinamai "Ruve" itu mengangguk kikuk, seakan mengerti dengan bahasa si Gadis. Lantas, sang elang kembali mengepakkan sayap. Ia melanjutkan perjalanan panjang ke atas langit biru yang tinggi.

***

Tak butuh waktu lama, Ruve sampai ke tujuannya. Ia bertengger di seonggok kayu jendela besar. Jendela itu menempel dengan dinding kamar villa terpencil di bukit. Bukit itu terletak di Arentel, sebuah pegunungan yang terkenal angker di perbatasan wilayah selatan.

Ruve memekik dari jendela kamar. Ia terus mengacaukan suasana yang damai. Hingga seseorang penunggu villa menghampiri Ruve.

Seseorang itu mengangkat potongan daging. Ia menyodorkan daging itu selagi terkekeh. "Kau benar-benar rakus. Padahal sudah dua kali aku memberimu sarapan pagi ini."

Meski ucapannya terdengar kesal, ia menarik kedua ujung bibirnya. Dengan senang hati, ia membelai kedua sayap cokelat Ruve.

Ruve memakan santapannya hingga tak bersisa. Setelah menelan daging itu mentah-mentah, ia mengulurkan kakinya yang berkuku tajam.

"Oh! Ternyata kau memanggilku karena surat. Kukira kau meminta makanan."

Gadis itu berdecak sebal. Ia mengambil lintingan kertas dari cengkraman Ruve. "Dasar nakal. Bilang dong dari tadi!"

Tak mengindahkan seruan, Ruve memiringkan kepala dengan bangga, membuat gadis itu memutar bola matanya malas.

Si Gadis lantas menggelar lintingan kertas yang dikirimkan. Segera, ia membaca deretan kata yang tertoreh di sana.

Senika, di luar dugaan, putra mahkota mengacaukan perburuan dengan merekayasa bahwa kau adalah kekasihnya. Ia memohon kepada kaisar supaya bisa mencarimu ke seluruh penjuru negeri.

Sebagai hasil akhir, kaisar mengadakan sayembara bagi siapa saja yang bisa menemukanmu.

Sepertinya untuk sementara waktu, situasi kekaisaran sedang genting.

Berhati-hatilah! Tetap berada di sana sampai situasi membaik.

-Ferona-

Gadis bergaun putih-cokelat itu menutup kembali pesan singkat dari sahabatnya, Ferona Yelenne. Ia mengerutkan dahinya sembari menerawang. Ya, dia adalah Senika Chester, yang semingguan lalu memutuskan untuk melarikan diri.

***